Pages

Tuesday, June 25, 2013

Lesson of a Dream, a Movie Review


Pertentangan kelas, pembangkangan, dan pencerahan adalah inti dari film dengan judul bahasa Jerman Der Ganz Grosse Traum ini, yang kemudian dibingkai dengan cantik lewat tema sepak bola, dan sedikit bumbu Hollywood.

Mengapa film bertema sepak bola dapat berjalan beriringan dengan tema-tema lain yang berkisar perjuangan? Ya, karena semangat sepak bola memang mengunci banyak aspek positif dari kehidupan –meski tidak sedikit pula aspek negatifnya-.

Revolusi mungkin sebuah kata yang terlalu bombastis dalam film ini, lebih tepat dikatakan sebagai film reformasi yang menghadirkan cerita dibalik betapa sulitnya olah raga bernama sepak bola masuk ke negeri Jerman. Arogansi dan perasaan superioritas sudah terlanjur melekat pada bangsa ini, membuat mereka sulit untuk menerima permainan yang datang dari Inggris, yang notabene menjadi musuh besar mereka yang ingin mereka taklukkan. Baik lingkungan pendidikan seperti sekolah maupun lingkungan kecil bernama keluarga sudah menanamkan kebanggaan ini pada generasi setelah mereka.

Braunschweig (atau Brunswick dalam lafal Inggris) adalah sebuah kota di Jerman yang menjadi latar film ini, meski pengambilan gambar pada dasarnya hanya di 4 titik yaitu sekolah, rumah dari donatur sekolah, padang rumput untuk bermain bola, dan juga alun-alun kota pada awal film. Mengapa kota Braunschweig? Ya, memang inilah kota di Jerman pertama yang mengenal sepak bola tahun 1874. Lebih afdol lagi, Entracht Braunschweig mulai musim depan akan turut meramaikan Bundesliga 1 setelah menduduki posisi 2 klasemen akhir Bundesliga 2. Fussball akhirnya datang lagi menyemarakkan kota.

Cerita yang didasarkan pada kisah nyata ini menghadirkan Konrad Koch, sebagai tokoh utama yang juga seorang guru Bahasa Inggris berbekal pengalamannya menimba ilmu di Oxford University. Koch tidak hanya membawa ilmu linguistik, namun juga membawa visi yang ingin mengubah pandangan serta keseharian murid-muridnya.

Kekakuan dan feodalisme amat kental saat itu, dimana sulit bagi kaum proletar untuk mendapat akses pendidikan. Murid-murid Koch adalah para anak kecil yang kaku dan sudah tercekoki kebanggaan berlebihan akan superioritas bangsa mereka. Arogan, disiplin dan tidak mementingkan orang lain.

Koch, berbekal pengalamannya di Inggris, mencoba menggunakan metode berbeda dalam mengajar. Ia menekankan kata “kamerad” sebagai bentuk persaudaraan dan kesetiakawanan, sesuatu yang abai diajarkan oleh para guru-guru. Ia kemudian mengenalkan sepak bola secara perlahan kepada murid-muridnya. Koch selalu mendapat dukungan dari Gustav, kepala sekolah yang berpikiran reformis yang memang ingin mengajarkan murid-muridnya bentuk pembelajaran baru.

Tentu saja banyak rintangan yang didapat sang guru. Salah seorang orang tua murid, Richard Hartung, yang kaya raya sekaligus penyandang dana bagi sekolah memang sangat feodal. Ia menentang segala metode Koch yang dianggapnya akan merusak generasi Jerman. Richard dan anaknya, Felix yang menjadi ketua kelas, kemudian melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Koch dari sekolah.

Seiring berjalannya waktu, Koch berhasil mengatasi berbagai rintangan, bahkan membuat murid-muridnya kompak, termasuk juga Felix didalamnya. Hal itu kemudian membawa Koch pada misi lainnya yang lebih besar, yaitu menyebarkan sepak bola ke seantero negeri.

Begitulah kira-kira garis besar film ini, yang secara keseluruhan memang impresif. Kualitas film Jerman tidak kalah dengan produksi Hollywood. Plot yang rapi, penokohan yang kuat, kelucuan-kelucuan yang disampaikan juga berhasil diperankan dengan baik oleh para aktor, yang saya bahkan tidak tahu namanya.

Dari film ini, memang terlihat bahwa sebagai bangsa, Jerman memang sedari dulu menjadi bangsa yang berpikiran maju, serta memiliki etos kerja yang tinggi. Kedisiplinan luar biasa memang sudah menjadi kultur bagi bangsa ini. Masuknya sepak bola memang sedikit melonggarkan keseriusan mereka dengan unsur fun yang dibawa oleh olahraga ini. Dan terbukti, Jerman diakui sebagai salah satu raksasa sepak bola dunia dengan raihan gelar Piala Dunia sebanyak 3 kali.

Kultur disiplin dan independen juga berpengaruh bagi negeri ini hingga sekarang. Disaat banyak klub sepak bola berhutang dan hidup dalam buaian modern football kapitalis, banyak klub Jerman tetap beroprasi dengan wajar mengandalkan dukungan dari pabrikan raksasa Jerman. The German ways memang luar biasa.

Ps: Thanks to Bang Ucup, Angga & Aad.

No comments:

Post a Comment