Pages

Thursday, November 19, 2015

Roberto Rosato, ‘Kembaran’ Tak Kalah Hebat Dari Gianni Rivera

Rivera dan Rosato. Photo from magliarossonera.it

Roberto Rosato adalah salah satu dari sekian bek legendaris yang pernah dimiliki Milan. Ia bermain di skuat Merah-Hitam tahun 60 hingga 70an dan turut menjadi bagian dari kejayaan Milan pada era tersebut. Tanggal lahirnya sama dengan legenda Milan lain yang lebih populer, Gianni Rivera. Meski Rivera lebih banyak diingat, namun kontribusi seorang Rosato tidak dapat dilupakan begitu saja.
***

Semifinal Piala Dunia 1970 mempertemukan Italia dengan Jerman Barat. Pemenang pertandingan ini akan menghadapi salah satu di antara Brasil atau Uruguay. Sudah pasti nantinya akan terjadi duel klasik antara dua kutub, yaitu Eropa dengan Amerika Selatan di final Piala Dunia 1970. Aroma rivalitas juga makin kentara karena Brasil, Uruguay dan Italia kala itu sama-sama telah merebut dua gelar juara. Artinya, siapa pun yang keluar sebagai juara, akan menyimpan trofi Jules Rimet.

Pertandingan Italia melawan Jerman memasuki babak perpanjangan waktu setelah dalam waktu 90 menit kedudukan masih 1-1. Pada saat itu, babak adu penalti belum diperkenalkan di Piala Dunia, sehingga kedua kesebelasan sama-sama mengerahkan kemampuan untuk mencetak gol pada babak perpanjangan waktu ini.

Hasilnya, lima gol tercipta di babak ini, hingga kini satu-satunya yang terjadi dalam sejarah Piala Dunia. Jerman Barat mencetak dua gol dan Italia mencetak tiga gol. Dalam laga yang kemudian dikenang sebagai Match of the Century ini, seorang gelandang serang elegan bernama Gianni Rivera menjadi bintang. Masuk sejak menit 46 menggantikan Sandro Mazzola sebagai bagian dari taktik staffetta pelatih Ferruccio Valcareggi, Rivera berperan langsung dalam terciptanya dua gol pada babak perpanjangan waktu yang membawa Italia ke babak final.

Sayangnya, Italia tampil antiklimaks di final melawan Brasil yang begitu perkasa di bawah pimpinan Pele. Rivera juga secara mengejutkan baru diturunkan pada akhir-akhir pertandingan.

Rivera memang memiliki nama harum di persepakbolaan Italia. Meski tidak menyumbang gelar Piala Dunia untuk Gli Azzurri, namun Rivera adalah pemain Italia kedua yang memenangkan gelar Ballon D’or tahun 1969 setelah Omar Sivori meraihnya tahun 1961. Ia juga membawa timnas Italia menjuarai Piala Eropa tahun 1968, gelar juara kontinental yang hingga kini menjadi satu-satunya milik Gli Azzurri.

Rivera menghabiskan sebagian besar karirnya di Milan. Dengan sumbangan tiga scudetto plus dua European Cup (sekarang Liga Champions), tidak mengherankan jika nama Rivera diabadikan dalam Hall of Fame, sebuah penghargaan bernilai abadi atas segala kontribusinya kepada MIlan. Ketika Rivera berulang tahun ke-72, 18 Agustus 2015 lalu, Milan melalui situs resmi www.acmilan.com mengucapkan selamat ulang tahun kepada legendanya itu.

Namun ternyata ucapan selamat ulang tahun pada hari itu tidak diberikan kepada Rivera seorang. Seperti diceritakan di awal, terdapat satu nama yang memiliki hari kelahiran identik dengan Rivera, yaitu Roberto Rosato. Tidak hanya tanggal lahir yang sama, kedua pemain juga lahir di tahun yang sama. Meski lahir dari orang tua yang berbeda, namun kesamaan ini menyebabkan keduanya kerap dipanggil Si Kembar.

Adalah takdir yang mempertemukan keduanya bermain di skuat Milan dan timnas Italia. Pelatih legendaris Nereo Rocco berandil besar untuk itu. Rocco, yang sempat melatih Torino pada tahun 1963 hingga 1967 melihat potensi besar pada diri Rosato, yang berposisi sebagai pemain belakang. Kepercayaan Rocco itulah yang membuat kemampuan Rosato berkembang sebagai bek andalan Il Toro hingga akhirnya terpilih memperkuat timnas Italia tahun 1965, lalu terpilih dalam skuat yang bertanding di Piala Dunia 1966.

Selepas Piala Dunia 1966 itulah Rosato hijrah ke Milan dan bersatu dengan ‘saudara kembarnya’, Rivera. Rosato lantas didapuk sebagai penerus Cesare Maldini sebagai pemimpin lini belakang Rossoneri. Uniknya, Maldini mengambil jalan sebaliknya dengan pindah ke Torino untuk bereuni dengan Rocco. Cerita unik kembali berlanjut karena setahun kemudian Maldini pensiun, dan Rocco kembali melatih Milan dan bereuni dengan Rosato.

Dalam musim debutnya, Rosato membentuk lini pertahanan tangguh bersama Karl-Heinz Schnellinger, bek asal Jerman. Musim pertamanya di San Siro diwarnai raihan gelar Coppa Italia. Namun dua tahun berturut-turut setelahnya-lah yang mengukir nama Rosato abadi dalam sejarah Rossoneri. Musim 1967-68, Rosato berperan besar membawa Milan meraih gelar scudetto dan Piala Winners Eropa, sementara semusim kemudian, Rosato ikut mengantar Milan meraih European Cup.

Penampilan fisik Roberto Rosato berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkannya di lapangan. Ia memiliki wajah tampan, namun ketika bermain, ia amat garang dan keras. Karakternya di lapangan sedikit mengingatkan pada sosok oriundo pemain bertahan timnas Italia pada periode 1930an, Luis Monti. Rosato juga dapat bermain di posisi gelandang bertahan, serupa dengan kemampuan yang dimiliki Monti. Kemampuan memerankan beberapa posisi ini juga menunjukkan Rosato memiliki visi dalam bermain.

Rosato jugalah yang menjadi tulang punggung lini belakang timnas Italia di dua Piala Dunia, 1966 dan 1970. Di lini belakang timnas, Rosato bahu membahu dengan rivalnya dari Inter, Tarcisio Burgnich. Keduanya berperan besar membawa Italia meraih gelar Piala Eropa tahun 1968 dan menjadi runner-up Piala Dunia 1970.

