Pages

Thursday, December 6, 2012

Diego Mendieta sang martir

Selamat jalan, Diego. Photo by Okezone


Berita kematian Diego Mendieta, penyerang Persis Solo berusia 32 tahun akibat penyakit yang dideritanya membuat nama Indonesia kembali mendunia, sayangnya untuk hal sangat memalukan.

Kabar miris Diego Mendieta masih lebih menyedihkan daripada kabar Diego yang lain, yaitu Diego Michiels yang tersandung kasus pengeroyokan. Jika karir Diego Michiels masih bisa berlanjut, lain halnya Diego Mendieta. Sebab bukan sekadar karir yang hilang, namun nyawanya yang melayang.

Memang kematian adalah takdir Yang Maha Kuasa, namun setelah menelisik penyebab non-medis dari kematian pemain asal Paraguay ini, bukan hanya PSSI atau KPSI, namun seluruh insan sepak bola Indonesia harusnya berintrospeksi.

Saya bisa membayangkan nasib Mendieta, yang kesepian dan sakit keras di negeri orang yang letaknya beribu kilometer dari tanah kelahirannya. Ia tergolek sakit tanpa kehadiran orang-orang tercintanya disisi dan tanpa perhatian orang-orang yang mempekerjakannya. Ah boro-boro bantuan bersifat sukarela berupa sumbangan dari klub tempatnya bermain, haknya berupa gaji saja tidak kunjung dilunasi. Dalam pesan singkat di Blackberry Messenger miliknya, Diego hanya ingin tiket pesawat pulang ke negaranya, menemui ibunya dan meninggal disana. Keinginan sederhana dari seseorang yang sudah meregang nyawa itupun tidak mampu dipenuhi. Beginilah potret kejam dari carut marut persepakbolaan Indonesia.

Namun sebelum menyalahkan dan menghujat kesana-sini tanpa arah, kita tentu perlu tahu mengapa penunggakan gaji ini bisa terjadi. Dalam wawancaranya, Taji Prasetyo, rekan setim dari almarhum Diego mengatakan bahwa kondisi Persis Solo memang memprihatinkan, namun banyak klub lain yang bahkan lebih parah lagi. Kematian Diego-lah yang membuat Persis kini lebih disorot. Kasus ini ibarat puncak gunung es dari parahnya manajemen klub sepak bola Indonesia.

Konflik dualisme menggelikan yang telah tersaji di kalangan elit federasi sepak bola telah memecah federasi yang sama-sama mengklaim sebagai induk sepak bola Indonesia. Konflik tingkat pusat tersebut kemudian menular hingga ke level klub. Banyak klub yang juga terimbas dualisme yang tak kunjung usai karena pihak yang membawahi mereka yaitu PSSI dan KPSI masih saja berseteru.

Dalam esai obituari untuk Diego yang dibuat oleh Zen RS di Detiksport, telah dijelaskan secara detail mengenai konflik PSSI dan KPSI yang kemudian menular ke level klub, dan Persis Solo adalah salah satunya. Zen mengungkapkan bahwa konflik dua kubu besar di tubuh federasi sepak bola itu memiliki andil dalam kasus dualisme Persis Solo, tempat Diego bermain. Persis Solo akhirnya memiliki dua tim yang berkompetisi dibawah PSSI dan KPSI. Diego dalam hal ini bermain di Persis Solo yang bermain di kompetisi yang berada dibawah naungan KPSI.

Rekan saya Yoga Cholandha dalam tulisannya di blog Football Fandom mengajak kita semua untuk tidak saling menyalahkan, melainkan berintrospeksi. Menambahkan esai dari Zen, Yoga mengemukakan bahwa Persis Solo adalah klub yang terpecah dualisme namun masih berada dalam satu manajemen. Dengan logika anak Sekolah Dasar pun, klub pasti akan kesulitan mendanai biaya gaji pemain, yang memang menjadi komponen biaya terbesar dari klub sepak bola. Tertunggaknya gaji Diego selama empat bulan senilai lebih dari 100 juta rupiah semakin jelas menunjukkan ketidakberesan ini.

Kasus kematian Diego Mendieta ini juga menjadi pembuka mata kita bahwa bangunan sepak bola Indonesia memang sudah keropos dan perlu di renovasi di setiap jengkalnya. Dalam tulisannya di kolom Yahoo!, Hedi Novianto mengungkapkan bahwa kurangnya riset dan perencanaan membuat klub sering melangkah dengan prinsip “pokoknya jalan”. Tidak ada panduan dari induk organisasi mengenai persyaratan klub yang akan mengikuti kompetisi. Pedoman standar keuangan klub yang disyaratkan AFC juga tidak dipakai, juga tidak ada petunjuk untuk mencari sumber dana dan sebagainya mengakibatkan klub banyak yang beroperasi seadanya saja.

Jika sepak bola adalah representasi sebuah bangsa, lalu seperti apakah wajah bangsa kita setelah kasus ini? Mungkin jika Indonesia adalah orang, maka orang itu tidak akan berani bercermin melihat wajahnya sendiri. Jika sepak bola adalah gambaran nyata dari kehidupan, kasus ini adalah episode tergelap kehidupan yang bisa dialami seseorang.

Kecaman jelas sudah muncul dari seluruh penjuru bumi, bukan hanya dari orang-orang Indonesia. Media Inggris BBC juga memberitakan hal ini, dengan menitikberatkan krisis organisasi merembet kepada klub yang mengakibatkan banyak klub tidak memiliki sokongan finansial memadai. Asosiasi pemain FIFPro telah memberikan kecamannya dan akan meneruskan kasus ini untuk menjadi perhatian FIFA. Kasus ini menurut saya adalah tragedi besar yang timbul karena konflik yang berkepanjangan dan mismanagement yang sepertinya sudah menjadi penyakit kronis bagi sepak bola Indonesia.

Kematian Diego seakan mengikuti jejak hitam kematian suporter yang hingga kini juga tidak diusut tuntas dan sepertinya juga tidak dilakukan langkah perbaikan kedepannya. Namun rasanya akan sangat keterlaluan jika kematian pemain akibat ketidakbecusan pengelolaan klub dan konflik perebutan kekuasaan para elit sepak bola nasional ini dibiarkan begitu saja. Saatnya rekonsiliasi penuh antara elit federasi dan setting ulang piramida sepak bola Indonesia.

Selamat jalan, Diego Antonio Mendieta Romero. Semoga engkau mendapat tempat yang lebih baik dan beristirahat dengan tenang.

1 comment:

  1. JAGUARQQ | DOMINO 99 | POKER | BANDARQ ONLINE
    * Dengan Minimal Deposit : Rp 15.000,-
    * Tersedia 9 Game Dalam 1 User ID
    + BandarQ
    + ADUQ 1120011279200 Ref:
    + SAKONG
    + DOMINO99
    + BANDAR66
    + POKER
    + BANDAR POKER
    + CAPSA SUSUN
    + PERANG BACCARAT
    * Bonus Rollingan 0,5% Setiap minggu
    * Bonus Referal 20% Seumur hidup
    - Kontak Kami -
    WA : +855964608606
    TELEGRAM : +855964608606
    LINE : csjaguarqq
    Website : 99jaguar
    Twitter : JaguarQQ

    ReplyDelete