Steaua Bucuresti, atau dikenal dengan nama Steaua Bucharest dalam lafal
Inggris adalah klub yang mencuri perhatian dunia pada dekade 1980an. Mereka
adalah klub blok timur pertama yang memenangi European Cup (kini Liga
Champions) sekaligus mengukir rekor tak terkalahkan dalam 104 pertandingan.
Segala prestasi itu bagaimanapun tidak lepas dari kontroversi demi kontroversi.
Valentin Ceaucescu, Anak Penguasa Yang Gemar Sepak Bola
Perawakan tinggi besar dan kepala plontos. Pelatih ini mungkin membuat
anak asuhannya takut. Catatan bermainnya juga tidak sembarangan. Gavrilia
Balint semasa bermain adalah penyerang dari klub yang lekat dengan militer
Rumania, Steaua Bucuresti di era 1980an. Karir Balint mungkin tidak seimpresif
kompatriotnya Florin Raducoiu apalagi Gheorghe Hagi.
Namun ada dua hal luar biasa yang ia pernah lakukan dalam karirnya.
Pertama adalah tendangan penalti yang menentukan ke gawang Barcelona. Kedua
adalah sebuah sundulan yang dilepaskannya ke gawang rival, Dinamo Bucuresti
dalam sebuah partai final Piala Rumania tahun 1988 yang menjadi puncak dari
gunung es penyakit persepak bolaan negeri ini.
Derby Steaua melawan Dinamo juga dikenal dengan The Eternal Derby. Segera
setelah gol tersebut, hakim garis mengangkat bendera tanda Balint berada pada
posisi offside. Jika gol di
menit-menit akhir tersebut bersih, maka Steaua akan dengan bangga menggenggam
gelar juara, namun pesta tersebut harus ditunda.
Pemandangan ini tidak mengesankan sekelompok orang yang duduk di boks
VVIP. Anda tidak akan terkejut membaca nama keluarga orang ini: Ceaucescu.
Seorang pria bernama Valentin Ceaucescu, tanpa basa-basi memberi isyarat
kepada para pemainnya untuk meninggalkan lapangan. Sebagai manager klub
sekaligus anak dari Nicolae Ceaucescu, sang penguasa Rumania, Valentin tentu
ingin melihat klubnya juara. Terlebih, pertandingan disaksikan sang ayah, yang
jelas-jelas kurang memberikan support
kepadanya untuk menjadi seorang manajer klub.
Kontan seluruh anggota tim Steaua meninggalkan lapangan. Mircea Lucescu,
pelatih Dinamo saat itu hanya menggelengkan kepalanya sambil mencoba
mempengaruhi pemain-pemain Steaua. “Ayolah, kalian ‘kan profesional,” ujarnya.
Namun hal itu tidak digubris para pemain klub berjuluk Militarii, klub yang
menjadi perpanjangan tangan militer Rumania ini.
Tiga puluh menit telah berlalu, pemain Steaua masih tidak mau melanjutkan
pertandingan. Wasit akhirnya memutuskan untuk menghentikan pertandingan lalu
menobatkan Dinamo Bucuresti sebagai pemenang. Namun beredar cerita bahwa
beberapa hari kemudian, piala diberikan kepada Steaua atas titah pemerintah.
Dinamo, yang sebenarnya juga didukung oleh satuan polisi rahasia di bawah
Departemen Dalam Negeri, telah menguasai liga Rumania di era 1970an. Dari
perspektif raihan gelar juara, dua klub ibukota ini adalah yang tersukses di
Rumania. Dinamo meraih 18 gelar, sementara Steaua 23. Kedua klub juga sama-sama
tidak pernah terdegradasi dari kompetisi tertinggi negeri ini.
Valentin, sebagai penggemar sepak bola tulen, merasa bahwa ia
menyelamatkan sepak bola Rumania dari permainan kotor para elit yang berada
dibalik Dinamo. Sebelum Valentin terjun langsung memanajeri Steaua, Dinamo
mengukir kesuksesan meski apa yang mereka gapai juga tidak lepas dari
kontroversi.
Mereka memang menjadi klub Rumania pertama yang melaju hingga babak
semifinal European Cup tahun 1984, namun kesuksesan mereka kala itu juga tidak
lepas dari bantuan polisi rahasia. Sebelum pertandingan The Eternal Derby
berlangsung, para polisi rahasia sering meneror pemain-pemain Steaua. Kapten
Tudor Stoica misalnya, diteror keluarganya yang berada di Craiova. Geram
melihat situasi demikian pada klub favoritnya, Valentin datang untuk
menyeimbangkan kekuatan.
