Pages

Sunday, May 20, 2012

Perjalanan epik The Blues


John Terry, tetep gak mau ketinggalan

Crazy! Fairy tale! Wonderland! Epic!

Entah kata-kata macam apa yang mampu mewakili rangkuman perjalanan Chelsea musim 2011/2012 ini. Dua gelar prestisius yang diraih The Blues berupa Piala FA dan Liga Champions sama sekali tidak terbayangkan oleh siapapun jika melihat perjalanan roller-coaster yang mereka alami sepanjang musim.

Mereka mengawali musim dengan ekspektasi tinggi. Pelatih bereputasi tinggi bernama Andre Villas-Boas didatangkan, hasil-hasil bagus didapatkan. Strategi menyerang ala AVB merubah wajah Chelsea dimana pemain-pemain cepat macam Ramires dan Daniel Sturridge memegang peranan penting.

Namun perseteruan AVB dengan pemain senior mengakibatkan perpecahan dalam klub yang tercermin dari hasil-hasil buruk di lapangan. Belum lagi kasus rasis yang menimpa sang mistis John Terry yang sampai menjadi isu nasional berbuntut mundurnya Fabio Capello dari kursi kepelatihan The Three Lions. Puncaknya adalah ditinggalkannya Ashley Cole dan Frank Lampard dalam lawatan mereka ke San Paolo, Naples, di babak 16 besar Liga Champions melawan Napoli yang berujung kekalahan telak 1-3.

Kesabaran Abramovich sudah habis. Kekalahan 1-3 dari Napoli di turnamen trofi si kuping besar yang sudah menjadi obsesinya itu menjadi dosa tak termaafkan bagi Villas-Boas. Pelatih muda berbakat itu didepak, pro kontra melanda para pendukung yang mencibir labilnya sang oligarki, yang dianggap mulai mengikuti paham Zamparini-isme, merujuk pada kebiasaan Presiden Palermo Maurizio Zamparini yang hobi memecat pelatih, dan bahkan diisukan akan menangani sendiri Palermo musim depan.

Seperti tulisan saya
kemarin, Abramovich ternyata menyimpan senjata rahasia yang tidak pernah terpikirkan olehnya sekalipun dalam diri asisten AVB, Roberto Di Matteo. Italiano plontos yang selalu kalem dan pelit ekspresi ini tidak disangka mampu membangkitkan permainan The Blues dalam waktu yang sangat singkat.

Fernando Torres, Salomon Kalou, John Obi Mikel yang semula dicap sudah turun kelas menjadi pemain medioker bertransformasi menjadi pilar-pilar renaissance yang dibangunnya secepat kilat. Napoli mereka hajar balik 4-1, yang kemudian mempertemukan mereka dengan sang rival yang masih menyisakan rasa penasaran mereka, Barcelona.

Di dua leg melawan Barcelona inilah Di Matteo menunjukkan sentuhan emasnya. Menyadari bahwa manusia-manusia biasa Chelsea (kecuali John Terry yang mungkin bukan manusia biasa) bukan tandingan para alien Barcelona, Di Matteo mengembangkan strategi menunggu serangan lawan di belakang, lalu menyerang balik dengan memanfaatkan kekosongan yang ditinggalkan pemain bertahan lawan.

Orang sudah memvonis Barcelona akan mempertahankan gelarnya saat John Terry diusir keluar lapangan di
menit 37 saat leg kedua di Camp Nou. Namun siapa sangka kelihaian Ramires, bersahabatnya tiang gawang, ketangguhan Petr Cech dan ketenangan Fernando Torres mampu menjungkalkan para alien yang mempertontonkan sepakbola terbaik sepanjang masa itu. Sepakbola bukanlah melulu menyerang dan menguasai permainan. Darah Italia Di Matteo mengingatkan dunia bahwa bertahan adalah seni, yang mampu membawa Italia empat kali memboyong trofi emas Piala Dunia.

Banyak orang boleh berkata bahwa Chelsea dinaungi keberuntungan semata, sepakbola yang mereka mainkan juga dianggap sebagai sepakbola negatif dan tidak menarik. Namun sedikit yang menyadari bahwa mereka mempertontonkan kesabaran, kegigihan dan keteguhan mental. Bahwa dalam sepakbola, segalanya tidak pasti dan tidak ada tim yang selalu menang. Mereka memang bukan sekumpulan pemain yang mampu memainkan 30 passing dalam semenit, bukan tim yang mampu mencetak lebih dari 100 gol dalam semusim, namun mereka mampu menghukum lawan hanya dengan satu atau dua peluang saja.

