Pages

Monday, April 22, 2013

The Meaning of Mario

Taken from Dailymail

Dalam lima pekan kedepan, kompetisi hipster Seri a musim 2012/2013 akan berakhir. Dan kemungkinan besar dalam dua pekan kedepan, Juventus akan memastikan diri sebagai scudetto.

Sementara pencapaian Milan hingga saat ini adalah sesuatu yang sudah berkali-kali saya tegaskan, melebihi ekspektasi. Namun pernyataan ini bisa ditunda dulu hingga lima pekan krusial ini benar-benar berakhir dan melihat berada dimana posisi Milan.

3 laga terkini Milan dilalui dengan raihan 2 poin saja. Memang ketiga lawan tersebut adalah penghuni 4 besar dan dua partai diantaranya berlangsung di kandang lawan.

Namun, hal ini bukan berarti tidak ada masalah di tim ini. Dalam laga lawan dua pesaing langsung, Fiorentina dan Napoli, Milan dua kali menyia-nyiakan keunggulan mereka sehingga dua laga tersebut berakhir imbang. Sementara lawan Juve semalam, Milan sebenarnya sudah bermain maksimal namun kurangnya kemampuan mengirim key passes dan pertahanan Juve yang seketat baju senam membuat keunggulan lini tengah Milan hanya sekadar keunggulan memainkan bola, bukan mencetak gol. Banyak yang berpendapat bahwa Milan mulai kehabisan bensin setelah mereka nyaris sepanjang tahun ini memainkan laga-laga dengan intensitas tinggi.

Saat Mario Balotelli hadir di penghujung winter transfer, Milan seolah mendapat bahan bakar baru untuk terus mengejar zona Liga Champions. Terbukti, Balo mampu mencetak 7 gol dari 8 laga, posisi Milan di klasemen juga terus menanjak. Tidak hanya gol-gol yang ia sumbangkan, hadirnya Balotelli dalam skema 4-3-3 Allegri ternyata mengangkat level permainan Milan setinggi-tingginya.

Rasanya hal ini tidak berlebihan karena selain memiliki game intelligent yang tinggi, Balo juga mengimbanginya dengan kemampuannya mengeksekusi bola mati, mengirimkan umpan matang, membongkar pertahanan lawan, memenangi tendangan bebas. Ini adalah sesuatu yang sebelumnya hilang di skuat Milan yang kebanyakan dipenuhi para bullies.

Allegri gemar mengoleksi para petarung di lini tengahnya. Bahkan Montolivo, pemain paling ‘berbudaya’ di lini tengah Milan, juga diberkahi kemampuan defense yang memadai. Kedatangan Balotelli dengan tehniknya yang tinggi dan kemampuannya menjemput bola mengembalikan Milan kepada khitahnya sebagai tim yang ‘berbudaya’.

Ada tiga opini umum menyoal efek Balotelli. Pertama, kedatangan Balotelli menyingkirkan pemain yang tengah on-fire, Giampaolo Pazzini. Kedua, Balotelli membatasi ruang gerak sekaligus mengeliminasi ruang tembak El Shaarawy. Ketiga, Balodependencia tercipta buat Milan. Tiga potongan puzzle yang tricky buat Milan di 5 laga sisa ini mengingat sang pemain terkena skorsing karena menghina wasit setelah laga lawan Il Gigliati Fiorentina.

Benar saja, ketiadaan Balo terasa betul semalam. El Shaarawy yang belum menemukan kembali bentuk permainan terbaiknya tidak banyak mengancam gawang Buffon, sementara kedisiplinan trio Chiellini-Bonucci-Barzagli membatasi ruang gerak Pazzini. Jika Balo bermain, sudah dipastikan ia dapat berbuat lebih banyak untuk membongkar pertahanan rapat Bianconeri karena lini tengah Milan sendiri sudah maksimal dalam menutup ruang gerak Andrea Pirlo, meski kegagalan dalam sebuah momen membuat sang eks pemain Milan mampu mengirim umpan terobosan kepada Kwadwo Asamoah –yang kemudian terpaksa dijatuhkan Marco Amelia untuk menghasilkan penalti bagi Juve. Kelengahan Abate juga berkontribusi besar dalam situasi ini.

