Pages

Monday, July 8, 2013

Ayo Main Bola!

Rasanya masih teringat jelas di memori saat gue dicela teman-teman (bukan teman yang baik sih) yang mengatai betapa culunnya gue karena gak bisa main bola dan gak tau gimana caranya nendang bola. Sebuah celaan yang kemudian seperti membangunkan monster yang telah lama bersembunyi dalam badan.

Monster itu menstimulus gue buat belajar main bola, lalu membungkam mulut para pencela itu. Gue gak tumbuh sebagai pesepakbola profesional juga sih, tapi gue bukanlah pesepakbola buruk. Gue hanya punya dua tujuan setiap bermain bola, yaitu bermain baik dan mencetak gol. Gak pernah sedikitpun terbersit untuk mencederai lawan. Gue bermain, karena gue mencintai permainan ini, bukan karena motivasi lain seperti taruhan atau gagah-gagahan. I see football as a beautiful game.

Passion gue teramat tinggi keterlaluan pada permainan ini. Jeleknya, passion ini seperti hantu yang sempat menghambat langkah gue karena terlalu sulit move on dan sulit menerima kenyataan kenapa gue gak bisa jadi pemain bola. Banyak tahap pencarian gue lalui sebelum mencapai tahap ikhlas seperti sekarang. Mencoba berdamai dengan hidup dan berusaha terlihat seperti bapak-bapak normal yang suka upload foto anak di social media dan menjadi karyawan yang rajin kerja lembur serta berdedikasi tinggi adalah bukti bahwa gue sudah pasrah dan rela menjalani dunia paralel di mana pemikiran gue gak sejalan dengan apa yang gue lakukan.

Meski demikian, gak ada penyaluran yang lebih besar pada sepak bola selain memainkannya. Ya, bermain sepak bola di lapangan adalah hal yang lebih menyenangkan daripada liburan mahal dengan kapal pesiar romantis sekalipun, atau teriak-teriak di karena adrenalin yang dibuat-buat saat memainkan water sport di pantai eksotis. Bahkan setelah gue menemukan kesenangan alternatif berupa menjadi penulis sepak bola sekalipun, tidak bermain sepak bola secara reguler adalah sebuah kegagalan tak termaafkan.

Perubahan status dari bujangan ke pajangan, plus dari mahasiswa girang ke karyawan senang udah cukup mereduksi waktu bermain bola. Apalagi sebuah catatan statistik kampret berupa hasil medical check up resmi mengalienasi gue dari lapangan bola. Kolesterol gue tinggi, akibat terlalu larut dalam rangkaian tipuan hedonisme berupa makanan-makanan lezat.

Lebih sakit membaca ini daripada tidak menemukan nama gue di pengumuman UMPTN. Tidak bermain bola adalah situasi terburuk yang bisa gue bayangkan, daripada tidak punya payung saat hujan deras atau tidak punya pacar selama sekolah. Dan kini, udah 3 bulan lebih lamanya gue istirahat dari lapangan. 3 bulan tidak menyenangkan yang tidak ingin gue alami lagi.

Well, gue gak mau curhat sebenernya. Gue akan tambahin sedikit bobot dalam tulisan ini. David Conn, si jurnalis sport business pernah bilang dalam salah satu chapter di bukunya tentang lost generation of football yang terjadi di Inggris, yang notabene negara yang mendaulat diri sebagai penemu sepak bola.

Conn bilang bahwa ciri paling kentara dari modernisasi sepak bola adalah di dunia penyiaran. Rupert Murdoch melalui Sky Sports yang menjadikan sepak bola sebagai tontonan berbayar telah mengubah paradigma orang-orang Inggris. Paradigma itu adalah menjadi penonton yang baik karena stasiun TV menayangkan tontonan bagus, yang sayang untuk dilewatkan. Tidak hanya siaran langsung, tapi juga highlight pertandingan dan analisa canggih dari para pundit berjas dan berdasi, tidak mau kalah necis dengan pengamat pasar modal ataupun pengacara. Tayangan sepak bola sudah dikemas sedemikian ruma sehingga para pemirsa termanjakan, dan uang berlangganan yang mereka keluarkan terasa tidak percuma. Ya terang saja, kalau sudah mengeluarkan uang untuk berlangganan, masak sih kita harus beranjak dari sofa sambil makan pizza dan minum berkaleng-kaleng soda atau bir? Ngapain juga capai-capai main bola di lapangan, mendingan nonton orang main aja di TV. Kebiasaan ini juga membawa dampak obesitas, yang akhirnya makin mengurangi produksi generasi sehat yang mampu menjadi pesepakbola.

Terdengar berlebihan? Fenomena ini kemudian berkembang lebih liar. Dari revolusi penyiaran, kemajuan sektor industri pada akhirnya membutuhkan terlalu banyak ruang untuk pembangunan kantor dan gedung mereka. Ruang publik tereduksi, lapangan bola dihabisi. Semakin sulit bermain bola jika lapangan rumput plastik yang tersedia memaksa kita merogoh kocek 300 ribu rupiah perjamnya, atau kira-kira seorang anak sekolah harus patungan 30 ribu rupiah untuk bermain bersama teman-temannya. Tidak heran, lebih banyak anak muda yang lebih memilih nongkrong di minimarket dengan modal 30 ribu perak itu, karena bisa mendapatkan seporsi junk food dan segelas sirop beku, plus bisa ngegodain cewek.

Balik lagi ke absennya gue dari lapangan. Well, sudah saatnya mengakhiri penderitaan ini. Gue harus segera kembali ke lapangan dan dapetin lagi hal-hal yang bisa bikin gue seneng. Jadi seorang pria beranak satu di usia boring 30an bukan berarti menghilang dari lapangan. Bagaimanapun juga, sepak bola lebih enak dimainkan daripada sekadar dibicarakan atau ditonton saja. Ayo main bola!

1 comment:

  1. kalo ada maen bola di depok, saya ikut gabung dong mas

    ReplyDelete