Pages

Monday, September 28, 2015

Filosofi dan Mentalitas Menang Paulo Sousa

Banyak pihak beranggapan bahwa Inter dan Milan akan kembali sebagai penghuni papan atas musim ini. Tidak banyak yang memperhitungkan Fiorentina, terutama karena klub ini ditinggalkan banyak pemain andalan dan baru mengalami pergantian pelatih dari Vincenzo Montella ke Paulo Sousa, membuat klub ini akan lebih dulu menjalani transisi. Dan sebagaimana umumnya terjadi, masa transisi selalu dijadikan alibi yang paling bisa diterima orang banyak jika prestasi tidak didapat.

Masa transisi dapat disamakan dengan masa pancaroba, atau pergantian musim. Pada masa ini, banyak tubuh yang terserang penyakit karena tidak siap dengan perubahan. Para bos di kantor, atau para guru di sekolah akan maklum jika karyawan atau murid-muridnya menelpon untuk meminta izin absen sehari-dua hari karena harus mengunjungi dokter.

Memang kompetisi masih panjang, tapi apa yang ditunjukkan Sousa sejauh ini begitu sensasional. Mengalahkan Inter, kesebelasan yang memenangi lima laga awal secara beruntun dengan skor telak 1-4 di Giuseppe Meazza, bukanlah prestasi sembarangan. Terlebih, kemenangan ini berbuah capolista, yang merupakan kali pertama yang diperoleh klub ini sejak 1999.

Sousa sudah dibebani PR yang cukup berat ketika kali pertama datang ke Artemio Franchi, yaitu hengkangnya para andalan di seluruh posisi. Bek Stevan Savic dipinang Atletico Madrid, sementara kiper utama Neto dibeli Juventus. Tidak hanya itu, La Viola juga kehilangan Joaquin Sanchez, winger veteran yang memilih pulang kampung ke Real Betis. Lini tengah juga kehilangan dua gelandang senior, Alberto Aquilani dan David Pizarro yang mengakhiri kontraknya. Bahkan, Fiorentina ditinggalkan Mohamed Salah, winger asal Mesir yang musim lalu tampil sebagai kunci serangan.

Namun Sousa bukanlah pelatih yang tanpa rencana. Ia membeli gelandang bertahan Atletico, Mario Suarez untuk mengisi pos yang ditinggalkan Pizarro, lalu mematangkan Milan Badelj untuk mengisi pos Aquilani. Di sektor sayap, ia menghubungi mantan klubnya kala masih bermain, Borussia Dortmund, untuk meminjam Jakub Blaszczykowski. Untuk posisi penggedor gawang lawan, Sousa sadar tidak bisa mengandalkan Giuseppe Rossi, bomber berbakat namun amat rentan cedera, atau Mario Gomez yang menua. Untuk itu, ia mendatangkan Nikola Kalinic, penyerang Kroasia yang musim lalu membawa Dnipro Dnipropetrovsk ke babak final Europa League.

Musim kompetisi 2015-16 dimulai menghadapi Milan. Dengan cerdik, Sousa mengarahkan serangan ke tempat di mana bek muda Rodrigo Ely berada. Baik Josip Ilicic maupun Marcos Alonso selalu meneror bek Brasil ini dengan kecepatan mereka, yang berakibat pelanggaran-pelanggaran yang membuat Ely diusir wasit. Fiorentina pun menang dengan nyaman.

Pada giornata kedua, Fiorentina memang sempat menyerah dari Torino, namun selanjutnya, Fiorentina memenangi empat laga secara beruntun, yang puncaknya adalah laga semalam menghadapi Inter di Giuseppe Meazza yang mereka menangi dengan skor 1-4, yang diwarnai hattrick yang ditorehkan Kalinic.

Kembali ke soal penunjukan Sousa sebagai pelatih, beberapa orang memang meragukan kapasitas pria Portugal yang sempat malang melintang bermain di Seri A bersama Juventus ini. Namun sekali lagi, Sousa tidak kembali ke Italia tanpa bekal pengalaman.