Duet Rosato bersama Burgnich di lini belakang, juga mengiringi dominasi Milan-Inter lainnya di skuat timnas Italia. Seperti diketahui, dua kesebelasan itu memang berjaya pada masa 60an dan 70an. Pada Piala Dunia 1970, duet Milan-Inter bahkan bisa dilihat di seluruh lini. Selain Rosato-Burgnich, ada pula Rivera-Mazzola di tengah dan Prati-Boninsegna di lini depan.

Pengakuan akan kehebatan Rosato mungkin tidak terdengar senyaring yang diterima sang kembaran, Rivera. Namun hal ini bukan berarti ia tidak termasuk dalam jajaran pemain-pemain terbaik yang pernah dilahirkan Italia. Bagi Milan sendiri, Rosato telah berhasil meneruskan kehebatan Cesare Maldini dalam memimpin lini belakang. Secara total, Rosato memperkuat Milan dalam 187 laga selama tujuh tahun.

Bukan hanya itu, Rosato juga turut dijadikan patokan dalam menilai apakah bek-bek Milan berikutnya patut disebut sebagai pemain besar, karena pada era sesudahnya, nama Fulvio Collovati didengungkan sebagai penerus dari Rosato. Seperti diketahui, Collovati adalah pemain belakang lulusan dari akademi Milan yang kemudian turut menjadi andalan Rossoneri sekaligus timnas Italia.

Bukan hanya sekali-dua kali memperkuat Gli Azzurri, namun Collovati adalah anggota inti dari tim yang memenangi Piala Dunia 1982. Hebatnya lagi, Collovati mampu meyakinkan pelatih Enzo Bearzot untuk memasangnya sebagai bek inti meski ketika itu lini belakang Gli Azzurri didominasi bek-bek tangguh Juventus seperti Claudio Gentile, Antonio Cabrini dan Gaetano Scirea.

Rosato memang telah meninggal dunia pada bulan Juni tahun 2010 lalu. Namun sosoknya tidak akan pernah hilang dari ingatan sebagai bagian dari tradisi Milan, yang menjadi tempat kelahiran sekaligus rumah bagi bek-bek berkelas dunia.

Tuesday, November 17, 2015

Perjalanan Karir dan Warisan Johan Cruyff Untuk Sepak Bola

Johan Cruyff. Photo from jotdown.es

(Entri ini menulis ulang dan mengedit seperlunya salah satu tulisan saya dari buku The Legends, Pesepak Bola Terbaik Dunia Yang Pernah Ada; Aditya Nugroho, Arsyad M. Fajri, M. Rezky Agustyananto, Mahir Pradana; Salaris Publisher, 2014)

Hendrik Johannes Cruyff lahir pada 25 April 1947, ia adalah anak dari seorang ayah bernama Hermanus dan ibu bernama Petronella. Cruyff lahir di bagian timur Amsterdam, ibukota Belanda. Seakan mengikuti jejak para seniman dan artis kelahiran kota ini, Cruyff kelak juga dikenang sebagai seniman sepak bola papan atas.

Cruyff sudah menyukai sepak bola sejak kecil. Idola masa kecilnya adalah Servas ‘Faas’ Wilkes, pemain nasional Belanda era 40 hingga 50an. Wilkes adalah seorang penyerang subur Belanda yang karirnya membentang dari klub Xerxes Rotterdam, Internazionale Milan, Torino, hingga ke Spanyol bersama Valencia. Wilkes juga merupakan pencetak gol terbanyak tim nasional Belanda saat itu dengan catatan 35 gol sebelum rekor tersebut dipecahkan oleh Patrick Kluivert dan Robin Van Persie.

Kesedihan melanda Cruyff saat sang ayah meninggal akibat serangan jantung. Saat itu usianya masih 10 tahun. Ibunya yang tak sanggup membuka toko seorang diri akhirnya mencari pekerjaan baru, dan ia mendapatkannya di Ajax sebagai petugas pembersih. Cruyff pun menjalani masa-masa remajanya tanpa didampingi sosok ayah. Namun justru dari peristiwa inilah mentalnya terasah.

Cruyff bermimpi untuk menjadi pesepakbola seperti Wilkes. Bakat besar Cruyff tercium oleh tim pemandu bakat Ajax, yang kemudian menariknya. Cruyff menjalani kehidupan yang berat sebagai anak-anak. Sekolah di pagi hari, berlatih di sore hari dan membantu ibu di sela-sela waktu. Ia juga amat belajar banyak soal kedisiplinan dari hal ini.

Ajax memang dikenal sebagai klub yang sejak lama memperhatikan betul akademi mereka. Bakat besar Cruyff tercium lantaran para pelatih Ajax yang kala itu kebanyakan berasal dari Inggris meluangkan banyak waktu untuk menyaksikan perkembangan pemain-pemain mudanya. Para staf pelatih itu menginginkan pemain muda mereka bermain layaknya tim senior yang atraktif, banyak menekan lawan dan lihai dalam menguasai bola. 

Perjalanan Karir Sebagai Pemain
Cruyff tumbuh sebagai remaja bertubuh tinggi dan berkaki panjang. Rambutnya bergaya shaggy alias dibiarkan panjang natural tanpa ditata secara berlebihan. Cruyff juga amat pintar berbicara, melambangkan kecerdasan dan wawasannya yang luas. Kala diwawancarai wartawan, tata bahasanya amat runtut, sistematis, filosofis dan elegan.

Cruyff adalah sosok yang tahu betul yang ia mau, dan tahu cara meraihnya. Filosofi sepak bola di kepalanya makin melekat kala ia ditugasi sebagai ball boy dalam pertandingan final European Cup antara Benfica melawan Real Madrid. Cruyff yang saat itu baru berusia 15 tahun berdecak kagum menyaksikan pemain-pemain seperti Eusebio dan Di Stefano. Mereka berdua adalah pemain yang amat cerdas dengan menggabungkan skill tinggi dan pergerakan yang tak terlacak bek lawan. Sebuah pemandangan yang menginspirasi Cruyff muda.

Cruyff mendapatkan kesempatan melakoni debut tim senior Ajax Amsterdam delapan tahun setelah bergabung atas rekomendasi Vic Buckingham, pelatihnya asal Inggris saat itu. Dalam debutnya menghadapi GVAV tersebut, ia langsung mencetak gol namun sayang Ajax harus menyerah 1-3. Dalam musim perdananya ini, prestasi Ajax tidaklah memuaskan dan harus menduduki posisi 13, atau salah satu peringkat terendah sepanjang sejarah. Cruyff sendiri membukukan 4 gol dalam 10 laga yang ia lakoni musim itu. Bukanlah pencapaian buruk bagi seorang pemain muda.

Namun musim berikutnya Cruyff membawa Ajax pada fase kebangkitan. Lewat sumbangan 16 golnya, Ajax berhasil merebut gelar Eredivisie pertama mereka dalam lima tahun. Semusim berselang, Cruyff memenangi gelar topskor Eredivisie dengan torehan 33 gol dari 30 laga. Total, Cruyff mencetak 41 gol dari 41 laga di semua ajang dan membawa Ajax kembali meraih titel domestik.