Pengakuan sebagai 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Times tahun 2012 memang bukan isapan jempol. Hanya Balotelli pesepakbola yang masuk daftar tersebut, sementara untuk atlet olahraga, ia satu dari empat tokoh yang masuk. Serangkaian kisah hidup pemuda berusia 22 tahun ini memang inspiratif dan penuh kontroversi. Bagaimanapun, sepak bola butuh kontroversi, bukan? Sementara bagi klubnya yang saat ini tengah mengejar posisi layak di zona Champions, pengaruh Balo terlalu besar, sehingga absensinya sangat terasa bagi Milan.

Tentu saja Balotelli masih memiliki sebuah partai lagi untuk ia habiskan di bangku penonton. Laga lawan Catania minggu depan akan sangat krusial karena selisih Milan dengan Fiorentina hanya tinggal 1 angka. Hasil seri dan kemenagnan La Viola bisa langsung menjungkalkan Rossoneri dari posisi impian.

Rasanya, Allegri perlu menemukan lagi solusi tanpa Balotelli. Catania adalah lawan yang alot, dan mereka juga masih menyimpan asa untuk menduduki zona Eropa. Bukan tugas ringan karena pemain-pemain penting terus bertumbangan. Kapten Ambrosini cedera, Flamini masih menjalani skorsing.

Bojan Krkic patut dicoba sebagai starter. Tehniknya adalah yang tertinggi setelah Balo. Kemampuan dribel jarak pendek dan pergerakan liarnya dapat menjadi solusi guna membongkar pertahanan lawan, ketimbang memasang Pazzini yang cenderung statis. Pazzini harus dipasangkan dengan para jagoan crossing. Di Milan, De Sciglio adalah yang terbaik untuk urusan itu, meski performanya belakangan cukup angin-anginan.


