Pages

Wednesday, May 23, 2012

Italia, menuju Euro 2012 tanpa prima punta

Please don't mess up this time, Mario

Salah satu adegan film non-action yang paling saya ingat adalah ketika Julia Robert dengan lahapnya memakan seloyang Pizza di sebuah restoran di kota Naples. Dia melahap roti bundar pipih berlapis saos tomat, keju mozzarella dan potongan aneka daging salami, ham dan bacon itu seolah tanpa beban.

Dalam perannya sebagai seorang wanita paruh baya, dia terlihat santai memakan slice demi slice makanan asli kota Naples itu seraya berkata. “I’m tired worrying about being fat and counting how many calories I’ve consumed each day. If my stomach is getting bigger, I would just buy a bigger trouser.”

Dari situ terlihat pola pikir yang sudah terbentuk dan tertanam di masyarakat Eropa dan masyarakat dunia barat pada umumnya, dan mindset demikian kini sedang menjalani masa-masa keemasannya di Indonesia, khususnya di Jakarta. Mindset untuk melakukan segala kesenangan tanpa mempedulikan dampak bagi kesehatan, dan juga tanpa memedulikan berapa harga yang harus dibayar.

Pizza hanyalah salah satu contoh makanan impor mahal yang ada di sekitar kita. Ingat pizza, kita akan mengingat salah satu negara kontestan Euro 2012, Italia. Negara yang memiliki tradisi dalam sepakbola ini adalah salah satu yang paling disorot oleh banyak pihak, walaupun tidak sekencang sorotan terhadap tim nasional Inggris. Dan kita sebagai penggemar sepakbola, apakah peduli jika harus begadang menyaksikan para jagoan yang jauh di belahan bumi barat sana beradu di turnamen besar? Sepertinya tidak. Sama halnya kita tidak peduli berapa lemak yang kita makan saat menyantap pizza.

Bicara tim nasional Italia bukanlah sekadar bicara pertahanan kokoh. Italia dikenal menghasilkan penyerang-penyerang hebat dan tampil menentukan di turnamen besar yang mereka jalani. Taktik bertahan akan sia-sia jika tidak memiliki striker yang piawai mencetak gol, karena strategi mereka tidaklah memberikan kemewahan berupa banyaknya peluang untuk mencetak gol. Italia butuh sosok penyerang efisien bertipe one chance, one goal.

Ketiadaan striker haus gol ini akan membuat tim azzuri miskin peluang untuk meraih prestasi. Dalam dua dekade ini, Christian Vieri adalah striker tertajam Italia dengan mencetak 23 gol dari 49 penampilannya di tim nasional, 9 gol diantaranya dicetak di Piala Dunia 1998 dan 2002. Di dua Piala Dunia dimana Vieri tampil gemilang tersebut, Italia hanya kalah adu penalti dengan Prancis di 1998 dan kalah kontroversial dari Korea Selatan di 2002.

Keberhasilan Italia tanpa sosok striker tajam terjadi di Piala Dunia 2006. Anomali ini tercipta karena mereka memenangi trofi emas Piala Dunia tersebut berkat penampilan kolektif dan cemerlangnya lini pertahanan, dimana mereka hanya kebobolan dua gol saja sepanjang turnamen.

Kini Italia menghadapi kondisi berbeda menyambut Euro 2012. Pelatih Cesare Prandelli berkali-kali menegaskan Italia tidak akan bermain bertahan. Namun kendalanya, Prandelli tidak lagi memiliki sosok prima punta. Beberapa kandidat posisi nomor 9 tersebut tampil kurang impresif musim ini. Gianpaolo Pazzini harus rela ikut ke Jakarta saja dalam tur bersama Inter Milan dan bukannya ke pusat latihan timnas, Alessandro Matri, Pablo Osvaldo dan Alberto Gilardino yang juga semula diharapkan, malah tampil tidak konsisten sehingga Prandelli meninggalkan mereka.

Italia memang masih punya Mario Balotelli, pemain berkarakter si nomor 9 terbaik dari yang tersisa saat ini. Namun ulah “maverick” sang wonderkid membuatnya tidak bisa diharapkan sepenuhnya untuk menjadi tumpuan mereka dalam mendulang gol. Prandelli seperti memasang bom waktu yang dapat meledak kapan saja dalam ruang gantinya. Jika dalam form dan attitude terbaiknya, Balotelli memang calon pemain kelas dunia. Momentum Euro 2012 ini seharusnya dia jadikan sebagai pembuktian kapasitasnya kepada semua yang meragukannya.

Prandelli menggantungkan asa kepada pemain paling berbakat dari generasi sebelum Balotelli, yaitu Antonio Cassano. Fantanito, si nomor 10, terlihat sudah mulai menemukan kembali sentuhannya setelah menjalani operasi jantung. Namun agak riskan untuk memaksakannya bermain penuh di sebuah turnamen besar dengan waktu recovery yang singkat. Fantanito butuh dukungan maksimal.

Jika sosok si nomor 9 dan nomor 10 masih diragukan karena alasan yang berbeda, Prandelli perlu menyiapkan si nomor 18, 19 dan 20 yaitu para penyerang pelapis. Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki membuatnya terkesan melakukan panic call-up. Prandelli memanggil para penyerang hijau di posisi ini macam Mattia Destro dan Fabio Borini. Untungnya, Prandelli masih memiliki secercah harapan dalam diri dua pemain yang tampil gemilang musim ini, Sebastian Giovinco dan Antonio Di Natale, yang sekali lagi sayangnya mereka bukanlah sosok prima punta.

Jika ingin menapaktilasi kejayaan Piala Dunia tahun 2006, Prandelli harus meyakinkan bahwa barikade pertahanan yang dimilikinya sudah sebaik era Fabio Cannavaro cs. Ada harapan mengingat pertahanan Italia kini didominasi oleh para Juventini, yang memegang rekor kebobolan paling sedikit di Seri a. Dengan sudah pasti kompaknya mereka, saatnya naik kelas dan menjadikan Euro 2012 sebagai penahbisan kelegendaan.

Sebagai penggemar La Nazionale sejak Roberto Baggio nyaris sendirian membawa Italia ke final Piala Dunia 1994, saya tentu berharap Italia mampu mengeluarkan permainan terbaiknya di Polandia-Ukraina. Minta tolong ya, Super Mario. No more fire, no more darts, no more… Just give us goals!

“Oke mbak, saya pesan Large Peperoni with extra parmesan cheese! Gak pake lama!”

2 comments:

  1. Memang agak "aneh" keputusan Prandelli ini. Selama di Fiorentina pun dia selalu punya sosok prima punta. Atau dgn kata lain, ia tidak punya sejarah menanggalkan prima punta. Apakah Prandelli melihat kesuksesan Juve musim ini yang berjaya tanpa kehadiran prima punta mumpuni? Well, let us see.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Keputusan yang sulit, tapi kalo gue jadi Prandelli sih bakal pilih Borini.

      Delete