Timnas Italia. Foto: Getty Images |
Sudah sejak seminggu lalu pelatih
Antonio Conte telah mengumumkan skuat timnas Italia. Banyak yang menyebut bahwa
ini adalah salah satu skuat paling minim talenta yang pernah dibawa Gli Azzurri
ke sebuah turnamen besar, dan karena alasan itu, Italia hanya pantas dipandang
sebagai kuda hitam, bukan lagi unggulan. Apakah saya sependapat? Bisa ya dan
tidak.
Jika dikatakan 23 pemain yang
dipanggil Conte begitu minim talenta dan nama besar, ya betul juga. Selain Buffon
dan trio BBC (Barzagli-Bonucci-Chiellini), praktis tidak ada nama pemain-pemain
Italia yang pantas muncul setidaknya sebagai 20 pemain terbaik dunia saat ini.
Sebetulnya Marco Verratti dan Claudio Marchisio boleh jadi pantas masuk daftar,
tetapi sayangnya mereka menderita cedera.
Hilangnya Verratti dan Marchisio
jelas sebuah pukulan besar. Pasalnya, mereka berdua boleh dikata sebagai yang
terbaik di posisi gelandang Italia saat ini. Verratti mampu menjadi roh
permainan skuat bertabur bintang Paris SG, sementara Marchisio memotori
kebangkitan Juventus sejak putaran kedua kompetisi Seri A Italia musim ini,
sekaligus melepas ketergantungan Juve pada sosok Andrea Pirlo yang telah
hengkang ke kompetisi MLS.
Tanpa keduanya, Conte memanggil
Daniele De Rossi dan Stefano Sturaro. De Rossi dihadirkan kembali setelah dalam
dua tahun terakhir hanya dua kali memperkuat Gli Azzurri untuk mengisi posisi
sentral yang ditinggalkan Verratti, sementara Sturaro disiapkan sebagai pelapis
Thiago Motta, Marco Parolo dan Alessandro Florenzi. Padahal untuk memercikkan
kreativitas, Conte masih bisa memanggil Giacomo Bonaventura, Franco Vazquez atau Jorginho, yang musim ini
begitu memukau bersama Milan, Palermo dan Napoli, atau bahkan memanggil kembali Pirlo.
Dengan minimnya talenta, kreasi,
fantasi sekaligus pengalaman, saya jadi merasa dejavu dengan situasi skuat Italia pada Piala Dunia 2010. Saat itu,
pelatih Marcello Lippi begitu percaya diri dengan tidak menyertakan
pemain-pemain bertalenta seperti Antonio Cassano dan Fabrizio Miccoli meski
saat itu permainan keduanya tengah cemerlang. Lippi memiliki pandangan sendiri,
bahwa tidak dipanggilnya Miccoli adalah semata alasan teknis, sementara Cassano
ditinggalkan karena memiliki perangai buruk.
Semua sudah tahu bagaimana hasil
Italia di Piala Dunia yang diselenggarakan di Afrika Selatan itu. Italia tidak
mampu mengalahkan Paraguay, Selandia Baru dan Slowakia, dan akhirnya gagal
lolos ke babak 16 besar. Saat itu Italia terlihat begitu sulit menembus lawan
yang bermain bertahan. Ketiadaan sosok playmaker
kreatif membuat serangan negeri Peninsula begitu monoton dan mudah dipatahkan.
Bukannya bermaksud mengatakan situasi
2010 sudah pasti berulang di Piala Eropa 2016 ini. Meski tanpa para ‘pemikir’
di lapangan tengah, timnas Italia asuhan Conte jelas masih berpeluang untuk
memberi kejutan. Conte begitu menitikberatkan mental dan karakter alih-alih
talenta, dan hasilnya Italia ala Conte sulit dikalahkan, meskipun tidak dapat
dikatakan impresif karena selama babak kualifikasi, hanya sekali saja mereka
berhasil mencetak lebih dari dua gol, yaitu kala bertandang ke Azerbaijan.
Italia tetaplah Italia. Langkah
mereka tetap sulit ditebak. Jika diremehkan, biasanya mereka malah tampil impresif.
Jika keberangkatan diiringi banyak persoalan, mental juara mereka akan terlecut
untuk kemudian mengejutkan banyak orang. Dari dulu, Italia memang selalu
melahirkan cerita tersendiri setiap kali memenangkan kejuaraan. Silakan baca
sendiri kisah mereka tahun 1930, 1934, 1982 dan 2006.
Tetapi, tradisi ini sepertinya
hanya berlaku bagi Italia di ajang Piala Dunia. Justru di ajang Piala Eropa,
Italia sepertinya kurang bersinar. Mereka hanya mampu memenangi sebuah trofi,
yaitu tahun 1968, dan hanya dua kali meraih posisi runner-up yaitu tahun 2000 dan 2012. Kemenangan tahun 1968 pun
didapat pada saat klub-klub asal Italia merajai kompetisi Eropa. Dalam dekade
60an tersebut, duo Milan dan Inter masing-masing memenangi dua gelar Piala
Eropa (sekarang Liga Champions). Pemain-pemain yang menghuni skuat Azzurri pun
banyak disumbang duo klub kota mode seperti Gianni Rivera, Sandro Mazzola atau
Giacinto Facchetti. Keadaan yang begitu jauh berbeda dengan sekarang.
Kini, skuat Italia dapat
dikatakan hanya mengandalkan kokohnya pertahanan. Tetapi faktor ini dapat
menjadi pembeda. Seperti pernah diungkapkan pelatih legendaris Sir Alex
Ferguson, “Attack wins you games, defence
wins you titles”. Dalam pertandingan-pertandingan turnamen yang berjalan
ketat, pertahanan yang kuat dapat memberi perbedaan hasil pertandingan. Andai Buffon
dan trio BBC terus fit sampai akhir turnamen, Italia jelas memiliki harapan. Conte
sudah begitu mengenal mereka dan tahu betul cara memaksimalkan keempatnya.
Hal yang cukup mengkhawatirkan
terlihat di barisan gelandang dan penyerang. Selain minimnya sosok kreatif, para gelandang ini juga kurang berpengalaman. Hanya De
Rossi dan Candreva yang memiliki catatan caps di atas 30. Sementara di barisan
penyerang, tidak ada di antara nama Graziano Pelle, Simone Zaza, Eder, Ciro Immobile dan Lorenzo Insigne
yang bahkan sudah mengumpulkan 15 caps! Terhadap fenomena ini, Conte memang
tidak banyak pilihan. Italia memang sudah cukup lama tidak memiliki lini depan
menakutkan pasca era Christian Vieri, Filippo Inzaghi dan Alex Del Piero. Namun
sebetulnya Conte memiliki pilihan untuk memanggil Domenico Berardi, Nicola Sansone atau Andrea
Belotti, tiga penyerang muda berbakat demi kepentingan regenerasi.
Akan sampai di mana perjalanan
timnas Italia? Sekali lagi, hasil pertandingan sepak bola antara tim mana pun
tidaklah dapat ditebak. Sepak bola dapat dikatakan sebagai olahraga yang penuh
faktor kejutan. Tim terbaik tidak selalu menang, dan keberadaan pemain-pemain
terbaik bukanlah jaminan juara. Kokohnya pertahanan Italia dapat menutupi kelemahan yang mencolok di lini depan. Saya pun akhirnya setuju bahwa dengan segala keterbatasan, Italia setidaknya memiliki kapasitas untuk dapat merepotkan tim-tim unggulan seperti Prancis, Jerman, Spanyol atau.. well.. Inggris.