Pages

Monday, November 26, 2012

Kami telah kalahkan penghuni Capolista!

Hold together, lose together, win together


Sebuah pertunjukan mencekam kembali saya saksikan. Bukan, bukan film horor yang menampilkan Sadako apalagi Pocong, tapi pertunjukan mencekam dari lapangan hijau.

Setelah dipaksa menaiki roller coaster di Bukit Jalil dalam pertunjukan timnas Indonesia di Piala AFF, saya dipaksa menaiki lagi roller coaster di San Siro dalam pertunjukan Milan menghadapi tim super hebat, berduit, kolektif, produktif, panutan di Italia sekaligus memimpin klasemen, Juventus.

Juve adalah tim dengan ball possession terbaik, thanks to Allegri dan Galliani yang melepas maestro passing Andrea Pirlo ke kota Turin. Pirlo bersama Arturo Vidal dan Claudio Marchisio seolah bebas mem-bully lawan-lawan mereka di seri a, dan kini mereka juga tampil hebat di Eropa. Dinamisnya lini tengah Super Juve dilengkapi oleh  Kwadwo Asamoah dan Mauricio Isla, yang mereka datangkan dari Udinese. Soliditas lini tengah itu seakan mampu menutupi kelemahan mereka yang tidak memiliki prima punta kelas dunia.

Toh, siapa butuh prima punta handal ketika memiliki gelandang-gelandang jempolan? Lagipula, Mirko Vucinic juga bukan striker kacangan. Fabio Quagliarella juga mulai menemukan mojo-nya, belum lagi Sebastian Giovinco yang makin menjadi. Gol-gol juga kerap diciptakan oleh pemain belakang atau pemain cadangan. Nama-nama seperti Martin Caceres, Paul Pogba atau Simone Padoin juga kerap mengisi papan skor dengan gol-gol mereka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mereka kini menjadi tim yang too good to be true.

Tim hebat itu datang ke San Siro menghadapi Milan, yang musim ini seolah tidak ada apa-apanya bagi mereka. Milan yang mereka anggap tim medioker, Milan yang mereka cela sedang bertarung di zona degradasi, Milan yang budget-nya terbatas, Milan yang tetap menjadi one-man team setelah Zlatan Ibrahimovic memberikan tongkat estafet itu kepada Stephan El Shaarawy, Milan yang pertahanannya serapuh hati ABG labil, Milan yang pelatihnya tidak kreatif dan jauh dibanding pelatih muda jempolan mereka. Tapi memang Milan yang itulah yang mengalahkan mereka semalam. Milan yang itu!

Pertandingan menghadapi Juventus justru menandai keberhasilan Milan menghadapi serangkaian hujan badai di bulan November. Ketika menyerah dari Fiorentina di San Siro, banyak yang meragukan apakah Allegri mampu bertahan menghadapi tiga partai berat melawan Napoli, Anderlecht dan Juventus. Nyatanya Allegri dengan luar biasa menjawab itu semua. Khusus semalam, Allegri juga dengan elegan menjawab kehadiran Marco Van Basten di tribun yang memunculkan spekulasi penggantian dirinya dengan eks legenda Rossoneri itu.

Van Basten mungkin berbicara kepada Ariedo Braida yang duduk disampingnya saat itu. “Apaan sih lo, ini tim baik-baik aja kok. Jangan lebay deh!”

Milan yang sebenarnya memiliki possession bagus karena ada Montolivo di mesin serangan sebenarnya memulai laga dengan baik. Mereka menekan Juve, menciptakan banyak peluang meski gol yang mereka dapatkan adalah hasil hukuman penalti meragukan.

“Itu terlihat seperti penalti dari pinggir lapangan. Tapi ketika melihat tayangan ulang, itu bukan penalti.” Ujar Allegri.

“Itu memang bukan penalti, dan kami kalah. Namun terlepas dari itu, kami memang tidak pantas menang. Seperti ada yang hilang.” Ujar Gianluigi Buffon, kiper Juve.

Penalti ini seperti menuntaskan dendam setahun lalu kala gol Sulley Muntari tidak disahkan. Buffon, yang tahun lalu dihujat Milanisti, kini berkomentar sportif. Well done!

Terlepas dari kontroversi, pertandingan semalam tetaplah menarik. Jika anda berpendapat seri a tidak seseru EPL, mungkin anda perlu menonton pertandingan semacam tadi malam. Baik Milan maupun Juve semalam bertanding dengan karakter dan disiplin taktik yang tinggi, serta kemauan keras untuk memenangi pertandingan.

Juve terus menyerang setelah gol penalti Robinho, mereka menunjukkan superioritas permainan lewat penguasaan mutlak ball possession: 61 berbanding 39%. Yang kurang dari Juve hanyalah efisiensi peluang. Dari keunggulan penguasaan bola mutlak itu, Juve memang melepas 13 tendangan, namun hanya dua yang tepat sasaran. Sementara Milan meski dikepung Juve, mampu melepas 15 tendangan dengan enam diantaranya mengarah ke Buffon.

Montolivo, yang semalam ditunjuk sebagai kapten benar-benar menunjukkan kepantasannya. Ia yang kerap dibandingkan dengan Pirlo mampu mengatur distribusi bola dengan baik. Ia membantu pertahanan dan serangan sama baiknya, juga menunjukkan kepemimpinan luar biasa. Potret calon kapten pasca hengkangnya Ambrosini musim depan dan kiprah Abbiati yang dikabarkan juga tidak lama lagi di Milanello.

Pertahanan solid, diluar kebiasaan, mampu menjadi kunci kemenangan Milan. Kuartet De Sciglio-Mexes-Yepes-Constant mampu tampil disiplin dan luar biasa sepanjang 90 menit. Mereka berkali-kali melakukan tekel, intersep, bloking dan clearance yang mampu menyelamatkan gawang Marco Amelia. Amelia sendiri malam itu tidak tampil kagok seperti biasa. Ia mampu mengamankan banyak crossing dan mengamankan dua tendangan pemain-pemain Juve.

Performa menggembirakan De Sciglio dan Constant juga sangat patut disyukuri, karena Milan tidak perlu lagi repot-repot mencari bek sayap. Kini keduanya bisa dikatakan telah menggeser Ignazio Abate yang lemah dalam bertahan dan Luca Antonini yang angin-anginan.

