Pages

Sunday, May 31, 2015

Alternatif Tontonan Sepak Bola Eropa

Sabtu (30/5), seluruh pertandingan pekan terakhir Liga Primer Rusia dimainkan secara serentak. Tidak seperti musim lalu di mana pekan terakhir menjadi penentu gelar, pada musim ini, Zenit St. Petersburg telah memastikan gelar mereka bahkan sejak kompetisi masih menyisakan dua pertandingan.

Tidak ada kerusuhan yang ditimbulkan suporter seperti pada musim lalu, yang mengakibatkan Zenit dihukum dengan kekalahan 0-3 atas Dinamo Moskow. Peristiwa yang terjadi pada fase akhir musim kompetisi tahun lalu ini kemudian dimanfaatkan CSKA Moskow untuk mencuri gelar pada saat-saat akhir. Zenit telah belajar banyak dari kisah pahit musim lalu tersebut dan mereka mendapatkan hasil positif karenanya. Mereka telah tancap gas sejak awal, dan relatif nyaman memimpin klasemen.

Namun, bukan berarti tingkat keseruan liga menjadi berkurang. CSKA, klub yang oleh pelatihnya, Leonid Slutsky dijalankan dengan prinsip moneyball mampu mempertahankan prestasi sebagai klub papan atas dengan permainan yang makin matang. Kehebatan mereka baru dapat dihentikan sendiri oleh skuat bertabur bintang dari Zenit. Dalam laga 'penentuan' pekan ke-21 saat perbedaan poin di antara mereka masih tipis, skuat arahan Andre Villas-Boas berhasil menang tipis dengan skor 2-1. Sejak saat itulah CSKA seakan 'kehabisan bensin' untuk bertarung dengan klub yang disponsori perusahaan gas raksasa, Gazprom ini dan harus puas menduduki posisi kedua.

Kelihaian Slutsky makin terasa musim ini. Ditinggal bomber andalan, Seydou Doumbia yang hengkang ke AS Roma pada pertengahan, ternyata tidak mengurangi ketajaman CSKA. Ia menjadikan dua gelandangnya, Roman Eremenko dan Bibras Natkho sebagai sumber gol baru. CSKA tampil sebagai kesebelasan paling produktif di Rusia dengan Eremenko berhasil membukukan 13 gol, atau hanya kalah dari Hulk, bomber Zenit yang keluar sebagai topskor dengan torehan 15 gol. Sementara Natkho, yang notabene seorang gelandang bertahan, berhasil membukukan 11 gol. Produktivitas dua gelandang ini juga merupakan andil dari permainan penyerang Nigeria, Ahmet Musa. Ekspenyerang Vitesse Arnheim ini kerap menggunakan kecepatannya untuk bermain melebar sehingga membuka ruang bagi para gelandang CSKA macam Eremenko dan Natkho untuk mencetak gol. 

Langkah CSKA bagaimanapun tidak mudah untuk menjadi runner-up. Demi mendapat tiket terakhir zona Liga Champions ini (Liga Rusia hanya mendapatkan dua jatah, yaitu untuk juara dan runner-up), CSKA mendapat tekanan berarti dari tim kejutan, FC Krasnodar. Setelah kekalahan dari Zenit tersebut, CSKA sempat mengecap periode negatif. Tiga kekalahan beruntun harus mereka rasakan sebelum kemudian bangkit dengan meraih lima kemenangan dari enam laga terakhir.

Sementara itu, prestasi yang ditunjukkan FC Krasnodar memang bagaikan angin segar bagi liga Rusia, padahal mereka baru berkompetisi di Liga Primer tahun 2010. Dimotori gelandang senior, Roman Shirokov, klub yang dimiliki pebisnis Sergei Galitsky ini tampil impresif sepanjang musim, dan sempat menyalip CSKA di posisi kedua sebelum akhirnya poin mereka disamakan kembali pada saat-saat terakhir. Mereka bahkan nyaris menempati posisi kedua klasemen akhir karena pada hingga menit ke-80 laga pamungkas tersebut masih unggul sebiji poin berkat hasil imbang atas tuan rumah Dinamo Moskow, sementara pada saat bersamaan, CSKA tertinggal satu gol atas tuan rumah FK Rostov. Namun secara dramatis, gol yang dibuat gelandang asal Swedia, Pontus Wernbloom pada menit 82 ke gawang Rostov membuat poin kembali sama dan CSKA unggul selisih gol atas Krasnodar. Gol ini juga menjadi penentu terdegradasinya klub ini dari Liga Primer.

Poin identik antara CSKA dan Krasnodar membuka perdebatan bagi publik. Pada pekan ke-20, CSKA sempat mendapatkan 'kemudahan' kala bertanding melawan Arsenal Tula. Pertandingan itu berlangsung tanpa dihadiri penonton di kota Moskow, yang notabene home base dari CSKA. Arsenal Tula juga menurunkan skuat mudanya pada saat itu. Hal ini dilakukan klub asuhan mantan gelandang timnas Rusia era 2000an awal, Dmitry Alenitchev sebagai bentuk protes terkait dipindahnya venue laga kandang mereka ke Moskow akibat dinilai buruknya kualitas rumput Arsenal Central Stadium di kota Tula. Laga tersebut akhirnya dimenangi cukup mudah oleh CSKA, yang tentu saja turut berandil dalam perebutan tempat kedua ini.

Bagaimanapun, Liga Primer Rusia tetap memiliki daya tarik tersendiri untuk diikuti. Di samping pengalaman menyaksikan nama-nama klub dan pemain-pemain yang relatif asing di telinga, di liga ini pula terdapat cukup banyak pemain-pemain yang sebelumnya kita kenal berkiprah di Eropa Barat seperti Axel Witsel, Mathieu Valbuena, Domenico Criscito, Kim Kallstrom hingga Kevin Kuranyi. Bukan berarti pemain-pemain ini sudah tidak laku lagi di liga yang lebih besar, namun daya tarik kompetisi yang tengah bangkit (dan juga bayaran yang menarik) di negara terluas dunia inilah yang membuat mereka rela meninggalkan glamornya liga di Eropa bagian barat. Tidak hanya itu, banyak pula pemain-pemain potensial namun kurang terdengar yang bermain di kompetisi ini seperti penyerang CSKA, Carlos Strandberg, Saba Kvervelia yang impresif di Rubin Kazan, hingga Oleg Shatov yang kian bersinar di Zenit.

Namun jelas harus diakui bahwa tidak mudah untuk menyukai liga Rusia. Di samping situasi geopolitik yang menampilkan negara mereka sebagai pencetus konflik, liga Rusia juga masih saja mengalami masalah mendasar seperti kekerasan antarsuporter dan masalah rasialisme. Kondisi ini jelas akan berpengaruh pada keinginan pihak-pihak korporasi untuk menanamkan uangnya di persepakbolaan negara ini. Pemerataan infrastruktur juga belum terlaksana, yang pada puncaknya berakibat digesernya tempat pertandingan resmi liga akibat tidak memadainya kualitas lapangan. Belum lagi masalah finansial yang menjerat beberapa klub seperti Anzhi Makhachkala, FK Rostov dan klub-klub kecil lain seperti Amkar Perm dan FC Ufa, dan juga sanksi Financial Fair Play yang menimpa FC Krasnodar dan Lokomotiv Moskow akibat nilai kerugian finansial yang melebihi batas toleransi UEFA. Satu hal lagi, tidak mudah juga bagi penggemar di Indonesia untuk menyaksikan siaran langsung Liga Primer Rusia secara rutin. Fox Sports 3 yang biasanya cukup sering menyiarkan pertandingan secara langsung pada musim lalu, tidak lagi menyajikan hal yang sama pada musim ini, sehingga tidak jarang kita yang berada di sini terpaksa harus mengandalkan media streaming

Pendek kata, liga ini masih banyak PR untuk dapat menyaingi hegemoni liga-liga besar di sebelah barat mereka. Dan realistis saja, untuk saat ini, cukuplah Liga Rusia dipandang sebagai tontonan alternatif bagi mereka yang bosan menyaksikan liga-liga yang lebih terkenal.

