Pages

Thursday, September 24, 2015

Warna-Warni Sepak Bola Tarkam, Dulu dan Kini

I.
"Ini ada vitamin. Elu minum aja biar nanti kuat di lapangan. Semua juga minum kok," ujar seorang bapak berkumis lebat bakal Caleg berusia 40an pengurus tim tarkam yang saya bela, sepuluh tahun silam.

Sang bapak lalu memberi saya sebuah pil berukuran kecil berbentuk lingkaran. mungkin diameternya tidak lebih besar dari parasetamol yang dijual bebas. Tanpa curiga, saya menenggaknya.

Pertandingan dimulai, saya bermain sebagai starter di posisi sayap kiri dalam formasi klasik 4-4-1-1. Anehnya, saya tidak merasakan grogi sedikitpun, padahal biasanya saya grogian kalau bermain bola di hadapan banyak penonton. Yang saya rasakan saat itu adalah rasa gelisah. Saking gelisahnya, saya tidak mau berhenti berlari. Ke manapun bola bergulir, saya mengejarnya. Ketika mendapat umpan terobosan yang terlalu kencang hingga bola lebih dekat pada lawan, saya masih mengejarnya mati-matian.

Pada jeda pertandingan, saya juga tidak mau diam. Saya meminta bola, lalu meminta pemain cadangan berlatih passing. Pokoknya terus bergerak. Begitu terus sampai akhir pertandingan, hingga tim kami menang dan saya membuat sebuah assist

"Elu main bagus banget! Abis ini elu pulang, beli susu beruang (maksudnya produk susu cair kalengan yang ada cap beruangnya), habis itu elu tidur deh biar pules," ujar bapak itu lagi, sambil menyalami saya.

Ketika pertandingan berakhir, saya merasakan lelah yang amat sangat, kepala terasa berat dan mata terasa mengantuk. Tapi lagi-lagi menuruti saran si bapak untuk meminum susu beruang. Sesampainya di rumah, masih menjelang maghrib. Saya membersihkan badan dan sebagainya, lalu makan, lalu tertidur pulas sampai besok siang!

Orang tua saya bingung, kenapa saya tertidur seperti habis bekerja tiga hari tiga malam? Ya memang saya habis main bola, tapi biasanya tidak begini-begini amat. Kepala saya sudah lebih ringan, dan badan saya sudah kembali segar, tapi pertanyaan berkecamuk: Apa yang telah terjadi?

Tidak butuh waktu lama untuk mengingat, karena saya langsung terngiang pil berwarna putih itu. "Sial," batin saya, terlebih setelah mencari tahu pil macam apa itu.

Ya, begitulah sepak bola tarkam di sini. Mereka, para pengurus klub, menghalalkan segala cara untuk menang, sekalipun hadiah turnamen hanya berupa seekor kambing. Ini soal gengsi kampung yang tidak bisa ditawar. "Elu main jangan malu-maluin! Tuh liat, di pinggir lapangan ada encang-encing dan emak-babe lu yang nonton! Elu kagak mau bikin mereka kecewa, kan?"

II.
Sudah selang satu dekade, setelah lama vakum, kompetisi tarkam ini kembali bergulir. Kali ini saya sudah tidak lagi bermain, tapi mengajak anak untuk menonton. Keramaian dan keseruan pertandingan masih sama, cuma bedanya, tingkah polah para penonton. Baik tingkah para abg maupun para penonton lain yang membawa sepeda motor.

Kemudahan mendapatkan moda transportasi roda dua ini menjadikan semua orang memiliki setidaknya satu sepeda motor di rumahnya. Ketika tontonan rakyat seperti ini berlangsung, tak pelak, motor-motor yang semula berada di garasi, atau ditempatkan paksa di ruang keluarga, kini seperti tumpah ruah ke pinggir jalan lapangan.

Kemacetan tak terhindarkan, terlebih, begitu banyak orang yang memarkir motornya sembarangan, dan mereka yang asik menonton sambil duduk di jok motornya, dengan posisi agak ke tengah jalan. Klakson mobil yang meraung minta diberikan jalan, tidak mereka gubris. Ketika bersatu, mereka merasa selalu benar.