Setelah menjadi asisten Carlos Queiroz di timnas Portugal U-16 sejak 2005, Sousa hengkang ke Inggris tahun 2008. Ia menukangi klub Championship, Queens Park Rangers. Namun di klub ini, karirnya berakhir kurang menyenangkan. Ia disebut membocorkan informasi sensitif terkait transfer Dexter Blackstock ke Nottingham Forest.

Sousa kemudian pindah ke Swansea City, menggantikan Roberto Martinez yang hengkang ke Wigan Athletic. Di klub asal Wales ini, Sousa mulai menunjukkan kehebatannya. Swansea dibawanya ke posisi 7 Championship Division, tertinggi sejak 27 tahun. Gaya ball possession yang hingga kini diusung Swansea tidak bisa dilepaskan dari peran Sousa. “Saya ingin tim mengontrol permainan dengan bola, bukan tanpa bola,” ujarnya.

Sukses di Liberty Stadium membuatnya ditawari pekerjaan di Leicester City. Saat itu, Sousa tertarik dengan proyek yang dicanangkan pemilik klub Milan Mandaric. Namun ironisnya, Mandaric menjual saham klubnya kepada konsorsium dari Thailand, hanya sebulan sejak penunjukan Sousa. Hal ini cukup berpengaruh pada performa tim di lapangan. Dari sembilan laga, Leicester hanya menang satu kali dan Sousa dipecat dari jabatannya.

“Pergi dari Swansea adalah kesalahan. Namun saat itu saya berpikir bahwa pindah ke Leicester adalah kesempatan untuk meningkatkan karir,” kenangnya seperti dikutip dari Guardian. “Kita semua membuat kesalahan dalam hidup, namun yang terpenting adalah apa yang kita lakukan selanjutnya,” ujarnya dalam wawancara tahun lalu.

Ucapan tersebut seakan menjadi refleksi dari karir Sousa. Setelah dipecat Leicester, Sousa berhenti sejenak dari sepak bola. “Saya kemudian menonton banyak pertandingan, mempelajari banyak taktik dan gaya bermain, serta melanjutkan pendidikan sebagai pelatih. Saya rasa pemecatan itu ada hikmahnya,” lanjutnya.

Rangkaian peristiwa yang terjadi di Inggris membuat namanya tidak lagi diperhitungkan. Setahun kemudian, ia hijrah ke tengah Eropa, tepatnya Hongaria. Di negara yang sempat berjaya pada tahun 50an ini, Sousa menangani klub Videoton. Di klub ini, ia memenangi sebuah gelar liga domestik dan dua cup competition.

Petualangan Sousa selanjutnya adalah ke negara Israel, dengan Maccabi Tel Aviv menjadi pelabuhannya. Sebelum kembali ke Italia, Sousa sempat melatih Basel, klub terbaik di Swiss dalam beberapa tahun terakhir. Di Maccabi dan Basel, ia menjuarai titel domestik sekaligus mencicipi beberapa laga kontinental, hal yang membentuk mental pemenang.

Kepindahan ke klub-klub terbaik di negara-negara yang bisa dibilang medioker dalam percaturan sepak bola Eropa ternyata memang strategi yang baik untuk memperbaiki reputasi sekaligus membentuk mental pemenang. “Saya tidak memiliki masalah untuk bekerja di liga yang kurang dikenal. Dua setengah tahun di Videoton dan Maccabi membentuk mentalitas saya untuk menang. Saya rasa kemenangan memang penting bagi pelatih, karena membuktikan kesuksesan metode dan pendekatannya,” ujarnya lagi.

Sousa sadar bahwa melatih klub Seri A adalah pekerjaan berat. Kultur sepak bola Italia yang mengutamakan hasil dan amat kaya dalam taktik bukanlah hal mudah untuk dijalani seorang pelatih. “Selain ball possession, saya juga mengutamakan kuatnya pertahanan, karena saya pernah bermain di Italia,” ujarnya pasca kemenangan atas Inter.

Sekarang, setidaknya Sousa telah merebut segala perhatian. Dan kiprah Fiorentina akan menjadi sesuatu yang luar biasa untuk Seri A musim ini.

No comments:

Post a Comment