Kejayaan di level domestik kemudian menular ke Eropa. Yang paling dikenang tentu saja tiga gelar beruntun European Cup (sekarang Liga Champions) tahun 1970 hingga 1972 yang membuat mereka menyamai prestasi Real Madrid tahun 50an kala Di Stefano dan Puskas menjadi andalan. Pencapaian ini sekaligus menjadikan Ajax dianugerahi penghargaan abadi Badge of Honour, sebuah penghargaan bagi klub yang mampu merebut tiga gelar beruntun European Cup atau mengumpulkan minimal lima gelar secara total. Hingga kini, baru lima klub yang memperoleh kehormatan itu, yaitu Real Madrid, Bayern Muenchen, Liverpool, AC Milan dan Ajax.

Tak pelak, Ajax era 70an adalah salah satu tim yang layak disebut terbaik sepanjang masa. Menggabungkan permainan atraktif dengan dominasi absolut atas lawan dan menguncinya dengan kemenangan menandai sebuah filosofi baru dalam dunia sepak bola, yang kemudian dikenal sebagai Total Football. Ajax yang saat itu dimotori oleh Cruyff bersama Barry Hulshoff, Henk Groot, Sjaak Swart, Bennie Muller, Wim Suurbier dan Piet Keizer adalah tim impian.

Penghargaan individual pun tak lepas dari genggaman Cruyff. Ia adalah pemain Belanda pertama yang menyabet gelar Ballon d’Or saat pertama kali merengkuhnya tahun 1970. Ia kelak meraih Ballon d’Or sebanyak tiga kali, di mana sampai saat ini hanya empat pemain yang pernah mencapainya. Cruyff bersama Michel Platini dan Marco Van Basten adalah peraih tiga kali Ballon d’Or sebelum Lionel Messi memecahkan rekor mereka setelah meraih gelar keempat tahun 2012.

Gelar topskor liga Belanda juga didapat Cruyff musim 1971/1972, termasuk topskor European Cup tahun yang sama saat mereka menjuarai ajang tersebut. “Kami tidak memiliki kesempatan. Johan Cruyff sangat luar biasa.” Ujar salah seorang suporter Panathinaikos, klub yang dikalahkan Ajax pada final European Cup tahun 1971 seperti dikutip dalam buku The Brillian Orange, The Neurotic Genius of Dutch Football karya David Winner.

Winner menambahkan bahwa setahun berselang, Arsenal yang kala itu merajai sepak bola Inggris pun dibuat tak berdaya di tangan Ajax di bawah pimpinan Cruyff. Winner mengutip perkataan komentator radio BBC dalam pertandingan itu. “Arsenal bertanding melawan tim yang jauh lebih kuat dan modern, dan sebagai pemain, Cruyff telah berada di level yang jauh berbeda dengan pemain-pemain Arsenal.

Kegemilangan Cruyff juga diakui hingga seantero Eropa, dan saat itu dua klub besar Spanyol, Real Madrid dan Barcelona meminatinya. Karena ketidaksukaannya pada rezim diktator Jenderal Franco yang sering diasosiasikan dengan Madrid, tahun 1973 Cruyff memilih Barcelona meski Madrid rela membayar lebih mahal. Cruyff pun pindah dengan nilai transfer 900 ribu pound, sebuah rekor saat itu. Sebuah pilihan yang mulai memperlihatkan kepada dunia tentang sisi lain Cruyff, yang amat keras hati dan teguh memegang prinsip.

Bergabung kembali dengan pelatih favoritnya, Rinus Michels, Cruyff tidak menjalani awal harinya di Camp Nou dengan mudah. Saat Cruyff datang, kompetisi telah dimulai dan Barca tengah terpuruk. Namun kedatangannya memberi dampak luar biasa dengan membawa tim ini bangkit. Penampilan memukau Cruyff bahkan membawa kemenangan 5-0 atas Madrid di Santiago Bernabeu, sebuah kemenangan tak terlupakan. Di akhir musim, Barcelona akhirnya keluar sebagai juara.

Setelah menjalani lima musim yang berkesan di Barcelona, Cruyff hijrah ke utara Amerika untuk bermain di kompetisi NASL (North American Soccer League) bersama klub Los Angeles Aztecs. Di usianya yang sudah 32 tahun, ia masih mampu bermain baik, bahkan terpilih sebagai Most Valuable Player (MVP).

Cruyff menghabiskan setahun berikutnya masih di Amerika Serikat, kali ini bersama klub Washington Diplomats. Ia sebetulnya bisa bertahan lebih lama, namun cedera yang menimpa pada awal musim kedua membuatnya memutuskan hengkang. Ia lantas kembali ke Spanyol untuk bermain di divisi dua bersama Levante.

Pilihannya bermain di Levante ternyata kurang menguntungkannya, meski Levante berada di Spanyol, tanah yang ikut membesarkan namanya. Ketidakcocokan dengan manajemen membawanya hengkang, dan akhirnya tahun 1982 pulang ke Belanda, ke klub tempatnya memulai karir, Ajax. Kali ini, Cruyff juga merangkap sebagai penasihat pelatih saat itu, Leo Beenhakker dan juga sebagai pemain.

Sihir Cruyff di lapangan masih ada. Yang paling ternama jelas tendangan passing penalty yang ia ambil saat bertanding melawan Helmond Sport. Bukannya menendang langsung, Cruyff mengoper bola dengan pelan kepada rekannya Jesper Olsen. Olsen yang bergerak cepat lantas memancing kiper Otto Versfeld untuk menghadangnya, namun sebelum itu terjadi, Olsen mengembalikan bola kepada Cruyff yang langsung menceploskan bola ke gawang kosong.

Dua dekade setelah kejadian ini, Robert Pires, pemain sayap elegan Arsenal berniat meniru apa yang Cruyff lakukan bersama Olsen. Bermaksud mengoper kepada Thierry Henry, Pires justru luput menendang bola dengan benar, sehingga ia malah dinyatakan melakukan pelanggaran. Ya, ternyata melakukan sebuah simple passing yang presisi tidak semudah itu, bukan?

Sudah sepantasnya seorang legenda menghakhiri karir bersama klub yang membawanya mengawali karir. Cruyff pun inginnya menjadikan Ajax sebagai pelabuhan terakhir karir sepak bolanya yang yang luar biasa. Namun apa mau dikata, Ajax enggan memperpanjang kontrak sang legenda hidup.

