Pages

Monday, February 4, 2013

Who said life is fair, anyway?

Such a familiar celebration


Berita bagus! Kita mendapatkan Mario Balotelli. Lalu Balotelli mencetak brace dalam debut, setelah itu Milan berada di posisi 4 karena Inter kalah, perbedaan poin dengan Lazio di posisi 3 hanya tinggal 3 angka. Tiga angka menuju tempat impian: Zona Champions. Jika Milanisti mengatakan ini 6 bulan lalu mungkin akan menjadi bahan tertawaan, tapi kini? Lihat Milan berada dimana!

Balotelli sungguh menjanjikan. Ia membuat seluruh tim seperti bergerak. Kita seperti melihat Nocerino yang mencetak 10 gol musim lalu, Flamini ketika masih berada di Arsenal, dan bayangkan pula dampak kehadiran Super Mario terhadap Kevin Prince Boateng.

Balotelli dengan trik, skill dan ketajamannya sungguh menghibur San Siro. M’Baye Niang bermain seolah bersama abangnya, begitu pula El Shaarawy yang mengesankan seperti biasa. Bersama di lini depan, mereka membentuk tridente mohawk, tridente yang bisa menembus nominasi perolehan Ballon D’or di masa depan.

Udinese, lawan yang menjadi partai debut Super Mario dibuat bagaikan mendapat hari buruk. Milan tampil seperti petinju muda yang kaya pukulan, bersemangat dan membuat penonton berdecak kagum. Permainan seperti inilah yang menjadi identitas The New Milan harapan kita semua.

Balotelli memang fenomenal. Ia meningkatkan jumlah fans yang hadir menonton latihan, juga jumlah yang memadati San Siro semalam. Balotelli akan menjadi katalis performa sekaligus mengangkat nama tim yang terlucuti kekuatannya di awal musim. Balotelli adalah euforia, kebanggaan sekaligus harapan. Memang bukan tanpa sebab Milan menuruti permintaan City yang meminta 25 juta euro yang pada akhirnya mampu diturunkan oleh Galliani hingga 20 juta. Buat Milan, harga itu mahal, harga itu pula yang membuat mereka tidak jadi merekrut Ricardo Kaka. Tapi buat Balotelli, yang juga seorang Milanista, Milan rela. Galliani rela. Galliani akhirnya mendapat tepukan tangan meriah dari suporter seperti layaknya seorang atlit yang baru mendapat medali emas.

Namun cukup sudah. Buat saya, pertunjukan bagus Milan hanyalah di 45 menit pertama. Selanjutnya, Milan termakan strategi pertahanan rapat anak asuhan Francesco Guidolin, termakan provokasi Maurizio Domizzi, juga termakan serangan balik. For God’s sake, kebobolan Milan oleh Giampiero Pinzi diawali dengan kalahnya Daniel Bonera dalam duel udara dengan Antonio Di Natale. Ya, anda tidak salah membaca, itu Antonio Di Natale yang tingginya mungkin saja 10 cm dibawah Bonera (saya malas mengecek Wikipedia).

Setelah itu, Milan seperti memperlihatkan diri sebagai petinju limbung yang lemah dalam bertahan dan tidak memiliki pukulan mematikan untuk segera meng-KO lawan. Yang ada, Milan seperti kehilangan arah karena salah passing dan lemahnya penyelesaian akhir membuat mereka menunda pesta. Ya memang ada sih ketidakberuntungan karena tendangan Niang menghajar keras tiang gawang.

Saya sudah bisa menerima hasil imbang ini hingga kemudian terjadi tekel keras oleh bek Thomas Heurteaux kepada El Shaarawy di kotak penalti. Wasit tahu, Tuhan tahu, semua orang tahu kalau tekel itu bersih, sebersih wajah para model iklan pembersih wajah. Tekel itu mengenai bola dan seharusnya Milan hanya mendapat tendangan penjuru untuk itu, bukannya penalti.

