Pages

Wednesday, October 7, 2015

Kusutnya Sepak Bola Indonesia Dari Tarkam Hingga Nasional

Kompetisi sepak bola antar kampung bukan wajah asing buat saya. Sedari kecil, saya melihat pertandingan sepak bola akar rumput ini di dekat rumah. Saya juga sempat bermain dalam beberapa pertandingan, dan saya juga kenal sebagian besar pemain, pengurus tim dan juga wasit.

Hasil terjun langsung inilah yang membuat saya bisa menyimpulkan seperti apa wajah sepak bola kampung ini, yang tentu saja menjadi cerminan dari sepak bola Indonesia. Walaupun terkesan steriotip dan generalisasi, tapi setidaknya saya percaya bahwa anda pernah mendengar ini semua.

Berikut beberapa di antaranya:

Nepotisme, Jalan Pintas dan Menghalalkan Segala Cara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme diartikan perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebih kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Perilaku nepotisme memang banyak terdapat di ranah birokrat, tapi sepak bola tidak lepas dari perilaku ini. Tidak perlu menyebut nama dan menunjuk hidung, tapi saya menyaksikan di depan mata sendiri kekecewaan salah seorang teman yang tidak terpilih memperkuat tim kecamatan karena kalah bersaing dengan anak dari salah seorang tokoh berpengaruh. Dilihat dari kemampuan, teman saya jelas lebih baik.

Bisa ditebak, perilaku semacam ini akan membatasi kesempatan bagi pemain-pemain yang memang memiliki kemampuan.

Cerita seperti ini tentu sering kita dengar di level kompetisi yang lebih tinggi seperti antar kecamatan atau yang setingkat nasional seperti PON. Di level timnas, Indra Sjafri dan Foppe De Haan bahkan pernah bercerita tentang fenomena pemain titipan di timnas Indonesia. 

Perilaku ini jelas memperlihatkan pikiran yang menghalalkan segala cara. Tidak sedikit pula kasus kolusi wasit (ingat tragedi sepak bola gajah PSS dan PSIS) yang muncul di permukaan, belum termasuk di divisi lebih rendah yang minim pemberitaan.

Instingtif dan Miskin Taktik
Di era sepak bola modern, kehebatan tim tidak ditentukan oleh kemampuan individu pemain, melainkan penggunaan taktik. Tidak usah berbicara modern tahun sekarang, tim nasional Swiss tahun 40an arahan pelatih Karl Rappan saja sudah berhasil menciptakan cikal bakal taktik catenaccio untuk menyiasati kekurangan skill individu pada timnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya malah pernah mendengar cerita miris pemain yang begitu berbakat dan ditempa latihan dari Eropa. Dalam sebuah pertandingan, si pemain didikan Eropa itu berlari lebih banyak ketimbang pemain-pemain lokal, tapi permainannya malah tidak efektif akibat teman-temannya malas berlari. Oleh pelatih, ia malah dicap seperti pemain yang bingung.

Mantan pelatih timnas, Jacksen F. Tiago sendiri pernah berkomentar bahwa pemain-pemain Indonesia dibesarkan dengan kultur ‘dribel heroik’. Pemain akan dipuja, dianggap hebat dan berbakat jika memiliki gaya main yang gemar menggoreng bola, lalu membawanya hingga ke depan gawang lawan. Tak peduli prosentase gagal-suksesnya atau efektif-tidaknya. Jika sudah mendribel bola melewati satu-dua pemain, pemakluman akan diberikan kepada si pemain jika dia salah melakukan umpan.

Begitu pula yang pernah saya dengar dari Nil Maizar, mantan pelatih timnas lainnya. Dalam sebuah pertandingan, Nil tidak berhenti berteriak “Sabar!” dan “Satu sentuhan!” kepada pemain-pemainnya. Karena memang kebiasaan pemain Indonesia yang kerap terburu-buru melepas bola lambung ke depan tanpa merancang permainan dengan rapi, atau kebiasaan pemain yang berlama-lama menggoreng bola tadi, bukannya menyentuh bola sesedikit mungkin namun mengalirkannya dengan efektif.

Sepak bola memang bukan olahraga yang rigid seperti baseball atau catur misalnya, tapi semata mengandalkan insting pun tidak. Instruksi untuk pemain sayap bukan sekadar “Kamu main di sayap, lari yang cepat!” atau “Kita bertahan total” “Kita main keras” tanpa ada arahan lebih lanjut. Tidak heran jika pemain-pemain Indonesia lebih banyak bermain dengan naluri ketimbang skema.

Pola pikir seperti ini memang bisa diterapkan untuk melawan sesama tim Indonesia. Tapi bagaimana jika menghadapi tim luar negeri? Sudahlah, ini hanya pertanyaan retoris.

Mental Jago Kandang, Perilaku Tidak Sportif dan Senang Kekerasan
Sepak bola memang olahraga yang penuh kontak fisik, yang tentu saja amat berpotensi menyulut keributan. Kekerasan bukan hanya terjadi antar pemain, tapi juga terhadap wasit, atau antar penonton. Namun yang terjadi di sini, pihak-pihak penyulut kekerasan ini masih saja melenggang bebas. Jika diinvestigasi, jawaban yang keluar hanyalah ‘oknum’, dan jika akhirnya dihukum pun nantinya akan cepat dibebaskan.

Pertandingan antar kampung akan dengan mudah menyulut keributan, siapa pun yang menang. Yang kalah, sudah pasti tidak terima. Pemainnya, ofisialnya, penontonnya sama saja. Saya pernah menyaksikan sendiri sebuah pertandingan final antar kampung yang berakhir rusuh karena yang kalah tidak bisa menerima kekalahan. Piala dibanting, wasit dikejar-kejar, pemain saling baku pukul, ofisial saling dorong. Bukan cerita aneh, kan?

Di sini, sepertinya kehormatan wilayah lebih penting dari apapun, dan semangat primordial dikedepankan. Di kampung sendiri, kita merasa amat superior. Perilaku jago kandang yang menggelikan. Banyak pemain yang bermain begitu bagus ketika membela daerahnya, tapi ketika digabungkan untuk ajang yang lebih tinggi, mentalnya tidak kuat, dan akhirnya bermain jelek. Percayalah, mentalitas seperti ini akhirnya berlanjut ke level negara.

***

Sebenarnya, masih ada beberapa yang terpikirkan, misalnya penggunaan doping, pencurian umur, manajemen ala warteg dan sebagainya. Memang, tidak semua pemain, pelatih, penonton dan elemen sepak bola Indonesia seperti itu. Tidak sepenuhnya benar, tapi tidak sepenuhnya salah, bukan?

Di negara sepak bola maju pun persoalan seperti ini terjadi. Tapi paling tidak mereka telah mempraktikkan pembinaan yang baik, mengelola kompetisi dengan profesional, dan memperhatikan nasib pemain. Amat jarang kita mendengar pemain yang tidak digaji.

Sepak bola Indonesia memang kusut, dan sulit untuk dibereskan karena permasalahan yang begitu menyeluruh, rumit dan sudah menjadi makanan sehari-hari. Banyak pihak yang sepertinya mendiamkan, atau cuek saja. Di level negara pun, persoalan Kemenpora dengan PSSI masih tak kunjung usai. Untuk itu, anggap saja sepak bola Indonesia sebagai hiburan, atau komedi satir belaka.

No comments:

Post a Comment