Kemenangan ini mungkin hanya berharga tiga poin, tidak perlu dibesar-besarkan. Posisi Milan di klasemen juga masih belum beranjak ke top half. Namun kini Milan sudah mengalahkan sang capolista, artinya secara teori mereka mampu mengalahkan siapapun. Walaupun lewat penalti kontroversial dan terus diserang, kemenangan tetaplah kemenangan.

Jika performa konsisten dan hasil bagus terus diraih hingga akhir tahun ini, tahun 2013 akan menjadi kebangkitan Milan menuju posisi ideal zona Champions. Tambahan dua pemain di musim dingin seperti contohnya Cassano dua tahun lalu akan semakin membantu pencapaian tujuan itu.

Thursday, November 22, 2012

Fantastique Mexes!!



Saat dunia belum berhenti bertepuk tangan pada gol salto super dari Zlatan Ibrahimovic ke gawang Inggris yang dijaga Joe Hart, kini pertunjukan gol salto berpindah ke stadion Constant Van Den Stock, kandang dari klub Anderlecht kala salto spektakuler Philippe Mexes menjebol gawang Silvio Proto.

Mana gol yang lebih hebat? Jika melihat pada perspektif tingkat kesulitan, menurut saya hampir sama, dengan gol Ibra sedikit lebih unggul karena dicetaknya dari jarak yang lebih jauh dan lebih diagonal. Namun jika melihat pada arti gol tersebut, gol Mexes boleh dibilang lebih bernilai.

Mengapa demikian?

Pertama, Mexes adalah seorang pemain belakang. Kita tidak pernah mengharapkan gol spektakuler dari pemain bertahan yang sejatinya bertugas mengawal pertahanan alih-alih mencetak gol. Terlebih, Mexes melakukannya ketika dalam penjagaan ketat dari pemain bertahan lawan. Memang terlihat seperti untung-untungan, namun hal itu menurut saya mempercantik gol tersebut. Gol Mexes ini seolah membayar kekecewaannya di pertandingan liga lawan Fiorentina seminggu sebelumnya ketika tendangan backheel cantiknya hanya membentur tiang gawang.

Kedua, Mexes melakukannya di pertandingan yang lebih menentukan. Jika Ibra mencetak gol salto-nya ke gawang Inggris pada sebuah laga persahabatan, Mexes melakukannya dalam pertandingan resmi kejuaraan antar klub terbesar Eropa, Liga Champions. Gol ini juga memberi andil atas kelolosan Rossoneri ke babak knock-out, yang seperti menegaskan bahwa kompetisi ini memang arenanya Milan.

Ketiga, gol ini menandai gol ke 400 dari Milan di Liga Champions, sejak turnamen ini bernama Piala Champions. Secara historis, gol ini akan lebih banyak dikenang oleh fans Rossoneri. Dengan jumlah ini, Milan memasuki “klub 400” di Liga Champions pertanda klub dengan koleksi gol diatas 400 bersama Real Madrid (765 gol), Bayern Muenchen (505), Barcelona (470), dan Manchester United (450).

Keempat, gol ini boleh jadi menyelamatkan nasib Max Allegri setidaknya untuk saat ini. Allegri berada dalam sorotan tajam terkait permainan buruk Il Diavolo Rosso di seri a, terlebih setelah tidak berdaya di tangan Fiorentina. Semula, banyak yang meragukan Allegri masih akan memegang Rossoneri di bulan November yang berat ini karena ada tiga partai besar bagi Milan, yaitu menghadapi Napoli di San Paolo, Anderlecht di Constant Van Den Stock dan Juventus di San Siro. Dalam dua ujian pertamanya, Allegri boleh dibilang sukses.

Dengan golnya ini, Mexes boleh merasa bahagia karena selain indah, performa bertahan eks Auxerre dan AS Roma ini banyak dikritik. Legenda Milan Zvonimir Boban bahkan menyebut kekurangan Mexes dalam membaca permainan adalah kelemahan mendasar bagi pertahanan merah hitam. Setidaknya dengan gol ini, kepercayaan Mexes akan meninggi dan menjadi bekal yang baik baginya di pertandingan-pertandingan mendatang. 

Sunday, November 18, 2012

The Rollercoaster Team

"Like you're getting on a rollercoaster you can't find the brakes!"

Itulah potongan lirik lagu Better Day karya band British 90an Ocean Colour Scene yang mempersonifikasi pertunjukan Milan musim ini yang seperti wahana roller coaster. Tidak selalu kita menaiki wahana penantang nyali semacam itu di taman hiburan. Ada saatnya kita ingin beristirahat menaiki komedi putar atau bom-bom car sekadar untuk menurunkan adrenalin. Kebetulan, saya juga bukan tipe pecandu adrenalin, sehingga terlalu banyak hormon tersebut malah bisa membuat saya bosan.

Itulah yang saya alami selama menonton AC Milan musim ini. Bukan, saya tidak takut tim jagoan saya itu kalah. Tapi penampilan Rossoneri musim ini benar-benar memaksa pendukungnya bosan dengan ketegangan, sehingga pertunjukan yang pada umumnya membuat orang ketar-ketir dan semangat malah berubah menjadi pertunjukan membosankan tim yang menggunakan filosofi "The Power of Kepepet". Dengan alasan itu, plus bersimpati terhadap Gaza dengan tidak mengumbar keriaan, saya memutuskan untuk tidur saja dan tidak menonton pertandingan semalam.

Saya mengerti bahwa konflik yang terjadi di Gaza adalah konflik wilayah, bukan konflik Muslim dan Yahudi. Lagipula tidak semua umat Yahudi adalah Zionis. Tapi hati kecil saya tetap... Ah sudahlah, ini kan artikel bola bukannya politik atau agama.

Bagaimana saya tidak mengatakan hal itu jika Milan seakan baru tersentak ketika tertinggal dua gol lebih dahulu, dan kebanyakan gol-gol itu tercipta dengan mudah akibat keroposnya lini belakang atau kesalahan individual.

Milan seolah pamer ketajaman dan merasa bahwa mereka akan mampu menjebol gawang lawan lebih banyak meski gawang mereka juga banyak kebobolan.