Friday, May 29, 2015

Pantaskah Pippo Diberi Kesempatan Kedua?

Hasil buruk yang dialami tim favorit di lapangan memang menyebalkan, dan memang sudah lazim bahwa selalu ada pihak yang dikambinghitamkan atas segala problema yang timbul. Sosok pelatih atau manajer klub, dalam hal ini akan lebih mudah untuk dipersalahkan.

Penggemar Milan mungkin sudah terlalu lelah menyalahkan tiga pelatih terakhir mereka yaitu Massimiliano Allegri, Clarence Seedorf dan Filippo Inzaghi. Ketiga orang ini dipandang sebagai aktor besar kemunduran Milan. Ada saja yang dijadikan bahan untuk menyalahkan tiga pelatih ini. Pola latihan Allegri yang menyebabkan cedera para pemain, ketidakmampuan Seedorf menangani ruang ganti pemain hingga ketidakjelasan taktik dari Inzaghi.

Namun jangan lupa bahwa ketiga pelatih ini juga bekerja untuk manajemen klub yang sama. Mereka mengikuti perintah, memaksimalkan sumber yang ada, lalu ditargetkan prestasi tinggi. Malu dong, masak sih klub dengan sejarah panjang berkubang di papan tengah.

Tidak perlu membicarakan lagi perihal pemecatan Allegri dan Seedorf, toh semua itu sudah berlalu. Di saat klub asuhan Allegri sekarang yaitu Juventus tengah bersiap tampil di final Liga Champions, Milanisti masih saja mempermasalahkan siapa yang dahulunya pro dan siapa yang kontra Allegri.

Kini, manajemen Milan nampaknya hanya tinggal menunggu anggukan pelatih-pelatih incaran seperti Carlo Ancelotti, Unai Emery, Vincenzo Montella atau Antonio Conte sebelum akhirnya melengserkan Inzaghi. Ancelotti bahkan sudah tiga kali ditraktir makan oleh CEO Milan, Adriano Galliani selagi Inzaghi masih menangani tim. Don Carletto akan memberi jawaban pada Galliani Rabu (3/6) pekan depan. Namun sebelum keputusan tersebut diambil, patut untuk dinilai terlebih dahulu apakah Pippo memang sama sekali bukan orang yang tepat untuk menukangi Milan?

I.
Filippo Inzaghi adalah legenda hidup Milan. Selama bermain, ia banyak menghabiskan karirnya di klub merah-hitam dengan gelimang gelar dan rekor gol. Setelah pensiun dari lapangan hijau tiga tahun lalu, Pippo pun merintis karir sebagai pelatih di tim yunior Milan.


Prestasi Pippo amat baik di tim yunior Milan. Ia membawa skuat Milan Primavera pada capaian titel Viareggio Cup tahun 2014 lalu, sebuah turnamen yunior bergengsi yang juga diikuti beberapa tim di luar Italia. Berbekal kisah sukses inilah, ditambah contoh cerita sukses Pep Guardiola yang langsung memberi gelar treble winners untuk Barcelona pada tahun pertamanya melatih tim senior, Milan pun menawari Pippo sesuatu yang sulit ditolak: melatih tim senior Milan.

Beberapa bulan sebelumnya, Pippo sebetulnya ditawari untuk Sassuolo, klub papan tengah Italia yang kerap tampil mengejutkan. Namun Pippo (dan Galliani) saat itu menolaknya. Mungkin juga Pippo memang telah ditawari kontrak oleh Galliani ketika tawaran Sassuolo datang.

Banyak pihak menyayangkan keputusan Pippo. Dengan belajar terlebih dahulu di klub yang lebih ringan ekspektasinya seperti Sassuolo, Pippo dapat belajar bagaimana menangani sebuah tim senior. Pippo disebut terlalu cepat menerima tawaran dari klub sebesar Milan. Akibatnya amat terasa, kini belum genap setahun Pippo memimpin Milan dari bangku cadangan, klub berjuluk Rossoneri kembali gagal lolos ke kejuaraan antarklub Eropa musim depan.

Kegagalan Milan musim ini bahkan disebut pihak merupakan andil terbesar Pippo. Tidak sedikit yang menilai bahwa Milan telah bergerak positif di bursa transfer dengan mendatangkan nama-nama tenar seperti Fernando Torres, Jack Bonaventura dan Jeremy Menez, yang kemudian disusul aksi borong pada winter market di antaranya atas Alessio Cerci, Gabriel Paletta, Salvatore Bocchetti dan Luca Antonelli.

II.
Milan memang mendatangkan banyak pemain baru di berbagai posisi. Namun apakah lantas memecahkan problem? Ternyata tidak, jika melihat pemain-pemain yang didatangkan berkualitas rata-rata air dan telah melewati performa terbaik. Biaya gaji juga dikelola dengan amat buruk. Amat aneh melihat sebuah klub yang tidak bermain di kompetisi Eropa menumpuk 27 orang pemain di tim senior dengan total pengeluaran gaji hingga 98 juta euro, atau hanya kalah besar dari Juventus yang mengeluarkan 117 juta.

Milan seperti terlalu sibuk mendatangkan pemain-pemain incaran, hingga tidak memiliki waktu untuk melepas mereka yang berkontribusi kecil namun bergaji besar. Robinho, yang pada awalnya ditawari kontrak baru supaya bisa dijual, nyatanya dibiarkan juga untuk memutus kontraknya pada akhir musim ini dan pergi dengan bebas transfer.

Banyak pula pemain yang masih berada di skuat namun performanya buruk musim ini, seperti Michael Essien, Sulley Muntari bahkan Riccardo Montolivo. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa roster yang dimiliki Milan boleh jadi tidak sesuai dengan keinginan (dan kebutuhan) Inzaghi. 

III.
Inzaghi disebut menunjukkan banyak kekurangannya sebagai pelatih. Yang pertama disoroti adalah keengganannya menurunkan pemain muda. Pippo baru menurunkan gelandang muda Andrea Mastalli pada 20 menit terakhir laga melawan Torino pekan lalu. Pippo sendiri memiliki jawabannya. "Ada saat yang tepat untuk menurunkan pemain-pemain muda di pertandingan senior," ujarnya. Hal ini memang cukup mengherankan, karena sebagai ekspelatih yunior, Pippo semestinya paham bahwa memberikan jam terbang, walaupun sedikit saja, kepada pemain-pemain muda tentu akan berguna bagi perkembangan sang pemain.

Pippo sepertinya tertekan oleh rangkaian hasil buruk yang didapat Milan. Seiring upayanya untuk perbaikan posisi di klasemen, Pippo berpendapat bahwa menurunkan pemain muda adalah resiko besar. Memang tidak ada yang berhak menunjuk Pippo salah atau benar dalam hal ini, namun satu yang disayangkan, jika memang Pippo pergi, tidak ada pemain muda asuhannya yang berhasil mengalami peningkatan level ke tim senior. Allegri dan Leonardo, dua ekspelatih Milan, bahkan dapat dikatakan memiliki warisan dengan keberaniannya banyak menurunkan Mattia De Sciglio dan Ignazio Abate.

Sebagai pelatih, Pippo memang terlihat tidak menonjol dalam taktik. Ia lebih mengutamakan mentalitas pemain di lapangan, sesuai dengan tesisnya ketika bersekolah di Coverciano yang berjudul A Mentality to Be Winners. Semestinya, pelatih seperti Pippo cocok untuk klub seperti Milan, di mana pemain-pemain berada dalam kondisi mental yang kurang baik. Kehadiran Pippo, apalagi dengan statusnya sebagai legenda Milan, semestinya dapat melecut semangat para pemain.