Thursday, April 18, 2013

Hari Ini Pasti Menang: "Memanusiakan" Seorang Superstar

Ijinkan saya memberikan review singkat terhadap film yang baru saya saksikan kemarin, yaitu Hari Ini pasti Menang (HIPM) arahan sutradara Andibachtiar Yusuf.
Ucup, panggilan dari sutradara yang memang sering mengangkat tema sepak bola dalam film-filmnya ini membuat gebrakan yang sangat berani dalam filmnya kali ini. Ia mengangkat cerita yang sangat berbeda dari film sepak bola kebanyakan. Cerita yang satir.
Di film berdurasi 2 jam ini, diceritakan bahwa sepak bola Indonesia sudah maju, bertolak belakang dari keadaan sebenarnya. Indonesia baru saja tersingkir dari babak perempat final Piala Dunia tahun 2014 di Brasil, dan bintang utama Gabriel Omar Baskoro baru saja meraih gelar topskor. Namun bukan itu yang hendak diangkat oleh film ini.
Alih-alih menampilkan fragmen-fragmen utopis atau menonjolkan heroisme yang mampu membuncahkan harapan, film ini justru menonjolkan sisi gelap dari sebuah industri sepak bola yang sudah tertata rapi dan mapan. Sisi gelap tersebut adalah judi.
Beginilah kerjanya. Judi adalah konsekuensi logis dari sebuah pertunjukan seru. Judi sepak bola menjamur dari pangkalan ojek hingga restoran mewah. Dalam hal ini, sepak bola Indonesia memang sudah sedemikian seru dan majunya sampai-sampai para bandar judi kelas kakap tertarik ambil bagian dalam permainan ini. Judi yang melibatkan perputaran uang miliaran rupiah inilah yang kemudian membuat para pelakunya melakukan apapun agar keuntungannya berlipat ganda. Dalam hal sepak bola, pengaturan skor alias match fixing adalah hal yang menjadi permainannya.
Di film itu sudah coba dijelaskan bahwa cukup hanya “memegang” pelatih, pengatur pertandingan, dan satu atau dua pemain untuk mewujudkan niat kotor mereka. Dan hal ini memang nyatanya terjadi di industri sepak bola yang sudah advanced di Eropa. Dan disampaikan pula bahwa meski judi melanda persepakbolaan, namun tidak berpengaruh pada prestasi tim nasional, merujuk pada pencapaian tim nasional Italia yang menjuarai Piala Dunia 2006 meski liganya dirusak skandal calciopoli.
Saya dulu pernah menanyakan kepada Bang Ucup apakah GO8 akan dijadikan seperti Kapten Tsubasa-nya Indonesia. Ia saat itu bilang bahwa hal ini akan tergantung dari respon penonton pada film HIPM. Tapi GO8 sendiri sudah banyak dibikin dalam berbagai versi. Komik, novel, akun twitter, bahkan game interaktif Liga Utama sudah dibuat dalam upaya kian memperkuat image GO8 kepada kita semua.
Oke, dalam hal hype memang GO8 sudah dijadikan seperti Kapten Tsubasa. Tapi Bang Ucup lewat HIPM ini memberi taste yang berbeda dari bintang kebanyakan. Karakter GO8 dibuatnya lebih “manusiawi” dimana sang bintang pujaan digambarkannya terlibat dalam permainan para kartel judi itu. GO8 juga digambarkannya memiliki arogansi ala superstar, yang juga termasuk pada praktek gaya hidup hedonisme dan bermain wanita.
Hilanglah sudah image sang bintang yang sempurna tanpa cacat jago di lapangan, setia pada pasangan dan punya perilaku yang baik yang umumnya dijadikan sebagai karakter tokoh utama. Mungkin cerita ini lebih mirip cerita dari komik sepak bola jaman dulu, Roel Djiikstra, dimana praktek-praktek kotor persepakbolaan turut dipertontonkan.
Di film ini juga ditampilkan berbagai tokoh menarik yang memang bersinggungan langsung dengan sepak bola. Menteri Olahraga, pengusaha, bandar judi, eksekutor bandar, suporter, hingga jurnalis idealis. Keberadaan mereka saling berkaitan, meski bisa ditebak bahwa seorang jurnalis idealis pada karakter Andien, teman masa kecil Gabriel, tidak sanggup untuk membongkar kartel ini seorang diri.
Pada akhirnya, Gabriel berkontemplasi setelah ayahnya meninggal dunia akibat serangan jantung. Ini didapatnya setelah kekecewaannya pasca mendapati anaknya yang selalu ia banggakan ternyata tercebur dalam lingkaran setan perjudian ini. Kontemplasi GO8 berakhir pada kesadaran sang pemain bahwa ia adalah pemain sepak bola, seorang duta kejujuran dan sportivitas yang memang hanya harus memikirkan sepak bola itu sendiri, bukan pundi-pundi kekayaan yang bisa ia dapat lewat cara kotor. Berangkat pada kesadaran tersebut dan kecintaannya pada sosok ayah, yang diperankan dengan sangat apik oleh aktor Mathias Muchus, GO8 akhirnya kembali ke “jalan yang benar”.
“Football is a stage of drama” memang menjadi slogan yang dipajang film ini. Quote dari Pele tersebut memang seolah menunjukkan bahwa sepak bola lebih dari sekadar pertandingan olahraga sebelas lawan sebelas. Ada tawa, tangis, rasa frustasi, kebanggaan, kesedihan dan segala rasa dalam hidup yang bercampur menjadi satu di lapangan hijau. Dan ada kalanya dimana faktor-faktor diluar lapangan bisa berpengaruh besar pada apa yang terjadi di lapangan. Hal-hal tak kasat mata yang memang sulit dilihat oleh orang awam.
Akhir kata, film ini menyampaikan dengan lancar apa yang hendak disampaikan, terlepas dari beberapa akting kaku dan potongan-potongan cerita yang sempat membuat penonton harus berpikir lebih dulu. Gambaran rapi kartel judi, kehidupan seorang bintang, perjuangan seorang jurnalis idealis, pelatih berprestasi, ayah yang jujur, dan juga realita-realita sepak bola lainnya yang memang menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan yang, kata Bill Shankly, is a matter of life and death.

(Tulisan ini lebih dulu dimuat di blog Football Fandom)

Monday, April 15, 2013

Penulis Hipster

Ketika topik soal ke-hipsteran penggemar sepak bola menyeruak, mendadak saya dan teman-teman saling melempar opini tentang apa itu hipster, yang bagaimana sih yang hipster, dan sebagainya.

Saya ambil contoh penggemar sepak bola yang hipster.