Dan puncak panggung fairy tale Chelsea dan Di Matteo telah sama-sama kita saksikan semalam. Bermain sebagai underdog, Chelsea mampu membungkam tuan rumah Bayern Muenchen dengan cara yang dramatis. Banyak blogger dan media lain sudah membahas bagaimana Di Matteo menurunkan susunan pemain tidak lazim dengan memasukkan Salomon Kalou dan Ryan Bertrand di sektor sayap. Di Matteo menyadari berbahayanya serangan sayap Muenchen, maka dia menempatkan pemain ekstra disana. Begitu pula penempatan duo Franck Lampard dan John Obi Mikel untuk meredam double-pivot dinamis Bastian Schweinsteiger dan Toni Kroos.
Kredit pantas diberikan kepada pertahanan kokoh Chelsea yang melakukan 21 blok terhadap tembakan pemain-pemain Muenchen. Pertahanan kokoh yang dihuni duet Gary Cahill dan David "Sideshow Bob" Luiz ini sungguh menolong tim yang menderita akibat bolongnya lini tengah. Hal ini terjadi akibat Frank Lampard dan John Obi Mikel dikeroyok para gelandang Muenchen, buntut dari strategi penumpukan pemain sayap yang dilakukan Di Matteo.

Seakan sudah terbiasa dengan kesulitan -refleksi perjalanan mereka musim ini-, Chelsea tidak gentar saat Thomas Mueller menanduk umpan Toni Kroos di menit 83 untuk membuat Munich Fussball Arena meledak. Mereka terus mencoba menyamakan kedudukan. Kerelaan Fernando Torres mengorbankan posisi naturalnya demi memberi tekanan kepada Diego Contento dari sayap kanan membuahkan tendangan penjuru, yang akhirnya membawa Didier Drogba menyamakan kedudukan lewat sundulan kerasnya. Muenchen boleh mengutuk rangkaian kegagalan mereka memaksimalkan peluang yang sebenarnya bisa membuat mereka mengakhiri perlawanan Chelsea lebih awal.

Muenchen sebenarnya diberi satu kesempatan lagi untuk membawa pulang si kuping besar andai Arjen Robben mampu mengeksekusi penalti di babak perpanjangan waktu, namun penyelamatan heroik Petr Cech membuat pemain yang sudah gagal di dua final tahun 2010 itu kembali menjadi pesakitan.

Dan di drama adu penalti, Muenchen sepertinya kehabisan stok eksekutor handal. Ivica Olic sudah bukan lagi penghuni skuad reguler. Bastian Schweinsteiger sebenarnya sudah menunjukkan ketidaksiapan mentalnya terlihat dari ketakutannya dia menyaksikan eksekusi Robben sebelumnya. Robben sendiri nampaknya mengalami traumatik sehingga tidak dimasukkan ke daftar eksekutor.

Chelsea terlihat sudah siap dengan situasi tos-tosan ini. Terbukti Petr Cech telah mempelajari video adu penalti Muenchen lawan Madrid di semifinal, dengan mampu menebak seluruh tendangan yang dilakukan eksekutor Muenchen. Dia menepis tendangan Ivica Olic, yang menegaskan bahwa si pemain kidal cenderung mengarahkan bola ke sebelah kanannya. Dan akhirnya eksekusi dingin Didier Drogba menorehkan tinta emas dalam sejarah Chelsea untuk merebut trofi Liga Champions kali pertama.

Rasa penasaran Abramovich sudah terjawab, begitu pula rasa dahaga Didier Drogba dan Frank Lampard, duo pemain senior yang sudah di usia senja dan boleh jadi sudah mendekati akhir karirnya. Namun bagi Di Matteo, yang nampaknya pasti dipermanenkan jika Abramovich asal sang oligarki tidak dalam keadaan hangover saat mengambil keputusan, ini adalah awal dari sebuah era baru.

Jika dunia melihat Di Matteo yang dalam kondisi "kepepet" sepanjang musim ini mampu membawa Chelsea meraih prestasi gemilang, kini publik menanti apakah Di Matteo mampu menahkodai kapal besar ini dalam kondisi lebih pasti dan tenang. Namun kondisi yang kondusif itu sudah ditunggu hadangan badai yang pasti lebih kuat. Keberuntungan juga belum tentu menyapa lagi, entah dalam bentuk tiang gawang atau apapun.

Tapi lupakanlah sekilas esok hari, saatnya The Blues merayakan momen bersejarah ini. Selamat, Blues! Selamat, Di Matteo!

4 comments:

  1. nice post, salam dari fans chelsea :)

    ReplyDelete
  2. Thanks :) congrats for the blues!

    ReplyDelete
  3. merinding saya min bacanya :D chelsea bukan tim yang dinaungi keberuntungan , terbukti saat menghajar barcelona dengan bertahan yang mungkin "ditiru" madrid (atau meniru ya?) yang juga memenangkan pertandingan el clasico , ini adminnya indo marko marin atau bukan? KTBFFH!

    ReplyDelete
  4. Ini blog bola pribadi kok, bukan admin siapa-siapa.. hehehe.. Dengan bertahan atau menyerang dengan baik, tim akan memang cenderung dinaungi keberuntungan.

    ReplyDelete