Namun sayangnya, Milan juga diwarnai hasil-hasil buruk kala menghadapi tim-tim yang semestinya mampu mereka kalahkan. Instabilitas melanda tim ini pada pertengahan paruh pertama di mana klub-klub seperti Palermo mampu mencuri 3 poin dan klub seperti Empoli, Cagliari, dan Cesena mampu mencuri satu poin. Dalam kekalahan dan hasil-hasil imbang itu, Pippo juga banyak dipersalahkan terkait taktik counter attack yang digunakannya.

IV.
Namun apakah yang dapat disimpulkan dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki Pippo? Adalah fakta bahwa ia masih terlalu hijau untuk menangani klub dengan tekanan menang yang besar seperti Milan. Milan harus sadar bahwa seperti inilah akibat yang timbul dari menunjuk pelatih tak berpengalaman seperti Pippo (dan juga Seedorf pada tahun lalu).
 Kekurangan dalam hal taktik, kemampuan membaca permainan dan menurunkan pemain pengganti tentunya tidak terlepas dari intuisi seorang pelatih yang tentunya akan menajam seiring pengalaman. Pippo hanya butuh waktu belajar, namun Milan bukanlah klub yang akan dengan sabar memberi waktu bagi pelatihnya untuk belajar.

Winning mentality Pippo sebenarnya terlihat jelas dalam beberapa laga di mana Milan benar-benar tampil impresif. Pada derby pertamanya melawan Inter, November lalu, Milan begitu menguasai laga dan nyaris menang andai tendangan Stephan El Shaarawy tidak membentur mistar gawang pada menit-menit akhir. Selanjutnya, Milan juga dengan impresif berhasil mengalahkan Napoli di San Siro dan menahan imbang Roma di Olimpico jelang pergantian tahun. Belum lagi kemenangan mereka dalam laga uji coba melawan Real Madrid pada winter break. Ini adalah Milan versi Pippo dalam wajah terbaiknya.

Namun sayangnya wajah terbaik itu tidak dapat mereka tampakkan dengan konsisten. Mereka lalu membuka tahun 2015 dengan kekalahan di San Siro atas tim yang memang selalu menjadi jinx, Sassuolo. Kekalahan ini amat menjatuhkan mental Milan karena setelah itu Atalanta, Lazio, dan Juventus berhasil memukul mereka. Milan baru kembali lagi ke trek setelah mengalahkan Cagliari pada pekan ke-28 yang membawa kemenangan beruntun atas Palermo di Renzo Barbera sepekan setelahnya. Namun penyakit Milan kembali kambuh setelah ditahan imbang Sampdoria di San Siro, dan gagal menundukkan Inter pada derby kedua. Periode buruk kembali menghampiri dengan tiga kekalahan beruntun atas Udinese, Napoli dan Genoa. Dapat disimpulkan bahwa Milan begitu mudah terjebak pada periode negatif setelah sekali mendapat hasil buruk. Mentalitas menang ala Inzaghi jelas belum tertanam sempurna.

Patut diingat juga bahwa kemenangan-kemenangan yang hadir atas Roma dan Torino kembali memperlihatkan kualitas terbaik Milan di tangan Pippo. Dalam dua laga ini, Milan begitu agresif sekaligus efektif dalam pemanfaatan peluang, dan tidak menyerah dalam tekanan lawan. Jadi apakah Pippo memang pelatih yang buruk? Rasanya tidak juga. Namun apakah Milan patut memberi kesempatan kedua pada Pippo andai Ancelotti memutuskan untuk menjalani break setahun? Inilah pertanyaan sesungguhnya. Lagipula jika skuat dan kondisi manajemen tidak mengalami perbaikan, kedatangan pelatih sekaliber Ancelotti, Jose Mourinho atau Pep Guardiola pun belum tentu mampu menyelesaikan masalah.

Wednesday, May 27, 2015

Antara Ancelotti dan Sang CEO

"Tanti auguri, Silvio. Saya akan berikan kado istimewa berupa scudetto pada akhir musim 2001-2002."

Demikian janji penuh makna dari seorang pria Turki bernama Fatih Terim pada perayaan ulang tahun ke-65 presiden Milan, Silvio Berlusconi, satu setengah dekade silam.

Terim, yang oleh Berlusconi ditarik ke Milan berkat racikan sepak bola menyerang yang memukau di Fiorentina pada musim sebelumnya, lantas gagal total mewujudkan janji kepada Berlusconi. Rangkaian hasil buruk membuatnya dipecat meskipun baru lima bulan bertugas. Berlusconi sendiri rupanya sudah kehilangan harapan pada pelatih yang juga pernah menangani timnas Turki ini. Dengan membawa serta Manuel Rui Costa dari Fiorentina, juga membeli Filippo Inzaghi dari Juventus dan duo penggawa Deportivo Alaves, Javi Moreno dan Cosmin Contra, kegagalan sungguh tak termaafkan.

Pelatih underdog bernama Carlo Ancelotti akhirnya ditunjuk Berlusconi untuk menukangi Milan. Ancelotti memang pantas disebut sebagai pelatih underdog saat itu, lantaran dua musim berturut-turut hanya membawa Juventus sebagai runner-up kompetisi Seri A Italia. Juventus pun memberhentikannya dengan kurang hormat pada saat itu.

Lantas, Ancelotti yang juga mantan gelandang Milan ini kembali ke Milanello dengan sambutan dan pengharapan yang biasa saja. Sebelum dilatihnya, Milan memang sedang mengalami stagnansi prestasi, di mana mereka sudah delapan tahun tidak memenangi Liga Champions dan dua tahun tidak memenangi liga. Apakah pilihan Berlusconi kali ini tepat?

Ancelotti menjawabnya dengan penuh gaya. Ia berhasil membawa Milan ke peringkat 4, dan menyelamatkan musim dengan baik sepeninggal Terim. Semusim selanjutnya, meski harus tertatih memasuki babak kualifikasi terlebih dahulu, Ancelotti berhasil membawa Milan ke babak final Liga Champions menghadapi Juventus, klub yang pernah mendepaknya. Kita semua tahu, Ancelotti berhasil memberi pembalasan yang manis ketika skuat Milan-nya berhasil mengalahkan sang rival senegara lewat adu penalti.

Apakah rahasia kesuksesan pria yang mengawali karir kepelatihannya di Reggiana ini? Ternyata sederhana. Sikap akomodatif dan dinamis Ancelotti inilah yang menjadi kunci. Maksudnya? Tentu saja akomodatif dalam memenuhi permintaan pemilik klub dan mendengarkan para pemainnya, dan juga dinamis alias tidak memiliki taktik dan sistem baku dalam menyiapkan timnya. Kedinamisan ini memang buah dari karya tulisnya semasa mengecap pendidikan kepelatihan di Coverviano yang berjudul The Future of Football: More Dynamism. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki karakter yang lantas membuatnya tidak memiliki wibawa di mata pemain, karena nyatanya ia adalah sosok yang amat dikagumi oleh banyak pemain besar yang pernah dilatihnya seperti Cristiano Ronaldo, John Terry, Gennaro Gattuso atau Paolo Maldini.

Memiliki Rui Costa, Seedorf dan Pirlo dalam satu tim cukup memusingkan jika dilihat oleh pelatih pada umumnya. Namun Ancelotti bukanlah orang itu. Sebaliknya, ia mampu menyatukan figur-figur bertipe playmaker ini dalam satu tim, tentunya dengan peran yang dibaginya dengan tepat. Ia belajar dari Carlo Mazzone untuk menempatkan Pirlo di posisi gelandang bertahan, dan hasilnya Pirlo kini dipandang sebagai salah satu regista terbaik sepanjang masa. Ia juga mampu membagi peran untuk Seedorf dan Rui Costa, di mana keduanya tetap berfungsi sebagai gelandang tengah tanpa harus menutup ruang kreativitas.