Balotelli memang belum pernah gagal menendang penalti sepanjang karirnya, dan ia terus memperpanjang catatan manis itu. Pedelli, penjaga gawang cadangan Udinese yang tampil gemilang tertipu oleh gerakan Balotelli. San Siro berpesta, Milan berpesta, Balotelli disanjung, Allegri lega, Galliani lega. Tapi saya tidak. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari kemenangan yang berasal dari cara seperti ini. Udinese jelas layak meradang karena mereka setidaknya pantas membawa pulang satu poin dari Milan yang limbung. Milan sebenarnya tidak butuh hal semacam ini untuk menang.

Penalti ini impas? Impas seperti saat Balotelli dijatuhkan Domizzi berberapa menit sebelumnya? Impas karena tahun lalu gol Muntari tidak disahkan? Ayolah, tidak ada istilah impas atau apapun itu dalam sepak bola. Jika wasit di masa lalu pernah mengambil keputusan salah yang merugikan sebuah tim, bukan berarti wasit akan memberikan keputusan menguntungkan lawan hanya untuk menebus kesalahan. Apakah hanya ini yang bisa dilakukan? Mengkambinghitamkan wasit? Kalau mau menang ya cetak gol lebih banyak daripada lawan. Sepak bola sesungguhnya sesederhana itu. Saya lebih senang hasil seri ketimbang menang dengan cara seperti ini. Walaupun ada kemasygulan berjamaah bahwa “Siapa bilang hidup ini adil?”

Ketimbang merayakan debut gemilan Balotelli, saya lebih suka mengkritik penampilan skuat Allegri semalam. Milan bermain baik hanya 1 babak, dan diluar kebiasaan, justru itu terjadi di babak pertama. Kehadiran Balotelli yang mampu menahan bola lebih baik dan memiliki skill set lebih lengkap sebagai penyerang tengah memang membuat Milan mampu mengendalikan laga dan mendikte lawan sejak awal. Namun tidak ada gunanya jika pukulan mematikan tidak mampu dimiliki dan pertahanan lemah masih saja diperagakan.

Lawan jelas tahu persis kelemahan Milan di sisi pertahanan, juga lini tengah yang kemarin kurang disiplin memotong laju serangan balik lawan. Absensi Mexes memang membuat Allegri menurunkan Bonera, namun hal itu justru aneh karena ia memiliki Cristian Zaccardo dan Bartosz Salomon. Mereka mungkin belum tentu lebih baik daripada Bonera, tapi jika hanya menjadi bek tengah kelima dan keenam, buat apa Milan repot-repot mendatangkan mereka?

Dipasangnya Niang sejak awal bisa berarti baik atau buruk. Niang memang makin menampakkan bakatnya, namun kegagalan demi kegagalan mencetak gol cepat membuat Milan limbung di babak kedua seperti kemarin, dan di bangku cadangan Milan hanya memiliki Bojan, Traore dan Robinho yang mungkin dimainkan untuk mengubah keadaan. Diantara ketiga pemain itu, hanya Bojan yang efektif jika dimainkan di pertengahan laga, sementara Robinho lebih membutuhkan adaptasi lebih awal dalam sebuah laga dengan diturunkan sejak awal. Traore? Dia butuh lebih banyak kesempatan lagi.

Mengandalkan Balotelli seperti mengingatkan kita pada saat masih ada Ibra disini. Semuanya just leave it to the Big Swede. Gejala ini timbul kembali di era sekarang. Balotelli menjadi tumpuan, inspirator sekaligus penentu. Pembebanan tanggung jawab yang berat hanya ke satu orang hanya akan membuat Milan kembali menjadi one-man team.

Ketimbang membangun tim di sekeliling Balotelli, mungkin akan lebih bijak jika permainan kolektif yang sebenarnya sudah tercipta selama ini dipertahankan. Menjadikannya sebagai penentu sangatlah wajar, namun membagi peran dengan yang lain akan membuat Milan menjadi tim yang lebih kuat. Allegri harus sadar bahwa Pazzini sedang menjalani salah satu tahun terbaik dalam karirnya, dan mencadangkannya hanya akan membuatnya melempem lagi. Opsi memainkan kedua penyerang ini patut dicoba.

Senjata paling mutakhir telah dimiliki, tinggal bagaimana menggunakannya dengan bijak.

No comments:

Post a Comment