Pages

Saturday, October 12, 2013

Timnas Tanpa Kepentingan

“It’s not like watching Indonesia.” Begitulah judul artikel full English salah seorang penulis kenalan saya di sebuah media, menggambarkan betapa atraktifnya penampilan tim nasional Under 19 sehari setelah mengalahkan Filipina. Ia mungkin sengaja menggunakan bahasa Inggris untuk mempromosikan tim ini lebih luas lagi ke skala global. 

Filipina memang memainkan sepak bola negatif. Mereka menumpuk seluruh pemainnya di daerah sendiri, termasuk 8 pemain di kotak penalti. Strategi ini lazim dipakai tim yang menghadapi Barcelona ataupun Bayern Muenchen, tim dengan kemampuan luar biasa dalam mengendalikan permainan dan mengolah bola. Indonesia, dengan level yang berbeda dengan Barca dan Bayern tentunya, mampu memaksa Filipina (yang juga dibawah level lawan-lawan Barca dan Bayern) melakukan itu.

Okelah kualitas Filipina memang masih di bawah Indonesia. Tapi yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana tim Indonesia U-19 menjaga konsistensi dan tetap membumi meskipun mereka baru mengakhiri dahaga 22 tahun gelar internasional Indonesia. “Kalo elo baru juara kelas, selain ada kebanggaan, pasti juga ada beban untuk mempertahankan prestasi. Belum lagi pujian-pujian dari sekeliling yang malah melenakan.” Begitulah ujar salah seorang mentor saya mengomentari kondisi timnas U-19. “Tapi sepertinya euforia berlebihan ini tidak terjadi di tim U-19.”

Ya, tim U-19 ini memang beda. Maksudnya, beda dari tim Indonesia pada umumnya. Dari segi permainan, level tim ini memang masih di bawah Vietnam, yang mereka kalahkan di final Piala AFF U-19 bulan lalu. Namun tim ini memiliki modal luar biasa yang bahkan menurut saya tidak dimiliki oleh tim-tim olahraga di Indonesia.

Tim ini terus diajarkan untuk rendah hati. Pelatih Indra Sjafri juga menanamkan disiplin tinggi kepada anak asuhannya. Tidak ada pemain yang merasa seperti pemain bintang, yang lalu merasa layak untuk tampil di acara infotainment menggandeng selebritis yang turut memanfaatkan momentum ini untuk menjadi social climber.

Krioterapi dan 4-3-3
Saya menulis ini sesaat setelah pertandingan penentuan lawan “tim drama dengan pemain berbedak tebal” Korea Selatan berakhir. Indonesia berhasil mengalahkan Taeguk Warriors 3-2 yang otomatis membawa tim ini ke putaran final Piala Asia di Myanmar tahun depan, sesuatu yang bahkan sudah tiga periode tidak mampu dicapai timnas senior. Lagipula, melihat permainan timnas yang begitu menyulitkan sebuah tim juara bertahan Piala Asia (dan juara 12 kali Piala Asia junior), hal ini sudah membanggakan. Sudah lama kita tidak memiliki timnas seperti ini.

Apapun hasilnya nanti di Piala Asia, tim U-19 ini dapat saya anggap sebagai timnas terbaik yang dipunyai Indonesia sejak pertama kali saya menyaksikan pertandingan timnas. Mereka mungkin bukan yang terbaik secara teknis, namun dilihat dari mentalitas dan sikap, mereka jelas patut dicontoh. Permainan mereka juga sangat tenang, tidak asal membuang bola ke depan dan juga tidak banyak menggocek bola. Jarak antar pemain begitu rapat dan transisi bertahan-menyerang  juga mulus, apalagi kombinasi umpan satu sentuhan yang mereka peragakan di daerah final third. Mereka membalikkan mindset orang Indonesia pada umumnya yang menganggap pemain paling jago adalah yang paling hebat menggoreng bola.

