Pages

Thursday, November 5, 2015

Rashidi Yekini, Cerita Tragis Sang Legenda Nigeria

Rashidi Yekini di Piala Dunia 1994 (photo from Guardian)

Tahun 1994, selebrasi mengoyak gawang dengan tangan yang dilakukan Rashidi Yekini ke gawang Bulgaria yang dijaga oleh Borislav Mihaylov menjadi salah satu pemandangan ikonik dalam sejarah Piala Dunia. Gol pembuka yang menandai kiprah tim nasional Nigeria di ajang Piala Dunia. Laga tersebut kemudian berakhir dengan kemenangan 3-0 Super Eagles atas sang lawan.

“Yekini tahu apa yang ia inginkan, dan apa yang ia ingin lakukan untuk negaranya. Ia juga selalu siap mengorbankan apa saja untuk tim yang dibelanya. Sebagai pesepak bola, kita memang kadang terlalu terbawa suasana, dan itulah yang terjadi saat ia mencetak gol ke gawang Bulgaria,” ujar Thomson Oliha, rekan setim Yekini yang juga anggota timnas Nigeria di Piala Dunia 1994 seperti dikutip dari Guardian.

Berbicara tentang kiprah Nigeria di Piala Dunia pertamanya itu, nama Rashidi Yekini jelas tidak dapat dilepaskan. Berkat gol-gol yang dicetaknya, Nigeria menggapai tiket Piala Dunia pertama mereka sepanjang sejarah. Ia adalah seorang superstar di eranya. Jika memang dunia tidak belum mengakui, namun setidaknya di negerinya sendiri, ia menjadi teladan bagi para pesepakbola muda. 

Yekini adalah potret penyerang komplet nomor sembilan klasik. Kuat, cepat dan berbahaya di wilayah kotak penalti lawan. Jika dunia lebih mengingat kehebatan Gabriel Omar Batistuta, Alan Shearer atau Ronaldo Luiz Nazario, Yekini hanya tidak beruntung karena berada satu zaman dengan mereka. Bahkan di benua Afrika sendiri, namanya masih kalah terkenal dari George Weah, Abedi Pele atau Didier Drogba. Padahal Yekini adalah topskor sepanjang masa timnas Nigeria dengan torehan 37 gol dari 58 laga dan telah mengukir banyak rekor sepanjang karirnya.

Ya, Yekini dapat disebut sebagai manusia rekor dalam sepak bola Nigeria. Selain catatan gol terbanyak yang hingga kini belum terpecahkan, Yekini adalah pemain Nigeria pertama yang meraih penghargaan pemain terbaik Afrika melalui gelar yang diraihnya tahun 1993. Selain itu, Yekini menjadi topskor dalam Piala Afrika 1994 ketika tim Super Eagles menjadi juara. Tidak hanya itu, seperti dijelaskan pada awal tulisan, Yekini juga menjadi pencetak gol perdana untuk timnas Nigeria di ajang Piala Dunia. 

Karirnya di kancah klub juga tidak kalah gemilang. Setelah menunjukkan ketajaman di klub lokal Shooting Stars dan melanglang buana di klub-klub Afrika lainnya, Yekini hijrah ke Eropa. Ia menyebrangi lautan ke negeri Portugal untuk membela klub kota kelahiran Jose Mourinho, Vitoria Setubal. Ia melegenda di kota ini berkat sumbangsih 90 golnya hanya dari 108 laga saja.

Awal hingga pertengahan tahun 1994 memang tahun terbaiknya. Mungkin saja seumur hidupnya. Selain raihan gelar juara beserta topskor di Piala Afrika, ia juga menjadi pencetak gol terbanyak di Divisi 1 Liga Portugal, memainkan debut Piala Dunia, dan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya, Adeola. Jika boleh memilih, mungkin saja ia akan meminta periode ini untuk tidak pernah beranjak.