Satu trofi Liga Champions kembali diboyongnya ke San Siro tahun 2007, sekaligus membalaskan dendam atas Liverpool, tim yang mengalahkan Milan dalam laga epik bertajuk Battle of Istanbul tahun 2005. Pada era ini, pelatih yang akrab disapa Carletto ini juga berhasil mengeluarkan permainan terbaik dari seorang rising star bernama Ricardo Kaka.

Sekeluarnya dari Milan, Ancelotti berkelana ke Inggris dan Prancis untuk menukangi dua klub kaya, Chelsea dan PSG. Di dua klub yang bermarkas di ibukota Inggris dan Prancis ini, Ancelotti kemudian sukses memberi titel domestik meskipun gagal memberi titel kontinental. Namun sekali lagi, Ancelotti menunjukkan kemampuan adaptasinya dan mengendalikan ruang ganti yang dihuni para superstar.

Kejayaan di kompetisi-kompetisi berbeda membawanya ke klub dengan reputasi paling mentereng sedunia, Real Madrid. Pada awal kedatangannya, presiden Florentino Perez memberi titah untuk membawa pulang trofi Si Kuping Besar Liga Champipns ke-10 untuk El Real, atau dikenal dengan pencapaian La Decima.

Lagi-lagi, Ancelotti dihadiahi skuat yang banjir talenta untuk mewujudkan impian itu. Dua pemain termahal dunia, Gareth Bale dan Cristiano Ronaldo bercokol di skuat, membuat Angel Di Maria dipandang sebagai surplus. Namun apa yang dilakukan Ancelotti ketika Di Maria tidak jadi dijual? Ia menggeser posisi sang pemain dari penyerang sayap kanan ke gelandang kiri untuk membentuk trio bersama Xabi Alonso dan Luka Modric. Hasilnya? Di Maria muncul sebagai pemberi assist terbanyak di Eropa sekaligus berperan krusial menghadirkan La Decima, obsesi sekaligus rasa penasaran terbesar Perez selama ia menjadi presiden Madrid. Secara individu, pencapaian ini membawa Don Carlo pada pemecahan rekor pelatih pemegang gelar Liga Champions terbanyak yang selama ini dipegang pelatih legendaris Liverpool, Bob Paisley.

Apakah Perez terpuaskan begitu saja setelah itu? Well, ternyata tidak. La Decima adalah sebuah epos yang sudah lewat, dan bagi Perez, tidak ada artinya raihan La Decima tanpa kelanjutan superioritas dan glamoritas. Perez memiliki ide sendiri soal Madrid, dan tentu saja trofi dan kemenangan bukan satu-satunya yang ia inginkan. Tidak cukup hanya menang, ia ingin mendominasi dan bermain cantik. Aspek luar lapangan yaitu finansial dan brand juga tidak kalah penting. Di bawah Perez, Madrid memang begitu makmur secara finansial, sebagaimana tercermin dalam laporan Deloitte dan majalah Forbes. Meminjam kata-kata Jonathan Wilson dalam artikelnya di Sports Illustrated baru-baru ini, Real Madrid di bawah kepemimpinan Perez tidak hanya menginginkan kesuksesan biasa, melainkan kesuksesan dengan tipe berbeda.

Tipe berbeda yang dimaksud, lanjut Wilson, merefleksi pada kesuksesan yang terjadi pada klub ini di era 50-an. Kala itu, Madrid berhasil merebut lima gelar Liga Champions dengan tulang punggung pemain-pemain seperti Alfredo Di Stefano, Raymond Kopa, Ferenc Puskas, Paco Gento. Sebuah kekuatan tak tertahankan yang disajikan oleh pemain-pemain kelas atas yang mempertontonkan sepak bola glamor.

Sepak bola zaman sekarang tentu saja berbeda jauh dengan era 50an. Sulit bagi klub manapun mempertahankan hegemoni dalam waktu lama, karena peta kekuatan (finansial) yang semakin merata, dan taktik yang terus berevolusi dengan cepat, sehingga tidak ada satupun sistem permainan yang tidak bisa ditangkal.

Bagaimanapun, Perez tetap bertahan dengan idenya yang utopis. Pemecatan pelatih sekaliber Ancelotti adalah sebuah bukti nyata.  

Pemecatan pelatih yang tidak mampu memberi gelar memang bukan hal aneh terjadi pada era Perez sebagai presiden. Namun kali ini Perez memecat Ancelotti, seorang pelatih yang telah memberi empat trofi dalam dua musim dan memiliki hubungan baik dengan pemain serta fans. Tanpa mengurangi rasa hormat pada pelatih lain, amat sulit menemukan pelatih di luar sana yang memiliki atribut prestasi sekaligus kemampuan manajerial sebaik Carletto. Lagipula, kegagalan Madrid memboyong trofi musim ini bukanlah karena permainan buruk, melainkan begitu perkasanya Barcelona di Liga BBVA, dan begitu alotnya Juventus di Liga Champions.

Berbicara soal Barcelona, Perez memang amat tidak suka jika Blaugrana berada di atas Madrid. Musim ini, Barca memang tampil luar biasa hingga berpeluang meraih treble winners. Kontrasnya prestasi Madrid terkini jika dibandingkan dengan Barcelona inilah yang semakin meyakinkan Perez bahwa klubnya tidak berada di trek yang benar. Perez tidak memiliki kesabaran untuk menunggu perbaikan kinerja musim depan, karena ia memang menilai pelatihnya musim demi musim. Hal ini semata menunjukkan bahwa Perez mengendalikan klub sepak bola layaknya seorang CEO perusahaan dalam menilai kinerja direktur-direkturnya. Tidak ada jaminan posisi di Madrid, sekalipun anda memberi gelar treble dalam sebuah musim, atau bahkan La Decima sekalipun.

Tuesday, May 19, 2015

Tidak Mudah Menjadi Pemilik Baru Milan

"Sepuluh atau lima belas tahun silam, kompetisi Seri A Italia mungkin masih menjadi destinasi utama para bintang sepak bola dunia. Namun saat berada di puncak kejayaan tersebut, mereka tidak banyak berpikir akan masa depan."

Begitulah ucapan James Palotta, presiden klub AS Roma, sekaligus pemilik asing pertama bagi klub Seri A Italia pada awal jabatannya. Perkataan pria asal Amerika Serikat ini memang menyimpulkan bahwa Seri A adalah simbol dari dua hal, yaitu kejayaan era 90an hingga awal milenium dan potret dari rangkaian mismanagement yang akhirnya menggerus reputasi mereka sendiri. Dalam laporan Deloitte Football Money League 2015, posisi klub-klub Italia semakin tertinggal saja dibandingkan klub-klub Inggris dan Jerman.  Meski perbaikan sudah tampak pada musim ini dengan performa menawan klub-klub Italia di kompetisi antarklub Eropa, namun secara percepatan, mereka sudah lebih dulu tertinggal dan tentu saja harus bekerja lebih keras lagi.

Dari Simbol Kejayaan Menjadi Raksasa Terluka
Berbicara tentang kejayaan Seri A pada masa 90an tersebut, nama AC Milan sangat identik dengannya. Sebagai klub yang pertama kali memperkenalkan model bisnis 'beli pemain bintang, bermain atraktif lalu meraih gelar dengan gaya', langkah revolusioner Milan kemudian ditiru oleh para rival mereka di negeri Peninsula, dan bahkan menular hingga ke ranah Britania. Model pengelolaan klub seperti ini -meski dapat diperdebatkan- kemudian diadopsi oleh sebagian klub Liga Primer Inggris saat mereka mulai membangun reputasi global.