Saya tidak menyukai pertunjukan semacam ini. Pendekatan "The Power of Kepepet" seperti ini sama sekali tidak efektif untuk kompetisi liga yang seperti perlombaan lari marathon. Karena kepepet, saya bisa terpaksa memanjat pagar rumah teman saya, tapi itu bukanlah sesuatu yang seharusnya setiap hari dilakukan. Kompetisi liga adalah kompetisi yang membutuhkan konsistensi, dan Milan sudah terlalu banyak kehilangan angka akibat hasil-hasil buruk yang mereka torehkan melawan tim yang sebenarnya mampu mereka kalahkan. Milan selalu membutuhkan situasi kepepet untuk menyelesaikan masalah.

Milan lagi-lagi membutuhkan kehebatan Stephan El Shaarawy, yang dengan golnya yang ke 10 kemarin membuatnya memimpin daftar cappocannonieri meninggalkan Edinson Cavani dan Erik Lamela dengan koleksi 8 buah. Ketergantungan Rossoneri pada il Faraone juga terlalu tinggi. Dengan koleksi golnya yang ke-10, El Shaarawy mencetak setengah dari gol Rossoneri di Seri a musim ini.

Memang ada sih secercah harapan. Katanya, Boateng bermain cukup lumayan, begitu pula Mbaye Niang yang membuktikan kapasitasnya sebagai penyerang bermasa depan cerah. Menahan imbang tim setangguh Napoli di kandangnya juga bukanlah pekerjaan mudah, namun dengan cara bermain Milan, hal itu tetap membuat saya tidak senang.

Allegri yang biasanya membela timnya, sehabis pertandingan ini menyalahkan pemain-pemainnya yang terlalu banyak melakukan kesalahan dan memberikan gol mudah bagi lawan. Sindiran ini boleh jadi mengarah ke kiper Christian Abbiati, yang sebenarnya mampu mencegah dua gol il Portanopei itu. Namun, mencela kiper berpengalaman dan sudah banyak berjasa bagi tim hanya akan membuat suporter makin berang. Allegri sebaiknya berkonsentrasi menyusun strategi yang mujarab, bukannya menyalahkan anak buahnya.

Dunia seakan tidak berpihak pada Allegri setelah El Shaarawy justru mendedikasikan dua golnya kepada Christian Abbiati, yang notabene dikritik sang allenatore.

@aditchenko
Sore hari di Depok setelah mengalami hari yang lucu

Sunday, November 4, 2012

Kemenangan meyakinkan!

Pazzini "Bradley Cooper", gol pertama setelah 2 bulan


Kemenangan fantastis akhirnya diukir di giornata 11 serie a oleh skuad Max Allegri. Kemenangan yang sedikit mengurangi beban dari pundak eks pelatih Cagliari itu karena diraih dengan cara spektakuler, 5 gol berbalas 1 dan dengan permainan yang sangat hidup. Berkat kemenangan ini, Milan kini mulai menapaki posisi top-half setelah beberapa pekan sebelumnya nyaris menghuni zona degradasi.

Allegri kembali membuat dahi berkerut dengan mengubah formasi. Pola 4-2-3-1 menjadi yang digunakan sejak start hingga akhir. Setidaknya Allegri sudah menemukan bahwa 2 gelandang tengah mutlak diperlukan guna menyokong trio gelandang ofensif Rossoneri. Menurunkan 5 gelandang dan 3 bek tengah seperti saat melawan Palermo mid-week lalu bukanlah ide yang bagus.

Milan memulai pertandingan dengan positif. Meski Chievo menurunkan formasi ultra-defensif 5-3-2, Milan yang dimotori Riccardo Montolivo dan kapten Massino Ambrosini di tengah mampu mengalirkan bola dengan cepat dan efektif. Hasilya, Milan unggul cepat lewat gol Urby Emanuelson setelah tendangan 1st time-nya dua kali membentur bek Chievo sebelum meluncur mulus ke gawang kiper veteran, Stefano Sorrentino.

Kelemahan lini pertahanan Milan terekspos saat menghadapi set-piece. Gol tandukan Sergio Pellisier di tiang dekat membawa The Flying Donkeys menyamakan kedudukan hanya dalam waktu dua menit. Untungnya Milan tidak panik dan tetap bermain dengan ball possession yang apik dan mengalir. Simple passing dan gocekan-gocekan ringan yang terus dilakukan Milan membuat pemain bertahan Chievo sering dipaksa melakukan pelanggaran. Emanuelson, yang tampil cemerlang dan sempat memperagakan tehnik gocekan Ronaldinho-esque kembali berperan dalam gol kedua, kali ini assist-nya kepada Montolivo membuat Milan kembali unggul.

Selanjutnya, Milan terus memaksa menyerang melalui sayap kanan yang ditempati Emanuelson yang sering melakukan kombinasi dengan Ignazio Abate. Tidak adanya pemain bertahan Chievo yang melapis Boukary Drame membuat Milan leluasa menyerang lewat sisi itu. Meski demikian, hal itu menunjukkan Milan masih cenderung berat sebelah dalam menyerang, karena sisi kiri mereka praktis kurang berperan, dan Stephan El Shaarawy memang difungsikan untuk melakukan terobosan dan finishing saja.

Sementara Giampaolo Pazzini bermain cukup apik sebagai pemantul dan penahan bola. Tercatat dia melakukan 19 touch, 8 umpan dan 2 tembakan. Keterlibatan yang cukup besar bagi si Bradley Cooper.

Gol ketiga lahir dari skema serangan balik yang cepat. Bojan menyelesaikan peluang menembak datar dari jarak cukup jauh, 30 meter. Sepertinya hal yang jarang terjadi di musim ini yaitu gol lewat fast-break membuat Milan kian percaya diri. Gol-gol seperti ini sebenarnya menjadi salah satu kekuatan Milan dalam dua musim terakhir.

Catatan khusus di babak pertama ini, Milan terlalu bergantung kepada Montolivo dalam membangun serangan. Sayangnya, tidak ada lagi pemain setipe dirinya. Jika Monty cedera, Milan akan kesulitan mengembangkan permainan. Selain itu, Milan kerap kesulitan menghadang penyerang jangkung tapi bertehnik Chievo, Cyril Thereau.