Selepas Piala Dunia yang kian melambungkan namanya, Yekini yang juga seorang Muslim terus berkarir di Eropa bersama Olympiacos dengan mengantongi kontrak bernilai 100 ribu pounds per bulan. Namun ternyata, keputusan pindah ke Yunani tidak baik untuknya. Ia hanya bertahan selama empat laga unutk kemudian tidak dimainkan karena bertengkar dengan rekan satu tim dan pelatihnya. Bahkan pernikahannya yang baru seumur jagung ikut kandas.

Yekini lalu pindah ke Sporting Gijon pada tahun berikutnya, di mana sejak saat itu karirnya tidak pernah kembali seperti saat ia bermain di Portugal. Setelah kembali ke Setubal untuk kedua kalinya, Yekini hijrah ke Swiss dan bermain di Zurich. Petualangannya di Eropa berakhir tahun 1998, namun ia belum memutuskan gantung sepatu.

Keputusannya untuk pulang kampung disambut meriah oleh publik. Meski tidak terlalu mendapat sorotan dunia, di Nigeria ia tetap dipandang sebagai legenda. “Kehebatannya menjadi patokan bagi penyerang-penyerang Nigeria selanjutnya. Penyerang-penyerang bagus memang datang meneruskan, tetapi belum ada yang mampu menyamai levelnya,” ujar Abiola Kazeem, jurnalis sepak bola Nigeria.

Yekini kemudian pensiun pada tahun 2005 di usia 42 tahun. Ketimbang menjadi pelatih atau menekuni profesi yang berhubungan dengan sepak bola, ia memilih menjalani kehidupan low profile. Di kota Ibadan, ia tinggal sendiri di sebuah apartemen.

Bermaksud memelihara kekayaan dengan berbisnis perhiasan, tanpa disangka uang investasi hasil tabungannya semasa bermain justru raib. Ibraheem, rekan bisnisnya yang sedang membawa uang Yekini ditembak oleh perampok, dan perampok itu membawa kabur uang Yekini. Banyak dugaan bahwa perampokan itu adalah skenario kotor dari lawan bisnisnya.

Sejak saat itu, Yekini mengalami depresi berat hingga penyakit-penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Akhirnya bulan Mei 2012 lalu ia menghembuskan nafas terakhir di usia 48 tahun. Seminggu sebelum kematiannya, mobil-mobil milik sang legenda berada dalam kondisi buruk dan belum diservis karena Yekini tidak punya uang untuk membayarnya.

Dalam wawancaranya, Adeola sang mantan istri menggambarkan kehidupan Yekini hancur karena ia dikelilingi oleh orang jahat yang memanfaatkannya. Ia lalu menggambarkan Yekini sebagai pria pendiam namun terlalu murah hati dan mudah percaya pada orang lain.

Sunday Oliseh, mantan rekannya di tim nasional Nigeria menilai tinggi sosok Yekini. “Ia adalah salah satu pesepak bola terbaik di benua Afrika. Mencetak gol amat mudah baginya,” tuturnya. “Namun sayangnya Yekini sering disoraki oleh pendukung sendiri karena penurunan performa di akhir karirnya,” lanjutnya. Sebuah contoh sikap buruk dari fans yang tidak menghargai jasa pahlawan mereka.

Oliseh menutup pernyataannya dengan kritik kepada pemerintah. Ia mengatakan bahwa selama 20 tahun karir gemilangnya di tim nasional, Yekini bahkan belum memperoleh hadiah sebuah rumah yang sejak lama telah dijanjikan untuknya. Potret kekejaman birokrat yang memalukan sekaligus mengingatkan kita pada apa yang umum terjadi di Indonesia di mana kisah pilu mantan atlit sudah biasa terdengar.

Sebuah akhir yang mengenaskan dari salah satu pemain terbaik yang pernah dihasilkan benua Afrika. Terhadap hal ini, Nwankwo Kanu, mantan penyerang Nigeria selepas era Yekini juga berkomentar tajam. “Percuma menangisi Yekini ketika ia sudah pergi, padahal ketika masih hidup, mereka mendiamkannya.”

No comments:

Post a Comment