Milan saat itu mencontohkan cara untuk menjadi pemenang sejati yang melegenda. Bahwa untuk menjadi klub yang namanya tidak lekang zaman, dibutuhkan kemenangan yang kontinyu dan menyeluruh. Bukan tahun ini juara lalu tahun depan melempem, bukan pula sekadar juara domestik tapi tak berdaya di kancah Eropa. Kejayaan Milan saat itu berupa gelar back to back Eropa 1989-1990 dan juara liga domestik tiga musim beruntun 1992-1994 seakan menjadi contoh terbaik.

Jika periode ditarik lebih panjang lagi hingga tahun 2011 -tahun terakhir kali Milan meraih trofi- akan terpampang total 15 trofi domestik dan 14 trofi kontinental dan intetnasional. 29 trofi bergengsi itulah yang didapat pada masa kepemimpinan seorang raja media, politisi sekaligus sosok pria flamboyan dengan total kekayaan sebesar 8,2 US$ bernama Silvio Berlusconi.

Dengan koleksi trofi sebanyak itu, yang turut menjadikan Milan sebagai salah satu pemegang Badge of Honour Liga Champions yang merupakan simbol kejayaan kontinental, sekaligus menempatkan Milan sebagai salah satu klub dengan koleksi trofi internasional terbanyak di dunia, Berlusconi jelas merupakan salah satu presiden klub tersukses sepanjang sejarah sepak bola.

Maka sudah teramat wajar jika apapun langkah Milan akan didasari keinginan Berlusconi. Seleranya yang tinggi dan kehidupannya yang glamor senantiasa dinapaktilasi Milan di lapangan. Dari helikopternya, ia mampir kapanpun ia suka ke Milanello, kompleks latihan Milan. Pada jeda pertandingan, ia dapat menuju ruang ganti untuk berbicara pada pelatihnya perihal keinginan bermain dengan dua penyerang, lalu di tribun kehormatan stadion San Siro membisiki Adriano Galliani dan (dulu) Ariedo Braida terkait keinginannya menggaet seorang pemuda berbakat besar dari Brasil.

Namun di samping sumbangan berbagai gelar, kealpaan Berlusconi dalam mengikuti tuntutan perkembangan sepak bola modern dan serangkaian kasus hukum yang dideritanya lah yang kemudian menggerus kejayaan Milan. Pria kelahiran 1936 ini, entah dengan sadar atau tidak, terus menggunakan formula suksesnya yang sudah ketinggalan zaman ketika klub-klub pesaing telah melangkah lebih jauh tentang bagaimana meningkatkan pendapatan klub dengan membangun stadion baru dan ketika UEFA melalui Financial Fair Play telah mengatur batasan kerugian yang bisa ditolerir agar diperbolehkan mengikuti kompetisi di bawah bendera mereka.

Milan pun berangsur melemah. Terkini, sudah dua musim berturut-turut Milan gagal lolos ke Eropa, plus dibarengi suguhan penampilan menyedihkan di lapangan, kebijakan pembelian pemain gratisan yang telah melewati masa terbaik, pemain-pemain yang kebingungan dan tidak bersemangat di lapangan, tidak jelasnya hirarki kapten tim, dan imbasnya membuat para tifosi dengan mudah menunjuk tiga pelatih terkini mereka sebagai sosok yang tidak kompeten.

Harapan Baru Atau Harapan Palsu?
Lalu secercah cahaya datang dari arah timur. Dari benua Asia, rencana pembelian Milan oleh sekelompok investor yang diwakili oleh seseorang yang bernama Bee Taechaubol mau tidak mau memenuhi agenda rapat Berlusconi. Pria asli Milan ini pun pasang mata, telinga, lalu menggunakan kepalanya untuk berpikir, sekaligus hati kecilnya untuk mempertanyakan.

"Apakah mereka benar-benar memiliki uang dan komitmen untuk menjadikan Milan kembali berjaya, atau hanya sekadar mencari popularitas sesaat?”

"Milan memang sudah mengalir dalam darah saya, namun saya rela terlepas dari klub ini andai benar-benar ada pihak yang mampu membeli dan berniat mengembalikan kejayaan Milan."

Berlusconi menolak keras penjualan Milan kepada pihak yang tidak tepat.

Untuk itulah ia memberi syarat berat baik dari segi materi maupun non-materi. Secara materi, syarat yang diajukan Berlusconi sebagai mahar bagi siapapun yang ingin membeli Milan adalah uang sebesar 1 miliar euro, plus pelunasan hutang-hutang yang seperti dikutip dari Forbes, kini berjumlah 278 juta US$. Sekadar perspektif, dengan uang sebanyak ini, 650 ribu penganggur di Eropa dapat tertampung untuk bekerja. Sementara dari sisi non-materi, Berlusconi menginginkan Galliani dan Barbara Berlusconi, anaknya, untuk tetap berada di jajaran direksi dan turut memegang kendali. Sedikit terdengar megalomania memang, namun ia memang merasa paling tahu bagaimana mengelola klub Italia.

Para Milanisti yang sudah merindukan kejayaan akhirnya lelah dengan era Berlusconi, dan mereka tentu senang dengan kemunculan sosok pria Thailand yang kemudian akrab disapa dengan sebutan Mr. Bee. Namun sebelum terjebak dalam euforia, jawablah terlebih dahulu pertanyaan yang amat mendasar, yaitu apakah Mr. Bee benar memiliki uang sebanyak itu untuk menjadi pengendali baru klub merah-hitam? Kita lihat satu persatu.

Menurut Bloomberg, Mr. Bee memiliki perusahaan keluarga bernama Landmark Development Group Co. Ltd dengan penyertaan saham 5% atas perusahaan properti tersebut. Sementara menurut data dari Forbes, kekayaan Mr. Bee dari perusahaan-perusahaan lain yang dimilikinya termasuk Landmark Development Group Co. Ltd tadi berjumlah 261 juta US$, dengan profit sebesar 100 juta US$ pada tahun 2013. Hal ini mengundang Forbes untuk bertanya, lewat akun twitternya, bagaimana Mr. Bee dapat membeli sepertiga dari saham Milan dengan jumlah kekayaan yang tidak memenuhi price tag yang ditetapkan Berlusconi?

"Saya memang tidak memiliki (uang) sebanyak itu, tapi saya bisa mencarikannya." Mr. Bee, dalam sebuah wawancara dengan Wordfolio setelah menginjeksi modal kepada sektor SME (Small Medium Entrepreneur) dua tahun lalu di Thailand.

Berita kemudian berseliweran. Bahwa Mr. Bee adalah sosok yang ditunjuk untuk menggolkan perjanjian ini oleh para investor di belakangnya. Sentuhan Raja Midas yang menaikkan reputasi Mr. Bee disebut berhasil meggiring banyak nama tycoon untuk menjadi sponsornya dalam mengakuisisi Milan. Mengenai siapa saja investor tersebut, spekulasi kemudian bergerak liar. Doyen Sports, perusahaan pemilik hak ekonomi banyak pemain dunia disebut menjadi salah satu sponsor Mr. Bee, yang kemudian dikampanyekan akan turut menggiring para pemain-pemain terkenal yang dimilikinya ke San Siro, sesuatu yang amat seksi dan menyejukkan bagi Milanisti. Begitu pula beberapa nama yang kemudian muncul seperti dua pengusaha Turki bernama Fettah Temince dan Tevfik Arif, bahkan keluarga Rothschild.

