Pages

Saturday, May 12, 2012

Menyambut hari-hari tanpa legenda di Milanello

Trio Legenda

Musim ini boleh jadi musim yang kurang ideal buat AC Milan, dilihat dari hasil maupun bakal hengkangnya para pemain senior yang selama ini menjadi tulang punggung tim.

Milan Lab seolah menjadi lelucon karena pemain-pemain Milan seperti berduyun-duyun masuk kesana tanpa henti. Apresiasi tetap patut dialamatkan kepada Max Allegri dan para pemainnya yang bermain nyaris 3 hari sekali sepanjang musim. Dengan pemain yang itu-itu saja tersebut, Milan mampu meraih posisi runner-up seri a, menembus perempat final Liga Champions dan semi final Coppa Italia.

Musim belum berakhir, Milan sudah dihantui kepergian para pemain senior mereka, sebagian diantaranya berstatus legenda. Alessandro Nesta, Claerence Seedorf, Gianluca Zambrotta, Mark Van Bommel dan Filippo Inzaghi sudah menyatakan pasti meninggalkan Milanello musim depan. Ditambah lagi, Massimo Ambrosini, Massimo Oddo dan Gennaro Gattuso yang nampaknya segera menyusul.

Milan adalah tim yang identik dengan pemain-pemain senior, sebagian menyebutnya pemain-pemain tua. Orang boleh mencibir, tapi pemain-pemain tua ini mampu mempertahankan konsistensi permainan mereka di level tertinggi untuk waktu yang relatif lama. Bukan hanya menyangkut kuantitas penampilan, namun kualitas senantiasa mereka pertontonkan di lapangan, dan bukti sahih dari kualitas tersebut mereka torehkan abadi dalam bentuk berbagai gelar juara yang Milan raih.

“We hoped, suffered, celebrated and rejoiced. We lifted cups and won titles together in our hearts. We have always been on the same wavelength. And no one can ever take that away from us.” Demikian kata-kata pembuka yang sangat menyentuh dari surat terbuka Pippo Inzaghi kepada Milan dalam perpisahannya.

Ingatan saya beranjak kepada momen saat Milan menggaet Alessandro Nesta sepuluh tahun lalu dari Lazio. Itu adalah berita paling menggembirakan buat saya sebagai tifosi Milan karena Nesta saat itu adalah bek terbaik dunia dengan usia yang masih sangat produktif, 26 tahun. Duetnya bersama Paolo Maldini di jantung pertahanan Milan membentuk tembok yang sangat sulit ditembus, sehingga mereka sangat sulit digeser bahkan oleh bek-bek potensial saat itu yang menjadi pelapis mereka, Fabricio Coloccini, Roque Junior, Kakha Kaladze, Martin Laursen, Daniele Bonera hingga Ogichi Onyewu.

Coloccini cs bukanlah pemain jelek, namun mereka tidak memenuhi standar Milan yaitu: class. Seperti sudah tertulis dalam tinta emas klub, Milan adalah tempatnya pemain-pemain berkelas. Mereka bukan hanya bertehnik tinggi, namun mereka mampu menjaga konsistensi permainan dalam waktu yang lama. Perbincangan saya dengan seorang penggila sepakbola di twitter menyimpulkan bahwa konsistensi permainan adalah makna tersirat dari frase “form is temporary, class is permanent.”

Kehilangan para senior adalah kehilangan kelas dan pengalaman dalam permainan. Tidak ada lagi sosok tenang dan kalem yang mampu mengatrol mental tim saat terdesak dan berada dibawah tekanan. Tidak akan ada lagi yang meneriaki mereka untuk bangkit saat gempuran lawan membuat mereka grogi.

Anda boleh mencibir Claerence Seedorf yang pada hari terburuknya sering seperti “anak hilang” di lapangan. Tapi tidak ada yang membantah kontribusi gelarnya di ranah Eropa dimana dia mampu memenangi empat gelar Liga Champions dengan tiga klub berbeda.

Anda juga tidak dapat mengabaikan Pippo Inzaghi. Striker ceking ini sering mendapat cibiran akan permainannya. Johan Cruyff secara sinis pernah berkomentar “Dia bukan pemain bola, lihat saja cara dia menggiring bola.” Tapi bagaimanapun statistik tidak mampu berbohong bahwa Pippo adalah salah satu striker dengan rekor gol terbaik di Eropa. Dua golnya ke gawang Liverpool pada final Liga Champions 2006/2007 memberikan Milan gelar ketujuh kejuaraan terbesar antar klub Eropa tersebut.

Saya telah menyaksikan klub favorit saya ini kehilangan pemain-pemain terbaiknya baik karena pensiun, habis kontrak maupun dijual demi keselamatan keuangan klub. Kepergian Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka dan Andrea Pirlo adalah momen-momen emosional yang menyedihkan. Dan kini, Milan bukan hanya kehilangan satu atau dua pemain juara, tapi delapan pemain.

Dalam pendapat pribadi saya, Milan kini hanya memiliki Thiago Silva, Zlatan Ibrahimovic dan Antonio Cassano sebagai pemain yang memiliki kelas setara dengan para legenda itu. Jika ingin berprestasi musim depan, Adriano Galliani dan Ariedo Braida punya tugas maha berat. Mereka perlu menggiring pemain kelas dunia ke Milanello, bukan sekadar menjadikannya saga transfer yang berlarut-larut.

Terima kasih Nesta, Seedorf, Zambrotta, Van Bommel, Inzaghi. Terima kasih juga kepada Ambrosini, Gattuso, dan Oddo. Kalian boleh saja tidak berada disini lagi, namun apa yang kalian berikan tidak akan terlupakan begitu saja.

“Thank you Milan, thank you football. Allow me to call you my own, the people of Via Turati, from Milanello to the offices to the phone operators to the warehouse workers, the physiotherapists, the doctors, the cooks, from the stadium to the changing room. Ciao to my wonderful fans who followed me the world over with affection and passion. Ciao to my team mates from today and yesterday.”

Demikianlah kutipan kata-kata penutup dari surat terbuka Filippo Inzaghi kepada Milan dan fansnya di seluruh dunia. Kata-kata dari seorang pemain yang selalu memberikan segalanya di lapangan, dengan segala kejeliannya memanfaatkan peluang di mulut gawang dan selebrasinya yang liar. Pippo dan kawan-kawan tentunya berharap kepergian mereka bukanlah untuk ditangisi namun menjadi pelecut lahirnya siklus baru di Milanello.

Sebuah era boleh saja berakhir, namun seperti layaknya sebuah pohon, jatuhnya sehelai daun ke tanah akan memberi kesempatan kepada daun baru untuk tumbuh, dan pohon itu akan tetap berdiri. Kehidupan akan terus berjalan, gelar demi gelar akan siap direbut. Karena gelar juara adalah nafas kami di setiap musimnya.

FORZA MILAN!!

No comments:

Post a Comment