Bagaimanapun, Jonathan Wilson dalam bukunya yang berjudul “Behind The
Curtain” menceritakan versi lain dari skandal tahun 1988 ini. Dikisahkan bahwa
Valentin tidak menyuruh pemain-pemainnya untuk melakukan aksi walk out, namun hal itu adalah instruksi
sang pelatih. Dan ketika Valentin hendak menyelamati tim Dinamo di ruang ganti
mereka, ofisial tim Dinamo lah yang memberikan piala tersebut kepadanya.
Entah mana yang benar, dalam pemerintahan seperti itu, segala cerita
memang simpang siur.
Valentin adalah seorang penggemar sepak bola, berbeda dengan saudara
mudanya, Nicu. Valentin tidak mau mengikuti langkah ayahnya di bidang politik.
Minatnya pada sepak bola dan ilmu pengetahuan fisika nuklir membuatnya menolak
dijadikan sebagai “putra mahkota”. Akhirnya sang ayah menyiapkan Nicu sebagai
penerusnya kelak, bukan Valentin.
Ditangan Valentin, Steaua mampu mendatangkan pemain manapun dari seluruh
penjuru negeri untuk bermain di klubnya. Jika ia melihat potensi pada salah
seorang pemain lawan, maka hampir bisa dipastikan bahwa sang pemain tidak lama
kemudian akan berganti kostum ke merah-biru.
Paling terkenal adalah Georghe Hagi. Pemain terbaik sepanjang sejarah
Rumania ini sempat “dipinjam” Steaua dari klub Sportul Studentesc hanya untuk
satu partai saja pada tajuk Piala Super Eropa tahun 1987 melawan Dynamo Kiev.
Maradona dari Carpathian kemudian mencetak gol tunggal kemenangan Steaua.
Setelah pertandingan itu, Steaua menolak mengembalikan Hagi kepada Sportul.
Hagi kemudian menjadi salah satu legenda klub dengan mencetak 76 gol dari 97
pertandingan.
Hasil fantastis kemudian diraih setelah kedatangan Valentin. Dengan
perannya sebagai mastermind, Steaua
mengukir rekor tak terkalahkan dalam 104 pertandingan selama kurun waktu Juni
1986 hingga September 1989. Sebuah rekor dunia saat itu, dan hingga kini masih
bertahan sebagai rekor Eropa. Rumor berkembang dengan kencang bahwa selain
kehebatan materi pemain, adanya permainan dengan ofisial pertandingan juga
berperan penting dalam rekor yang membawa kejayaan ini.
Sosok Valentin sendiri sangat dekat dengan pemain Steaua. Marius Lacatus,
striker Steaua pernah mengajak Valentin menginap di apartemennya ketika
revolusi yang menewaskan kedua orang tua Valentin pecah tahun 1989. “Bagi kami
(pemain Steaua), Valentin adalah teman yang baik, ia bukanlah bos,” papar Lacatus
soal kedekatan Valentin dengan pemain-pemain Steaua.
Meski kehebatan Steaua tidak lepas dari politik, tidak bisa dipungkiri
bahwa pada era tersebut Steaua mencetak tim terbaik sepanjang sejarah mereka. Steaua
mampu menjadi tim blok timur pertama yang memenangi Piala Champions tahun 1986.
Ya, mereka menjawab prestasi semifinal Dinamo tiga tahun sebelumnya dengan
gelar juara. Hasil ini mereka dapatkan dengan mengalahkan Barcelona dalam
sebuah partai final tak terlupakan di Stadion Ramos Sanchez Pizjuan, Sevilla,
lewat drama adu penalti.
Hilangnya Sang Raja Penalti Secara Misterius
Dalam drama tersebut, kiper Helmut Duckadam mampu menyelamatkan 4 penalti
secara beruntun, sebuah rekor yang bertahan hingga 2 dekade lebih. Sebelum akhirnya
penjaga gawang Sligo Rovers, Ciaran Kelly mengikuti prestasinya tersebut dalam
final Ford FAI Cup melawan Shamrock Rovers tahun 2010 lalu.
Adu penalti Steaua melawan Barca tersebut dapat disebut adu penalti paling
unik. Mihai Majearu, penendang utama Steaua maju sebagai algojo pertama hanya
untuk melihat kiper Javier Urruti memblok tendangannya. Duckadam kemudian
membalas dengan penyelamatannya atas tendangan Jose Alexanco. Penalti kedua
oleh Boloni kembali diblok Urruti, meninggalkan tekanan pada Duckadam. “Setelah
tendangan Boloni, pertarungan psikologis datang. Saya harus menahan tendangan
Angel Pedraza.” Ujar Duckadam. “Saya yakin Pedraza akan menendang ke sisi yang
sama dengan Alexanco, dan ternyata saya menebak dengan benar.” Empat penalti
pertama digagalkan kiper.