Cruyff membalasnya dengan tindakan yang amat menyakitkan pendukung Ajax sekaligus mencoreng muka direksi klub, yaitu dengan hijrah ke rival berat, Feyenoord Rotterdam. “Saat Amsterdam bermimpi, Rotterdam bekerja” sudah menjadi kalimat yang terkenal bagi warga Rotterdam kepada warga Amsterdam. Kedatangan Cruyff, dipandang mereka akan membuat Amsterdam (Ajax) hanya bisa bermimpi melihat kejayaan Rotterdam (Feyenoord) yang mulai bekerja.

Cruyff memainkan nyaris seluruh partai liga dan piala liga bersama Feyenoord yang saat itu juga diperkuat pemain berbakat, Ruud Gullit. Talenta besar Gullit berpadu dengan magis Cruyff akhirnya membawa kejayaan bagi Feyenoord. Pada akhir karirnya ini, Cruyff akhirnya membawa Feyenoord merebut gelar ganda. Gelar liga yang diraih Feyenoord ini juga menjadi yang pertama bagi mereka dalam satu dekade.

Bersama De Oranje
Meski kehebatannya sudah berkali-kali dipertontonkan di level klub, namun dunia baru benar-benar mengenal sosoknya saat ia memimpin 10 orang berseragam oranye lainnya dalam bendera negara Belanda. Wajar saja, saat itu jangkauan siaran langsung sepak bola belumlah seperti sekarang. Baru ajang antar negara macam Piala Dunia yang mendapat porsi perhatian dan peliputan yang besar.

Cruyff memulai debutnya bersama tim nasional Belanda tahun 1966. Dalam laga keduanya bersama tim nasional Belanda melawan Cekoslowakia, tempramen buruk Cruyff memberinya masalah. Cruyff dikeluarkan wasit lalu dihukum tidak boleh memperkuat tim nasional selama setahun. Ini adalah satu dari sekian kontroversi yang dilakukan sang legenda lantaran sikapnya yang blak-blakan.

Cruyff juga menunjukkan sikap pemberontaknya dalam hal kontrak profesional dengan penyedia peralatan olahraga. Tim nasional Belanda yang kala itu disponsori oleh produk Adidas tentu menggunakan seragam yang bercirikan merk raksasa tersebut. Cruyff, di lain pihak telah mengikat perjanjian eksklusif dengan rival Adidas, Puma. Dengan tegas, Cruyff menolak mengenakan jersey Belanda yang dihiasi tiga garis ciri khas Adidas. Sebagai gantinya, Cruyff ingin mengenakan jersey dengan versi hiasan dua garis.

Hal-hal tersebut tidak membuat Cruyff menyerah. Ia kemudian memimpin Belanda untuk lolos ke Piala Dunia 1974 yang berlangsung di Jerman. Di bawah kepemimpinan Cruyff sebagai kapten tim, Belanda yang saat itu tidak diperhitungkan justru tampil amat impresif. Sepanjang penyisihan grup, mereka berhasil mengukir dua kemenangan dan sekali hasil imbang untuk lolos ke babak penyisihan grup fase kedua.

Dalam grup yang berisi Jerman Timur, Argentina dan Brasil inilah Cruyff menunjukkan superioritas. Ia membawa Belanda menundukkan seluruh lawan, termasuk dua tim kuat Argentina dan Brasil. Dua jagoan Amerika Latin itu ditaklukkan Belanda dengan permainan yang amat mengagumkan, terutama dari Cruyff. Belanda kemudian melaju ke babak final menghadapi tuan rumah Jerman Barat, di mana mereka akhirnya menyerah dengan skor 1-2.

Meski gagal memberi gelar juara kepada negaranya, namun permainannya bersama tim nasional Belanda tak mungkin dilupakan begitu saja. Dengan kehebatannya itu, banyak yang lantas menyamakan kemampuannya dengan Pele, pemain terbaik yang terakhir mengikuti Piala Dunia tahun 1970.

 Selain tim nasional Hungaria tahun 1954, mungkin hanya tim nasional Belanda tahun 1974 ini yang ramai-ramai dinobatkan sebagai ‘juara tanpa mahkota’ berkat penampilan yang teramat memukau. Ini sekaligus mematahkan anggapan umum bahwa sejarah hanya mengingat tim pemenang saja.

Cruyff boleh jadi tidak pernah memberi trofi Piala Dunia kepada negaranya, namun visi dan filosofi yang dimiliki Cruyff adalah warisan yang berharga tidak hanya bagi tim yang pernah diperkuatnya, tapi untuk dunia sepak bola secara keseluruhan. Ia bermain dengan visi dan filosofi yang sudah diyakininya itu, dengan cara memainkan sepak bola yang sederhana. Sepak bola yang terlihat amat mudah dimainkan namun sebetulnya sangat sulit dimainkan.

Sistem Total Football dan Warisan Cruyff Kepada Sepak Bola
Seperti disinggung sebelumnya, Cruyff besar seiring kemunculan Total Football, dan tim nasional Belanda amat beruntung memilikinya sebagai pemain. Belanda semula bukanlah tim yang diperhitungkan pada Piala Dunia 1974 tersebut. Sebelum tahun ini, mereka tidak pernah melaju hingga babak final, apalagi juara. Kedigdayaan klub Ajax Amsterdam yang juga dipimpin Cruyff pada awal 1970 pun tidak serta merta menggiring opini publik untuk menjagokan Belanda.

Cruyff meraih berbagai prestasi di lapangan bersama pelatih yang dikenang sebagai pencetus Total Football, Rinus Michels. Di bawah asuhannya, Michels menginginkan tim dengan kemampuan teknis yang merata. Pergerakan pemain sungguh membingungkan lawan karena para pemain tidak memiliki posisi yang baku di lapangan. Mereka juga bergerak simultan dalam menyerang dan bertahan. Formasi juga kerap berubah dari W-M, 4-2-4 hingga 4-3-3 dengan transisi yang mengagumkan.

Ditambah lagi, mereka mengalirkan bola dengan sangat cepat, menerapkan perangkap offside, dan melakukan tekanan saat lawan menguasai bola. Inilah Total Football yang revolusioner yang saat itu amat sulit diantisipasi lawan. Menggabungkan permainan cantik dan dominasi total untuk merebut kemenangan, sebuah kriteria tim impian yang terpenuhi oleh tim ini, sekaligus menandai kelahiran filosofi baru dalam permainan sepak bola.

Filosofi sepak bola memang tidak melulu melahirkan hal yang benar-benar baru, begitu pun Total Football. Sebelum lahir tim Ajax asuhan Michels, Torino yang menguasai liga Italia tahun 40an juga dikenal memiliki permainan serupa. Dengan pola 4-2-4, mereka memainkan bola dengan amat cepat dan mendominasi lawan. Lalu satu dekade sebelumnya, ada The Wunderteam Austria asuhan pelatih legendaris Hugo Meisl yang mencapai babak semi final Piala Dunia 1934.