Di babak kedua, Milan tidak mengendurkan tempo. Allegri tahu benar bahwa untuk mengamankan posisinya plus menyenangkan tifosi publik San Siro, dia harus memberikan kemenangan impresif. Serangan lewat sayap kanan kini mulai diimbangi dengan sisi lainnya, yaitu sisi kiri. Kevin Constant dan El Shaaraawy mulai berani keluar menyerang dan terlibat dalam serangan-serangan bergelombang il Diavolo Rosso.

Constant menunjukkan performa terbaiknya sejauh ini, terlebih setelah Luciano ditarik keluar. Di babak pertama, gelandang veteran ini kerap meneror sisi kiri pertahanan Milan. Sepeninggal Luciano, Constant berhasil mengeksploitasi sisi kanan pertahanan Chievo dan mengirimkan banyak crossing. Saya menghitung selama pertandingan babak kedua, bek kiri darurat ini mengirimkan 5 crossing, dua diantaranya nyaris berbuah gol.

Setelah setengah jam belum menambah gol, si fenomenal El Shaarawy mencatatkan namanya di papan skor setelah menyelesaikan crossing mendatar Abate, skema yang sama ketika ia menjebol gawang Genoa, giornata 9 lalu. Ini adalah gol ke-8 il Faraone musim ini yang menjadikannya berada di puncak daftar capocannonieri seri a. Semoga musim dingin ini atau musim panas mendatang, bocah ajaib yang baru merayakan ulang tahun ke 20 ini tetap berseragam merah-hitam.

Di babak kedua ini, giliran Bojan unjuk kemampuan. Bojan mendemonstrasikan kelebihan tehnik dan kecepatannya dalam mengacak-acak lini belakang Chievo yang dikomandoi eks Roma, Marco Andreolli. Kombinasinya dengan El Shaarawy dan Montolivo membuat Milan memegang kendali total di tengah hingga daerah final third.

The icing of the cake akhirnya didapatkan Rossoneri. Bojan membuktikan bahwa dia memang alumni La Masia dengan mengirim umpan ala Xavi dan Iniesta, umpan yang membelah dua lapis pertahanan lawan. Umpan cantiknya itu meloloskan El Shaarawy dari kawalan. Dengan cepat, il Faraone mengirim umpan ke mulut gawang, dimana Bradley Cooper sudah menunggu. Gol pertama striker bernomor punggung 11 sejak 2 bulan, atau 9 giornata lalu ini menutup tirai pertunjukan spektakuler skuad Max Allegri. Gol yang membuat Adriano Galliani terbangun dari kursinya.

Terlalu dini menilai Milan telah cocok memakai pola ini. Milan meraih kemenangan besar ini juga karena andil Chievo yang bermain buruk dan kurang disiplin menjaga pertahanannya. Lini tengah yang diisi Roberto Guana dan Peperin Hatemaj juga terlihat kocar-kacir karena kalah jumlah dari Milan. Milan belum pernah sekalipun menuai streak kemenangan yang akan menjustifikasi kecocokan dan keampuhan pola 4-2-3-1 ini. Hanya saja, kemenangan ini akan membuat Milan kian percaya diri untuk segera meraih hasil-hasil positif berikutnya, terlebih jadwal berat yang diselingi Liga Champions segera menanti.

Friday, November 2, 2012

Tim lokal favorit


Selama ini saya memang lebih banyak menulis mengenai sepak bola luar negeri, khususnya sepak bola Eropa. Saya juga bisa dibilang tidak terlalu mengikuti dengan seksama perkembangan sepak bola tanah air yang berisi permainan politik tanpa akhir yang mengesalkan. Bicara Liga Indonesia, saya juga tahu sedikit saja. Liga Indonesia identik dengan permainan kasar, wasit tidak kompeten, kerusuhan suporter, jadwal tidak jelas, gaji pemain tidak dibayar, dan sebagainya. Tidak menarik.

Saya dari dulu terlelap dalam eskapisme sebagai pendukung klub Eropa, karena sepak bola lokal memang tidak pernah menyajikan cerita menarik buat saya. Saya memilih untuk menjadi pendukung klub yang terletak beribu kilometer dari saya berdiri, yang sejatinya tidak pernah memberi manfaat langsung buat saya, juga buat negara ini. Saya gembira akan kejayaan mereka sekaligus larut dalam kesedihan ketika mereka kalah, seakan-akan saya adalah bagian dari mereka. Darah saya merah, rambut saya hitam.

Memang cerita sepak bola lokal sekarang masih sama dengan waktu saya kecil, bahkan mungkin sekarang lebih parah. Sekarang cerita pencurian umur, pemain titipan, pembinaan tidak serius dan kualitas infrastruktur yang buruk ditambah lagi dengan konflik tanpa ujung di tubuh federasi.

Tapi perlahan pandangan saya berubah ketika saya mulai mengenal orang-orang ini. Orang-orang yang kritis dan peduli sepak bola nasional bagaimanapun keadaannya.

“Percuma kita hapal dan mengikuti perkembangan klub luar negeri, tapi gak peduli sama sepak bola di sekitar kita sendiri.”

“Kalau bukan kita sebagai warga negaranya, siapa lagi yang peduli?”

Itulah kata-kata mereka yang cukup mengena buat saya.

Well, kalimat-kalimat seperti itu sontak membangunkan saya dari tidur panjang dan mimpi indah yang diberikan dalam bentuk tayangan langsung tiap akhir pekan dan pemberitaan deras dari media.

Tidak, bukannya saya akan secara drastis anti menonton dan mendukung klub Eropa. Dukungan pada klub Eropa tetap saya berikan karena merekalah cermin ideal terhadap apa yang kita harapkan dari sepak bola. Bagaimana sepak bola dimainkan, bagaimana kesejahteraan pemain, keamanan penonton, bagusnya lapangan, kenyamanan wasit, kedatangan sponsor. Saya justru berharap segala tayangan gratis sepak bola Eropa yang telah bertahun-tahun kita nikmati, memberikan kita pelajaran berharga.
Memang disini tempat semua ironi berada. Akses untuk menjadi penggemar sepak bola disini lebih sulit. Mencari berita sepak bola lokal lebih sulit daripada berita dari Eropa, terlebih mencari-cari data keuangan klub atau data statistik pemain detail pemain. Memang ada, namun tidak banyak. Jadwal pertandingan juga tidak jelas, dan tidak friendly untuk kaum pekerja karena umumnya pertandingan dilangsungkan sore hari di hari kerja.

