Pages

Tuesday, August 27, 2013

Ayo Main Bola (Part-2)

Rasanya, semua penggemar sepak bola pernah memiliki keinginan untuk menjadi pesepak bola profesional. Bayangan akan popularitas yang berbanding lurus dengan kemapanan finansial tanpa batas serta kebanggaan membela nama bangsa di lapangan hijau adalah lamunan yang lebih indah dari apapun juga.

Berbagai hal melatarbelakangi kegagalan jutaan anak untuk menjadi pesepakbola. Mereka pada akhirnya menggeluti profesi lain, meski sepak bola tidak pernah hilang begitu saja dari benak mereka. Sepak bola hadir dalam bentuk lain seperti tulisan, kerelaan begadang menonton siaran langsung, atau kerelaan merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli jersey original. Apapun itu, saya rasa semua orang punya momen sepak bolanya masing-masing.

Momen sepak bola yang saya maksud di sini adalah momen ketika mereka masih bisa memainkan sepak bola tanpa beban. Tanpa takut dicari istri, tanpa takut diambek pacar, tanpa memikirkan dibayar berapa dan sebagainya. Permainan sepak bola kanak-kanak yang dimulai saat yang punya bola datang, dan baru berhenti jelang adzan maghrib berkumandang, atau ketika bel masuk sekolah berbunyi. Ya, sepak bola murni tanpa aturan-aturan ribet dan jargon-jargon modernitas. Permainan sederhana sebelas lawan sebelas, malah bisa lebih bisa kurang.

Saya merasakan momen seperti itu di bangku sekolah dan kuliah. Saat itulah kondisi fisik berada pada puncaknya dan saya juga belum terjebak pada ikatan-ikatan (you know what I mean) tertentu. Sepak bola saat itu bukanlah pelarian, bukanlah motif rekreasi, melainkan hanya permainan belaka. Permainan menyenangkan yang memiliki gravitasi dan candu.

Di sekolah, saya menikmati segala ledekan karena saat itu badan saya kecil dan perawakan saya yang tidak meyakinkan sebagai pesepakbola. Segala ledekan itu kemudian saya ubah menjadi gol-gol yang kebanyakan berasal dari lekatnya imaji saya pada permainan Andriy Shevchenko. Ya, permainan simpel yang mengandalkan kecepatan dan penyelesaian akhir klinis adalah gaya saya saat SMA dulu.

Tuhan menjadikan sepak bola sebagai alat pengatrol posisi di pergaulan. Di masa SMA yang katanya masa-masa paling indah itu, saya bukanlah sosok populer. Saya tidak pandai ngebanyol dan mencela teman, tidak jago-jago amat main gitar, tidak pintar-pintar amat di kelas, tidak pandai menggombali perempuan, juga tidak mengoleksi sepatu Nike Air Jordan. Average Joe yang mudah diabaikan. Tapi berbekal sedikit kebisaan bermain sepak bola itulah, saya pada akhirnya cukup mendapat pengakuan. Ya, setidaknya teman-teman di sekolah dulu akan dengan mudah mengindentifikasi saya sebagai si pemain bola classmeeting, atau mungkin si penggila sepak bola yang malas mencatat pelajaran dan mengerjakan PR.

Cerita ini berlanjut sampai kuliah. Saya masih rajin bermain sepak bola di lapangan dekat kampus. Meski tidak pernah terpilih mewakili tim fakultas, tapi setidaknya saya pernah mencetak gol kemenangan dalam sebuah laga final sarat gengsi melawan tim gabungan senior dan alumni. Saat melakukan tendangan jarak jauh itu, entah bagaimana saya seperti menjadi orang lain. Atmosfer pertandingan saat itu menjadikan kaki lebih ringan dan insting lebih tajam dari biasanya, sehingga gol tersebut memang seperti hanya menunggu waktu untuk terjadi.

Sebegitulah kepingan kenangan sepak bola yang saya punyai, di samping puluhan atau bahkan ratusan kenangan sepak bola lapangan kecil yang telah saya mainkan.

Detik ini, saya sudah genap 6 bulan tidak memainkan sepak bola dengan varian apapun entah di lapangan besar (standar sepak bola) ataupun di lapangan futsal. Memang ada alasan kondisi fisik, namun yang mengkhawatirkan adalah mulai terbentuknya kemalasan-kemalasan tak beralasan. Entah merasa terlalu capai dan malas bergerak, terlalu sibuk atau sok sibuk, malas mengeluarkan motor atau mobil untuk menuju lapangan, malas ini dan malas itu, takut begini takut begitu.

Mungkin saya telah memasuki fase hilangnya rasa kehilangan tidak bermain sepak bola. Rasa di mana tidak memainkan sepak bola bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan karena banyak hal-hal lain yang (terasa) lebih penting. Saya tahu fase ini akan datang, tapi saya akan coba untuk menolaknya sebisa mungkin atau setidaknya menundanya selama mungkin.

Bagi kalian yang masih punya kondisi fisik dan waktu yang memungkinkan untuk terus bermain sepak bola santai atau kompetitif, nikmatilah masa-masa itu. Lawanlah segala kemalasan dan cobalah abaikan segala urusan-urusan rekreasional lain. Nikmatilah bermain sepak bola sebelum sepak bola hanya menjadi bahan obrolan atau bahan tulisan saja.

1 comment:

  1. Menarik sekali pemberitaan anda .. ayo semua main bola .. karena sekarang sudah mulai tersedia dimana mana ..

    ReplyDelete