Rinus Michels amat mengandalkan Cruyff sebagai pemimpin tim meski usia Cruyff saat itu masih terbilang muda. Ia adalah pengejawantah Total Football yang sempurna, sehingga kerjasama antara mereka terjalin dengan amat baik.

Jika Total Football adalah sebuah sistem, maka Cruyff adalah inti dari sistem itu. Ia adalah sang Total Football. Ia mengatur permainan, melakukan terobosan, memberi umpan, mendistribusi bola dan tidak jarang mencetak gol. Cruyff sebetulnya bermain sebagai penyerang tengah dalam sistem ini. Namun ia kerap menjemput bola hingga jauh ke belakang dan kadang bergerak ke sayap. Saat itu, sangat jarang seorang penyerang bermain sepertinya.

Fakta yang makin menunjukkan kehebatan Cruyff dalam ajang Piala Dunia adalah bahwa ia hanya bermain dalam satu kejuaraan saja, yaitu 1974. Cruyff absen di Piala Dunia 1978 karena masalah non-teknis yang membuatnya mengambil sikap untuk tidak berangkat ke Argentina, tuan rumah saat itu.

Meski tanpa sang jenderal, Belanda kembali berhasil menembus babak final, namun lagi-lagi menyerah atas tuan rumah mengulangi cerita empat tahun sebelumnya. Banyak yang berpendapat jika Cruyff hadir maka bukan tidak mungkin Belanda yang akan merebut trofi Piala Dunia. Total, Cruyff tercatat membela Belanda sebanyak 48 laga dengan torehan 33 gol.

Selepas gantung sepatu, Cruyff pun menjadi pelatih. Karir manajerialnya sebetulnya sudah ia cicil sejak bermain di Ajax awal tahun 80an kala ia merangkap sebagai penasihat teknis pelatih Leo Beenhakker. Posisi pelatih kepala baru digenggamnya tahun 1985, juga di klub Ajax. Kelak, Cruyff meneruskan filosofinya dengan melahirkan kembali sistem Total Football.

Meski tidak serupa seperti saat ia bermain, namun sistem dasar berupa keberadaan tiga pemain belakang dinamis, seorang gelandang bertahan, dua orang gelandang tengah, dua penyerang sayap dan seorang penyerang tengah mampu menghadirkan masa kejayaan kembali bagi Ajax.

Cruyff mungkin hanya menyumbangkan dua Piala Belanda dan sebuah Piala Winners untuk Ajax, namun banyak pihak yang mengakui bahwa gelar Piala Champions yang didapatkan Ajax tahun 1995 adalah andil dari sistem yang diterapkannya.

Karir kepelatihan Cruyff merekah di Barcelona. Kembali menginjakkan kaki di Camp Nou tahun 1988, Cruyff turut mengambil manfaat dari akademi La Masia, sebuah akademi yang digagasnya kala ia masih bermain bagi El Barca tahun 1979 lalu. Pep Guardiola adalah salah seorang pemain lulusan La Masia yang kemudian menjadi bagian dari tim impian Barcelona bersama bintang-bintang seperti Jose Maria Bakero, Romario, Ronald Koeman, Michael Laudrup dan Hristo Stoitchkov.

Cruyff kemudian memenangi 11 trofi bersama Blaugrana, berupa 4 trofi La Liga, sebuah Copa Del Rey, sebuah Piala Winners, sebuah Piala Champions, tiga buah Piala Super Spanyol dan sebuah Piala Super Eropa. Torehan ini menjadikannya pelatih tersukses klub dari perspektif gelar sebelum dipecahkan Guardiola, mantan anak asuhnya dengan capaian 15 trofi. Pep sendiri mengakui bahwa kesuksesannya bersama Barca dengan permainan tiki-taka banyak diilhami oleh filosofi Total Football dan warisan akademi La Masia yang digagas Cruyff.

Berbagai aral merintangi perjalanan karir Cruyff sebagai pelatih. Kebiasaannya merokok membuatnya jantungnya harus dioperasi, meski kemudian Cruyff dapat melanjutkan karirnya. Sikap kerasnya kemudian menjadi penyebab rusaknya hubungan dengan presiden Josep Luis Nunez, yang akhirnya memecatnya tahun 1996. Sebuah akhir ironis dari dua orang yang sebelumnya berhubungan dengan amat baik.

Bagaimanapun, Cruyff dan Barcelona seperti berjodoh. Sejak pertama kali bergabung sebagai pemain, Cruyff seperti langsung terikat secara emosional tidak hanya dengan klub, namun juga wilayah Catalonia. Ia menamai anaknya Jordi, lafal Catalan dari George atau Jorge. Jordi sendiri kemudian tumbuh mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi pesepakbola profesional. Ia sempat berkarir sebentar bersama Barcelona.

Salah satu prinsip Cruyff adalah kesederhanaan. Kesederhanaan dalam permainan bahkan mematahkan premis umum bahwa pemain sepak bola haruslah memiliki skill tinggi. Bagi Cruyff, skill tinggi yang berasal dari talenta memang perlu. “Namun talenta besar tidak akan berarti banyak jika sang pemain tidak mampu menjadi seorang pemain yang mampu bekerja dalam tim,” ujarnya.

Mereka (pesepakbola bertalenta tinggi) mampu melakukan apapun dengan bola di kaki mereka, namun semua percuma jika ia tidak piawai melepaskan sebuah umpan pendek sederhana dengan waktu dan kecepatan yang presisi dan tidak paham pergerakan kawannya. Pemain seperti ini, lanjutnya, “Hanya bermain dengan tujuan memampangkan kehebatan teknis yang mereka miliki, dengan kepentingan tim berada di bawah prioritas mereka.

Namun bukan berarti Cruyff tidak memiliki skill tinggi. Ia jelas memiliki kemampuan teknis mumpuni untuk menjadi pesepakbola hebat. Ia juga memiliki kecepatan, akselerasi dan gocekan yang sederhana namun efektif. Ingatkah pada gocekannya saat laga melawan Swedia tahun 1974 yang berakhir imbang tanpa gol itu? Gocekan yang lantas dikenal dengan nama Cruyff Turn itu dikenang sebagai salah satu pertunjukan skill terbaik sepanjang Piala Dunia berlangsung.

Warisan Kepada Dunia Sepak Bola
“Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is.”

Sepak bola adalah olahraga yang sederhana, namun untuk memainkannya dengan sederhana adalah hal tersulit. Ungkapan di atas mungkin hanya sebaris panjangnya. Untuk diucapkan pun sangat mudah, tidak sampai harus berkali-kali mengambil nafas. Hanya ada sedikit jeda, tanpa ada rima, tanpa gaya bahasa yang berlebihan. Ya, barisan kata-kata dalam kalimat ini memang sesederhana maknanya. Namun untuk mewujudkannya adalah hal paling sulit.