Jika penggemar sepak bola biasa hanya mengikuti pertandingan berlabel big match atau partai final Liga Champions agar terdengar up to date dan berwawasan luas, maka penggemar sepak bola hipster ini mengikuti permainan sepak bola dari manapun. Menonton sepak bola adalah kepuasan bagi mata dan hati, untuk itu ia juga mengikuti perkembangan liga-liga dari negara antah berantah seperti klub Terek Grozny, Kaiser Chief, St. Pauli, Otelul Galati, MTK, Bursaspor, Fluminense dan sejenisnya.

Atau jika masih tetap ingin menempelkan diri secara malu-malu pada liga mainstream, mereka akan mendukung klub semenjana dari liga-liga utama seperti Stoke City, West Ham United, Torino, Werder Bremen, Sochaux, dan sejenisnya.

Ada beberapa motif para penggemar hipster ini memilih cara yang beda dalam menikmati sepak bola. Beberapa orang akan melakukan apapun demi sebutan prestisius itu. Sebutan yang terdengar keren karena kita akan terlihat pintar, memiliki selera yang lain dari yang lain, mendukung klub yang lain dari yang lain. Jauh lah dengan glory hunter.

Saya bukan hipster. Saya menyukai klub seperti AC Milan, Barcelona atau PSG. Sesekali ingin dibilang unik, tinggal bilang kalau saya juga kerap mengikuti Borussia Dortmund, Athletic Bilbao dan CSKA Moskow.

Dalam hal tulisan, saya juga tidak hipster. Saya membahas hal yang umum-umum saja yang saya kuasai, tidak pernah berusaha untuk membahas hal keren padahal saya tidak mengerti. Memang ada kalanya dalam hati saya begitu ingin terlihat keren, cerdas dan berbudaya tinggi seperti penulis-penulis ternama. Atau saya juga kadang ingin seperti Swiss Ramble yang memiliki analisa keuangan setara seorang business analyst senior yang begitu rajin mengupas kulit demi kulit finansial dari sebuah klub.

Ada kalanya saya terjebak di antara mereka, para penulis hebat. Selepas membaca tulisan dari si A, tulisan saya bisa bergaya seperti si A. Begitu pula ketika saya habis membaca tulisan si B. Kekaguman saya pada sosok B membuat saya tertarik untuk mengikuti gaya tulisannya. 

Tapi, bukan berarti saya berusaha mati-matian untuk menyamakan frekuensi pengetahuan dan cara menulis seperti mereka.

Saya tahu betul bahwa seorang imitator tidak akan pernah mendekati bagusnya sang penulis asli. Kita semua memiliki tokoh inspirasi dalam menulis, tapi sebisa mungkin saya mencoba menulis dengan gaya dan bahasa sendiri. Bagus atau jelek, saya tidak peduli kata orang. Niat saya dalam menulis adalah saya ingin membuat tulisan yang bermanfaat, bukan tulisan yang bagus banget atau tulisan bombastis sehingga menjadikan penulisnya terkenal.

Memang dari awal, tujuan saya menulis sepak bola hanya dua: mendapat teman baru dan berbagi informasi. Di luar dua hal itu, saya gak ikutan.

Lalu, seperti apa ya penulis sepak bola yang hipster itu?

Hipster-nya penulis atau penggemar sepak bola lebih kepada kemampuannya mengangkat topik yang berbobot dan inspiratif maupun fakta-fakta tertentu yang tak terpikirkan orang lain. Write not-ordinary football topics before it was cool.  

Lalu bagaimana jika topik yang tidak biasa itu sudah semakin banyak diangkat? Well, mungkin saja, para dewan founding father penulis hipster itu akan mengganti gaya penulisan karena menganggap topiknya sudah umum.

Apakah dengan menjadi penggemar hipster berarti anda lebih baik daripada yang lain? Belum tentu, dan juga tidak penting membahas hal ini.

Hipster atau bukan, penulis sepak bola memiliki taste tersendiri bagaimana gaya bahasanya. Anda pasti bisa membedakan mana tulisan yang memiliki nilai estetika dari tata kalimatnya maupun diksi yang ia ambil. Lalu seperti apa opini yang ia bangun, mana tulisan yang terlalu menggurui, mana yang pamer ilmu, mana yang mencoba mengerdilkan penulis lain, mana yang menyadur, mana sekadar menerjemahkan. 

