Pages

Friday, December 26, 2014

5 Pertandingan Sepak Bola Kanak-Kanak Paling Mengesankan

Waktu masih sering main bola, posisi favorit gue ada 3, yaitu penyerang kedua, trequartista dan penyerang tengah. Gue sangat suka mencetak gol, dan posisi-posisi itu memungkinkan gue mencapai tujuan itu. Pernah juga gue bermain sebagai sayap kiri, tapi penempatan itu lebih karena teman-teman satu tim melihat gue memiliki lari yang cepat dan fasih menendang dengan kaki kiri. Sesuai lah dengan taktik sepak bola masa itu.

Beberapa pesepak bola dengan kategori ‘pemikir sejati’ mungkin akan menganggap visi gue dangkal, karena hanya memikirkan gol. Tapi setidaknya berkat gol-gol yang pernah gue ciptakan, tercipta kenangan-kenangan yang begitu membekas. Jika saja dulu sudah ada ponsel kamera, mungkin gue bisa mengunggah saja videonya ketimbang bercerita seperti ini. Kenangan-kenangan indah di berbagai jenis lapangan (rumput asli, rumput sintetis, tanah merah, pasir, semen halus, semen kasar) bisa gue gambarkan dalam lima laga paling berkesan yang pernah gue jalani.

5. 2-3 vs IPS-2 (Classmeeting SMA 1 Depok)
Jaman SMA dulu, sepak bola mini adalah ajang yang paling bergengsi di ajang classmeeting sekolah. Pas duduk di kelas dua, undian mempertemukan kelas gue dengan salah satu tim kuat kelas 3, yaitu anak-anak IPS-2. Jaman gue dulu sih, anak IPS itu identik dengan anak-anak yang prestasinya kalah mentereng dibandingkan dengan anak IPA. Untuk itulah para jagoan bola yang umumnya gak memikirkan prestasi akademik duduk di kelas IPS. Dan kelas IPS-2 ini memiliki beberapa pemain yang memang skillnya bagus.

Semalam sebelum pertandingan, sayangnya gue dan teman-teman harus begadang mengerjakan tugas makalah. Jaman dulu, jarang yang punya komputer. Gue beruntung menjadi salah satu anak yang punya, dan jadilah rumah gue dijadikan base camp setiap kali ada tugas seperti ini. Ngerjain tugasnya sih sebentar, tapi main-main dan ngobrolnya yang lama. Alhasil, kami begadang sampai pagi. Ada yang main PS, main game di komputer, main gitar, main kartu, sampai ada yang curhat segala. Dalam kelompok tugas, sebagian besarnya adalah anggota tim sepak bola. Jadilah kami bertanding layaknya zombie pada keesokan harinya.

Meriahnya atmosfer pertandingan membuat mata kantuk kami terbelalak. Tidak ada rasa capai, lelah, apalagi mengantuk. Laga tensi tinggi pun kami jalani, karena senior-senior ini memang amat bernafsu mengalahkan juniornya. Gue bukanlah pemain yang percaya diri, karena itu butuh waktu buat gue agar bisa nge-grip dengan pertandingan. Sempat beberapa kali kontrol gue gak sempurna, dan umpan-umpan juga kerap salah.

Tapi sekalinya udah panas, gue menjadi sangat menyatu, dan ternyata cukup mampu menjadi katalis performa tim. Pemantik itu semua adalah tendangan keras gue yang membentur mistar gawang. Gue dan teman-teman melihat jelas bola itu udah melewati garis gawang. Tapi karena bola kembali ke luar garis dan kiper lawan menangkapnya, wasit urung mengesahkan gol itu.

Kampret.

Mereka lalu unggul lewat sebuah skema serangan balik hingga turun minum.

Gue dan teman-teman gak menyerah. Berposisi di belakang dua penyerang, gue terus berusaha menerobos kukuhnya pertahanan lawan. Beberapa peluang berhasil diciptakan, dan salah satunya berbuah gol lewat seorang teman. Pendukung pun bergemuruh, suasana makin panas layaknya pertandingan sepak bola beneran. Laga berakhir seri pada waktu normal, lalu dilanjutkan dengan perpanjangan waktu.

Extra time ini menggunakan sistem sudden death. Sialnya, kiper tim gue emang sangat grogian. Upayanya meninju bola hasil lemparan ke dalam malah masuk ke gawang sendiri. Bitter. Pait banget. Kami semua gak percaya dengan yang baru terjadi. Lawan pun bersorak girang bercampur lega. Kiper lawan pun menghampiri lalu menyelamati gue sambil bilang “Sorry ya, tendangan lo tadi memang udah gol.”

