Pages

Monday, March 18, 2013

Kekhawatiran Dibalik Kesuksesan KLB



Kongres Luar Biaasa (KLB) PSSI hari ini (17/3) akhirnya jadi juga dilangsungkan. Agenda penyatuan liga (dan timnas), revisi statuta dan pengembalian Exco yang semula dipecat berhasil dilaksanakan. Hasil keputusan penting juga hadir berupa pembubaran KPSI dan pengangkatan La Nyalla Mattalitti sebagai Wakil Ketua Umum PSSI. Anggota Exco juga ditambah dari 11 menjadi 15 orang.

Rekonsiliasi Sepak Bola Indonesia
Lalu apakah masalah benang kusut yang membuat sepak bola Indonesia mundur beberapa langkah dalam dua tahun terakhir ini lantas terurai? Belum tentu.

Publik sudah terbiasa dikibasi angin surga, mulai dari MoU di Kuala Lumpur dan lain-lainnya. Ketika headline media cetak maupun online memberitakan kabar baik, mereka lalu seperti harus merevisi berita sebelumnya karena rekonsiliasi selalu urung terjadi.

Pihak-pihak yang bertikai masih saja bermuka dua dimana mereka terlihat tidak ada masalah namun sebenarnya masih ingin saling menyingkirkan. Megalomania kekuasaan memang lebih banyak dipertontonkan ketimbang keinginan memperbaiki sepak bola. Praktis selama dua tahun di kepemimpinan Djohar Arifin ini, PSSI benar-benar jalan ditempat, atau bahkan mundur. Mereka sibuk mengurusi konflik level atas ketimbang membenahi sepak bola dengan benar.

Apa kabar program Akademi Nusantara? Apa kabar kompetisi yang baik? Apa kabar pengelolaan klub secara profesional jika keterlambatan pembayaran gaji pemain masih sering kita dengar.

Kekhawatiran kembali timbul karena yang memang kembali mengisi struktur organisasi PSSI hasil KLB hari ini adalah “orang-orang lama”. Indikasi ini makin terlihat ketika tiba-tiba terbersit kabar Jecksen F. Tiago bersama Rahmad Darmawan akan menukangi timnas, padahal selama ini timnas mengikuti training camp dibawah asuhan Luis Manuel Blanco.

Jika memang hal ini benar terjadi, sungguh situasi yang sangat runyam. Bagaimana bisa federasi sepak bola melakukan pergantian pelatih semudah kita mengganti menu pesanan makanan di restoran? Kesan politis kembali jelas tertangkap. Kursi pelatih adalah “mainan” dari para petinggi, sesuatu yang dengan gampangnya diangkat dan dilengserkan seperti layaknya yang Maurizio Zamparini lakukan kepada Palermo. Bedanya tindakan Zamparini tidak ada unsur politis.

Ini seperti dejavu ketika Alfred Riedl didepak setelah terbentuknya kepengurusan baru PSSI. Siapapun pengurus yang berkuasa seolah ingin “membersihkan” rezim sebelumnya tanpa melihat kompetensi yang dimiliki atau prestasi yang telah ditorehkan. Semangat berkelompok lebih kuat daripada semangat memperbaiki yang ada.

Politik dan sepak bola
Melihat fenomena ini, saya jadi teringat apa yang biasa terjadi mengenai cerita penggulingan sebuah tirani di benua Afrika. Mereka yang reformis dan revolusioner itu awalnya berjuang demi kepentingan rakyat, berjuang menggulingkan pemerintahan yang korup. Namun apa yang terjadi setelah mereka berhasil menggulingkan penguasa? Mereka mendirikan lagi tirani baru, dan mereka juga melakukan hal yang tidak berbeda dari penguasa lama.

Sudah bukan rahasia lagi jika sepak bola adalah kendaraan yang cepat untuk melicinkan jalan menuju kekuasaan. Okelah memang sulit menilai siapa benar dan siapa salah jika sudah berbicara politik. Tapi setidaknya pemimpin harus punya visi dalam memajukan apa yang dipimpinnya. Lihatlah Berlusconi atau keluarga Agnelli. Betapapun bejatnya kelakuan mereka, tapi mereka berhasil memajukan Milan dan Juventus, membuat kedua tim berprestasi dan terkenal hingga seluruh penjuru dunia. Mereka punya visi. Jangan lupakan pula peran junta militer Argentina terhadap kemenangan mereka di Piala Dunia 1978. Mereka memang mengambil banyak, tapi mereka juga memberi sebanyak yang mereka ambil.

Publik hanya peduli hasil di lapangan, seharusnya mereka tahu itu. Betapapun bejatnya kelakuan mereka, jika hasilnya sepak bola bisa maju, tidak ada yang peduli, mereka bahkan bisa dicap sebagai pahlawan, bukannya seorang despot rendahan yang hanya mengambil manfaat tanpa memberikan timbal balik berupa prestasi. Urusan moral, itu terlalu jauh untuk dipikirkan, yang penting adalah bagaimana mereka membuat sistem pembinaan yang baik alih-alih berebut menjadi penyelenggara kompetisi yang memang menghasilkan uang banyak.

Menilai Ketulusan Pengurus Lewat Pembinaan dan Kompetisi
Memang tidak ada istilah ketulusan dalam organisasi, atau (lagi-lagi) politik. Saya sendiri sudah bingung apa istilah yang tepat untuk ini. Namun jika ingin menilai apakah para pengurus yang sudah disahkan lewat KLB ini bekerja dengan benar untuk memajukan sepak bola, gampang saja, lihat saja bagaimana mereka melakukan pembinaan.

Penyatuan kompetisi memang menjadi agenda KLB, memperlihatkan betapa besarnya kepentingan banyak pihak akan kompetisi sepak bola yang memang semarak dan menjanjikan dari sisi bisnis ini. Mereka serius sekali merancang kompetisi karena arogansi sekaligus blunder pengurus Djohar Arifin dua tahun lalu yang membuat situasi kusut adalah penyelenggaraan kompetisi yang berantakan, juga proses penyatuan klub LPI dan LSI saat itu yang malah mengakibatkan klub ter-kloning.

Untuk kedepannya, meski format 18+4 (18 anggota ISL + 4 anggota IPL) sudah disepakati untuk kompetisi baru yang akan berlangsung tahun 2014 mendatang, namun standarisasi perlu dikedepankan. Persyaratan klub yang boleh mengikuti kompetisi yang telah ditetapkan oleh AFC mutlak diberlakukan. Jangan ada lagi klub yang berkompetisi dengan persiapan dan pendanaan seadanya, yang berujung terlambatnya pembayaran gaji pemain.

Dalam proses standarisasi ini, bisa jadi timbul polemik baru. Entah bagaimana nanti pengaturannya, namun boleh jadi nantinya komposisi 18+4 itu tidak benar-benar terpakai, sehingga timbul konflik laten yang kembali membuat benang kembali kusut. Semoga saya salah.

Seperti yang sudah banyak ditulis oleh para pemerhati sepak bola nasional, pembinaan pemain muda memang harga mati. Lihatlah bagaimana saingan terdekat seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Brunei yang meninggalkan kita dalam hal krusial ini. Perbaikan sistem pembinaan akan menjamin ketersediaan pemain yang siap pakai di kompetisi, dan tim nasional sebagai pengguna akhir pemain-pemain itu akan mendapatkan stok pemain berkualitas yang melimpah.

Semoga saja.

No comments:

Post a Comment