Apapun itu, mari menulis. Mari mencintai sepak bola bersama-sama dengan khidmat. Buat apa sih saling jegal.

Sunday, April 7, 2013

Terima Kasih Atas Thriller Dari Firenze



Keep it low, capitano. Foto dari maulagi.info

Ketika wasit Paolo Tagliavento meniup peluit akhir pertandingan Fiorentina lawan Milan di Firenze yang berakhir 2-2, ia mungkin merasa puas, atau lega, atau menyeringai, atau mungkin juga berkata “What have I done?”

Ada beberapa pendapat yang familiar saya dengar, bahwa kebobrokan pertahanan bukanlah kejahatan dalam sepak bola, melainkan hal krusial demi menciptakan pertandingan yang seru. Namun jika anda mengaplikasikan hal itu di Italia, anda akan gagal.

Italia adalah surganya pemain bertahan. Posisi pemain bertahan menjadi posisi impian banyak anak muda Italia, untuk itu, mengabaikan pertahanan adalah dosa besar. Dan jika anda baru belajar menggemari sepak bola Italia, atau sudah lama menggemari calcio, izinkan saya mengingatkan sebuah fakta lagi agar anda tidak perlu terlalu mendramatisir berlebihan sebuah hasil pertandingan. Ingat juga, sepak bola Italia bukanlah referensi bijak untuk pelajaran moral. Anda tidak bisa mengharap ending yang typical saat menonton sepak bola Italia.

Ya, perilaku wasit di Italia adalah sesuatu yang menarik dibicarakan. Arbitro, sebutan mereka di Italia cukup banyak menjadi penentu hasil pertandingan lewat keputusan-keputusan kontroversial mereka. Tentu saja mereka melakukan ini bukan tanpa sebab, namun memang ada pihak-pihak yang mengendalikan dari singgasana empuk mereka di manapun berada. Dan lagi-lagi, kultur mengedepankan hasil diatas segalanya adalah alasan dibalik semua kegilaan ini.

Sebelum menghakimi lebih jauh, mungkin juga banyak yang lupa bahwa menjadi wasit sepak bola adalah salah satu pekerjaan paling sulit di dunia. Sebagai pihak yang memimpin pertandingan, kenyataannya penonton lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan sang arbitro ketimbang fakta bahwa segala keputusan yang dibuatnya harus cepat dan tidak boleh salah. That's a hell kind of job.

Ya, kadang kita sebagai penonton mengharap wasit seperti Tuhan, yang tidak boleh salah. Saya sudah berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang wasit yang dipukuli, dikejar-kejar, diancam, diintimidasi padahal ia (setidaknya) telah berupaya memimpin pertandingan dengan baik.

Di Firenze beberapa saat lalu, Tagliavento lebih banyak disorot dan dibicarakan ketimbang pemain-pemain yang beraksi di lapangan, maupun kedua pelatih yang beradu taktik dengan sengit di pinggir lapangan. Tagliavento seperti tidak rela jika hanya Howard Webb dari liga “terbaik” saja yang menjadi terkenal. Sebagai putra asli dari negara yang memiliki intrik sepak bola terumit di dunia, Tagliavento tentu ingin merebut atensi lebih.

Itulah mengapa saya hanya menertawai saja apa yang dilakukannya sepanjang laga. Bagaimana ia memberi kartu merah pada Nenad Tomovic, memberi dua hukuman penalti pada Milan atas pelanggaran yang terlihat ringan (dari layar kaca), juga banjir kartu yang ia keluarkan hingga koor tifosi di Artemio Franchi seperti lebih kencang dari biasanya.

Jelang laga ini, memang publik sudah megantisipasi panasnya bentrokan kedua kubu. Fiorentina sebagai pihak yang selalu merasa “dicuri” dalam beberapa hal, selalu termotivasi jika bertemu tim-tim jawara dari sebelah barat laut kota mereka. Ketatnya persaingan di liga ditambah faktor Riccardo Montolivo sebagai eks pemain La Viola menambah panas atmosfir laga.

Montolivo, bagaimanapun semakin lama semakin membuat saya terpesona. Ia tidak pernah berusaha menjadi Andrea Pirlo, cult hero Milan di era Ancelotti yang telah hijrah ke Juventus. Ia tidak pula berupaya membuat sensasi berlebih, meski penampilannya sejauh ini sungguh spektakuler. Dalam sebuah momen di menit awal laga, ia dengan cerdik merebut bola dari David Pizarro, lalu dengan dingin menaklukkan Emiliano Viviano. Ia menolak selebrasi karena rasa respeknya pada mantan klub.

