Pages

Sunday, April 7, 2013

Terima Kasih Atas Thriller Dari Firenze



Keep it low, capitano. Foto dari maulagi.info

Ketika wasit Paolo Tagliavento meniup peluit akhir pertandingan Fiorentina lawan Milan di Firenze yang berakhir 2-2, ia mungkin merasa puas, atau lega, atau menyeringai, atau mungkin juga berkata “What have I done?”

Ada beberapa pendapat yang familiar saya dengar, bahwa kebobrokan pertahanan bukanlah kejahatan dalam sepak bola, melainkan hal krusial demi menciptakan pertandingan yang seru. Namun jika anda mengaplikasikan hal itu di Italia, anda akan gagal.

Italia adalah surganya pemain bertahan. Posisi pemain bertahan menjadi posisi impian banyak anak muda Italia, untuk itu, mengabaikan pertahanan adalah dosa besar. Dan jika anda baru belajar menggemari sepak bola Italia, atau sudah lama menggemari calcio, izinkan saya mengingatkan sebuah fakta lagi agar anda tidak perlu terlalu mendramatisir berlebihan sebuah hasil pertandingan. Ingat juga, sepak bola Italia bukanlah referensi bijak untuk pelajaran moral. Anda tidak bisa mengharap ending yang typical saat menonton sepak bola Italia.

Ya, perilaku wasit di Italia adalah sesuatu yang menarik dibicarakan. Arbitro, sebutan mereka di Italia cukup banyak menjadi penentu hasil pertandingan lewat keputusan-keputusan kontroversial mereka. Tentu saja mereka melakukan ini bukan tanpa sebab, namun memang ada pihak-pihak yang mengendalikan dari singgasana empuk mereka di manapun berada. Dan lagi-lagi, kultur mengedepankan hasil diatas segalanya adalah alasan dibalik semua kegilaan ini.

Sebelum menghakimi lebih jauh, mungkin juga banyak yang lupa bahwa menjadi wasit sepak bola adalah salah satu pekerjaan paling sulit di dunia. Sebagai pihak yang memimpin pertandingan, kenyataannya penonton lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan sang arbitro ketimbang fakta bahwa segala keputusan yang dibuatnya harus cepat dan tidak boleh salah. That's a hell kind of job.

Ya, kadang kita sebagai penonton mengharap wasit seperti Tuhan, yang tidak boleh salah. Saya sudah berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang wasit yang dipukuli, dikejar-kejar, diancam, diintimidasi padahal ia (setidaknya) telah berupaya memimpin pertandingan dengan baik.

Di Firenze beberapa saat lalu, Tagliavento lebih banyak disorot dan dibicarakan ketimbang pemain-pemain yang beraksi di lapangan, maupun kedua pelatih yang beradu taktik dengan sengit di pinggir lapangan. Tagliavento seperti tidak rela jika hanya Howard Webb dari liga “terbaik” saja yang menjadi terkenal. Sebagai putra asli dari negara yang memiliki intrik sepak bola terumit di dunia, Tagliavento tentu ingin merebut atensi lebih.

Itulah mengapa saya hanya menertawai saja apa yang dilakukannya sepanjang laga. Bagaimana ia memberi kartu merah pada Nenad Tomovic, memberi dua hukuman penalti pada Milan atas pelanggaran yang terlihat ringan (dari layar kaca), juga banjir kartu yang ia keluarkan hingga koor tifosi di Artemio Franchi seperti lebih kencang dari biasanya.

Jelang laga ini, memang publik sudah megantisipasi panasnya bentrokan kedua kubu. Fiorentina sebagai pihak yang selalu merasa “dicuri” dalam beberapa hal, selalu termotivasi jika bertemu tim-tim jawara dari sebelah barat laut kota mereka. Ketatnya persaingan di liga ditambah faktor Riccardo Montolivo sebagai eks pemain La Viola menambah panas atmosfir laga.

Montolivo, bagaimanapun semakin lama semakin membuat saya terpesona. Ia tidak pernah berusaha menjadi Andrea Pirlo, cult hero Milan di era Ancelotti yang telah hijrah ke Juventus. Ia tidak pula berupaya membuat sensasi berlebih, meski penampilannya sejauh ini sungguh spektakuler. Dalam sebuah momen di menit awal laga, ia dengan cerdik merebut bola dari David Pizarro, lalu dengan dingin menaklukkan Emiliano Viviano. Ia menolak selebrasi karena rasa respeknya pada mantan klub.

