Vincenzo Montella telah memberikan kegembiraan bagi pendukung Milan. Sejak ditunjuk sebagai pelatih I Rossoneri pada Juli tahun 2016, pria berusia 42 tahun ini memberikan identitas bagi permainan kesebelasan yang berdiri tahun 1899 ini, yaitu pola dasar 4-3-3 menyerang dengan mengedepankan penguasaan bola serta eksploitasi sisi sayap.
Montella juga terlihat tidak ragu melanjutkan kerja keras pendahulunya, Sinisa Mihajlovic, dalam mengorbitkan pemain-pemain muda. Ia percaya pada Donnarumma, si remaja ajaib yang belum berusia 18 tahun, terus memberi tempat pada Locatelli yang masih berusia 18 tahun untuk memainkan peran Montolivo yang cedera panjang, juga memaksimalkan potensi Suso Fernandez yang menemukan kepercayaan diri setelah dipinjamkan setengah musim ke Genoa.
Selain itu, Montella juga berhasil memaksimalkan skuat yang tidak terlalu mewah ini menjadi satu kesatuan solid. Paletta yang meski ceroboh, dijadikannya tandem yang pas untuk Romagnoli. De Sciglio yang musim lalu kerap dikritik akibat inkonsistensi permainan, kini makin stabil permainannya. Ditambah lagi Jack Bonaventura yang makin menunjukkan kehebatannya sebagai pemain kunci, dan Carlos Bacca yang tetap tajam meski kerap meminta perlakuan dan perhatian lebih.
Hasilnya bisa dilihat bahwa Milan sempat nyaman menduduki posisi tiga besar, menjelma sebagai tim yang permainannya atraktif, dan utamanya memberi gelar Piala Super Italia dengan mengalahkan Juventus lewat drama adu penalti. Gelar ini merupakan gelar resmi pertama Milan sejak tahun 2011. Montella yang ketika masih bermain terkenal dengan selebrasi meniru pesawat terbang, kini sebagai pelatih, ia berhasil menerbangkan Milan berkat ide-ide cemerlang dan kharismanya.
Namun setelah tahun berganti, situasi ikut berganti. Milan yang tadinya calon kuat penghuni tiga besar, kini malah terancam gagal lolos ke ajang antarklub Eropa sama sekali. Selain tersingkir di ajang Coppa Italia, Milan juga tampil buruk di Seri A Italia. Berturut-turut, Ignazio Abate dan kawan-kawan kalah dari Napoli, Udinese dan Sampdoria. Napoli dan Sampdoria bahkan berhasil memperoleh tiga poin dari Milan saat pertandingan berlangsung di San Siro.
Rangkaian kemunduran ini seperti membawa Milan terjun bebas. Pesawat terbang Montella oleng seiring rontoknya awak-awak kunci Rossoneri karena cedera dan hukuman. Bonaventura cedera hingga akhir musim, begitu pula masalah kebugaran De Sciglio dan Romagnoli yang kerap memaksa mereka absen dua-tiga pekan. Intensitas tinggi permainan Milan di bawah Montella juga menjadi faktor buruknya level kedisiplinan para penggawa Rossoneri. Hingga kini, total sembilan kartu merah telah dikeluarkan wasit untuk Milan, padahal sepanjang musim lalu, Milan hanya tiga kali dihukum kartu merah.
Dalam momen tidak mengenakkan ini, kita semua pun jadi terpaksa teringat, bahwa Milan memang begitu jarang memenangi pertandingan dengan nyaman musim ini. Banyak sekali kemenangan Milan yang didapat dari gol-gol yang terjadi pada menit akhir. Bacca, Lapadula, Pasalic, bahkan Paletta bergantian mengakhiri pertandingan sebagai pahlawan. Ini tidak hanya indikasi tim yang memiliki mentalitas baja, tetapi sekaligus tim yang belum benar-benar mendominasi lawannya.
Dalam kondisi ini, Montella pun tidak mengganti pola dasar 4-3-3. Ia tetap menggelar formasi ini bahkan misalnya ketika Milan dilanda krisis fullback. Romagnoli dipasang sebagai bek kiri ketika berhadapan dengan Sampdoria, di mana Milan menyerah 0-1 di hadapan publik sendiri. Well, kalau bicara taktik, saya tidak akan berlagak lebih tahu daripada Montella, karena dialah yang setiap hari memantau latihan Milan, bukan saya. Bukan pula para pundit berdasi.
Namun Silvio Berlusconi yang hingga kini masih menjabat sebagai presiden Milan, tentu merasa memiliki otoritas. Seperti biasa, ia selalu melawan kebijakan pelatihnya yang tidak memainkan dua penyerang di depan seorang trequartista. Sebagai trequartista masokis yang terbiasa dimanjakan kepiawaian Boban, Rui Costa atau Kaka, Berlusconi berkeyakinan bahwa seorang Suso merupakan penerus ideal sosok-sosok inspirasional itu, bukannya sebagai inverted winger. Montella pun masih teguh pada pendiriannya bahwa formasi 4-3-3 merupakan yang terbaik untuk Milan dengan kondisi skuat saat ini. Sebagai pelatih, Montella tentu saja tidak kaku soal taktik. Ia pernah terbiasa menggunakan pola tiga bek saat menukangi Fiorentina atau Catania. Tapi menggunakan tiga bek di skuat Milan saat ini? Rasanya Montella tidak gila-gila amat untuk mencobanya. Hal yang sama pula ia terapkan pada ide menaruh Suso di posisi trequartista.
Akan tetapi, Anda tentu saja tahu konsekuensi jika melawan ide sang bos. Ketika Anda berhasil, sang bos tentu tidak akan berkata apa pun, tetapi ketika Anda gagal, ia akan berteriak betapa keras kepalanya Anda yang tidak mau mengikuti sarannya.
Saya tidak bermaksud bilang kalau Montella hanya terpaku pada satu sistem. Jelas banyak sekali elemen micro-tactic yang begitu luwes dimainkan ketika Milan berada di bawah arahan pelatih yang satu ini. Namun kini Milan kembali pada penyakit lama, yaitu kesulitan menembus lawan yang menerapkan pola bertahan total dan serangan balik kilat. Sampdoria dan Udinese sudah berhasil mengangkangi Milan lewat cara ini, dan bukan tidak mungkin akan diikuti tim-tim lain.
Kalau sudah begini, absennya Bonaventura memang sangat terasa. Tapi setidaknya, musim ini Montella masih lebih 'beruntung' karena masih mempunyai pemain-pemain muda berbahaya selevel Deulofeu atau Ocampos di lini serang, ketimbang musim lalu yang disisakan Kevin-Prince Boateng dan Mario Balotelli yang sudah demotivasi ketika M'baye Niang yang sedang on fire tiba-tiba mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya cedera panjang.
Sekali lagi, saya tidak ingin berbicara banyak soal taktik, tapi kok saya jadi teringat terus ucapan Fabio Capello: “Anda tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan satu sistem.”