Fiorentina semakin sial dan menunjukkan tanda-tanda kekalahan saat dua pemainnya, dua Stevan dari Montenegro, Savic dan Jovetic, harus ditarik karena cedera. Petaruh ekstrim sekalipun tidak akan berani bertaruh untuk Fiorentina. Ditambah bermain dengan 10 pemain, peluang La Viola boleh dibilang sulit, jika mustahil adalah kata yang terlalu kejam.

Belum cukup derita si ungu, Mathieu Flamini mampu membelokkan umpan tarik kencang Montolivo hingga membawa Milan memimpin 2 gol. Sebuah keunggulan yang seharusnya nyaman, dan boleh jadi membuat Berlusconi dan Galliani melanjutkan kegiatannya yang lain. Namun, di sinilah sepak bola Italia menunjukkan panggung terbaiknya.

Milan mendapat dua penalti. Yang pertama, Adem Ljajic dengan luar biasa melewati sekompi pertahanan Milan, sebelum Antonio Nocerino menghentikannya. Nocerino sendiri tidak banyak komplain setelah Tagliavento memberikan hadiah penalti kepada Fiorentina. Ini pertanda apa? Anda nilai sendiri.

Penalti kedua memang sedikit debatable. Pelanggaran ringan Mattia De Sciglio atas pemain sayap licin Juan Cuadrado di area terlarang membuat Tagliavento kembali mengangkat tangan sejauh 45 derajat sekaligus membuat Diego Della Valle dan anaknya di ruang boks VVIP Artemio Franchi melonjak girang. Ya, kita bisa memaklumi kehijauan De Sciglio di sini. Ia masih muda, dan baru disorot dalam debutnya bersama timnas senior Italia.

Lalu, apakah Tagliavento balik mendukung Fiorentina di babak kedua? Ketimbang menyoroti bagaimana Tagliavento memimpin laga, termasuk ngetwit kenapa handsball Roncaglia tidak diganjar penalti di akhir laga, saya lebih memilih untuk angkat topi pada Vincenzo Montella. Il Aeroplanino terus menunjukkan kelasnya sebagai pelatih jempolan. Meski kalah jumlah pemain, timnya tidak kehilangan kendali laga.

Ia tetap mempertahankan trio passer Pizarro, Aquilani dan Borja Valero untuk menjamin bahwa mereka akan terus menciptakan peluang. Ia memasukkan Migliaccio, seorang gelandang, menggantikan Ljajic untuk terus mempertahankan momentum sekaligus membatasi ruang para gelandang Milan. Montella menunjukkan bahwa ia adalah tipe pelatih yang selalu ingin timnya menguasai laga. Dengan kemenangan ball possession atas Milan, tim terbaik kedua di liga soal ini, Montella menunjukkan kematangan yang jarang dimiliki pelatih muda seangkatannya.

Bukan soal siapa yang lebih baik daripada Montella atau Allegri yang ingin saya bicarakan di sini, namun ketidakmampuan Milan mempertahankan keunggulan ditengah berbagai keuntungan yang mereka miliki adalah sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi. Allegri kembali mendapat pembelajaran berharga, meski hasil imbang di Firenze ini juga bukanlah hasil buruk.

Baik Allegri maupun Montella tidak berlebihan menyalahkan Tagliavento. “Wasit memberi keputusan yang menguntungkan sekaligus merugikan kedua belah pihak.” Jelas Allegri. Sementara Montella mengaku hanya mengajak bertaruh makan malam sang wasit terkait kebenaran keputusan kartu merah Tomovic.

Allegri sendiri menambahkan poin menarik. “Paradoxally, kami bermain lebih baik menghadapi 11 ketimbang 10 orang.” Yeah mister, saatnya pendewasaan lagi dan lagi. Tim yang baik adalah yang berkembang, bukan yang cepat puas.

Lupakan Tagliavento. Move on. Ingatlah laga ini dari sudut pandang sepak bola saja. Ingatlah laga ini sebagai laga paling berani yang dilakoni Montolivo.