Setelah itu, gue dibelikan minuman oleh cewek-cewek :)

4. IPA-4 vs IPS-1 (Liga Kelas 3, SMA 1 Depok)
Seperti yang gue bilang, kelas IPS memang megang banget dalam urusan persepak bolaan sekolah. Kelas IPS-1 di angkatan gue pas kelas 3 ini berisi ‘The Dream Team’ dalam skala SMA kami. Pemain-pemain handal berkumpul di situ. Mereka bahkan lebih cocok untuk menjadi pemain bola beneran.

Ini adalah sebuah laga dalam liga kelas 3 yang kami buat menjelang ujian. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa bahagianya masa SMA kami dulu yang gak ada ujian penentuan kelulusan. Buktinya, udah mau lulus aja masih bisa bikin liga sepak bola. Kelas gue, IPA-4 bertemu dengan kelas The Dream Team itu dalam sebuah laga yang di mana kelas kami semestinya menjadi bulan-bulanan.

Bayangan akan bully dari lawan semakin jelas saat laga baru berjalan beberapa menit, penyerang andalan IPS-1 yang terkenal dengan tendangan kerasnya berhasil membobol gawang kami. “Dengarkan jeritannya!” seru salah seorang pemain IPS-1 ketika gol tersebut tercipta.

Tapi gue sedang menjalani hari yang indah saat itu. Gak sampai tiga menit, gue udah membalas gol itu. Bola berhasil gue curi dari bek tangguh lawan, lalu gue giring dengan cepat dan gue tendang sekeras-kerasnya. Gol.

Wajah mereka berubah menjadi tegang. Laga yang semula menjadi milik mereka, berubah menjadi imbang. Gue yang tadinya gak terlalu diperhatikan lawan, mendadak dijaga ketat. Gol tadi memang mengubah segalanya. Kami berhasil memaksa tim hebat bermain kagok.
Laga hampir berakhir imbang ketika kelas kami dihukum tendangan bebas. Tendangan pun diambil, dan kiper gue gagal mengantisipasi bola yang sebetulnya pelan. Lagi-lagi bitter, dan kelas gue kalah.

Tapi gue memiliki kesan tersendiri untuk laga barusan. Seusai pertandingan, sang andalan lawan menghampiri gue dengan bilang bahwa gue bermain baik dan berhasil membuat mereka kesulitan.

3. 2-4 vs 2-6 (Pertandingan Antarkelas, SMP 2 Depok)
Ini adalah pertandingan perdana gue di jenjang SMP. Waktu SMP dulu, gue cukup jadi korban bully lantaran badan gue yang pendek, kecil dan gaya gue yang cenderung culun. Bukan gaya yang dilirik cewek-cewek saat itu lah. Beda sama mereka-mereka anak basket yang gayanya (dan sepatunya) keren. Jadi, kalo ada pertandingan sepak bola, gue gak pernah diajak. Gak ada yang mengira anak seculun ini bisa main bola.

Tapi, saat pembuktian itu akhirnya tiba. Beberapa anak yang jago bola itu memilih main basket (yang banyak ditonton cewek-cewek), padahal di saat bersamaan ada jadwal tanding sepak bola antarkelas. Gue pun diajak main dengan alasan kurang orang.

“Elu main jadi bek aja ya. Kalo ada bola, elu buang aja jauh-jauh sekuat tenaga.” 

“Nanti kalo elu dapet bola, langsung aja oper ke gua daripada elu bingung.”

“Kalo gak kuat, bilang aja ya, nanti bisa digantiin yang lain.”

Tuh kan, betapa gue dianggap sebagai anak laki-laki lemah yang berkebutuhan khusus.

Pertandingan berjalan, dan tim kami terus kebobolan. Gue memang gak seneng jadi bek, jadilah gue sering kalah duel dengan penyerang-penyerang lawan. Performa gelandang dan penyerang-penyerang gue amat memprihatinkan. Gak tajam dan lesu darah. Gue gemes melihat itu semua, dan kemudian maju meninggalkan pos di belakang. Bola berhasil gue kuasai, lalu umpan gue kirim ke sisi lapangan. Dari situ, serangan diolah dan gue kemudian mendapat umpan tarik yang gue selesaikan dengan tendangan kaki kiri yang keras. Gol.

Bukan hanya lawan yang terkejut, tapi ternyata teman-teman gue ikut terperangah. Lha, mereka kan belum pernah melihat gue main bola, dan mereka udah punya mindset untuk menganggap gue sebagai ‘anak bawang’. 