Apakah berita-berita tersebut benar adanya? Entahlah. Namun yang jelas hal ini masih belum mampu membuat kubu Berlusconi bergeming. Pihak sponsor Mr. Bee bisa saja menggoreng berita apapun yang ia mau, dan menggiring opini bahwa pihaknya telah siap membeli Milan. Namun selama belum ada klaim tanggapan yang valid dari pihak Berlusconi, maka realisasi proses pengambilalihan ini pantas untuk dipertanyakan.

Harga Milan sesuai valuasi dari Forbes tahun 2015 ini adalah 755 juta US$, tergerus 100 juta US$ dibanding tahun lalu dan menjadikan mereka sebagai klub urutan 10 dengan nilai tertinggi di dunia setelah sebelumnya menempati posisi 8. Jauh dibandingkan Real Madrid di posisi teratas yang bernilai 3,2 miliar US$. Jika Berlusconi memasang harga 1 miliar euro plus pelunasan hutang, yang jika ditotal akan menunjukkan nilai 1,3 miliar euro atau sekitar 1,6 miliar US$, maka jumlah uang yang tengah dikumpulkan Mr. Bee jelas masih jauh dari cukup. Meskipun nilai yang disyaratkan tersebut jauh lebih besar ketimbang hasil valuasi Forbes, Berlusconi sebagai pemilik, tentu saja memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak segala tawaran. Berlusconi jelas tahu dengan siapa ia berurusan, dan baginya, nilai tersebut sebanding dengan apa yang sejak tiga dekade lalu dibangunnya.

Maka tidak mengherankan jika negosiasi belum mencapai kata sepakat, meski hal ini dikabarkan hanyalah ditunda. Bisa jadi cerita ini hanya mengulangi penolakan Berlusconi pada tawaran seorang pengusaha Singapura, Peter Lim, yang pada awal tahun menawarkan 970 juta euro, juga calon pembeli lain dari Tiongkok, Richard Lee. Untuk saat ini, harapan Milan untuk memiliki presiden baru plus diperkuat para pemain yang terkoneksi dengan Doyen Sport seperti Radamel Falcao, Geoffrey Kondogbia atau Gabriel Barbosa, praktis perlahan menguap.

Menjual klub tidaklah semudah menjual mobil atau rumah. Terlebih bagi seorang Berlusconi, Milan adalah hasil karyanya yang paling agung, dan andai terealisasi, deal penjualan Milan adalah deal terbesar sepanjang hidupnya.

Monday, May 18, 2015

Skuat Milan Musim Ini, Keep or Dump?

Terima sajalah jika dua musim ini adalah bencana untuk Milan. Menyongsong manajemen baru, Milan perlu melakukan perombakan besar-besaran terkait skuat. Berikut uraian singkat tentang kepantasan pemain-pemain Milan musim ini, apakah mereka layak dipertahankan atau sebaiknya dilepas. Didasari besar gaji (ingat, total biaya gaji Milan musim ini mencapai 94 juta euro atau hanya kalah besar dari Juventus. Untuk memberi perspektif, biaya gaji Empoli hanya 11 juta euro). Namun tentu saja tidak melulu biaya gaji yang dipertimbangkan, tapi juga kontribusi dan potensi.

Diego Lopez
Tanpa penyelamatan-penyelamatannya yang kadang mustahil, Milan sudah berada di zona degradasi. Meski kadang melakukan blunder, namun refleks dan kemampuan teknis kiper asal Spanyol ini masih salah satu yang terbaik di dunia. Definitely keep.

Christian Abbiati
Gaji kecil, loyal, pengalaman segudang dan punya kepemimpinan cukup baik. Hanya usia saja yang menghalanginya bermain konsisten. Namun ia masih perlu dipertahankan asalkan mau dijadikan sebagai back up. Keep with conditions.

Michael Agazzi
Tidak pernah menunjukkan permainan terbaik. Dump.

Mattia De Sciglio
Mulai dipandang sebagai pemain overrated. Inkonsisten dan tidak banyak berkembang musim ini. Namun ia adalah produk asli akademi yang mewakili identitas Milan, lagipula usianya masih muda. Keep.

Ignazio Abate
Setelah menjanjikan pada awal musim, Abate kembali 'tak terlihat' pada paruh kedua, seiring dengan penurunan hasil yang dialami Milan. Namun, ia masih bisa berkontribusi lewat kecepatan dan eksplosivitasnya. Keep.

Gabriel Paletta
Sempat cedera pada awal musim ketika masih memperkuat Parma, Paletta didatangkan Milan dengan harga murah. Ketenangannya di belakang tentu saja dibutuhkan pertahanan Milan, meski puncak penampilannya sudah lewat. Keep.

Philippe Mexes
Gaji besar, sering membuat masalah di lapangan karena emosinya yang sering tak terkontrol, usia yang sudah uzur membuat Mexes layak dilepas musim depan. Bek Prancis ini memang memiliki grinta dan tentu saja skill yang bagus dan visi yang baik. Amat jarang melihat bek yang mampu mencetak gol lewat tendangan salto ataupun first time, bukan? Tapi, Milan lebih baik mencari bek baru demi regenerasi. Dump.

Luca Antonelli
Si anak hilang sudah kembali. Antonelli memberi daya dobrak di sisi kiri lapangan. Kerap mencetak gol dan memiliki tehnik yang baik. Keep.

Alex
Berpengalaman dan kokoh, namun rentan serangan balik. Sudah uzur dan bergaji 2,5 juta euro. Dump.

Adil Rami
Kemampuannya cukup komplet dan memiliki tehnik yang bagus. Sayangnya musim ini inkonsisten dan banyak mengalami cedera. Kasih kesempatan semusim lagi. Keep.

Cristian Zapata
Cemerlang di timnas Kolombia, tapi memang tidak bisa menularkannya di Milan. Inkonsisten dan sudah sulit berkembang. Dump.

Salvatore Bocchetti
Cukup kalem dan memberi rasa aman ketika memainkan pertandingan terbaiknya. Namun kerentanan akan cedera jelas memberi resiko tinggi. Dump.

Daniele Bonera
Ia hanyalah sosok loyal untuk klub. Tidak memberi masalah, tapi tidak pula impresif. Versatilitas dan senioritasnya memang kadang membantu jika Milan sedang krisis bek, namun musim ini semestinya adalah musimnya yang terakhir. Dump.

Pablo Armero
Kisahnya sama seperti Zapata. Dump.

Cristian Zaccardo
Penghangat bangku cadangan sejak awal kedatangan. Kontribusi minim namun gaji hampir sama dengan Jack Bonaventura. Dump.

Nigel De Jong
Sulit melihatnya masih berbaju Milan musim depan karena ia masih diminati tim-tim besar. Membiarkannya pergi adalah hal terbaik. Dump.

Andrea Poli
Berpotensi dan memiliki semangat tinggi, meski tidak terlalu istimewa. Masih layak dipertahankan. Keep.

Marco Van Ginkel
Muda dan berbakat. Keep.

Sulley Muntari, Michael Essien, Riccardo Montolivo
Waktu mereka sudah habis. Total gaji mereka bertiga selama setahun adalah 8,5 juta euro. Dump.

Jack Bonaventura
Salah satu penampil terbaik. Kemampuan teknis, taktis dan mencetak golnya luar biasa. Gajinya ‘hanya’ 1 juta euro per musim. Keep.

Jeremy Menez
Sering membuang peluang dan gagal memanfaatkan momentum. Ia adalah paradoks: visi, kerjasama tim dan kedisiplinan yang kurang baik meski secara teknikal adalah yang terbaik di Milan. Apapun itu, Anda tidak bisa membuang pencetak 16 gol yang menikmati musim terbaik kecuali ada tawaran yang tidak bisa ditolak. Keep, with conditions.

Mattia Destro
Tidak produktif dan sering tidak terlihat di lapangan. Namun hal ini lebih karena ketidakcocokan dengan taktik counter attack Pippo Inzaghi. Dengan penanganan tepat dan dukungan gelandang yang lebih baik, Destro jelas salah satu penyerang terbaik Italia. Keep.


