Pages

Friday, July 12, 2013

Milan: Antara Mercato dan Taktik

Milanisti mana yang tidak gemas melihat pergerakan tanggung transfer Milan? Bukan hanya sekarang, tapi beberapa tahun kebelakang. Buku kas Milan harus seimbang, tidak boleh ada kas keluar untuk membeli pemain sebelum ada yang pergi. “Kita tidak bisa membeli sebelum menjual.” Begitu kata Adriano Galliani berkali-kali.

Kondisi finansial Milan memang mengenaskan. Dalam dua tahun terakhir selalu mengukir kerugian diatas 50 juta euro –jumlah yang melebihi ambang batas yang ditetapkan UEFA melalui Financial Fair Play (FFP)- yang pada akhirnya memaksa Milan untuk melakukan pengetatan belanja secara ekstrim. Masih untung musim panas ini tidak terjadi lagi overhaul skuat seperti tahun lalu. Biaya gaji Milan juga tidak terkontrol. Swiss Ramble sudah menuliskannya dengan komprehensif dalam tulisannya yang lebih menyerupai laporan audit bahwa biaya gaji Milan adalah salah satu yang tertinggi di Italia, mencapai 200 juta euro per tahunnya, padahal pendapatan hanya 20-30 juta lebih banyak. Dari sisi bisnis, sangat tidak sehat.

Orang bijak bilang, apa yang kita alami sekarang adalah buah dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Milan benar-benar memetik buahnya sekarang. Untungnya ada FFP yang sangat memberi efek disintensif pada kelakuan jor-joran klub sepak bola, termasuk Milan. Tidak hanya mampu menghemat anggaran belanja dan gaji pemain, Milan juga punya basis pendapatan komersial yang paling tinggi diantara klub-klub Italia lain berangkat dari kesadaran akan pentingnya mendapat lisensi dari UEFA sebagai tanda lulus tes FFP.

Tapi tetap saja toh hal ini tidak banyak berpengaruh pada kebijakan transfer Milan. Peningkatan performa dari tim marketing and communication Milan memang berangkat dari kesadaran mereka untuk makin memperkuat brand ke level global. Tahun 2012 lalu, Deloitte mengemukakan Milan memperoleh nyaris 100 juta euro dari kegiatan komersial mereka, atau yang tertinggi diantara klub Italia lainnya. Namun hal ini masih belum cukup –setidaknya saat ini- untuk mendongkrak performa tim lewat penguatan pemain di bursa transfer.

Keisuke Honda dan Adem Ljajic adalah pemain yang kini diidam-idamkan Milanisti. Apalagi seiring keinginan Milan menggunakan taktik 4-3-1-2 yang tentunya membutuhkan trequartista handal seperti mereka. Harga Honda maupun Ljajic sebenarnya tidak mahal-mahal amat. Total, mereka berdua berharga tidak lebih dari 20 juta euro. Milan akhirnya rela menunggu Honda hingga Januari, saat kontrak sang pemain CSKA Moskow tersebut habis dan Milan dapat menggaetnya dengan gratis. Kondisi finansial lah yang menyebabkan pengeluaran 10 juta euro untuk satu orang pemain menjadi barang yang terlalu mewah untuk Milan.

Penghalang terwujudnya transfer ini adalah masih bertahannya Kevin-Prince Boateng dan Robinho. Dua pemain ini menjadi pesakitan di Milan karena performa mereka yang jauh dari kata impresif musim lalu. Ditambah lagi, skema 4-3-1-2 tidaklah cocok untuk mereka, terutama Boateng. Mereka meminta gaji yang mahal dari calon pembeli masing-masing, dan Milan juga menuntut nilai transfer mahal pula. Tidak terdapat titik temu antara harga dan kualitas pemain, yang membuat mereka sulit dijual.

Efek dari kegagalan transfer ini bisa bermacam-macam. Baik Robinho atau Boateng akan menjadi kambing hitam yang tidak disukai tifosi karena dianggap menghambat kedatangan Honda dan Ljajic. Milan bisa jadi kembali menggunakan pola 4-3-3, pola yang sebetulnya cukup sukses membawa mereka ke posisi 3. Memasang Riccardo Saponara dan membebaninya untuk langsung memberi efek besar bagi Milan bukanlah tindakan bijak lantaran sang pemain masih sangat muda. Tanpa kehadiran Honda dan Ljajic, pola 4-3-3 memang patut dipertahankan karena dengan pemain yang ada, Milan lebih cocok bermain dengan pola ini, dengan Saponara diposisikan sebagai wide playmaker di sisi kanan. Tidak menempatkan Saponara di posisi terlalu sentral pada fase ini sepertinya pilihan yang bijak.

Mempertahankan pemain yang tidak cocok dengan skema dan tidak mampu bermain maksimal memang bukan pilihan bijak. Jika benar harus menunggu Honda hingga Januari, nampaknya Milan harus bersiap dengan segala kemungkinan yaitu mengubah taktik di pertengahan musim. Musim lalu, aneka taktik telah dicoba Max Allegri hingga ia ajeg dengan 4-3-3. Namun jika ternyata pola 4-3-3 masih memberi hasil positif, beranikah Milan berganti ke pola 4-3-1-2 di tengah musim?

Inisiasi pola baru idealnya sudah dilakukan sejak awal musim, bahkan sejak latihan pre-season. Pola 4-3-1-2 yang lebih narrow akan memaksa sejumlah pemain seperti Stephan El Shaarawy, yang biasa bermain sebagai wide forward untuk beradaptasi lagi. Belum lagi menyebut Mario Balotelli, yang nampak lebih nyaman bermain sebagai penyerang tengah tunggal yang dibiarkan bergerak bebas. Jika berduet dengan El Shaarawy, ada kekhawatiran bahwa ruang gerak Balo akan terlimitasi karena harus berbagi dengan Il Faraone.


Bagaimanapun implementasinya nanti di lapangan, adalah tugas Allegri untuk segera memutar otak dalam menemukan formula yang paten. Skema paten ini akan sangat menentukan akan berada dimana Milan pada akhir musim. Start buruk dan lambat memiliki konsekuensi yang sangat berat. Membicarakan scudetto memang terlalu prematur, namun buat Milan, mampu menduduki 3 besar di Seri a sekaligus melangkah sejauh mungkin di Liga Champions sudah menunjukkan bahwa tim ini berada di trek yang benar. 

No comments:

Post a Comment