Seorang pengajar yang baik adalah mereka yang mampu memilah kata-kata yang mudah dimengerti, menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana namun apa yang diajarkannya tepat sasaran, tidak lebih dan kurang. Presisi, tegas dan meluruskan. Perkataannya tidak menimbulkan multi tafsir dan misinterpretasi.

Kata-kata dalam kalimat sederhana tersebut terucap dari Cruyff, yang kelak bukan hanya dikenal sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa, namun juga salah satu pelatih terbaik sekaligus aktor di balik kemunculan tim-tim terbaik dunia pada generasi setelahnya. Dari segala hasil karyanya itu, visi, kecerdasan dan keyakinan diri yang kuat adalah kunci keberhasilan seorang Johan Cruyff.

Dengan prinsip-prinsip dan visi inilah Cruyff mengarungi karirnya di sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih.

Kalangan luas boleh jadi menganggap level Cruyff masih di bawah Pele dan Maradona dari sisi skill individu. Kehebatan Cruyff memang lebih menonjol dari visi dan kecerdasannya di lapangan. Namun dari segi pengaruh kepada permainan secara umum, perkembangan taktik, andilnya dalam pembentukan tim-tim hebat dunia, dan inspirasi yang diberikannya kepada generasi-generasi setelahnya, rasanya belum ada satu pun pesepakbola yang mampu menandinginya.

Sunday, November 15, 2015

Kenangan Scudetto 1998-99 Milan

Andres Guglielminpietro, 1999. Photo from Gazzettaworld,it

Seberapa sering Milan menjuarai Liga Italia Seri A? Lumayan banyak, 18 kali. Tapi sejauh saya mulai suka sepak bola, tepatnya tahun 1994, baru tiga kali saya menyaksikan Milan merengkuh scudetto, yaitu tahun 1999, 2004 dan 2011. 

Gelar juara kompetisi lokal sepertinya memang bukan hal yang diwajibkan di rezim Silvio Berlusconi, jika ingin berbicara sarkastis. Tapi fakta memang tidak bisa berkata lain. Sejak sang patron berkuasa tahun 1986 silam, koleksi scudetto Milan memang 'hanya' delapan buah. Bukan berarti tidak menganggap penting kompetisi ini, namun Milanisti rasanya sudah bisa menerima torehan lima trofi Liga Champions, tiga piala Super Eropa dan tiga Piala Interkontinental sebagai pembanding kesuksesan dengan tim-tim lain.

Karena itulah saya ingat beberapa momen scudetto ini dengan agak mendetil. Contohnya adalah momen ketika Milan merebut scudetto musim 1998-99.

Musim tersebut, Alberto Zaccheroni dipercaya Berlusconi sebagai pelatih. Ia menggantikan Fabio Capello yang gagal pada comeback-nya ke Rossoneri. Zaccheroni yang musim sebelumnya sukses membawa klub semenjana Udinese ke peringkat tiga, datang membawa beberapa pemain andalannya seperti penyerang Oliver Bierhoff dan bek kanan Thomas Helveg.

Zac, panggilannya, juga mengubah sistem dan pola bermain Milan dari menggunakan empat bek menjadi tiga bek. Imbasnya, Paolo Maldini mulai bergeser ke sentral pertahanan untuk berpartner dengan Billy Costacurta, Jose Chamot atau Luigi Sala. Khusus bagi Sala, musim ini adalah musim terbaik sepanjang karirnya, mengingat sisanya ia lebih banyak bermain di klub papan tengah.

Zac, pelatih kelahiran 1953, membutuhkan dua wingback yang aktif membantu serangan, untuk itu ia mempercayai Helveg di sisi kanan, karena pemain ini memang telah mahfum dengan pola tiga bek. Sementara di sisi kiri, Zac menemukan Andres Guglielminpietro, atau dikenal sebagai Guly.

Di lini tengah, Zac menginginkan dua gelandang bertipe defensif. Di samping menjadi tembok di depan trio bek sentral, dua gelandang ini kerap mengisi posisi di wilayah yang ditinggalkan wingback saat mereka naik ke pertahanan lawan. Demetrio Albertini menjadi pilihan otomatis, dan ia kerap ditemani bergantian oleh Zvonimir Boban, Federico Giunti atau pemain muda, Massimo Ambrosini. Sementara lini depan dihuni Bierhoff bersama George Weah dan Leonardo yang bermain melebar. Maurizio Ganz kerap tampil sebagai pengganti.

Awal musim dijalani Milan dengan kurang memuaskan. Setelah mengalahkan Bologna dan Salernitana, Milan takluk 1-3 dari Fiorentina di San Siro, dilanjutkan dengan kekalahan dari Cagliari. Dalam 10 laga awal, mereka juga ditahan imbang oleh Bari dan Inter.

November hingga Februari menjadi periode yang tidak menguntungkan bagi Rossoneri. Kekalahan 0-4 didapat dari Parma di Ennio Tardini, disusul hasil imbang dari Juventus. Zac kemudian mulai rutin memainkan Ambrosini, dan menggeser Boban ke posisi trequartista mendukung duet Weah-Bierhoff, alih-alih bermain sebagai poros ganda di tengah bersama Albertini. 

Milan masih menduduki posisi ke-4 hingga awal Maret 1999, sementara Lazio yang kala itu begitu bertabur bintang masih kokoh di puncak klasemen. Namun kemenangan 2-1 atas Parma di San Siro menjadi titik balik.

Laga sulit ini diawali ketertinggalan Milan lewat gol Abel Balbo, namun Rossoneri bangkit di babak kedua. Sepakan keras kapten Paolo Maldini dari luar kotak penalti mampu membobol jala Gigi Buffon, dan ini mengawali kebangkitan Milan.

Selanjutnya, Zac memasukkan Ganz. Laga yang sepertinya imbang ini diubah plotnya oleh Boban dan Ganz. Umpan cantik Boban mampu melewati Fabio Cannavaro dan menjangkau jalur lari Ganz. Kontrol bola Ganz tidak sempurna, namun berhasil mengecoh Buffon yang coba menyergap. Bagai dikejar hantu, Ganz melakukan sprint sekuat tenaga meninggalkan Cannavaro, lalu menjatuhkan diri untuk mendorong bola ke gawang kosong. San Siro pun seperti meledak.

Kemenangan ini benar-benar mengubah jalan cerita, karena hingga dalam sisa delapan laga terakhir, Milan selalu meraih tiga poin, termasuk mengalahkan Udinese 1-5 di Friuli dan Juventus 0-2 di Delle Alpi. Ketika kompetisi menyisakan dua pekan, bencana akhirnya datang bagi Lazio saat mereka ditahan imbang Fiorentina di Artemio Franchi, yang membuat posisi puncak dikudeta Milan karena mereka berhasil mengalahkan Empoli.

