Pages

Monday, December 10, 2012

Mentalitas Intimidasi dan Kisah si Wasit Asal Comot


“PATAHIN!! ABISIN!! WASIT G*BL*K!!” Kata-kata kasar semacam itulah yang pernah saya rasakan ketika mengikuti kejuaraan sepak bola pada waktu kecil di kota saya dulu. Intimidasi dari orang tua lawan bertanding saya. Kata-kata dan ajaran yang terdengar seperti pelampiasan kekecewaan mereka terhadap hidup mereka ketimbang menyemangati anaknya bermain.

Bukan bermaksud mengumbar umpatan-umpatan kasar dalam tulisan ini, namun begitulah realitanya. Para orang tua itu mencontohkannya di hadapan anak mereka sendiri, segampang mereka yang dengan enteng mencontohkan untuk merokok di tempat umum atau membuang sampah sembarangan kepada anak-anak mereka itu. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang dalam pikirannya cuma berisi bagaimana mematahkan kaki anak orang lain dan memaki-maki wasit?

Saya yakin dulu banyak diantara anda yang pernah disemprot orang tua anda ketika anda mengungkapkan niat menjadi pesepakbola. “Mau jadi apa kamu? Mau makan apa kamu main bola disini?” Omongan-omongan semacam itu adalah pertanda skeptisme masyarakat kita akan masa depan seorang atlet sepak bola.

Belum lagi kita banyak mendengar kisah pilu mantan-mantan atlet bola kita yang sengsara di hari tuanya, dilupakan di hari kematiannya, padahal dielu-elukan di masa jayanya. Tambah pilu hati kita mendengar pemain asing yang ditelantarkan klub hingga meninggal dunia. Dan bukan hanya atlet bola malah, tapi atlet semua cabang olah raga memang sepertinya dibegitukan.

Kedengarannya jadi masuk akal jika orang tua melarang anaknya untuk menjadi pesepakbola. Pertanyaan mendasar timbul: Apa yang diharapkan dari menjadi pesepakbola di Indonesia?

Pembinaan yang tidak benar saja sudah menjadi masalah tersendiri bagi piramida persepakbolaan kita. Jika ditambah lagi dengan sikap-sikap intimidatif dan tidak suportif semacam itu, pertanyaan klise retoris lainnya akan muncul: Bagaimana sepak bola Indonesia mau maju jika sikap kita begini?

Salah satu pengalaman masa kecil saya itu tadi terulang kembali baru-baru ini ketika saya sudah bekerja di sebuah perusahaan. Mental meraih kemenangan dengan segala cara dan mental mengintimidasi orang lain sepertinya memang sudah menjadi makanan sehari-hari bangsa ini.

Coba anda perhatikan pertandingan sepak bola yang diadakan di perusahaan yang mempertandingkan tim antar divisi, pasti ada saja bumbu-bumbu seperti itu. Bahkan bukan cuma di pertandingan antar perusahaan, pertandingan antar sekolah dan antar komplek juga kerap dibumbui keributan. Katanya gak seru kalo main bola itu gak ribut. Ya, sepak bola memang olah raga penuh benturan fisik yang rentan dengan perkelahian, namun semua orang juga tahu kalau sepak bola sejatinya bukanlah ajang adu jotos.

Itulah yang saya alami beberapa  waktu lalu di tempat saya bekerja.

Ketika itu pertandingan berlangsung di pagi hari antara tim saya melawan tim dari site lain. Panitia rupanya kurang kordinasi yang berakibat tidak tersedianya wasit yang akan memimpin jalannya pertandingan. Kepanikan ini membuat panitia mengambil langkah “ascom” alias asal comot. Maksud panitia sebenarnya baik dengan mencomot salah seorang dari site lain diluar site kami yang akan bertanding untuk menjaga netralitas, namun apa daya orang yang dicomot itu jauh dari kompeten untuk menjadi seorang wasit.

Inkompetensi si wasit ascom itu benar-benar terpampang saat ia tidak bisa memutuskan apakah bola sudah masuk ke gawang tim kami atau belum. Dalam suatu serangan, tim lawan melepas tendangan kearah gawang kami dan bola sudah masuk ke gawang, namun bola terpental keluar lagi dari gawang karena membentur tiang yang berada di bagian belakang gawang.

Kejadian berlangsung cepat dan lawan sudah keburu merayakan “gol hantu” itu. Wasit nampaknya tidak melihat jelas kejadian ini. Kontan saja tim kami melakukan protes keras kepada si wasit ascom yang kebingungan. Dibawah tekanan dari kedua pihak, akhirnya wasit “memilih” untuk mengesahkan gol itu.

Di babak kedua, ada kejadian lebih lucu lagi. Saat skor imbang, tim kami terus menyerang. Dalam suatu momen, kiper lawan tidak sengaja menangkap umpan back-pass dari rekannya sendiri. Tim kami dan juga suporternya secara spontan berteriak “PINALTI!!” “PINALTI, WASIT!!” dengan membahana. Wasit kembali nampak kebingungan, dan ketidaktegasannya itu dimanfaatkan betul oleh tim kami untuk terus mengintimidasinya untuk memberi hadiah penalti untuk tim kami.

Tim lawan yang tidak terima dengan keputusan itu jelas mencak-mencak, salah seorang suporternya bahkan mendatangi suporter kami untuk menantang keabsahan hukuman tendangan penalti karena back-pass. Ia bersikeras untuk mengajak pengurus tim kami untuk browsing di internet dan mengecek peraturan FIFA! Saling dorong yang nyaris berubah menjadi baku hantam hampir terjadi. Pertandingan ini berubah menjadi dagelan konyol, dan berubah menjadi bodoh ketika wasit ascom itu akhirnya memberikan penalti kepada tim kami, yang sukses membawa kami menang.

“Impas dong, kan tadi babak pertama kami juga diperlakukan gak adil.” Begitu kata salah seorang rekan pemain kepada wasit. Dan ketika pertandingan berakhir, celotehan timbul bahwa sebenarnya tadi insiden di babak pertama itu memang benar gol. Tindakan protes tadi memang sengaja dilakukan untuk mengintimidasi lawan dan wasit.

Ya begitulah mentalitas kita dalam bersepak bola. Kemenangan diincar dengan cara apapun, termasuk jika harus mengintimidasi wasit dan mencederai peraturan dasar bermain. Sesudah pertandingan itu, kami lolos ke babak selanjutnya dan akhirnya merebut peringkat ketiga, namun saya menolak untuk bermain. Buat saya, kompetisi sudah rusak dan berubah menjadi panggung lawak sejak insiden-insiden konyol itu.

Dan si wasit asal comot itu duduk termenung, memutar lagu-lagu galau, mungkin setelah itu ia meracau di twitter. Permintaan maaf tulus dari panitia maupun permintaan maaf basa basi dari tim kami tidak ia gubris. Pagi itu mungkin saja salah satu pagi teraneh dan terjelek yang pernah ia jalani.

No comments:

Post a Comment