“Untuk mencari berita lokal, kita harus pintar memilih media, kalau perlu kita cari sendiri keluar rumah lalu berbicara dengan orang-orang yang memang bersinggungan langsung dengan sepak bola kita.” Demikian ucapan seorang teman.

Saya lantas mencari identitas. Banyak yang bilang bahwa identitas pendukung sepak bola adalah tim favoritnya. Well, jika itu pertanyaannya, ini menjadi pertanyaan mendasar buat saya. 

Apakah tim lokal favorit saya?

Ini pertanyaan tidak terlalu mudah untuk saya jawab. Saya lahir di Jakarta, tinggal dan besar di Depok dan  Jakarta. Saya memiliki orang tua Jawa Timur dan Jawa Barat.

Memang tidak ada kriteria tertulis soal ini, tapi jika berbicara tim lokal, setidaknya anda mesti mendukung tim yang memang dekat dengan anda. Dekat disini bukan melulu jarak, bisa pula kedekatan historis asal usul ataupun alasan lain.

Jika anda bertanya pada orang asli Jakarta yang tinggal dan bekerja di Jakarta, dengan orang tua asli Jakarta, dia kemungkinan besar akan mantap menjawab Persija sebagai tim favorit.

Hal sama akan anda temui jika kita ganti kata “Jakarta” di paragraf barusan dengan “Bandung”, “Surabaya”, “Semarang”, “Solo”, “Medan” dan lain-lain. Maka akan muncul tim favorit Persib, Persebaya, PSIS, Persis Solo, PSMS Medan.

Lalu bagaimana dengan saya?

Melihat pada tempat kelahiran, saya tercatat lahir di Bogor, sesuai akta kelahiran. Saya bisa saja menjadi pendukung Persikabo atau PSB. Tapi faktanya, saya lahir di Jakarta. Tertulisnya kota Bogor di akta kelahiran saya adalah cerita lainnya. Saya mungkin bisa mencoret kedua tim ini dari kandidat tim lokal favorit.

Menengok pada domisili, saya sudah tinggal di Depok selama 20 tahun. Saya bisa menjadi pendukung Persikad.

Melihat pada keseharian, Jakarta adalah tempat saya bekerja dan banyak teman dan saudara tinggal di ibukota Indonesia ini. Saya bisa menjadi pendukung Persija.

Melihat pada asal usul, Ayah saya berasal dari Sidoarjo, tapi dia lebih mengenal Persebaya daripada Deltras Sidoarjo. Untuk itu, saya juga bisa menjadi pendukung Persebaya. Ibu saya lahir di Bandung, dan dengan alasan itu saya bisa menjadi pendukung Persib.

Jadi, pilihan tersisa pada Persikad, Persija, Persebaya, dan Persib. Jika memang faktanya demikian, saya tidak bisa memilih. Saya bersimpati pada tim yang berada di dekat saya, Persikad dan Persija karena mereka memang dekat di hati. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih merasa menjadi menjadi warga ibukota. Walaupun demikian, saya tidak bisa melupakan asal usul saya, yang berasal dari orang tua. Kita tidak pernah bisa melupakan akar.

Lebih berat kemana? Well, saya memilih untuk seimbang.

The Debt United



Sebagai pendukung klub, mana yang anda pilih antara stabilitas keuangan yang bagus namun prestasi biasa saja atau performa lapangan yang bagus namun memiliki resiko besar di finansial? Jawabannya jelas relatif. Sebagai “pendukung sejati”, boleh jadi anda akan selalu membela apapun kebijakan klub, boleh jadi pula hanya peduli akan performa di lapangan dan tidak peduli akan tabel dan kurva njelimet yang menunjukkan performa keuangan klub. Namun suka atau tidak suka, angka-angka inilah yang menentukan kelangsungan hidup sebuah klub.

Ambil contoh Leeds United. Para pendukung klub ini sempat mengalami ketegangan membanggakan saat berlaga di semi final Liga Champions musim 2000/2001. Anda yang sudah bermain Playstation sejak era Winning Eleven 12 tahun lalu mungkin senang memakai tim ini sebagai jagoan karena lawan akan sulit menandingi kecepatan lari Harry Kewell, kemampuan duel udara Mark Viduka, kekuatan bertahan Rio Ferdinand, hingga akuratnya tendangan bebas kaki kiri Ian Harte.

Kekalahan di semifinal Liga Champions ternyata tidak terbayar oleh hasil di Liga Primer. Leeds hanya menduduki peringkat kelima karena kalah bersaing dengan Newcastle United. Kegagalan lolos ke Liga Champions ini berbuntut panjang karena berarti kegagalan mendapatkan pemasukan besar untuk melunasi utang-utang mereka.

Disitulah awal kehancuran The Whites dimulai. Pemain-pemain hebat tersebut tidak mampu menyelamatkan klub dari kebangkrutan. Nyatanya, hutang yang timbul akibat kebijakan transfer dan gaji tinggi pemain membuat kehebatan Leeds tergerus hingga harus menjual pemain-pemain mahal mereka. Pelucutan kekuatan tim membuat performa semakin menurun. Setelah terdegradasi ke Championship Division musim 2003/2004, Leeds masuk administrasi tahun 2007, yang kemudian mengharuskan mereka bermain di divisi tiga. Anda tentu tidak mau klub favorit anda bernasib seperti itu.

Kekhawatiran akan jeratan badai finansial mulai menghinggapi pendukung Manchester United sejak tahun 2005. United mulai menjadi klub dengan hutang menumpuk sejak Malcolm Glaazer mengambil alih klub 7 tahun lalu. Seperti dilansir CNBC, Glazer mengambilalih Manchester United dengan nilai 1,4 miliar US Dollar. Glazer membeli klub dengan utang sebesar 600 juta US Dollar untuk mengakuisisi klub yang menurut survei memiliki 659 juta pendukung di seluruh dunia (sumber lain 330 juta) dari pengusaha Irlandia John Magnier dan JP McManus. Sebuah klub dengan image global.

