Juraj Kucka. Photo: Gazzettaworld |
September 2015, seorang jurnalis bernama
Michael Yokhin menulis tentang Juraj Kucka. Ia menuturkan bahwa Kucka yang baru
didatangkan Milan dari Genoa berpotensi menjadi pemain kejutan musim
2015-16 ini, tentunya dalam artian positif. Saat itu, mungkin saja tidak banyak pihak
yang menganggap serius tulisan Yokhin. Saya termasuk di dalamnya. Pasalnya,
gelandang asal Slowakia ini didatangkan sebagai kompensasi kegagalan Milan
mendapatkan tandatangan Geoffrey Kondogbia, gelandang potensial yang ironisnya mendarat ke FC
Internazionale dengan banderol 35 juta euro.
Di benak Milanisti, timbul tanda
tanya besar mengapa manajemen tidak mengusahakan kedatangan gelandang lain yang
lebih 'punya nama', nilai jual dan kapabilitas, misalnya saja Axel Witsel,
Gianelli Imbula atau Joao Moutinho yang kala itu ramai dibincangkan sebagai
target alternatif Kondogbia. Datangnya seorang Juraj Kucka seperti menunjukkan
niat yang setengah-setengah untuk memperbaiki kualitas lini tengah. Memangnya
siapa sih Juraj Kucka?
Yokhin, yang juga
seorang kolomnis di ESPN FC menggarisbawahi bahwa pemain kelahiran kota Bojnice
yang dibeli dengan harga hanya 3 juta euro ini memiliki karakter permainan yang
dibutuhkan lini tengah Milan, yaitu kerja keras, kengototan dan determinasi yang
tinggi. Penilaian senada juga pernah dikatakan jurnalis televisi olahraga
Republik Ceska, Michal Petrak. Petrak pernah mengatakan bahwa Kucka adalah gelandang
dinamis yang mampu mengontrol lini tengah namun memiliki tempramen tinggi hingga mengingatkannya pada sosok Roy Keane di Manchester United. Bagi Milanisti, karakter
ini juga melekat pada diri Gennaro Gattuso.
Setelah melihat performa Kucka
selama semusim penuh, barulah kita menyadari ketepatan analisa dari Yokhin maupun Petrak.
Tidaklah berlebihan jika Kucka dipandang sebagai pembelian terbaik Milan musim
ini, jika membandingkan harga yang harus dibayar dengan kontribusi sang pemain.
Sementara di lain pihak, Kondogbia yang semula menjadi target utama ternyata tampil
kurang impresif di musim perdananya bersama Nerazzuri. Memang tidak adil
membandingkan keduanya. Kondogbia baru datang ke Italia, sementara Kucka sudah
berada di negeri Peninsula sejak 2011 bersama Genoa. Selain itu, gaya bermain
kedua pemain juga berbeda, pun jika membicarakan usia, Kondogbia terpaut enam
tahun lebih muda ketimbang Kucka.
Sesuai dengan julukannya, yaitu The
Tank, Kucka memang begitu tangguh 'menggilas' lawan-lawannya. Situs Whoscored
mencatat bahwa penyuka sup jamur ini memiliki rataan jumlah tekel dan
pelanggaran terbanyak di antara seluruh gelandang Milan. Sementara untuk rataan
jumlah intersep, hanya Riccardo Montolivo yang mengunggulinya. Statistik ini
jelas menunjukkan betapa besarnya kontribusi defensif dari sang gelandang.
Tidak hanya berperan dalam cara
bertahan Milan, kontribusi penggemar serial Heroes ini juga terlihat dalam
menyerang. Ia mampu membuat tiga assist,
29 kali menciptakan peluang gol dan 46 kali melepas tendangan ke gawang lawan.
Hanya Giacomo Bonaventura yang lebih unggul darinya atas tiga aspek ofensif ini.
Performa paling gemilang Kucka jelas
diperlihatkan ketika partai derby
melawan Internazionale yang dimenangi Milan dengan skor 3-0. Kala itu Kucka
tidak hanya memutus aliran bola dari Marcelo Brozovic dan menang duel melawan
Gary Medel di lini tengah lawan, tetapi ia juga kerap berlari menusuk
pertahanan Inter hingga terpaksa dilanggar yang menghasilkan keuntungan bagi
Milan. Pada laga final Coppa Italia melawan Juventus, Kucka yang beroperasi di
sebelah kanan lini tengah juga tidak gentar menghadapi nama besar Paul Pogba
dan Patrice Evra di sisi sebaliknya.
Namun harus diakui, pemain bertinggi
186 cm ini memiliki kekurangan mendasar dalam hal akurasi. Dari 46 tembakan
yang dilakukan, hanya 10 yang tepat sasaran, dan itu pun tidak ada yang
menghasilkan gol. Satu-satunya gol yang dibuat pemain yang mengidolakan Paul
Scholes ini dibuat melalui sundulan saat menghadapi AS Roma, Januari lalu.
Akurasi umpannya juga kurang menonjol, yaitu hanya 76%. Akibatnya, ia kerap
menggagalkan peluang timnya sendiri meski memiliki ruang untuk memberi umpan
terakhir kepada penyerang.
Andai saja ia memiliki akurasi
tembakan dan umpan yang lebih baik, rasanya ia akan menjadi gelandang berkelas
dunia. Level permainannya akan mendekati Scholes mengingat pemain yang
menggemari minuman ringan Coca Cola ini juga memiliki determinasi,
kesederhanaan dan kerja keras seperti sang mantan gelandang Inggris. Ini
sedikit menjelaskan mengapa Kucka hanya mencetak sebuah gol musim ini bagi
Milan.
Ya, pemain yang biasa dipanggil Kuco
ini mungkin belum apa-apa dibanding Scholes, Keane, atau Gattuso, tiga gelandang
legendaris Manchester United dan Milan. Namun setidaknya kini ia telah menunjukkan bahwa di
"Milan yang sekarang", ia menjadi sosok kunci di lini tengah, dan
telah membuktikan bahwa keraguan yang dialamatkan kepadanya tidaklah beralasan.
Tanpa Kucka, lini tengah Milan akan lesu dan kurang bertenaga.
Terlepas dari performa gemilangnya,
masa depan pemain yang tubuhnya dirajah penuh tato ini belum pasti di klub yang
bermarksa di San Siro. Di samping pencapaian Milan yang kembali buruk musim ini,
yang membuat Milan bisa saja menjual para pemain termasuk dirinya, tenaga Kucka
juga diinginkan oleh Sinisa Mihajlovic, mantan pelatih Milan yang kini
menukangi Torino. "Kucka bagaikan tank. Ia sulit dihentikan dan selalu
melancarkan tekel," ujar Mihajlovic.
Performa Milan boleh
hancur-hancuran, tapi tidak dengan Kucka. Wajar saja jika kemudian muncul
berita keberminatan kesebelasan lain kepada mantan penggawa Sparta Praha ini.
Ia mungkin tidak lagi diminati oleh Liverpool seperti tiga tahun lalu, terlebih
oleh klub idola masa kecilnya, Manchester United. Namun setidaknya jika ia
masih bertahan di “Milan yang sekarang”, masih akan ada tempat untuknya.