Laga pamungkas di Renato Curi melawan Perugia wajib dimenangi untuk mengunci gelar. Milan unggul dua gol di babak pertama lewat Guly dan Bierhoff, sementara Perugia mulai mengancam. Hidetoshi Nakata berhasil memperkecil ketertinggalan lewat eksekusi penalti, yang membuat Milan ketar-ketir. Sepuluh menit jelang laga usai, penyerang tuan rumah Christian Bucchi nyaris menggagalkan impian Milan.

Di posisi menyamping dari gawang Milan, ia menerima umpan matang dari Milan Rapajc. Bola lalu dihajarnya dengan keras ke pojok gawang, bagaikan mereplikasi tendangan Marco Van Basten ke gawang Rinat Dasayev pada final Piala Eropa 1988 antara Belanda melawan Uni Soviet. Namun Christian Abbiati menolak untuk membiarkan Bucchi mengkopi momen Van Basten itu. Dengan merentangkan penuh badannya, ia menepis tendangan keras itu keluar lapangan. Penyelamatan yang hingga kini masih sering dikenang oleh Adriano Galliani. "Penyelamatan itu menentukan gelar," ujarnya. Dan akhirnya, gelar juara Italia ke-16 resmi didapatkan Milan, dengan hanya unggul satu poin atas Lazio.

Guly dan Ganz, Pahlawan Yang Tak Banyak Dibicarakan
Publik akan lebih mengingat kontribusi Bierhoff, Weah, Leonardo atau Boban. Mungkin juga Bruno N’gotty yang mencetak gol penentu lewat tendangan bebasnya ke gawang Bologna pada bulan Januari, atau Abbiati dengan penyelamatannya. Namun sesungguhnya, Guly dan Ganz juga pantas mendapat apresiasi.

Dua pemain ini sama sekali tidak diperhitungkan. Guly, yang saat itu berusia 24 tahun didatangkan sebagai alternatif penyerang sayap Milan. Namun tentu saja ia sulit menggeser Weah dan Leonardo yang saat itu berada di puncak karir. Zac melihat kecepatan dan permainan ngotot Guly sebagai aset untuk bermain sebagai gelandang sayap kiri.

Meski berposisi di sisi kiri lapangan, Guly bukan tipe pemain sayap klasik yang kerap mengirim umpan silang dengan kaki kirinya. Secara alamiah, Guly kerap memindahkan bola ke sisi kaki kanan untuk digiringnya ke tengah. Inilah yang dilakukannya ke gawang Perugia pada laga terakhir itu.

Zac baru sering memainkannya pada paruh kedua kompetisi. Perugia seperti menjadi lawan favoritnya karena gol pertamanya di Seri A Italia juga dicetak ke gawang tim ini. Namun pada musim-musim berikutnya karir Guly tidak berlangsung awet di level top karena cedera yang kerap dialami. Guly sempat hijrah ke Inter lalu mengelilingi separuh bumi sebelum mudik ke Argentina pada akhir karirnya.

Lain lagi dengan Ganz. Ia memang sejak awal diplot sebagai penyerang pengganti, dan ia tidak memiliki kebisaan bermain di posisi selain penyerang seperti halnya Guly. Berusia 31 tahun saat pindah ke Milan dari rival sekota, Inter, Ganz hanya mencetak lima gol pada musim 1998-99 ini, namun kesemuanya adalah gol penting.

Ganz mencetak gol pertamanya musim itu pada paruh kedua kompetisi. Ia melakukannya ke gawang Piacenza pada menit ke-92 untuk menyelamatkan Milan dari kekalahan di stadion Leonardo Garilli. Kedua, Ganz mencetak gol nomor dua Milan yang menamatkan perlawanan alot Venezia di San Siro. Selanjutnya, Ganz kembali memberi Milan satu poin lewat gol penaltinya pada menit ke-93 untuk menyelamatkan Milan dari kegemilangan Yksel Osmanovski, penyerang andalan Bari yang mencetak dua gol di San Siro.

Gol ke gawang Parma seperti yang diceritakan di atas menandai torehan keempatnya musim ini. Dan terakhir, tendangan guntingnya pada menit 95 ke gawang Sampdoria memang dicatat sebagai gol bunuh diri bek Marcelo Castellini, namun memberi Milan kemenangan vital yang membawa mereka terus menekan Lazio. 

Scudetto musim 1998-99 memang didapat Milan dengan cara yang dramatis, paling dramatis bagi Milan sepanjang ingatan saya. Namun di satu sisi, hal ini menunjukkan tim yang kurang matang secara taktik dan permainan. Kemenangan banyak didapat berkat semangat tinggi, dan –tanpa bermaksud mengecilkan- keberuntungan. Zac kemudian tidak dapat menghindari sindrom musim kedua yang memang seperti ditujukan untuk menguji kemampuan sesungguhnya.

Posisi Zac juga semakin tidak nyaman karena Berlusconi memang tidak suka jika timnya bermain dengan tiga bek. Berlusconi memang kurang sreg dengan cara Zac menangani timnya. Ia pernah menyebut Zac bagaikan tukang jahit yang tidak cocok untuk menjahit 'bahan tertentu'. Jika Anda berbeda cara kerja dengan atasan, atasan Anda memang hanya tinggal menunggu Anda berbuat kesalahan untuk menyalahkan Anda. Dan akhirnya, itulah yang terjadi pada musim 1999-00. Hasil-hasil buruk kemudian membawa Zac pada pintu keluarnya dari Milanello.

Thursday, November 5, 2015

Rashidi Yekini, Cerita Tragis Sang Legenda Nigeria

Rashidi Yekini di Piala Dunia 1994 (photo from Guardian)

Tahun 1994, selebrasi mengoyak gawang dengan tangan yang dilakukan Rashidi Yekini ke gawang Bulgaria yang dijaga oleh Borislav Mihaylov menjadi salah satu pemandangan ikonik dalam sejarah Piala Dunia. Gol pembuka yang menandai kiprah tim nasional Nigeria di ajang Piala Dunia. Laga tersebut kemudian berakhir dengan kemenangan 3-0 Super Eagles atas sang lawan.

“Yekini tahu apa yang ia inginkan, dan apa yang ia ingin lakukan untuk negaranya. Ia juga selalu siap mengorbankan apa saja untuk tim yang dibelanya. Sebagai pesepak bola, kita memang kadang terlalu terbawa suasana, dan itulah yang terjadi saat ia mencetak gol ke gawang Bulgaria,” ujar Thomson Oliha, rekan setim Yekini yang juga anggota timnas Nigeria di Piala Dunia 1994 seperti dikutip dari Guardian.