Hutang tentu saja berbunga. Hutang akuisisi United membebankan setan merah pada kewajiban membayar bunga sebesar 60 juta poudsterling per tahunnya. Glazer tahu persis bahwa dengan image yang mendunia, pendapatan komersial United akan sanggup melunasi pembayaran bunga hutangnya. Tidak heran, banyak suporter United yang membenci Glazer karena hal ini tentu melemahkan United di bursa transfer.

Ironis memang karena dari perspektif finansial, United selalu menjadi salah satu yang terdepan. Firma keuangan Deloitte menempatkan United di posisi ketiga Deloitte Football Money League 2011 dan majalah Forbes menempatkan United sebagai The Most Valuable Soccer Club selama 8 tahun berturut-turut.

Selama ini, Glazer dapat duduk tenang di rumahnya di Florida, jauh dari markas latihan United di Carrington. Glazer yang jarang menonton langsung di Old Trafford juga tidak pernah mendengarkan nyanyian pengusirannya oleh para pendukung. Dia juga mungkin tidak peduli-peduli amat pada syal hijau-emas yang diayun-ayunkan puluhan ribu pendukung yang diinisiasi oleh sekelompok pendukung yang tergabung dalam MUST (Manchester United Supporters Trust). Toh selama dalam kepemilikannya prestasi United tetaplah stabil. 4 gelar Premiership, sebuah gelar Liga Champions plus dua kali menjadi finalis dalam kurun waktu 7 tahun jelas bukan prestasi buruk, malah menjadi catatan positif dalam Curiculum Vitae sang pengusaha.

Glazer mungkin tidak terlalu mengerti sepak bola, namun setidaknya dia tahu bahwa prestasi demi prestasi yang ditorehkan skuad Sir Alex Ferguson akan mengalihkan perhatian para suporter pada sektor finansial. United memang tetap bertahan sebagai klub elit berkat tangan dingin Fergie dan pemain-pemain seperti Paul Scholes, Nemanja Vidic, Wayne Rooney, Ryan Giggs dan Patrice Evra yang mampu bermain dengan standar tertinggi mereka dalam waktu yang lama.

Glazer ”hanya” mengeluarkan uang transfer pemain sebesar 150 juta euro (bersih), bandingkan dengan Roman Abramovich yang memoles Chelski dan Sheik Mansour dengan jumlah jauh lebih besar. Glazer bahkan harus menjual Cristiano Ronaldo seharga 80 juta euro ke Real Madrid karena United memang tidak lagi memiliki cukup taji di bursa transfer. Sementara Chelsea menggunakan utang untuk membeli pemain dan Arsenal menggunakannya untuk membangun stadion, hutang Manchester United selama ini yang berjumlah nyaris 500 juta pound tersebut diputar oleh Glazers untuk membeli perusahaan lain. Kebencian suporter makin membesar ketika harga tiket terus naik. Dengan kenaikan harga tiket hingga 42% sejak Glazer mengambilalih klub, Glazer telah mengambil sepak bola dari kaum pekerja.

Keadaan menjadi tidak bersahabat bagi pengusaha keturunan Yahudi Lithuania ini musim lalu. Kalah selisih gol dari Manchester City di Premier League dan tersingkir di babak penyisihan grup Liga Champions adalah sinyal tanda bahaya. Tidak ingin suporter semakin berisik, Glazer mengambil langkah strategis dengan menggelar Initial Public Offering (IPO) saham United di New York.

Glazer memiliki alasan bagus mengapa mengadakannya di New York. Investor Amerika Serikat familiar dengan kepemilikan Glazer pada klub NFL Tampa Bay Buccaners dan First Allied Corp, selain itu penempatan Manchester United sebagai Most Valuavble Soccer Club oleh majalah Forbes yang berbasis di Amerika Serikat juga ditengarai akan menempatkan United pada posisi tawar yang bagus. Tidak hanya itu, Glazer memindahkan markas holding company United ke Cayman Island, yurisdiksi Tax Haven yang dikenal memegang erat kerahasiaan bank dan tarif pajaknya rendah. Dengan demikian, United adalah klub asal kota Manchester di Inggris dengan pemilik di Florida, sahamnya terdaftar di NYSE, dan perusahaan induknya berlokasi di Cayman Island. Makin lama makin mirip Lord Voldemort dengan horcrux-nya.

Tujuan dari IPO senilai 100 juta US Dollar tersebut seperti telah banyak dikupas oleh media, adalah untuk membantu mengurangi hutang dari klub termasuk bunganya. Teorinya, dengan dibayarnya bunga, beban keuangan klub tentu akan berkurang, dan United memiliki dana segar untuk bermain di bursa transfer pemain.

Namun kabar terakhir justru menyebutkan bahwa harga saham United kini berada di kisaran 14 US Dollar per lembar, bukan 16-18 seperti ekspektasi mereka sebelumnya. Chris Smith dari Forbes bahkan tidak menyarankan untuk membeli saham A United, saham yang dilepas untuk publik. Saham yang tidak akan membuat anda memperoleh dividen dan hanya bernilai sepersepuluh dari saham B yang dimiliki pihak keluarga Glazer. Sejarah juga berbicara bahwa tim-tim olahraga bukanlah ”pemain” yang bagus di bursa saham. Jangan lupa bahwa dengan skema ini, Glazer tidak akan kehilangan kekuasaannya atas United.

Kedatangan Robin Van Persie dan Shinji Kagawa dengan total lebih dari 40 juta pound adalah bentuk pancingan dan kibasan angin surga yang dilakukan Glazer kepada fans United untuk menunjukkan bahwa United baik-baik saja dan Opa Glazer amat peduli pada klub ini. Ini juga ditunjang dengan deal baru terkait sponsorship senilai 200 juta pound dengan Chevrolet untuk durasi 7 tahun, tentu akan tetap memberikan pemasukan komersial yang besar sekaligus memperpanjang kiprah Glazer di United.

