Pages

Sunday, January 31, 2016

Permufakatan Jahat Untuk Si Nomor 10 Klasik



Lemmy Kilmister, David Bowie, Glenn Frey wafat pada rentang waktu yang tidak terlalu lama. Bagi para musisi yang besar di era 80 dan 90an, tiga nama ini adalah inspirasi. Poster mereka terpajang di kamar, di studio dan di jendela bis tur sebagai panutan, dengan lagu Ace of Spades, Ziggy Stardust dan Hotel California yang mengalun. Meski dunia musik memang telah berubah sejak era milenium, namun kepergian tiga legenda ini bagaikan pukulan gong pamungkas yang menandai selesainya sebuah pertunjukan. 

Baik Lemmy, Bowie, ataupun Frey memiliki talenta luar biasa, dedikasi tanpa batas pada dunia musik, juga penggemar yang begitu loyal. Kemahsyuran diraih tidak dengan bermodal sebuah video Youtube enam puluh detik yang menjadi viral akibat kepo berlebihnya pengguna internet, namun semua berkat karir fenomenal yang akan terlalu panjang jika harus diceritakan.

Pergantian era di dunia musik ini membuat saya tidak antusias mengikuti perkembangan musik kekinian. Imbasnya, playlist lagu yang saya punya didominasi dengan lagu-lagu angkatan para Oom saya, dengan era 90an sebagai batasannya.

Dalam beberapa hal, saya memandang diri sebagai seorang yang rela menunggu lama untuk sesuatu yang menurut saya patut ditunggu. Halah, apa sih. Gini deh, misalnya ketika saya kepingin makan steak, saya rela tuh menabung demi bisa makan steak paling enak yang tentunya berharga mahal. Steak yang lebih murah memang sudah banyak dijual, tapi tanpa bermaksud sok kelas menengah, saya memilih menunggu. Imaji akan daging steak yang juicy, kematangan yang pas, dan saus barbeque yang cocok tidak dapat disubstitusi

Seperti halnya pandangan saya terhadap musik kekinian, saya juga merasakan keengganan yang sama untuk mengikuti sepak bola belakangan ini. Mengapa demikian?

Sepak bola kekinian itu terlalu sempurna. Lihatlah tim seperti Barcelona atau Bayern Muenchen sebagai contoh. Mereka bisa dengan mudah mengeksploitasi lini belakang lawan, menguasai ball possession, mencebol gawang lawan sesuka hati, dan memenangkan kejuaraan. Sulit mencari cela dalam permainan mereka. Umpan, pergerakan, tembakan yang sudah hafalan, dan gol seperti dapat dicetak bergiliran.

Pemain-pemain mereka juga mampu memerankan banyak posisi. Pemain depan dapat diminta bertahan, pemain belakang dapat diminta membangun serangan, gelandang serang dapat diinstruksikan mengganggu pengatur serangan lawan, atau bek sayap yang dapat digeser ke tengah. Kedigdayaan tim ini menjadikan mereka sebagai model kesuksesan. Jika ingin sukses, bermainlah seperti ini. Mereka bahkan tak henti-hentinya memaksa para haters untuk setidaknya bertepuk tangan, karena mereka memang terlalu bagus untuk dicela.

Menyaksikan sepak bola seperti ini seperti menyaksikan sekumpulan musisi jazz yang sedang berimprovisasi. Saya kagum, saya senang, saya salut dan tercengang melihat bagaimana mereka bisa bergantian memainkan solo pada masing-masing instrumen. Tapi bukan seperti inilah musik yang saya bisa nikmati. Mohon maaf, tapi ini sudah masalah selera.

Di dunia sepak bola, saya memandang Juan Roman Riquelme sebagai lead guitarist dalam sebuah band classic rock. Posisinya amat vital dalam memberi nyawa dan variasi pada sebuah lagu. Ia dibebaskan memencet nada-nada di perangkat gitar enam string miliknya, sementara rekan-rekannya bertugas menjaga tempo. Teknik apapun boleh dipakainya. Tidak terpaku, tidak kaku dan tidak harus mencontoh pola yang sudah berlaku umum.

