Pages

Friday, November 2, 2012

Tim lokal favorit


Selama ini saya memang lebih banyak menulis mengenai sepak bola luar negeri, khususnya sepak bola Eropa. Saya juga bisa dibilang tidak terlalu mengikuti dengan seksama perkembangan sepak bola tanah air yang berisi permainan politik tanpa akhir yang mengesalkan. Bicara Liga Indonesia, saya juga tahu sedikit saja. Liga Indonesia identik dengan permainan kasar, wasit tidak kompeten, kerusuhan suporter, jadwal tidak jelas, gaji pemain tidak dibayar, dan sebagainya. Tidak menarik.

Saya dari dulu terlelap dalam eskapisme sebagai pendukung klub Eropa, karena sepak bola lokal memang tidak pernah menyajikan cerita menarik buat saya. Saya memilih untuk menjadi pendukung klub yang terletak beribu kilometer dari saya berdiri, yang sejatinya tidak pernah memberi manfaat langsung buat saya, juga buat negara ini. Saya gembira akan kejayaan mereka sekaligus larut dalam kesedihan ketika mereka kalah, seakan-akan saya adalah bagian dari mereka. Darah saya merah, rambut saya hitam.

Memang cerita sepak bola lokal sekarang masih sama dengan waktu saya kecil, bahkan mungkin sekarang lebih parah. Sekarang cerita pencurian umur, pemain titipan, pembinaan tidak serius dan kualitas infrastruktur yang buruk ditambah lagi dengan konflik tanpa ujung di tubuh federasi.

Tapi perlahan pandangan saya berubah ketika saya mulai mengenal orang-orang ini. Orang-orang yang kritis dan peduli sepak bola nasional bagaimanapun keadaannya.

“Percuma kita hapal dan mengikuti perkembangan klub luar negeri, tapi gak peduli sama sepak bola di sekitar kita sendiri.”

“Kalau bukan kita sebagai warga negaranya, siapa lagi yang peduli?”

Itulah kata-kata mereka yang cukup mengena buat saya.

Well, kalimat-kalimat seperti itu sontak membangunkan saya dari tidur panjang dan mimpi indah yang diberikan dalam bentuk tayangan langsung tiap akhir pekan dan pemberitaan deras dari media.

Tidak, bukannya saya akan secara drastis anti menonton dan mendukung klub Eropa. Dukungan pada klub Eropa tetap saya berikan karena merekalah cermin ideal terhadap apa yang kita harapkan dari sepak bola. Bagaimana sepak bola dimainkan, bagaimana kesejahteraan pemain, keamanan penonton, bagusnya lapangan, kenyamanan wasit, kedatangan sponsor. Saya justru berharap segala tayangan gratis sepak bola Eropa yang telah bertahun-tahun kita nikmati, memberikan kita pelajaran berharga.
Memang disini tempat semua ironi berada. Akses untuk menjadi penggemar sepak bola disini lebih sulit. Mencari berita sepak bola lokal lebih sulit daripada berita dari Eropa, terlebih mencari-cari data keuangan klub atau data statistik pemain detail pemain. Memang ada, namun tidak banyak. Jadwal pertandingan juga tidak jelas, dan tidak friendly untuk kaum pekerja karena umumnya pertandingan dilangsungkan sore hari di hari kerja.

“Untuk mencari berita lokal, kita harus pintar memilih media, kalau perlu kita cari sendiri keluar rumah lalu berbicara dengan orang-orang yang memang bersinggungan langsung dengan sepak bola kita.” Demikian ucapan seorang teman.

Saya lantas mencari identitas. Banyak yang bilang bahwa identitas pendukung sepak bola adalah tim favoritnya. Well, jika itu pertanyaannya, ini menjadi pertanyaan mendasar buat saya. 

Apakah tim lokal favorit saya?

Ini pertanyaan tidak terlalu mudah untuk saya jawab. Saya lahir di Jakarta, tinggal dan besar di Depok dan  Jakarta. Saya memiliki orang tua Jawa Timur dan Jawa Barat.

Memang tidak ada kriteria tertulis soal ini, tapi jika berbicara tim lokal, setidaknya anda mesti mendukung tim yang memang dekat dengan anda. Dekat disini bukan melulu jarak, bisa pula kedekatan historis asal usul ataupun alasan lain.

Jika anda bertanya pada orang asli Jakarta yang tinggal dan bekerja di Jakarta, dengan orang tua asli Jakarta, dia kemungkinan besar akan mantap menjawab Persija sebagai tim favorit.

Hal sama akan anda temui jika kita ganti kata “Jakarta” di paragraf barusan dengan “Bandung”, “Surabaya”, “Semarang”, “Solo”, “Medan” dan lain-lain. Maka akan muncul tim favorit Persib, Persebaya, PSIS, Persis Solo, PSMS Medan.

Lalu bagaimana dengan saya?

Melihat pada tempat kelahiran, saya tercatat lahir di Bogor, sesuai akta kelahiran. Saya bisa saja menjadi pendukung Persikabo atau PSB. Tapi faktanya, saya lahir di Jakarta. Tertulisnya kota Bogor di akta kelahiran saya adalah cerita lainnya. Saya mungkin bisa mencoret kedua tim ini dari kandidat tim lokal favorit.

Menengok pada domisili, saya sudah tinggal di Depok selama 20 tahun. Saya bisa menjadi pendukung Persikad.

Melihat pada keseharian, Jakarta adalah tempat saya bekerja dan banyak teman dan saudara tinggal di ibukota Indonesia ini. Saya bisa menjadi pendukung Persija.

Melihat pada asal usul, Ayah saya berasal dari Sidoarjo, tapi dia lebih mengenal Persebaya daripada Deltras Sidoarjo. Untuk itu, saya juga bisa menjadi pendukung Persebaya. Ibu saya lahir di Bandung, dan dengan alasan itu saya bisa menjadi pendukung Persib.

Jadi, pilihan tersisa pada Persikad, Persija, Persebaya, dan Persib. Jika memang faktanya demikian, saya tidak bisa memilih. Saya bersimpati pada tim yang berada di dekat saya, Persikad dan Persija karena mereka memang dekat di hati. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya lebih merasa menjadi menjadi warga ibukota. Walaupun demikian, saya tidak bisa melupakan asal usul saya, yang berasal dari orang tua. Kita tidak pernah bisa melupakan akar.

Lebih berat kemana? Well, saya memilih untuk seimbang.

No comments:

Post a Comment