Keluarga Glazer percaya meskipun ditangan mereka Manchester United bertransformasi menjadi The Debt United, namun dengan skema-skema transaksi keuangan canggih yang kerap mereka jalankan plus tangan dingin Fergie, semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya begitulah menurut mereka, untuk saat ini.

(Tulisan ini telah dimuat di @bolatotal - www.bolatotal.com -)

Milan, Bunuh Diri Atau Melangkah Kedepan?



Awal musim 2012/2013 adalah yang terburuk bagi AC Milan sejak 82 tahun lalu. Serangkaian kekalahan yang terjadi atas tim yang diatas kertas lebih lemah, kesulitan dalam membongkar pertahanan lawan, kebingungan mereka di area final third sungguh diluar kebiasaan. Belum lagi, permainan Antonio Nocerino dan Kevin Prince Boateng, dua punggawa lini tengah musim lalu, kini berada jauh diluar harapan.

Tapi bagaimanapun juga, anda tidak bisa banyak berharap pada klub yang sedang mengalami overhaul, alias revolusi besar-besaran pada skuadnya. Bagi para milanisti, sambutlah hari-hari penuh cobaan dengan kesabaran.

Sebagai salah satu klub yang paling digembosi skuad musim ini, tentu menarik membahas penyebab itu semua. Apa lagi jika bukan kondisi finansialnya.


The Financial - Mengapa krisis itu datang?

Milan memang bukan klub terkaya. Pendapatan mereka selalu dibawah Real Madrid, Barcelona, maupun Manchester United dan Chelsea sejak 2006 seperti ditunjukkan pada tabel dibawah:

Pendapatan Klub-klub besar Eropa




Klub
Pendapatan (Juta Euro)
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Real Madrid
292
351
366
401
439
480
Barcelona
259
290
309
366
398
451
Manchester United
243
315
325
327
350
367
Bayern Muenchen
205
273
295
290
323
321
Arsenal
192
264
264
263
274
251
Chelsea
221
283
269
242
256
250
AC Milan
220
229
210
197
236
235
Internazionale
188
177
173
197
225
211
Liverpool
176
207
207
217
225
203
Juventus
231
141
168
203
205
154

Sumber: Deloitte football money league 2011 & 2012 ; www.deloitte.com

Dilihat dari tabel, pendapatan Milan memang selalu berada dibawah raksasa-raksasa Inggris maupun Spanyol tersebut. Real Madrid dan Barcelona adalah klub dengan pertumbuhan pendapatan terbesar yang nyaris 100% dalam lima tahun terakhir.

Peringkat Milan sebenarnya tidak buruk-buruk amat, namun jika melihat disparitas antara peringkat empat besar dengan yang dibawahnya, Milan perlu khawatir. Madrid dan Barcelona adalah klub dengan rataan penonton yang tinggi, sehingga pemasukan sektor gate receipt mereka juga tinggi (Madrid rata-rata 66 ribu di 2011 dan Barcelona 79 ribu di 2011)  hingga nyaris 100 juta euro. Kedua raksasa Spanyol ini juga memiliki pemasukan komersial yang sangat besar.

Milan mengalami krisis keuangan imbas dari krisis moneter yang dialami negara-negara Eropa. Ditambah sanksi yang diterima Fininvest, perusahaan milik Berlusconi akibat skandal suap, Milan memiliki hutang besar. Sudah hutang banyak, pendapatan sedikit, biaya besar, jadilah krisis keuangan.

Krisis semacam ini bukan pertama kali dihadapi Milan. Milan pernah harus menjual bintang utama mereka, Andriy Shevchenko tahun 2006 dan Ricardo Kaka tahun 2009.
Penjualan dua idola memang menolong kondisi finansial Milan di tahun tersebut.

Khusus  di penjualan Kaka, Milan memang tertolong dari sisi finansial, namun tidak dari prestasi. Milan yang semula wara-wiri di semifinal Liga Champions –liga yang mendatangkan banyak uang- malah sibuk bersaing memperebutkan posisi 3-4 seri a. Pemain high profile seperti Ronaldinho dan Klaas jan Huntelaar yang dibeli untuk menggantikan Kaka, nyatanya tidak mencapai kesuksesan besar di Milan.


Mengapa Penerimaan Tidak Bisa Sebesar Madrid Atau Barcelona?

Milan memang tidak memiliki potensi penerimaan sebesar Madrid atau Barcelona, karena kedua raksasa Spanyol itu mendominasi hak siar televisi. Di Italia, pengaturan hak siar berbeda dengan Spanyol. Hak siar yang dibagikan secara kolektif kepada para kontestan Seri a dan Seri b turut menurunkan pendapatan mereka dari sektor ini. Mengenai hal ini Giancarlo Abete, presiden FIGC mengatakan bahwa hal ini memang dilakukan demi menyelamatkan sebagian besar klub dari kebangkrutan. ”Klub-klub tidak menjalankan bisnis yang sustainable.” demikian ungkapnya.

Kebijakan ini dilematis. Di satu sisi, FIGC berkepentingan melindungi klub-klubnya dari krisis ekonomi. Namun, di lain sisi, kebijakan pemerataan hak siar televisi ini melemahkan klub-klub kuat. Dalam dunia sepak bola, kebijakan pro kepada klub kecil tidak selalu berdampak bagus. Inilah anomali kompetisi sepak bola. Klub-klub besar yang harus menerima jatah hak siar yang kecil harus rela penerimaannya berkurang.

Akibatnya, mereka kesulitan untuk menarik pemain-pemain bagus yang tentunya bergaji besar ke skuad mereka. Tentunya hal ini membuat liga menjadi kurang semarak dari sisi komersial, dan klub-klub besar yang semula bergantung pada pemain-pemain asing yang berharga mahal tidak mampu mengatasi kesulitan ini, terlihat dari buruknya performa di kejuaraan antar klub Eropa. Dampak paling besar, koefisien Seri a tergeser oleh Bundesliga.