Berbicara tentang kiprah Nigeria di Piala Dunia pertamanya itu, nama Rashidi Yekini jelas tidak dapat dilepaskan. Berkat gol-gol yang dicetaknya, Nigeria menggapai tiket Piala Dunia pertama mereka sepanjang sejarah. Ia adalah seorang superstar di eranya. Jika memang dunia tidak belum mengakui, namun setidaknya di negerinya sendiri, ia menjadi teladan bagi para pesepakbola muda. 

Yekini adalah potret penyerang komplet nomor sembilan klasik. Kuat, cepat dan berbahaya di wilayah kotak penalti lawan. Jika dunia lebih mengingat kehebatan Gabriel Omar Batistuta, Alan Shearer atau Ronaldo Luiz Nazario, Yekini hanya tidak beruntung karena berada satu zaman dengan mereka. Bahkan di benua Afrika sendiri, namanya masih kalah terkenal dari George Weah, Abedi Pele atau Didier Drogba. Padahal Yekini adalah topskor sepanjang masa timnas Nigeria dengan torehan 37 gol dari 58 laga dan telah mengukir banyak rekor sepanjang karirnya.

Ya, Yekini dapat disebut sebagai manusia rekor dalam sepak bola Nigeria. Selain catatan gol terbanyak yang hingga kini belum terpecahkan, Yekini adalah pemain Nigeria pertama yang meraih penghargaan pemain terbaik Afrika melalui gelar yang diraihnya tahun 1993. Selain itu, Yekini menjadi topskor dalam Piala Afrika 1994 ketika tim Super Eagles menjadi juara. Tidak hanya itu, seperti dijelaskan pada awal tulisan, Yekini juga menjadi pencetak gol perdana untuk timnas Nigeria di ajang Piala Dunia. 

Karirnya di kancah klub juga tidak kalah gemilang. Setelah menunjukkan ketajaman di klub lokal Shooting Stars dan melanglang buana di klub-klub Afrika lainnya, Yekini hijrah ke Eropa. Ia menyebrangi lautan ke negeri Portugal untuk membela klub kota kelahiran Jose Mourinho, Vitoria Setubal. Ia melegenda di kota ini berkat sumbangsih 90 golnya hanya dari 108 laga saja.

Awal hingga pertengahan tahun 1994 memang tahun terbaiknya. Mungkin saja seumur hidupnya. Selain raihan gelar juara beserta topskor di Piala Afrika, ia juga menjadi pencetak gol terbanyak di Divisi 1 Liga Portugal, memainkan debut Piala Dunia, dan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya, Adeola. Jika boleh memilih, mungkin saja ia akan meminta periode ini untuk tidak pernah beranjak.

Selepas Piala Dunia yang kian melambungkan namanya, Yekini yang juga seorang Muslim terus berkarir di Eropa bersama Olympiacos dengan mengantongi kontrak bernilai 100 ribu pounds per bulan. Namun ternyata, keputusan pindah ke Yunani tidak baik untuknya. Ia hanya bertahan selama empat laga unutk kemudian tidak dimainkan karena bertengkar dengan rekan satu tim dan pelatihnya. Bahkan pernikahannya yang baru seumur jagung ikut kandas.

Yekini lalu pindah ke Sporting Gijon pada tahun berikutnya, di mana sejak saat itu karirnya tidak pernah kembali seperti saat ia bermain di Portugal. Setelah kembali ke Setubal untuk kedua kalinya, Yekini hijrah ke Swiss dan bermain di Zurich. Petualangannya di Eropa berakhir tahun 1998, namun ia belum memutuskan gantung sepatu.

Keputusannya untuk pulang kampung disambut meriah oleh publik. Meski tidak terlalu mendapat sorotan dunia, di Nigeria ia tetap dipandang sebagai legenda. “Kehebatannya menjadi patokan bagi penyerang-penyerang Nigeria selanjutnya. Penyerang-penyerang bagus memang datang meneruskan, tetapi belum ada yang mampu menyamai levelnya,” ujar Abiola Kazeem, jurnalis sepak bola Nigeria.

Yekini kemudian pensiun pada tahun 2005 di usia 42 tahun. Ketimbang menjadi pelatih atau menekuni profesi yang berhubungan dengan sepak bola, ia memilih menjalani kehidupan low profile. Di kota Ibadan, ia tinggal sendiri di sebuah apartemen.

Bermaksud memelihara kekayaan dengan berbisnis perhiasan, tanpa disangka uang investasi hasil tabungannya semasa bermain justru raib. Ibraheem, rekan bisnisnya yang sedang membawa uang Yekini ditembak oleh perampok, dan perampok itu membawa kabur uang Yekini. Banyak dugaan bahwa perampokan itu adalah skenario kotor dari lawan bisnisnya.

Sejak saat itu, Yekini mengalami depresi berat hingga penyakit-penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Akhirnya bulan Mei 2012 lalu ia menghembuskan nafas terakhir di usia 48 tahun. Seminggu sebelum kematiannya, mobil-mobil milik sang legenda berada dalam kondisi buruk dan belum diservis karena Yekini tidak punya uang untuk membayarnya.

Dalam wawancaranya, Adeola sang mantan istri menggambarkan kehidupan Yekini hancur karena ia dikelilingi oleh orang jahat yang memanfaatkannya. Ia lalu menggambarkan Yekini sebagai pria pendiam namun terlalu murah hati dan mudah percaya pada orang lain.

Sunday Oliseh, mantan rekannya di tim nasional Nigeria menilai tinggi sosok Yekini. “Ia adalah salah satu pesepak bola terbaik di benua Afrika. Mencetak gol amat mudah baginya,” tuturnya. “Namun sayangnya Yekini sering disoraki oleh pendukung sendiri karena penurunan performa di akhir karirnya,” lanjutnya. Sebuah contoh sikap buruk dari fans yang tidak menghargai jasa pahlawan mereka.

Oliseh menutup pernyataannya dengan kritik kepada pemerintah. Ia mengatakan bahwa selama 20 tahun karir gemilangnya di tim nasional, Yekini bahkan belum memperoleh hadiah sebuah rumah yang sejak lama telah dijanjikan untuknya. Potret kekejaman birokrat yang memalukan sekaligus mengingatkan kita pada apa yang umum terjadi di Indonesia di mana kisah pilu mantan atlit sudah biasa terdengar.

Sebuah akhir yang mengenaskan dari salah satu pemain terbaik yang pernah dihasilkan benua Afrika. Terhadap hal ini, Nwankwo Kanu, mantan penyerang Nigeria selepas era Yekini juga berkomentar tajam. “Percuma menangisi Yekini ketika ia sudah pergi, padahal ketika masih hidup, mereka mendiamkannya.”