Sekarang gue tunjukin kalo elu bawangnya, dan gue ulekannya. Hahaha.

Satu gol belum cukup bikin puas. Sebuah solo run gue lakukan yang gue akhiri dengan tendangan keras yang juga berbuah gol. Dan menjelang laga usai, gue memberi assist untuk seorang rekan. Pertandingan selesai dan kami memang kalah, tapi pertandingan itu mengubah masa-masa sekolah gue.

“Gak nyangka gue, ternyata elu bisa juga ya main bola!” kata seorang teman.

Berakhir sudah era dianggap enteng dan gue secara informal diterima dalam pergaulan. 

2. Deloitte vs KPMG (BIG 4 Accounting Firm friendly match)
Sewaktu masih sibuk berat di Deloitte, gue masih menyempatkan diri main bola, walaupun hanya di lapangan rumput sintetis. Ada masa di mana kami terus menantang sesama firma akunting Big Four untuk bermain bola, dan kami selalu menang dalam laga informal itu. 

Salah satu yang berkesan buat gue adalah saat menghadapi KPMG.

Pertandingan itu adalah salah satu pertandingan di mana gue berhasil mencetak gol dalam setiap percobaan tendangan yang gue lakukan. Posisi gue waktu itu adalah penyerang tengah. Classic number nine poacher.

Entah berapa gol yang gue bikin dalam pertandingan itu, gue sendiri sampai lupa. Yang jelas, waktu itu gue berhasil mencetak gol dalam berbagai posisi, berbagai cara. Sundulan, tendangan keras, tendangan bebas, bola muntah. Dengan kaki kanan dan kiri. Dalam salah satu gol yang gue bikin, temen gue sampai bilang “Gila lu ya, mau nendang dari manapun bisa gol”

1. Tim Angkatan Jurusan vs Alumni (Final Pekan Olahraga Jurusan)
Jaman kuliah dulu pernah ada slogan “Jangan sampai kuliah ngeganggu bola” seakan menunjukkan fanatisme jurusan kami akan olahraga ini. Banyak laga seru dan panas tercipta, tapi buat gue sendiri sih, gak ada yang lebih berkesan dari laga ini.

Laga final ini berlangsung saat gue ada jadwal kuliah. Karena gue menjadi kordinator kelas, gue gak bisa bolos, dan sialnya pertandingan tetap berjalan tanpa gue (ya iyalah). Gue pun ketinggalan satu babak di mana tim gue tertinggal satu gol.

Saat gue bergegas menuju lapangan, baru sadar kalau gak bawa celana pendek. Akhirnya gue tetap memakai celana jeans yang digulung. Untung aja pertandingan ini gak resmi-resmi amat, jadinya gue tetap diperbolehkan main. Skor kemudian berubah satu sama ketika seorang teman gue mencetak gol penyeimbang. Setelah itu, laga berlangsung amat seru.

Pertandingan itu seolah seperti menjadi milik gue. Langkah lebih ringan dari biasanya, dan umpan-umpan gue begitu akurat saat itu. Memang magical moment benar adanya. Saat laga sudah mau habis, gue yang berdiri agak jauh dari kotak penalti mendapatkan bola liar. Setelah gue kontrol, seorang teman meminta bola itu dioper kepadanya, tapi insting gue bilang untuk menembak langsung aja.

Kali ini, gue mengikuti insting. Begitu berada di sudut yang tepat, bola gue hajar keras dengan kaki kanan. Cukup tinggi untuk menjauhi jangkauan kiper, namun bola bergerak parabolik untuk menukik tepat ke arah pojok kiri atas gawang. Gol.

Dalam kondisi normal, mungkin akan sulit buat gue mengulangi tendangan tadi. Penyerang Italia Raimondo Orsi pun pernah mengalami momen serupa saat final Piala Dunia 1934 menghadapi Cekoslowakia. Saat itu, ia melepas tendangan voli dari angle yang sulit, namun berhasil berbuah gol penyama kedudukan. Ketika wartawan memintanya mengulangi gerakan tendangannya dalam sebuah wawancara, Orsi pun tidak mampu melakukannya. Tentu apa yang dilakukan Orsi memiliki skala yang jauh lebih besar, tapi setidaknya banyak kesamaan yang tercipta antara momen gue dan Orsi.

