“Milan dilaporkan tengah mengincar pemain-pemain ini: Mats
Hummels, Joao Miranda, Geoffrey Kondogbia, Jackson Martinez dan… Zlatan
Ibrahimovic.”
Begitulah berita yang belakangan ini tersebar di media-media
Italia tentang rencana transfer Milan musim panas ini. Suntikan dana 480 juta
euro hasil pembelian 48% saham Milan oleh pihak investor Asia yang diwakili
oleh seorang pria Thailand bernama Bee Taechaubol pun menjadi angin segar,
terutama bagi Milanisti yang amat merindukan kejayaan.
Rumor transfer pemain-pemain Milan begitu cepat berubah
sejak berita akuisisi saham ini. Setelah sebelumnya rumor diisi oleh pemain
seperti Jose Mauri, Pedro Obiang, Nikola Maksimovic dan para penggawa klub-klub
papan tengah Seri A lainnya, kini Milan dihubungkan dengan nama-nama besar Eropa.
Namun haruskah keadaan ini disikapi dengan kesenangan berlebih? Tidak, tentu saja. Eskalasi rumor target pemain memang begitu menarik
untuk disimak, namun lebih dari itu, tidakkah seharusnya klub ini menempatkan
Financial Fair Play (FFP) dan pembenahan struktur gaji sebagai prioritas utama
ketika akan membangun kembali?
Katakanlah, anda sudah lima tahun hidup prihatin, plus
dengan hutang bank mencapai 2 miliar rupiah. Lalu misalnya anda menemukan sebongkah
besar batu akik yang ternyata bernilai 3 miliar rupiah, apakah anda akan
memilih untuk berfoya-foya membeli rumah dan mobil baru namun tidak melunasi
hutang terlebih dahulu?
Sepertinya seperti inilah cara Milan dikelola saat ini.
Padahal, kerugian mereka tahun 2014 sudah mencapai 91 juta euro, dan biaya gaji
dari skuat gemuk mereka mencapai nyaris 100 juta euro. Belum lagi berbicara
hutangnya sebesar hampir 300 juta euro. Namun tanpa lebih dulu membereskan persoalan-persoalan
besar ini, mereka sudah mengincar nama-nama papan atas?
Senada dengan entri
terbaru dari seorang Milanista asal California, Amerika Serikat bernama Elaine, saya juga
memiliki kekhawatiran yang sama dengannya. Dalam tulisannya, Elaine telah
memaparkan dengan jelas bagaimana manajemen Milan terus mengandalkan solusi
instan dan tidak adaptif akan tuntutan pengelolaan sepak bola modern. Sebagai contoh
paling mengena, Elaine mempertanyakan urgensi pembelian pemain-pemain bintang
ini dibandingkan dengan rencana pembangunan stadion.
Kehausan akan kejayaan memang bisa membuat kita berpikir
pendek. Cobalah sesekali pergi menonton kejuaraan sepak bola junior lokal di
mana para pemain cilik ini bertanding dengan disaksikan para orang tuanya. Dalam
beberapa menit, anda akan melihat sendiri bagaimana perilaku para orang tua
ini. Mereka memaki semua orang, mulai dari wasit, pemain lawan, pelatih, bahkan
anaknya sendiri ketika gagal mengeksekusi sebuah peluang gol. Tanpa bermaksud
menggeneralisir, ini adalah pertunjukan karakter dari sebuah bangsa yang memang
tidak pernah menang dalam sepak bola. Padahal dalam ilmu pembinaan pemain muda
mana pun, sepak bola kanak-kanak bukanlah soal meraih kemenangan.
Menggapai kejayaan dengan cepat pasca keterpurukan mungkin hanya
bisa diwujudkan dalam dunia game.
Anda bisa memainkan kode cheat atau
apapun di sana untuk memenangkan jagoan dan memukul musuh yang senjatanya
berkali-kali lipat lebih canggih. Namun pada kenyataannya, anda tidak bisa langsung
menyuruh berlari kepada seseorang yang yang baru pulih cedera patah kaki, kecuali anda adalah The Rock dalam film Fast Furious 7.
Dibutuhkan kesabaran dan kesadaran untuk membangun Milan
dari awal. Jika memang harus menjual 70% anggota skuat utama terlebih dahulu,
ya lakukan saja. Dan jika memang harus mulai mengisi skuat dengan pemain-pemain
muda dari klub-klub papan tengah Italia, mengapa tidak? Toh memang Milan sudah
berada di papan tengah dalam dua musim terakhir.
Jika memang harus menyebut nama, saya lebih suka jika Milan
memprioritaskan kedatangan Andrea Bertolacci, Alessandro Romagnoli, Nikola Maksimovic, dan Daniele
Baselli untuk disandingkan dengan pemain-pemain yang ada sekarang namun tampil
eksepsional musim lalu, seperti Jack Bonaventura, Diego Lopez, atau Stephan El
Shaarawy yang sudah mulai kembali pada performa terbaik.
No comments:
Post a Comment