Giampaolo Pazzini
Akan berguna jika banyak diberi umpan silang. Namun usianya sudah kepala tiga dan gajinya juga besar: 2,5 juta euro per musim. Dump.

Stephan El Shaarawy
Sudah dua tahun ini El Shaarawy menjadi 'anak hilang'. Cedera, inkonsistensi, tidak termotivasi lama kelamaan akan menjadikannya tak lebih dari wasted talent seperti halnya Ricardo Quaresma atau Alexandre Pato. Meminjamkannya ke klub papan tengah yang lebih rendah sorotannya akan mengembalikan performa terbaiknya. Dump, pinjamkan keluar.

Alessio Cerci
Pemain seperti dirinya lebih cocok bermakn di klub yang menjadikannya pusat permainan. Milan tidak akan memberinya keistimewaan itu. Dump.

Keisuke Honda
Selain memiliki profesionalitas yang tinggi, Honda kerap memberi assist dan menghidupkan permainan. Hanya butuh konsistensi. Keep.

Suso
Dengan bakat besar yang dimiliki, Suso sebetulnya menjanjikan. Layak diberi kesempatan semusim lagi untuk lebih membiasakan diri dengan sepak bola Italia. Keep.


Pemain-pemain yang dipinjam: Torres, Robinho, Niang, Saponara, Birsa, Gabriel.
Dump semua kecuali Niang dan Gabriel.

Friday, May 15, 2015

Upaya Mengerek Si Kuping Besar Ke Turin

Juventus adalah sebuah perdebatan. Bagi mereka yang membenci, 31 gelar Seri A yang telah didapat (apalagi 33 seperti klaim Juventus) bukanlah hasil dari sesuatu yang diperjuangkan dengan halal di lapangan. Tawa akan semakin kencang, bagaimana dari 31 gelar domestik tersebut –yang membawa mereka tampil di kejuaraan Champions Eropa – hanya dua trofi yang berhasil diboyong. Bandingkanlah dengan Milan, misalnya, yang telah meraih 7 gelar Liga Champions meski ‘baru’ mengoleksi 18 gelar scudetti.

Namun siapakah kita sehingga merasa berhak menghakimi keabsahan gelar juara, yang bagaimanapun juga diperjuangkan dengan peluh dan darah di lapangan, yang diwarnai permainan cantik dari pemain-pemain terbaik yang pernah ada. Siapa tidak kenal Gianpiero Combi, Raimundo Orsi, Luis Monti, Giovanni Ferrari, Umberto Caligaris, Virginio Rosetta, Dino Zoff, Antonio Cabrini, Gaetano Scirea, Claudio Gentile, Marco Tardelli, Paolo Rossi, Alex Del Piero, Fabio Cannavaro, Gianluca Zambrotta, Mauro Camoranesi hingga Gianluigi Buffon? Nama-nama tulang punggung timnas Italia pemenang trofi Piala Dunia pada masing-masing era mereka ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Il Bianconero.

Biarlah para pengkritik itu menghujat ketika palu pengadilan diketuk untuk mengirim sang tim tersukses Italia ke Seri B tahun 2006, toh Si Nyonya tua telah menjalani masa hukumannya dan telah bangkit dari masa kelam sekembalinya ke Seri A di mana mereka menduduki posisi ke-7 dalam dua musim beruntun. Biarkanlah juga para tifosi dari klub rival bernyanyi sekencang-kencangnya ketika tim semenjana Inggris seperti Fulham pun mampu menundukkan mereka dengan skor telak 4-1 dalam babak 16 besar UEFA Europa League setengah dekade lalu.

Bahkan, masih segar dalam ingatan, bagaimana dalam tiga tahun terakhir Juve selalu gagal melewati babak perempat final Liga Champions meskipun pada saat bersamaan kembali merajai kompetisi Seri A Italia. Klub jago kandang.

Kini, si jago kandang memutar balik segala hinaan. Di bawah asuhan pelatih yang juga amat sering menjadi korban bully akibat akhir cerita tidak sedapnya bersama Milan, Massimiliano Allegri, mereka kini berada di final Liga Champions. Tidak lupa, mereka telah memastikan diri sebagai juara Seri A saat kompetisi masih menyisakan empat pertandingan, dan juga telah berada di babak final Coppa Italia.

Lawan mereka di final Liga Champions, Barcelona, mungkin saja masih sulit ditandingi. Saat Juve terjerembap di Seri B dan memberi pengalaman tak terlupakan bagi klub-klub seperti Albinoleffe, Barcelona baru saja pulang setelah memenangi Liga Champions di stadion Saint Denis setelah menundukkan Arsenal. Dalam rentang waktu tersebut, El Barca telah memenangi tambahan dua trofi lagi, dengan kualitas skuat dan permainan yang tidak kunjung menurun.

Barca jelas favorit. Dengan trio MSN (Messi, Suarez, Neymar) yang telah mencetak 112 gol di seluruh kompetisi musim ini, mereka jelas bukan tandingan kesebelasan manapun jika mereka bugar. Sementara Juventus diisi mayoritas pemain senior yang sudah lama merindukan kejayaan kontinental. Terakhir kali mereka menapak babak final, itu terjadi 12 tahun lalu saat mereka menghadapi Milan di stadion Old Trafford, Manchester.

Buffon, kiper veteran berusia 37 tahun, adalah satu-satunya pemain yang tampil di final tersebut yang hingga kini masih membela Juventus. Kala itu, Buffon harus merelakan trofi Si Kuping Besar terbang ke kota Milano saat sepakan penentuan Andriy Shevchenko tak mampu dihadangnya. Sang kapten tentu penasaran bagaimana rasanya memegang, mengangkat, memeluk lalu membawa lari trofi besar ini keliling lapangan. Kesempatan langka ini, boleh jadi adalah yang terakhir dimilikinya.

Tapi lagi-lagi, mereka dihadapkan pada klub yang sulit (diharap) berbuat kesalahan. Xavi, Iniesta, Sergio Busquets, Dani Alves, Gerard Pique, Pedro dan Messi memang telah dua kali menggendong trofi Liga Champions bersama Azulgrana, tapi mereka bukanlah pesepak bola yang cepat puas. Mereka tidaklah memiliki mental seperti seorang pebalap Formula 1 bernama James Hunt, yang berhasil merebut gelar juara dunia satu kali pada tahun 1976 namun kemudian berpuas diri dan tidak pernah kembali meraih gelar. Xavi, Iniesta, Messi, Pique, Sergio Busquets, Pedro dan Dani Alves tetaplah seorang atlet yang senantiasa lapar gelar. Menularkan mentalitas ini kepada para pendatang baru seperti Luis Suarez, Ivan Rakitic atau Marc-Andre Ter Stegen pun bukan hal sulit.

Meski Juventus tetaplah berbahaya dan berpotensi membuat kejutan, menahan Barcelona jelas membutuhkan pekerjaan teknis dan taktis yang sempurna. Di samping mengeluarkan kemampuan teknis terbaik, taktik dan motivasi dari Allegri, mereka juga membutuhkan ketelatenan dalam mengeksploitasi kelemahan permainan Barca –hal yang kini amat sulit dicari.

Jika Barcelona telah berada pada level majestic, Juventus sendiri baru sebatas level pembuktian. Bukti bahwa mereka bisa bersaing di luar Italia, bukti bahwa kebangkitan sepak bola Italia bukanlah angan-angan belaka. Pertarungan antara dua tim ini mungkin saja akan didominasi Barca, namun dalam kompetisi penuh kejutan dan sulit diprediksi seperti Liga Champions, siapa tahu keuletan Si Nyonya Tua yang kerap diasosiasikan dengan kekuatan pertahanan dan kecepatan serangan balik ala timnas Italia, trofi Kuping Besar bisa diarak ke kota Turin. Sudah banyak cerita tim underdog berhasil membuat kejutan, bukan? Dan jangan lupa, motivasi merebut treble winners di antara kedua tim tentu akan membuat para penggawa Juventus bertarung dengan mentalitas layaknya gladiator yang mempertaruhkan nyawa.