Ya begitulah sepak bola. Ia memiliki momen ajaib yang sulit terjadi dalam situasi normal. Dalam pertandingan, kita kadang seperti menjadi orang lain, padahal itu adalah versi terbaik dari diri kita. Sepak bola mampu mengaduk-aduk emosi dan membawa pelakunya seakan menuju dimensi yang berbeda. Padahal tidak sama sekali. Ilusi-ilusi seperti inilah yang tampaknya jarang gue alami ketika melakukan kegiatan lain.

Sepak bola buat gue udah seperti gambaran hidup. Kadang senang kadang sedih. Sepak bola juga seperti sosok kakak yang membela adiknya yang di-bully teman-temannya.
Selang beberapa waktu kemudian, sepak bola hadir dalam bentuk tulisan. Gue yang berpikir bisa sedikit menulis, kemudian memberanikan diri untuk tercebur dalam belantara dunia tulis menulis. Banyak hal menyenangkan, tapi tidak sedikit juga yang tidak menyenangkan. Sekarang gue memilih untuk vakum sejenak untuk menulis secara komersil, dan kembali ngeblog sendiri.

Anyway, itulah cerita pertandingan-pertandingan berkesan buat gue, si penggemar sepak bola yang gagal jadi pesepak bola profesional, dan masih jauh juga dari kata penulis profesional. Dan akhirnya gak jadi penulis profesional juga sih. Sekarang, sayangnya gue udah jarang bermain sepak bola. Ada rasa kehilangan yang amat sangat akan sebuah momen ajaib dan momen-momen menyenangkan yang hanya bisa terjadi di lapangan.

Saat permainan sepak bola remeh temeh sudah berubah menjadi semakin komersil, yang ditunjukkan dengan tarif mahal lapangan futsal, harga sepatu dan jersey yang juga semakin gak masuk akal, dan waktu luang yang semakin sedikit, memang tidak bisa dipungkiri lagi jika bermain sepak bola adalah hal yang kini teramat mewah.


Friday, December 5, 2014

Bibras Natkho, Gelandang Komplet Yang Underrated

Foto: Sports.ru
Selalu menarik ketika membahas pemain-pemain yang produktif mencetak gol meski tidak berposisi sebagai penyerang. Yaya Toure dan Frank Lampard adalah contoh gelandang yang mampu mencetak lebih dari 20 gol dalam semusim dan termasuk dalam kriteria tersebut. Kita juga mengenal Marco Materazzi, mantan penggawa timnas Italia yang semasa bermainnya pernah dua kali mencetak dua digit gol salam semusim. Capaian tersebut jelas menarik karena sejatinya mencetak gol bukanlah tugas utama mereka di lapangan.

Di kompetisi Liga Primer Rusia kini, terdapat pemain yang berpotensi menghadirkan cerita seperti pemain-pemain tadi. Seorang gelandang bertahan asal klub CSKA Moskow bernama Bibras Natkho adalah pemain yang dimaksud.

Natkho menjadi buah bibir kala berhasil mencetak hat-trick ke gawang FK Rostov pada sebuah laga kompetisi domestik, Agustus silam. Namun torehan ini masih belum seberapa lantaran gelandang asal Israel ini mampu mempertahankan ketajaman hingga kini berhasil mencetak delapan gol di Liga Primer Rusia. Jumlah golnya untuk sementara ini mampu melampaui rekan-rekan setimnya seperti Ahmed Musa, Seydou Doumbia maupun Zoran Tosic yang notabene berposisi sebagai penyerang atau pemain sayap. Bahkan jika berbicara level kompetisi domestik, jumlah gol Natkho sejauh ini hanya mampu disamai penyerang subur Zenit St Petersburg asal Brasil, Hulk.

Kontribusi berupa produktivitas gol Natkho tentu terbilang mengejutkan. Gelandang berusia 26 tahun ini adalah pendatang baru di skuat CSKA arahan Leonid Slutsky, di mana ia harus bersaing dengan nama-nama yang lebih tenar seperti Pontus Wernbloom, Rasmus Elm, Roman Eremenko, Giorgi Milanov, hingga sang idola publik, Alan Dzagoev.

Kemahirannya dalam bertahan memberikan keuntungan. Dalam skema 4-2-3-1 yang menjadi andalan Slutsky, keberadaan seorang gelandang dengan naluri bertahan mutlak dibutuhkan. Cederanya Elm juga turut berperan bagi pembuktian kualitas Natkho, sehingga waktu bermain didapatkannya. Kini, Slutsky dapat menempatkannya dengan siapapun, baik dengan Wernbloom, Eremenko maupun belakangan ini dengan Dzagoev. Bersama Natkho di pusat permainan, CSKA pun menjelma sebagai tim yang amat menonjol dalam penguasaan bola, akurasi umpan, hingga jumlah tembakan ke gawang lawan. Situs Whoscored menempatkannya pada urutan teratas dalam dua aspek, yaitu akurasi umpan dan tembakan ke gawang lawan, dan berada di urutan kedua dalam hal rataan penguasaan bola di Liga Primer Rusia.