Sisi komersial dan rataan jumlah penonton juga bukan sisi terbaik Milan. Image mereka yang begitu mendunia di era trio Belanda kini tergeser oleh Real Madrid, Barcelona maupun Manchester United. Hal ini tentu erat kaitannya dengan prestasi Milan yang memang dalam 5 tahun terakhir tidak sebaik para raksasa itu. Sementara untuk rataan penonton, 53 ribu dari kapasitas 80 ribu kursi di San Siro bukanlah angka yang bagus, ditambah lagi  stadion San Siro bukan milik mereka. Berbagai skandal yang terjadi di persepakbolaan Italia, fasilitas stadion yang kuno dan juga prestasi yang belakangan menurun memang menurunkan minat publik Italia pada umumnya untuk datang menonton langsung ke stadion. Apalagi untuk musim ini, penjualan para bintang tersebut membuat banyak tifosi Milan yang meminta pengembalian tiket.


Sedia Payung Sebelum Hujan

Tahap monitoring Financial Fair Play yang akan dimulai pada mulai musim kompetisi 2012/2013 akan menyaratkan klub untuk merugi agregat maksimal 45 juta euro saja. Melihat trend kerugian Milan di dua tahun terakhir yang mencapai lebih dari 60 juta euro dan hutang yang menumpuk, Milan jelas berada di lampu kuning. Menjual pemain lagi-lagi menjadi opsi yang diambil para petinggi klub guna menyelamatkan nasib mereka. Sedia payung sebelum hujan.

Semangat Michel Platini dalam Financial Fair Play mengharuskan klub tidak boleh mengeluarkan uang lebih banyak daripada apa yang mereka terima. Klub tidak boleh beroperasi dengan tumpukan utang dan kerugian selama bertahun-tahun. Krisis dunia yang tidak menyentuh dunia sepak bola merupakan fenomena yang harus dibereskan. Financial Fair Play adalah alatnya yang paling ampuh guna meredam segala bentuk pemborosan berlebih yang dilakukan klub sepakbola. Melihat trend kerugian yang selalu terjadi, klub sepakbola diminta untuk menjalankan kegiatannya secara profesional dan memperhitungkan aspek bisnis. Sepakbola kini bukanlah sekedar permainan. Dilematis, namun sang regulator telah menerapkan langkah yang logis demi menghindari kehancuran dalam pasar sepakbola.

Milan dihadapkan pada situasi dimana pemain bintang mereka harus dijual guna menyelamatkan nasib klub. Tidak ada uang, maka klub tidak bisa berkompetisi. Sesederhana itu. Penjualan Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovic ke klub kaya baru Paris St. Germain mengikuti gerbong kepindahan pemain-pemain senior adalah situasi yang mau tidak mau harus dihadapi Milan. Penjualan mereka tidak hanya membantu penerimaan, tapi juga menghemat biaya gaji, yang menurut perhitungan Berlusconi mencapai 150 juta euro.


The future - Visi Berlusconi

Tidak ada yang tahu pasti masa depan tim Milan kali ini. Namun dari sisi regenerasi, Milan kini berada di jalur tepat. Rataan usia pemain-pemain Milan kini mengecil menjadi 26,4 tahun dari semula 29,1. Milan kini memiliki rataan usia pemain yang lebih muda dibandingkan dengan pesaing-pesaing seperti Juventus (27,8) dan Napoli (28,7).

Hikmah dari hengkangnya para bintang dan pemain-pemain senior itu adalah terbukanya kesempatan bermain para youngster. Kini Stephan El Shaarawy dan Mattia De Sciglio menikmati hari-hari mereka di Milanello dengan kepastian menit bermain yang lebih banyak. Tidak heran kalau banyak pengamat yang bilang bahwa Milan bakal berbahaya 1-2 musim lagi.

Ini adalah salah satu era tersulit Silvio Berlusconi dalam menangani Milan. Beberapa media mengungkapkan bahwa sikap Milan yang melucuti kekuatan mereka sendiri di bursa transfer dan tidak menggantikan mereka yang pergi dengan pengganti berkualitas adalah salah satu langkah Berlusconi untuk melepas Milan.

Untuk menarik minat calon pembeli, Berlusconi harus memastikan bahwa kondisi finansial Milan berada pada kondisi sehat. Dengan kas yang melimpah, Milan dapat mengurangi hutang-hutang mereka yang besar sehingga calon pembeli tidak harus membayar lebih mahal.

Seperti banyak diberitakan, Berlusconi coba menawarkan Milan kepada Michele Ferrero, pengusaha makanan dan orang terkaya nomor 1 Italia saat ini. Pihak Ferrero membantah berita tersebut. Langkah pembantahan ini murni trik bisnis, karena jika tercium pers maka harga beli bisa menjadi berlipat-lipat.

Tidak ada yang meragukan visi Berlusconi. Ketika menyelamatkan Milan dari kebangkrutan tahun 1986, Berlusconi tidak hanya menyuntikkan uang, tapi juga memilih pelatih dengan baik. Tidak ada yang menyangkan pilihan itu jatuh pada Arrigo Sacchi. Sacchi adalah pelatih belum punya nama saat itu, namun insting tajam Berlusconi yang terpikat oleh permainan zone-press Sacchi saat ia menangani Parma dianggapnya mampu menaikkan level Milan.

Taktik zone-press dan menyerang saat itu seperti tabu di Italia, namun ditangan Sacchi, Milan menjelma menjadi The Dream Team yang memiliki serangan dahsyat sekaligus pertahanan super kokoh khas Italia. Strategi menyerang itulah yang disukai Berlusconi sehingga ia memang kerap mencampuri dapur teknis para pelatihnya yang ia anggap tidak menjadikan Milan bermain menyerang. Cerita mengenai fanatiknya dia pada skema dua penyerang kerap timbul.

Entah apa jadinya nanti jika Milan tidak lagi dipimpin Berlusconi. Namun kerugian demi kerugian yang dialami sang mantan Perdana Menteri akibat krisis maupun kasus, juga kasus-kasus pelecehan seksual yang menimpanya boleh jadi memang membuatnya harus melepas klub yang dicintainya ini, meskipun kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi apapun yang terjadi nantinya, yang jelas langkah Milan sekarang bukanlah langkah bunuh diri, tapi lebih kepada langkah kedepan.

Setiap tim tentu memiliki siklus kemenangan. Yang terpenting adalah bagaimana klub mampu survive disaat siklus kemenangan itu sedang tidak menyapa.

(Tulisan ini telah dimuat oleh @bolatotal www.bolatotal.com)