Timnas U-19 adalah contoh nyata betapa proses yang tidak instan tanpa jalan pintas dan sikap yang benar adalah jalan menuju kesuksesan. Proses pelatnas jangka panjang, penempatan psikolog dalam tim, juga penggunaan metode krioterapi menunjukkan tim ini tidak menutup mata pada perkembangan zaman.

Krioterapi adalah metode yang banyak dipakai tim-tim Eropa, termasuk pemain macam Phillip Neville, Javier Zanetti maupun Raul Gonzalez yang karirnya awet di level tertinggi meski sudah berusia senja. Krioterapi menggunakan media es batu, dimana pemain berendam di kolam yang dipenuhi es batu tersebut (tentu suhu kolam telah diatur) dalam beberapa menit. Metode ini disamping meningkatkan ketahanan, juga efektif untuk mempercepat pemulihan cedera. Sayangnya meski lazim digunakan di Eropa, krioterapi ini masih jarang digunakan di Indonesia.

Berbicara sedikit pola permainan, pola 4-3-3 yang digunakan memang cocok dengan karakter sepak bola Indonesia. Timnas senior juga menggunakan pola ini, meski pengaplikasiannya di lapangan jauh berbeda. Tentang penggunaan pola 4-3-3 ini, pelatih Indonesia di masa lalu seperti Toni Pogacnik dan Anatoly Polosin memang telah lama mengamati kelebihan Indonesia dalam permainan sayap. Kini, tidak ada salahnya pola 4-3-3 yang cocok dengan kultur kita ini diimplementasi seluruh jenjang tim nasional, bahkan jika perlu hingga ke klub-klub.

Seorang teman malah mengingat trio gelandang Muhammad Hargianto, Zulfiandi dan Evan Dimas sehebat Andres Iturraspe, Javi Martinez dan Ander Herrera (tentunya dalam level berbeda) yang membawa Athletic Bilbao meluluhlantakkan Manchester United di Old Trafford. Ya, baik Hargianto maupun Zulfiandi dan kapten Evan Dimas memang seperti sudah menyatu benar permainannya, dengan chemistry tingkat tinggi yang terjalin. Khusus Evan Dimas, first touch, positioning dan visi permainannya bahkan sudah berada di level Asia. Mengingat usianya yang masih 18, bukan tidak mungkin ia akan menggapai prestasi lebih tinggi lagi (semoga ada klub Jepang atau bahkan Eropa yang segera mengontraknya, jangan main disini).

Catatan positif lainnya adalah stamina pemain. Hal ini sudah ditunjukkan lewat penampilan mereka kala menjuarai Piala AFF U-19 di Sidoarjo lalu ketika mereka mampu mempertahankan ritme permainan meski harus melakoni babak perpanjangan waktu dan bermain setiap dua hari sekali. Pola latihan dan metode krioterapi yang dijalankan berkontribusi pada rataan VO2 Max pemain-pemain timnas U-19 yang diatas 60 ml/(kg.min), padahal kadar VO2 Max ideal berada pada angka 57-58. Memadainya VO2 Max pemain ini amat mendukung taktik zone press yang diterapkan, bahkan sejak pemain lawan menguasai bola di daerahnya sendiri.

Bagaimanapun dibalik segala kehebatan dan kebanggaan, juga euforia dan harapan tidak usahlah menanamkan optimisme berlebihan. Tim ini masih muda, masih akan menapaki jalan panjang untuk terus membela bangsa bersebelas di lapangan hijau. Jangan lupakan pula bahwa tim ini masih relatif bebas kepentingan, juga semua kemenangan ini didapat kala bermain di kandang sendiri. Kini setelah mampu memukul Korea Selatan dengan permainan impresif, jangan heran jika terjadi perebutan panggung antar para pahlawan kesiangan yang mengaku ikut-ikutan membentuk tim ini. Semoga saya salah.

No comments:

Post a Comment