Tendangan ketiga diambil oleh penyerang andalan, Marius Lacatus. Dengan
tenaga yang cukup, ia menendang hingga membentur mistar gawang sebelum masuk.
Duckadam melanjutkan perannya. Ia kembali bergerak kearah yang sama, yaitu sisi
kanannya saat Pichi Alonso mengambil tendangan ketiga. Gavrilia Balint kemudian
menjadikan skor 2-0 untuk Steaua, membalikkan tekanan pada kubu Barcelona,
karena Marcos harus mencetak gol. Duckadam kemudian bergerak kearah sebaliknya,
yaitu arah kirinya. Ia menebak dengan benar dan Steaua juara.
Setelah laga ini, kontroversi kembali terjadi. Duckadam yang kemudian
didaulat sebagai pahlawan dan reputasinya saat itu menyamai atlet senam Nadia
Comenadici tiba-tiba menghilang setelah partai final. Penguasa mengatakan bahwa
ia ditembak oleh anak buah Ceaucescu, sebagian mengatakan bahwa tangannya
dipotong. Kubu militer cemburu pada kesuksesan yang ia dapat, melebihi
ketenaran dari penguasa.
Duckadam kemudian “muncul” kembali lima tahun berselang (setelah revolusi
saat Ceaucescu sudah dieksekusi) dengan tangan yang sudah sehat. Meski tidak
pernah ingin membahas kejadian buruk ini, namun diyakini bahwa Duckadam memang
dilukai tangannya oleh anak buah Ceaucescu, sehingga penyembuhannya memakan
waktu selama itu.
Pemain-pemain Steaua memiliki televisi, video dan kehidupan mewah dalam
bayaran mahal yang mereka terima. Sebuah hal ironis karena selama pemerintahan
Ceaucescu tersebut rakyat Rumania hidup dalam garis kemiskinan. Ceaucescu
terjebak pada utang negara yang besar. Demi membayar utang, Ceaucescu membatasi
jumlah dan kualitas makanan, listrik dan air. Ia juga hanya menyiarkan televisi
2 jam sehari, itupun dari satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah yang
ada. Tipikal kekuasaan totaliter.
Kemunduran
Seperti sempat disinggung, meski tim ini lekat dengan kontroversi, tidak
diragukan lagi, Steaua era ini adalah
tim terbaik sepanjang sejarah mereka. Mereka dihuni oleh pemain-pemain bagus.
Miodrag Belodedici adalah libero elegan yang juga pemain pertama yang merebut
Piala Champions di lebih dari satu klub. Selain di Steaua, Belodedici juga
meraih gelar ini di klub negara nenek moyangnya, Red Star Belgrade tahun 1991.
Laszlo Boloni adalah pengatur permainan handal dari Hongaria, sementara lini
depan diisi duet maut Marius Lacatus dan Victor Piturca.
Kesuksesan Steaua tidak hanya setahun, menunjukkan mereka bukanlah tim
“one hit wonder”. Mereka kemudian melaju hingga semifinal European Cup tahun
1988, dan final tahun 1989 menghadapi the
dream team AC Milan. Di final tersebut, mereka secara tragis menyerah 0-4
dari tim yang dihuni duet Ruud Gullit dan Marco Van Basten. Dua pemain Belanda
itu mencetak masing-masing dua gol untuk Rossoneri.
Kekalahan atas Milan tersebut sekaligus mengakhiri kejayaan Steaua hingga
kini. Di tahun yang sama dengan laga itu, revolusi kemudian pecah pada bulan
Desember. Revolusi menggiring Nicolae Ceaucescu dan istrinya, Elena ke tiang
eksekusi. Ketiga anak mereka, Valentin, Zoia dan Nicu tidak ikut dieksekusi.
Hukuman mati ini sekaligus mengakhiri tirani mereka selama 22 tahun sekaligus
memasuki era baru yang menandai masuknya kapitalisme.
Seperti yang sudah-sudah, kapitalisme kemudian melucuti kekuatan tim ini.
Meski sempat merebut 3 gelar liga domestik, mereka tidak dapat mengelak dari
gravitasi baru berbentuk uang. Ya, uang juga yang akhirnya membawa Georghe Hagi
dan kawan-kawan meninggalkan negeri untuk kemudian terbang ke arah barat untuk
bermain di kompetisi kapitalis yang lebih menjanjikan (saat itu).
No comments:
Post a Comment