Fiorentina semakin sial dan menunjukkan tanda-tanda kekalahan saat dua pemainnya, dua Stevan dari Montenegro, Savic dan Jovetic, harus ditarik karena cedera. Petaruh ekstrim sekalipun tidak akan berani bertaruh untuk Fiorentina. Ditambah bermain dengan 10 pemain, peluang La Viola boleh dibilang sulit, jika mustahil adalah kata yang terlalu kejam.

Belum cukup derita si ungu, Mathieu Flamini mampu membelokkan umpan tarik kencang Montolivo hingga membawa Milan memimpin 2 gol. Sebuah keunggulan yang seharusnya nyaman, dan boleh jadi membuat Berlusconi dan Galliani melanjutkan kegiatannya yang lain. Namun, di sinilah sepak bola Italia menunjukkan panggung terbaiknya.

Milan mendapat dua penalti. Yang pertama, Adem Ljajic dengan luar biasa melewati sekompi pertahanan Milan, sebelum Antonio Nocerino menghentikannya. Nocerino sendiri tidak banyak komplain setelah Tagliavento memberikan hadiah penalti kepada Fiorentina. Ini pertanda apa? Anda nilai sendiri.

Penalti kedua memang sedikit debatable. Pelanggaran ringan Mattia De Sciglio atas pemain sayap licin Juan Cuadrado di area terlarang membuat Tagliavento kembali mengangkat tangan sejauh 45 derajat sekaligus membuat Diego Della Valle dan anaknya di ruang boks VVIP Artemio Franchi melonjak girang. Ya, kita bisa memaklumi kehijauan De Sciglio di sini. Ia masih muda, dan baru disorot dalam debutnya bersama timnas senior Italia.

Lalu, apakah Tagliavento balik mendukung Fiorentina di babak kedua? Ketimbang menyoroti bagaimana Tagliavento memimpin laga, termasuk ngetwit kenapa handsball Roncaglia tidak diganjar penalti di akhir laga, saya lebih memilih untuk angkat topi pada Vincenzo Montella. Il Aeroplanino terus menunjukkan kelasnya sebagai pelatih jempolan. Meski kalah jumlah pemain, timnya tidak kehilangan kendali laga.

Ia tetap mempertahankan trio passer Pizarro, Aquilani dan Borja Valero untuk menjamin bahwa mereka akan terus menciptakan peluang. Ia memasukkan Migliaccio, seorang gelandang, menggantikan Ljajic untuk terus mempertahankan momentum sekaligus membatasi ruang para gelandang Milan. Montella menunjukkan bahwa ia adalah tipe pelatih yang selalu ingin timnya menguasai laga. Dengan kemenangan ball possession atas Milan, tim terbaik kedua di liga soal ini, Montella menunjukkan kematangan yang jarang dimiliki pelatih muda seangkatannya.

Bukan soal siapa yang lebih baik daripada Montella atau Allegri yang ingin saya bicarakan di sini, namun ketidakmampuan Milan mempertahankan keunggulan ditengah berbagai keuntungan yang mereka miliki adalah sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi. Allegri kembali mendapat pembelajaran berharga, meski hasil imbang di Firenze ini juga bukanlah hasil buruk.

Baik Allegri maupun Montella tidak berlebihan menyalahkan Tagliavento. “Wasit memberi keputusan yang menguntungkan sekaligus merugikan kedua belah pihak.” Jelas Allegri. Sementara Montella mengaku hanya mengajak bertaruh makan malam sang wasit terkait kebenaran keputusan kartu merah Tomovic.

Allegri sendiri menambahkan poin menarik. “Paradoxally, kami bermain lebih baik menghadapi 11 ketimbang 10 orang.” Yeah mister, saatnya pendewasaan lagi dan lagi. Tim yang baik adalah yang berkembang, bukan yang cepat puas.

Lupakan Tagliavento. Move on. Ingatlah laga ini dari sudut pandang sepak bola saja. Ingatlah laga ini sebagai laga paling berani yang dilakoni Montolivo. 

No comments:

Post a Comment