Belum lagi para melihat tingkah polah para ABG, baik cowok maupun cewek, tingkah yang tidak seperti anak-anak seumuran pada zaman saya dulu. Yang cewek sama sekali tidak berniat menonton bola, dilihat dari gaya dan dandanan mereka. Rambut basah lepek yang dijepit dengan aneka jepit rambut, baju ketat dipadu hot pants dengan padanan warna yang tabrakan tak keruan, tawa ngakak di atas jok motor matic sambil sesekali memonyongkan bibir untuk ber-selfie dan wefie seakan tidak peduli pandangan orang-orang dewasa yang jengah melihat tingkah mereka.

ABG cowok, juga sama tidak berniat nontonnya. Baju kotak-kotak, celana jeans ketat, dan rambut yang seperti ketumpahan gel, tidak sadar daun-daun kering debu dan lalat asyik menempel. Mata mereka asyik 'berbelanja' memperhatikan para ABG cewek yang duduk sembari pamer paha di jok motor matic. Sesekali, para generasi penerus ini saling mengumpat dan berbicara kasar kepada sesama mereka. Tangan kanan memegang sebatang rokok, tangan kiri memegang minuman es sirup berwarna pekat khas pewarna.. entah pewarna apa itu. Lalu tanpa berdosa membuang sampah di mana mereka suka. Ketika ditegur orang dewasa, mereka pasang wajah marah. Tiada respek. 

Mohon maaf, tanpa bermaksud merendahkan dan men-segregasi, saya akui amat sulit untuk tidak bersikap sinis jika melihat pemandangan seperti ini, terlebih di tengah tontonan seru pertandingan sepak bola akar rumput. Sungguh mengurangi keasyikan menonton. 

III.
Sementara dari tepi garis tengah lapangan, masih ada tenda sederhana seperti dulu. Kursi sofa pinjaman milik panitia disediakan untuk Pak Camat yang akan memberikan sambutan dan menonton pertandingan walau hanya satu babak. Meja ruang tamu milik panitia juga dipindahkan, untuk menaruh kudapan pengganjal perut dan buah-buahan. Tapi bedanya, sekarang terhampar spanduk dari sebuah supermarket retail modern yang rupanya menjadi sponsor turnamen ini. Program doorprize pun digulirkan, berhadiah tongsis, powerbank, atau voucher pulsa, tidak lagi seperti doorprize sepuluh tahunan lalu yang biasanya berhadiah kipas angin, piring, gelas dan payung cantik.

Di sebelah tenda, seperangkat mixer delapan track pengatur sound system diletakkan, seorang teknisi yang berpengalaman dalam panggung dangdutan diminta untuk mengatur suara dua speaker yang diletakkannya di atas pohon mangga sisi lapangan. Dalam praktiknya, si abang sound engineer hanya asik duduk menenggak gelas besar berisi kopi hitam, dan menghisap rokok tak berfilter tanpa henti.

Di sebelah teknisi, duduklah seorang pemandu pertandingan gaek yang suaranya sudah tidak asing lagi. "Ada puluhan ribu penonton memadati stadion ini, saudara-saudara, selamat datang untuk Bapak Camat. Kita kembali ke lapangan. Nomor sepuluh membawa bola, diberikan kepada nomor tujuh, kutak-kutik sebentar, dua-tiga-empat pemain dilewati, angkat ke mulut gawang, ada nomor sembilan di sana --melompat tinggi dia, terjadi kemelut di mulut gawang, bola jatuh di kaki pemain nomor delapan --lalu ditendang, dan... Apa yang terjadi... Rupanya melenceng sekian sentimeter saja dari tiang gawang.." Padahal, bola melenceng jauh. 

Something's never change. Tak pelak, penonton tertawa riang. Kami mengerti betapa lebay-nya pemandu pertandingan tarkam ini. Penonton yang jumlahnya ratusan dibilang puluhan ribu, tendangan yang melenceng jauh dibilang hanya sekian sentimeter. Tapi kami tidak peduli, begitu pula si bapak pemandu ini. Para penonton hanya merindukan atmosfer humble sepak bola tarkam, sepak bola yang masih memberi tempat bagi pemandu pertandingan yang kocak, penonton yang duduk santai berselonjor di pinggir lapangan, pemain-pemain berperut buncit yang hanya sanggup bermain 10 menit, atau anak-anak pramuka yang bertindak sebagai petugas medis.

Hiburan seperti ini, bagaimanapun sungguh mahal di tengah keringnya tontonan langsung kompetisi sepak bola Indonesia.

No comments:

Post a Comment