Sebagai bagian dari ruang mesin CSKA, pemain yang juga seorang Muslim ini tidak hanya menonjol dalam bertahan. Natkho juga memiliki kemampuan yang cukup apik sebagai pengatur serangan dan juga sebagai pengumpan. Dengan visi yang baik, ia juga kerap mengirim umpan-umpan diagonal kepada Tosic, Musa maupun Milanov yang kerap beroperasi di sayap. Berbekal kemampuannya ini, Natkho juga telah membukukan empat assist. Jumlah ini sekaligus yang terbanyak di CSKA sejauh ini.

Dengan catatan-catatan impresif ini, maka tidaklah terlalu berlebihan jika menyebut Natkho adalah salah satu pemain paling underrated di Eropa. Kemampuannya yang lengkap adalah asetnya yang teramat besar untuk diabaikan. Ditambah lagi, fakta bahwa CSKA mendatangkannya dari PAOK Saloniki tanpa mengeluarkan uang transfer sepeserpun, membuatnya layak dikedepankan sebagai salah satu pembelian terbaik.

Fakta statistik yang tak terbantahkan ini sebetulnya juga tidak teramat mengejutkan jika melihat sepak terjang pemain bernomor punggung 66 ini. Natkho sudah terpilih memperkuat timnas Israel dalam berbagai kelompok umur -termasuk menjadi kapten tim U-19- dan hingga kini pun ia masih menjadi andalan timnas senior. Artinya, Natkho memang pemain dengan kelas internasional. Bukan karir internasional biasa pula mengingat ia menjadi minoritas Muslim dalam skuat yang didominasi pemain beragama Yahudi.

Keberhasilan Natkho menembus skuat Israel dan hingga kini menjadi andalan juga menghadirkan kisah tersendiri. Kakek buyutnya berasal dari Karachay-Cherkessia, wilayah utara pegunungan Kaukasus yang berbatasan dengan Georgia, yang juga masih menjadi bagian dari negara Rusia. Penduduk asli wilayah ini sering disebut sebagai Circassian. Sang kakek buyut bersama para Muslim lainnya melakukan emigrasi ke wilayah Turki pada pertengahan abad ke-19 sebelum kembali berpindah ke Kfar Kama, wilayah Israel utara (yang sempat menjadi wilayah Palestina).

Di kota inilah Natkho lahir, lalu kemudian tumbuh sebagai pesepak bola. Karir yuniornya dihabiskan di klub Hapoel Tel Aviv, di mana ia kemudian memulai debut tim senior musim 2006-07 bersama Ben Sahar, penyerang yang sempat bermain di Chelsea. Total, ia bermain sebanyak 147 kali untuk Hapoel, termasuk beberapa performa di kompetisi antarklub Eropa. Performa gemilang ini kemudian membawanya ke Rusia di mana Rubin Kazan menjadi destinasi selanjutnya. Di Kazan, ia menjadi pemain andalan dan bermain selama empat musim sebelum hijrah ke PAOK. Semasa bermain di klub wilayah selatan Rusia tersebut, harga pemain ini sempat menyentuh 12 juta euro menurut situs Transfermarkt, menandakan bahwa ia bukanlah pemain dengan kelas medioker.

Seperti dikutip dari situs Russianfootballnews, darah olahraga memang mengalir deras dari keluarga besarnya. Adam, salah satu kerabatnya pernah bermain untuk klub Kuban Krasnodar dan Druzhba-Maikop. Ia juga memiliki sepupu bernama Nili Natkho, seorang mantan pebasket yang tewas dalam kecelakaan mobil tahun 2004 silam.

Beberapa kalangan menjuluki Natkho dengan fantastis, yaitu Xavi dari Circassian. Bukan julukan sembarangan lantaran merujuk pada playmaker Barcelona, Xavi Hernandez. Meskipun memiliki kemiripan dalam beberapa aspek teknis, tentu saja Xavi berada beberapa level di atas Natkho jika dilihat dari pengalaman maupun pencapaian. Natkho juga belum teramat teruji lantaran belum pernah bermain di liga top Eropa. Namun dengan menjadi pemain kunci di sebuah tim papan atas Rusia, jalan menuju pengembangan karir jelas terbuka lebar untuknya.