Pendekar Ciliwung |
Hanya 5 menit menggunakan sepeda motor waktu yang diperlukan untuk perjalanan dari rumah ke Stadion Merpati, stadion yang buat saya juga menyimpan kenangan sebagai tempat bermain di pertandingan antar kelas pada waktu SMP, 15 tahun lalu. Stadion ini sangat sederhana fasilitasnya. Ruang parkir sempit, tribun yang hanya berkapasitas kurang lebih 1000 orang, dan kondisi rumput lapangan yang tidak rata.
Saya menyaksikan pertandingan di Tribun kelas satu, yang hanya seharga 15 ribu saja. Lagu dangdut dan Ebiet G. Ade membahana menjelang pertandingan, lagu Honky Tonk Woman-nya Rolling Stones mengalun di jeda pertandingan dan panduan dari announcer kocak berlogat Betawi-Depok yang kental adalah a simple happiness. Kalau untuk jalan-jalan ke mal-mal besar di Jakarta, mungkin uang segitu gak ada artinya. Tapi, membelanjakan 15 ribu rupiah untuk menyaksikan sebuah pertandingan grass roots level sepakbola Indonesia ternyata memiliki cerita tersendiri yang cukup menginspirasi dan menyentuh.
Pertandingan sendiri berlangsung menarik. Persikad yang ingin menang mengusung formasi ofensif 4-3-3. Dipimpin kapten Ahmad Sobari yang berpartner dengan Razi dan Imran di lini tengah, Persikad tampil mendominasi permainan. Sementara tim tamu bermain defensif dengan memasang hingga 5 pemain belakang dan 2 gelandang bertahan dalam skema 5-4-1. Persikad akhirnya menang tipis 1-0 melalui strikernya yang bernama Aidil setelah sundulannya hasil umpan lambung Sobari tidak mampu dibendung kiper lawan. Aidil adalah salah satu peserta seleksi Timnas U-21.
Dua minggu lalu saat melawan Perserang Kab. Serang, saya sama sekali tidak mengenal pemain-pemain Persikad. Tapi kini dengan modal sebuah koran lokal dan mem-follow akun twitter @superdepokcyber yang dibuat oleh salah seorang suporter loyalnya, saya mulai akrab dengan klub berjuluk Pendekar Ciliwung ini.
Pengetahuan saya makin bertambah setelah secara kebetulan saya duduk menonton disebelah seorang Ibu yang ternyata adalah istri dari seorang staf pelatih dari Persikad. Dari beliau, saya mendapat cukup banyak cerita mengenai pasang surut klub ini.
Saya tahu kalau tim ini benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan. 2008 adalah tahun awal kehancuran tim saat Pemerintah setempat memutuskan untuk menyetop anggaran dana untuk operasional klub. Imbasnya, gaji pemain tidak dibayar hingga 10 bulan. Seperti posting di blog saya http://footballerwannabe.blogspot.com/2012/01/pleasure-of-watching-grassroots-level.html beberapa waktu lalu, saat itu padahal Persikad sedang meniti jalan menuju Kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia (kala itu belum ada ISL, jadi Divisi Utama adalah kompetisi kasta tertinggi sepakbola Indonesia).
Persikad sempat diperkuat pemain-pemain asing yang cukup bagus seperti J.P. Boumsong (sekarang Persiram), Yusuke Sasa (sekarang Persikabo) dan Nana Onana (sempat di Persija) dan beberapa pemain Indonesia berkelas menengah seperti Nana Priatna, Guntur Gunawan, Syahroni, Irfan Sapari dan Nehemia Solossa. Di klub Persikad juga Muhammad Roby mengawali karir sepakbolanya, bahkan Syamsir Alam dan Irfan Bachdim juga dikabarkan pernah berlatih disini.
Krisis keuangan yang parah membuat tim tidak mampu menggelar dua pertandingan kandang, yang berakibat hukuman degradasi dari Divisi Utama ke Divisi Satu serta larangan berkompetisi di Divisi Satu selama setahun. Sepakbola kota Depok lalu mati suri. Seorang pemain yang mengalami cedera patah tangan bahkan harus merogoh kocek pribadi untuk biaya operasi.
Dari Ibu tadi saya mendapat informasi terkini tim ini. Kini dengan bantuan dari seorang tokoh lokal perorangan yang tidak dia ungkapkan identitasnya, Persikad mencoba bangkit. Dengan regulasi yang membatasi usia pemain hingga 23 tahun saja, Persikad diperkuat pemain-pemain muda. Pemain seperti Razi, Ahmad Sobari, Syukron, Tri Sumantri, Agung dan Aidil kini menjadi tulang punggung tim guna perjuangan mereka meloloskan diri ke Kompetisi Divisi Utama. Jika lolos ke Divisi Utama, Persikad diperbolehkan kembali untuk diperkuat pemain-pemain senior.
Persikad sekarang berbeda dengan Persikad yang kala itu diperkuat beberapa pemain asing dan bersaing di papan atas Divisi Utama. Sekarang, tim Persikad tidak memiliki Training Camp, mess atau sejenisnya. Tidak adanya fasilitas standar klub sepakbola tersebut membuat para pemain harus berada dalam kondisi prihatin. Mereka bahkan harus pergi ke stadion secara sendiri-sendiri tanpa menggunakan bus tim saat pertandingan. Begitu pula persoalan gizi pemain yang biasanya diatur oleh seorang ahli nutrisi, kini hanya diserahkan kepada masing-masing pemain, yang tentu berakibat buruk bagi pemain. "Banyak yang sakit mas, ada beberapa yang kena thypus segala, gara-gara pola makan gak diatur akibat ketiadaan mess." Kata Ibu tadi.
Ya begitulah Persikad sekarang. Jauh dari kemewahan yang umumnya didapat oleh tim sepakbola. Jersey original pun belum diproduksi, jadi gak ada tuh kita melihat seragam biru khas tim ini dipakai oleh penonton yang hadir di Stadion Merpati.
Sisa 4 pertandingan tandang akan menentukan nasib tim ini. Jika setidaknya mampu menduduki posisi runner-up, mereka akan lolos ke babak selanjutnya yang akan dibagi kembali menjadi grup baru. Mirip model kualifikasi Piala Dunia zona Asia-Oseania.
Walaupun bukan asli Depok, saya tetap memiliki ikatan emosional dengan kota ini. Saya sudah tinggal 20 tahun disini dan tentu saja berharap olahraga sepakbola menjadi bagian dari kota ini, menjadi khas kota ini. Denyut sepakbola kota ini masih ada, semoga ada pihak-pihak yang peduli untuk memberikan bantuan bagi klub ini. Menyalurkan talenta-talenta emas sepakbola Indonesia dari kota ini.
No comments:
Post a Comment