Monday, May 4, 2015

Tragedi Superga, Akhir Dari Sebuah Generasi Emas

Photo: Wikipedia.it

Tulisan ini pernah dimuat di Yahoo Indonesia, 4 Mei 2013. Penulis menuliskan ulang di blog ini dengan melakukan edit seperlunya.
______________________________________________________________

Meski bukanlah kompetisi sepak bola tertua di dunia, kompetisi sepak bola Liga Italia tetap dianggap sebagai kompetisi klasik yang sudah berjalan sejak tahun 1898. Sebelum kompetisi dengan format Seri A digulirkan mulai tahun 1929, kompetisi sepak bola Italia menggunakan sistem turnamen regional.

Secara total, Juventus menjadi pengumpul gelar juara terbanyak kompetisi negeri ini. 31 atau 33 gelar, itu tergantung pada keimanan masing-masing. Di bawah Juve, muncul AC Milan dan Inter Milan yang mengikuti dengan 18 gelar.

Selanjutnya, tercipta jarak yang cukup besar soal pengumpul terbanyak gelar juara liga karena setelah trio ini baru muncul nama Genoa yang mengumpulkan sembilan gelar. Di bawah Genoa, terdapat tiga klub yang mengumpulkan tujuh gelar yaitu Torino, Bologna dan Pro Vercelli.

Baik Torino, Bologna maupun Pro Vercelli merajai Liga Italia di masa lampau. Sebelum Seri A bergulir, Genoa dan Pro Vercelli adalah tim terbaik, sementara Bologna banyak disebut sebagai tim favorit Benito Mussolini, pemimpin berhaluan fasis Italia saat itu. Namun setelah Seri A bergulir, Torino adalah tim fantastis yang mencuat dengan mengumpulkan 5 gelar pada periode 1940an. Il Toro merajai Seri A lima musim beruntun pada masa itu berkat permainan gemilang yang diperagakan oleh tim yang dikenal dengan sebutan Il Grande Torino.

Kegemilangan Il Grande Torino dimulai saat klub dibeli oleh Ferruccio Novo, industrialis lokal yang mengakuisisi tim ini tahun 1939. Di bawah kepemimpinan Novo dan manajer asal Hungaria, Erno Egri “Ernst” Ebrstein, Torino disebut-sebut sebagai klub yang pertama kali memperkenalkan sistem pencarian bakat (talent scouting). Novo juga mempekerjakan orang-orang yang memang kompeten di bidangnya agar Torino bertransformasi dari klub semenjana menjadi klub besar. Sistem ini sekarang telah digunakan oleh hampir seluruh klub sepak bola profesional di dunia.

Usaha pencarian bakat yang sistematis tersebut sukses. Hasilnya, Torino mendapatkan pemain-pemain yang kelak menjadi legenda mereka seperti Franco Ossola, Ezio Loik, dan tentu saja Valentino Mazzola.

Ebrstein disebut sebagai orang yang berperan besar dalam mencari dan memilih para pemain ini sekaligus mengembangkan mereka sebagai yang terbaik. Ebrstein memperlihatkan perannya sebagai manajer, bukan sekadar pelatih. Pendekatan personal kepada pemain demi mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.  Semasa masih bermain, pria yang sempat melarikan diri dari Italia akibat Anti-Semitic Manifesto yang diberlakukan Mussolini ini mengakhiri karir di klub Brooklyn Wanderers di Amerika Serikat sebelum terjun ke dunia kepelatihan. Ia kemudian terbang ke Italia untuk menangani Bari dan Lucchese sebelum Torino menariknya tahun 1938.

Di lapangan, Ebrstein memperagakan permainan dengan taktik revolusioner 4-2-4, dengan memodifikasi permainan umpan-umpan pendek tim Eropa daratan dengan kedisiplinan dalam taktik Sistema yang diperagakan Vittorio Pozzo, pelatih timnas Italia tahun 1930an yang hingga kini menjadi satu-satunya yang berhasil membawa timnya memenangi dua Piala Dunia. Taktik tersebut menurut para pengamat menjadi inspirasi bagi tim Brasil saat mereka menjuarai Piala Dunia 1958 dan juga tim nasional Belanda tahun 1970an.
Torino menunjuk Valentino Mazzola sebagai kapten tim. Mazzola sering dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dilahirkan di Italia berkat tehniknya yang tinggi, fisik yang kuat serta kharisma di ruang ganti. Penjaga gawang Valerio Bacigalupo adalah salah satu penjaga gawang yang pertama kali terlihat sering keluar gari sarang untuk menghalau serangan lawan. Mario Rigamonti dan Romeo Menti yang juga anggota tim ini bahkan diabadikan namanya menjadi stadion markas klub Brescia dan Vicenza.

Kehebatan mereka diakui secara luas di mana pada periode tersebut tim nasional Italia beranggotakan sebagian besar pemain Torino. Bahkan dalam sebuah laga uji coba melawan Hungaria tahun 1947, 10 dari 11 pemain starter tim Italia adalah pemain Torino. Sebuah pengakuan yang wajar mengingat dalam kurun waktu tahun 1943 hingga 1949, Torino selalu menjadi juara Seri A.

Takdir memang datang tanpa bisa diduga. Kedigdayaan Il Grande Torino harus berakhir selama-lamanya oleh tragedi kecelakaan pesawat pada tanggal 4 Mei 1949, tepat 66 tahun yang lalu. Sekembalinya dari kota Lisbon untuk melakoni pertandingan uji coba melawan Benfica, pesawat yang mengangkut skuat Torino beserta staf pelatih dan beberapa jurnalis menabrak bukit Superga akibat terbang terlalu rendah saat hendak mendarat.

Tragedi ini juga mengubah sejarah sepak bola Italia, terutama tim nasional. Mereka kehilangan pemain-pemain andalan yang memang selama ini berporos tim Torino. Karena trauma, tim nasional Italia berangkat ke Brasil dengan kapal laut untuk mengikuti Piala Dunia 1950, di mana mereka langsung tersingkir akibat kondisi fisik yang tidak memadai selepas perjalanan jauh.

Butuh waktu hingga 1 dekade untuk mengembalikan kebesaran sepak bola negeri ini. Tim hebat berikutnya baru muncul pada tahun 60an dari kota Milan. Milan di bawah asuhan Nereo Rocco yang memperagakan taktik catenaccio, yang kemudian disempurnakan Inter di bawah asuhan Helenio Herrera untuk kemudian menyandang julukan Il Grande Inter, seperti halnya Torino. Uniknya, Il Grande Inter menguasai Italia dan Eropa saat itu dengan mengandalkan pemain tengah mereka, Sandro Mazzola, anak dari Valentino.

Banyak pula pihak yang menganggap tragedi ini mempengaruhi peta kekuatan klub sepak bola di Eropa. European Cup –turnamen yang menjadi cikal bakal Liga Champions dihelat pertama kali tahun 1955 dimana saat itu Real Madrid berjaya dengan pemain seperti Alfredo Di Stefano.

Jika tim Il Grande Torino masih ada, banyak pihak menduga Real Madrid tidak akan mudah memenangi 5 gelar turnamen secara beruntun dalam kurun waktu tahun 1956 hingga 1960 tersebut. Pendapat yang cukup masuk akal karena saat tragedi Superga terjadi, kebanyakan pemain Torino masih berusia di bawah 30 tahun.