Riquelme memang bukan seorang pionir. Ia sudah pasti tumbuh menyaksikan pemain era sebelumnya seperti Cruyff Maradona, Platini, Zico, Mostovoi, Boban, Rui Costa, atau Paul Gascoigne bermain seperti halnya para gitaris yang mengidolakan Jimi Hendrix, Jimmy Page, Randy Rhoads, Stevie Ray Vaughan, George Harrison dan Ritchie Blackmore. Jadi, akan teramat berlebihan jika ia didengungkan sebagai pemain paling orisinil. Namun jika menyebut bahwa ia adalah spesies nomor sepuluh klasik yang terakhir di sepak bola level tertinggi, mungkin saja itu benar. 

Riquelme adalah tipe pegawai yang rela terlambat datang ke kantor demi mengantarkan anaknya sekolah terlebih dahulu. Ia bukanlah sosok Daniel Passarella yang begitu rapi, disiplin dan amat kaku. Ia hidup dengan cara meresapi betul slow culture. Cara hidup ini terlihat secara gamblang di lapangan: malas berlari, malas menutup pergerakan lawan, apalagi membantu pertahanan. Tugasnya hanya satu: mengejawantah imajinasi untuk membongkar pertahanan lawan.

Hal yang unik lain dari Riquelme adalah pilihan-pilihan katanya yang menarik ketika diwawancara oleh wartawan. Ia begitu blak-blakan, alih-alih diplomatis, dan karena itu selalu memberikan bahan berita menarik bagi para jurnalis, yang membuat sosoknya selalu dirindukan di mixed zone atau press conference room. Seperti menegaskan bahwa ia adalah seorang pemikir out of the box. 

“Saya tidak membunuh orang. Saya hanya gagal menendang penalti,” ujarnya ketika ditanya soal kegagalan penalti ke gawang Arsenal dalam semifinal Liga Champions tahun 2006. Riquelme ketika itu membela Villareal, dan seandainya gol, maka Yellow Submarine akan melaju ke partai puncak. Namun tanpa diduga, Riquelme menanggapinya dengan amat santai, seraya menganggap peristiwa semacam ini bisa terjadi kapan pun kepada siapa pun.

Pemain yang identik dengan nomor punggung sepuluh ini juga telah pensiun dari dunia sepak bola pada Januari tahun lalu. Ketiadaan pemain nomor sepuluh klasik memang sudah bukan lagi bahan perbincangan baru, namun tetap saja pensiunnya seorang Riquelme menandai sebuah ‘permufakatan jahat’ untuk menyingkirkan nomor sepuluh klasik di dunia sepak bola selama-lamanya. Sepak bola kekinian sudah tidak lagi memberi tempat untuk pemain nomor sepuluh klasik seperti Riquelme.

Tulisan ini tidak bermaksud objektif dan memang dimaksudkan untuk tendensius. Karena saya amat terganggu ketika melihat sepak bola kekinian yang sudah berani-beraninya menyuruh seorang berkemampuan playmaker untuk bermain lebih ke pinggir sebagai inverted winger. Ia juga tidak boleh lagi berlama-lama dengan bola, melainkan hanya boleh menyentuh bola empat atau lima kali saja. Mendribel, apalagi melakukan La Pausa adalah dosa besar.

Riquelme terus berkata tidak pada pergeseran peran dan cara bermain hingga akhir karirnya, tanpa peduli jika akhirnya ia terpinggirkan dari puncak piramida sepak bola. Pun tanpa gelar pemain terbaik dunia. Toh dia sudah puas dengan histeria yang didengarnya dari setiap sudut La Bombonera, juga gelar-gelar tidak resmi dari para pendukung loyal tentang pengkultusannya.
 
Sebuah pencapaian yang dalam beberapa hal membuat saya iri.

No comments:

Post a Comment