Pages

Tuesday, September 8, 2015

Sepak bola Indonesia Di Antara Mecin dan Schadenfreude

Sepak bola Indonesia memang tengah mati suri. Liga tidak ada, timnas dihukum FIFA akibat sikap Menpora yang membekukan PSSI. Para pemain pun banyak yang alih profesi, dari menjadi pemain tarkam, penyewa odong-odong, pengendara ojek berbasis aplikasi, hingga berwara-wiri menjadi bintang tamu di acara talk show televisi swasta.

Sedikit kilas balik, ketika Indonesia Super League(ISL)  akan bergulir awal tahun 2015 ini, PT Liga Indonesia (PT LI) sebagai pengelola liga memberlakukan aturan ketat bagi klub yang akan mengikuti kompetisi. Aturan ini berbentuk lisensi yang harus dipenuhi sesuai standar yang ditetapkan oleh AFC (Asian Football Confederation). Daftar yang harus dipenuhi untuk memperoleh lisensi cukup panjang, bisa dibaca di sini. Namun PT LI meringankan persyaratan. Dari lima syarat yang semula ditetapkan, PT LI meminta klub untuk memenuhi tiga syarat saja, yaitu terkait finansial, legal dan infrastruktur.

Tiga hal ini sifatnya wajib dan mengikat. Jika tidak memenuhi, klub tidak boleh berpartisipasi. Ketegasan coba ditegakkan, karena dari sikap permisif yang terus diambil, pemain lah yang menjadi korban karena seretnya pembayaran gaji. Proses verifikasi pun dijalankan, dan hasilnya ada 17 tim yang berhak berpartisipasi. Sebelumnya kita Namun seperti diketahui, kompetisi yang akhirnya disponsori Qatar National Bank ini hanya berumur satu minggu pertandingan hingga terjadinya kisruh antara Kemenpora dengan PSSI.

Syarat yang paling sulit dipenuhi tentu soal finansial. Klub harus mengumpulkan laporan keuangan, laporan pajak, juga proyeksi yang menunjukkan bagaimana posisi keuangan mereka pada akhir tahun. Pada kenyataannya di lapangan, jangankan proyeksi, lha NPWP saja tidak punya. Beginilah klub yang dijalankan dengan manajemen warteg.

Banyak klub yang berkoar, terutama mereka yang telah merasa menjadi ‘pemain lama’. Klub-klub seperti ini memiliki attitude Elu yang butuh gue, bukan gue yang butuh elu! Jadi lupakan aja deh syarat-syarat ribet itu. Yang penting liga berjalan, penonton senang, pemain bisa makan

Sikap arogansi inilah yang memang harus diberantas. Klub-klub Indonesia sudah terbiasa disuapi APBN. Tidak ada profesionalisme, tidak ada pertanggungjawaban. Yang ada hanyalah uang rakyat yang tersedia untuk dihamburkan selama setahun penuh. Yang penting, rakyat punya tontonan sepak bola lokal.

Tentu saja sepak bola tidaklah lebih penting daripada perbaikan sarana pendidikan dan perbaikan standar pelayanan kesehatan. Pemikiran bahwa klub sepak bola adalah tanggungan pemerintah adalah pemikiran usang dan kuno. Sekarang sudah eranya klub sepak bola mampu berdiri sendiri.

Sayangnya lagi, klub-klub di sini sudah terbiasa dengan pola pikir instan. Seperti memasak pakai Monosodium Glutamat (MSG) untuk memberi ilusi rasa lezat, atau lebih akrab dengan sebutan mecin. Maunya membuat masakan lezat, tapi malas meracik bumbu. Cukup jentikkan saja bubuk ajaib, habis perkara. Rasa lezat, pengunjung senang dan kenyang, restoran ramai.

Tapi untuk jangka panjang, semua orang tahu seperti apa dampak dari kebanyakan mengonsumsi mecin.

Nadi sepak bola akan kembali berdegup setelah PTUN memenangkan PSSI dalam gugatan mereka atas Kemenpora. PT LI pun kembali dengan program licensing. Kali ini, mereka memberi pilihan pada klub atas model verifikasi finansial.

Niat ini sebetulnya sudah baik. Lisensi untuk mengikuti kompetisi mutlak diberlakukan apabila kita tidak ingin mendengar lagi cerita miris pemain yang berbulan-bulan tidak digaji. Selain itu, klub yang memiliki lisensi (asal diverifikasi dengan jujur dan transparan) sudah tentu adalah klub dengan modal yang tidak sekadar modal dengkul untuk mengikuti kompetisi. Kondisi ini jelas akan mengembalikan kepercayaan publik, yang nantinya akan berujung makin banyaknya pihak sponsor yang melirik. Industrialisasi sepak bola pun bukan sekadar pepesan kosong.

Namun sebagaimana cerita yang sudah lalu, seberapa besar niat baik yang digagas, sepak bola Indonesia kadung terbagi pada dua kubu. Kubu yang memimpin dan kubu oposisi. Kedua kubu ini bagaikan naik dan turun panggung sejara bergantian. Jika digambarkan sebagai pertunjukan musik, kubu yang berada di bawah panggung selalu meneriaki menimpuki mereka yang sedang tampil.

Pertikaian yang tidak kunjung usai ini termasuk dalam salah satu ciri dari fenomena schadenfreude. Istilah bahasa Jerman ini mengandung arti sebagai seseorang yang senang melihat kesusahan orang lain. Keberhasilan suatu kubu akan ditanggapi nyinyir oleh kubu lain, sementara blunder yang dilakukan salah satu kubu akan menjadi bahan bakar bagi kubu yang lain untuk meneriakkan kritikan pedas. Bukan kritik konstruktif, tapi lebih kepada penjatuhan kredibilitas dan penghinaan pada personal.

Sebuah drama menyedihkan yang sayangnya tak kunjung usai. Ya, begitulah jika membicarakan sepak bola Indonesia.

No comments:

Post a Comment