Pages

Friday, October 16, 2015

Membela Memphis Depay

Penyerang sayap Manchester United, Memphis Depay tengah tertekan. Ia dianggap gagal menjustifikasi harga mahal dan ekspektasi tinggi yang berada di pundaknya. Kritik pun datang dari banyak pihak, terutama pendukung.

Bahkan, di media sosial begitu banyak yang menyebut Depay hanyalah pemain dengan ego Cristiano Ronaldo, namun dengan kemampuan seperti Bebe. Begitu pula dalam pembicaraan warung kopi di sebuah daerah sub-urban Indonesia yang juga tidak ketinggalan memberi kritik pedas kepada pemain ini. Cerita seperti ini bukanlah hal baru di Manchester United, klub yang memang paling populer di dunia.

Memang tidak mudah untuk sukses di di klub seperti ini, tapi meski demikian, bukan berarti mereka yang gagal bersinar di sana adalah pemain yang buruk.

Final Liga Champions 1999 di stadion Camp Nou Barcelona dipandang sebagai salah satu laga final paling dramatis sepanjang sejarah kompetisi Liga Champions. United keluar sebagai juara setelah mencetak dua gol pada masa injury time untuk membalikkan ketertinggalan atas Bayern Muenchen.

Laga tersebut memang sudah lama berlalu, namun dampaknya dapat dirasakan United hingga sekarang. Bagaimana tidak, sejak kemenangan tersebut, penggemar-penggemar baru Red Devils bermunculan. Banyak pula di antara mereka yang saat itu baru melek sepak bola. 16 tahun telah berlalu sejak final itu, dan mereka yang saat itu baru melek sepak bola, kini mungkin sudah menjadi dedengkot di kelompok suporter mereka.

Fenomena ini pun tidak bisa disepelekan, karena dalam lansekap industri sepak bola, bertambahnya penggemar berarti bertambahnya reputasi dan uang. Laga 90 menit tersebut tidak pelak lagi adalah tonggak sejarah bagi United hingga mereka kemudian menjadi klub terpopuler dunia dengan jumlah pendukung yang diklaim oleh majalah Forbes sebanyak lebih dari 659 juta orang, atau sepersepuluh dari pendukung bumi. Artinya, satu dari sepuluh penduduk bumi adalah pendukung Manchester United! Luar biasa, bukan?

Reputasi United memang tidak dibangun dalam waktu sembilan puluh menit di Camp Nou saja. Sebelumnya, United telah memberi tanda-tanda bahwa mereka akan menjadi penguasa baru Liga Inggris. Selepas final ’99 itu, United memang mendominasi kompetisi domestik Inggris sekaligus menjadi pionir bagi mendunianya kompetisi Premier League menggeser kompetisi Seri A Italia yang berjaya tahun 90an. Belum lagi puja-puji pada banyak pemain mereka seperti Eric Cantona, Peter Schmeichel dan tentu saja Class of '92. Eks manajer Sir Alex Ferguson pun dipandang sebagai salah satu manajer sepak bola terbaik yang pernah ada.

Maka tidak mengherankan jika banyak pemain yang belum dianggap terkenal-terkenal amat jika mereka belum bermain di United, padahal di klub sebetulnya mereka sudah terkenal. Ambil contoh Matteo Darmian. Saat bek sayap ini masih bermain di Torino, siapa yang mengenalnya selain pemerhati Liga Italia? Kini, sepertinya pendukung United sudah tahu berapa ukuran sepatunya dan siapa nama orang tuanya. Contoh yang sama berlaku pada Ander Herrera dan Anthony Martial.

Kembali kepada Memphis Depay dan kritikan yang kini melandanya. Depay, yang baru berusia 21 tahun dibeli dari PSV Eindhoven dengan mahar 30 juga pounds pada awal musim ini. Ia datang ke Inggris membawa predikat topskor kompetisi Eredivisie Belanda. Oleh United, Depay diberikan nomor 7, yang sebelumnya dikenakan oleh pemain-pemain besar seperti Cantona, David Beckham dan Cristiano Ronaldo. Di mata pendukung United, Depay setidaknya lebih terkenal daripada Darmian, Martial atau Herrera, dan semestinya, ia langsung tokcer dan menjadi pemimpin serangan United.

Delapan laga pembuka Liga Primer Inggris dilaluinya dengan hanya sumbangan satu gol. Bukan hanya minim gol, pemain sayap kiri ini juga terlihat lemah dalam akurasi tendangan. Situs squawka pun mencatat hanya 44% tendangan Depay yang tepat sasaran. Ia pun beberapa kali menyia-nyiakan peluang bersih di depan gawang lawan dan juga kerap membuang momentum dengan terlalu banyak menggocek bola. Predikat flop sudah kadung divoniskan oleh para pendukung meski kompetisi masih berada di tahap awal.

Para pendukung ini sepertinya lupa, bahwa Cristiano Ronaldo pun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bersinar. Pada awal karirnya di United, Ronaldo lebih banyak dikenal sebagai pesepak bola egois yang doyan menggocek bola dan mewarnai rambut. Namun jelang kepindahannya ke Real Madrid, Ronaldo menjelma sebagai pemain terbaik dunia.

Bukan bermaksud membela Depay tanpa alasan, dan bukan bermaksud mengatakan bahwa Depay akan menjadi sehebat Ronaldo di masa depan, tapi memang sungguh prematur untuk menjatuhkan vonis gagal kepada pemain yang memang belum setengah musim merumput di Liga Primer Inggris. Tentu saja ada proses adaptasi yang perlu dijalani, belum lagi lingkungan baru, taktik yang berbeda serta atmosfer pertandingan yang juga jauh berbeda ketimbang di Eredivisie.

Bahkan, jika pun akhirnya Depay benar-benar gagal, ia sejatinya tidak perlu berkecil hati. Angel Di Maria tetaplah pemain yang sama hebatnya ketika ia dianggap gagal oleh United. Di PSG, ia tengah merajut jalan untuk menebus kegagalannya. Begitu pula pemain seperti Diego Forlan yang justru menunjukkan performa menanjak setelah meninggalkan United. Hal yang nyaris serupa juga terjadi pada Juan Sebastian Veron ataupun Jaap Stam.

Pendukung United memang boleh saja mengritik pemain-pemainnya, atau menghakimi mereka yang bermain buruk dan egois. Tapi percayalah, penilaian ini tidaklah menjadikan mereka pemain yang buruk. Mereka dapat pindah ke klub lain, dan menemukan permainan terbaik mereka di klub baru. Pemain yang pada dasarnya bagus, belum tentu bisa bermain baik di sebuah klub, atau sebuah liga. Terdapat unsur cocok-tidak cocok antara pemain, klub, liga, pelatih, gaya permainan dan lainnya. Dalam menilai sesuatu, memang tidak bisa hanya dari satu sisi saja.

No comments:

Post a Comment