Pages

Wednesday, February 13, 2013

Welcome to the Jungle, Blanco!

Djohar Arifin dan Luis Manuel Blanco. Photo by vivanews


Tidak ada ekspektasi tinggi saat saya menunggu pertandingan pertama tim nasional Indonesia di babak kualifikasi Piala Asia 2015 menghadapi Irak pekan lalu. Irak adalah juara Piala Asia 2007, dan seperti tim dari region Asia Barat pada umumnya, mereka memiliki keunggulan dalam segala hal atas Indonesia. Ya, tim Asia Timur juga selalu superior atas timnas Indonesia sih.

Anyway, pertandingan memang tidak berlangsung di kandang Irak karena alasan keamanan. Venue digeser sedikit ke tenggara tepatnya ke kota Dubai. Hal menarik dari pertandingan kemarin adalah banyaknya penonton wanita pendukung kesebelasan Irak yang justru terlihat modis dan gaya, jauh dari kesan tertutup yang sebelumnya terpapar. Meski stadionnya relatif kecil, hanya berkapasitas 18 ribu penonton, dan membuat syahdunya suara adzan maghrib menjadi terdengar membahana di tengah-tengah pertandingan.

Meski stadion Maktoum Bin Rashid Al Maktoum yang mungil itu tidak dipenuhi penonton, namun kenikmatan tersendiri tetap tersaji, baik yang menonton dari layar kaca, apalagi yang menonton langsung. Di samping “kualitas” penonton yang hadir, kualitas lapangan pertandingan juga sangat bagus. Tidak seperti saat menjalani laga uji coba lawan Yordania beberapa hari sebelumnya yang dilangsungkan di lapangan yang buruk, kualitas rumput lapangan di Stadion Maktoum Al Rashid kemarin sangat baik.

Lalu kita ke suporter. Meski berjumlah lebih sedikit, namun suporter Indonesia tetap mampu membuat orkestrasi khas suporter “Ayo Indonesia, kuingin kita harus menang” di beberapa momen. Menggambarkan betapa luar biasanya suporter dari negeri kita ini, tidak peduli carut marut yang melanda federasi.

Namun tidak ada yang lebih menarik ketimbang apa yang diperagakan pasukan merah putih di lapangan. Ketika traumatik masih melanda negeri ini pada pertandingan lawan tim-tim dari Timur Tengah –terlebih baru dibantai Yordania 0-5 beberapa hari sebelumnya- laga lawan Irak ini tidak lebih adalah laga di mana publik hanya berharap agar Indonesia tidak dibantai.

Ternyata, Indonesia memang tidak membiarkan diri dicabik-cabik oleh Irak. Dengan segala keunggulan dari banyak sektor –tidak hanya postur- para pemain Irak mencoba terus melambungkan bola ke kotak penalti Indonesia. Hingga satu jam pertandingan, pertahanan Indonesia nyatanya tampil disiplin dan sigap menghalau serangan-serangan Irak. Younis Mahmoud, striker andalan Irak itu bahkan beberapa kali terlihat frustasi.

Jika bukan karena passing ceroboh Handi Ramdan dan Wahyu Wijiastanto yang memang hanya segitu kecepatan larinya, Younis Mahmoud mungkin tidak akan membawa kemenangan bagi Irak, dan Indonesia dapat membawa pulang satu poin berharga.

Strategi bertahan yang dipilih Nil Maizar jelas pilihan bijak. Sangat tidak rasional meladeni permainan Irak dengan permainan terbuka padahal tim kita yang memang (lagi-lagi) bukan tim terbaik ini memang kalah kualitas dari Singa Mesopotamia. Indonesia kalah terhormat, meski kekalahan tetaplah kekalahan.

Sehari selepas pertandingan itu, tidak disangka-sangka Djohar Arifin mendatangkan Luis Manuel Blanco, pelatih asal Argentina. Tidak jelas kehadiran Blanco untuk menduduki posisi apa, yang jelas Blanco didatangkan tanpa mekanisme rapat Exco, sebuah mekanisme prosedural yang wajib dijalani jika ingin menunjuk pelatih tim nasional. Kedatangan Blanco banyak diprakarsai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bulan lalu bertemu Presiden Argentina Christina Fernandez de Kirchner. Hasil pertemuan mereka ternyata tidak hanya membahas hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga membahas sepak bola.

Track record Luis Manuel Blanco tidaklah gemerlap untuk menjadi pelatih timnasi Indonesia sekalipun. Rekan saya di Football Fandom, Sirajudin Hasbi telah memaparkan profil Blanco di kolom olahraga Yahoo! Indonesia dan bagaimana hal ini menunjukkan ketidakjelasan program kerja PSSI untuk kesekian kalinya.

Belakangan, PSSI mengatakan bahwa mereka tidak serta merta memecat Nil Maizar, pelatih timnas sekarang. Entah nantinya sebagai apa Blanco bertugas, yang jelas penunjukan pelatih asing semacam ini seperti dijadikan pencitraan bagi PSSI bahwa mereka memang bekerja.

Kenyataan yang terlihat ternyata tidak seperti itu. Disaat jargon profesional mereka terus kumandangkan, pertunjukan manajemen amatiran justru yang terbongkar. Dari blog seorang eks Corporate Secretary PSSI, amatlah jelas bahwa orang-orang yang sebenarnya diharapkan untuk memperbaiki sepak bola nasional bukan hanya sibuk berpolitik dan memperebutkan kekuasaan, tapi juga bekerja seperti memanajeri sebuah tim kampung.

Dan yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana nasib Blanco kemudian harinya. Meski gajinya dikabarkan akan dibayar pihak ketiga, tidak menjamin bahwa Blanco akan dapat bekerja dengan tenang menjalankan program-programnya jika manajemen internal PSSI tidak diurusi dengan benar karena para pengurus sibuk dengan pencitraan dan perebutan kekuasaan.

Sudah banyak korban dari ketidakjelasan program PSSI ini juga dari rangkaian konflik norak ini, dan mereka itu umumnya orang-orang terbaik dan mencintai Indonesia lebih dari mereka. Timo Scheunemann, Alfred Riedl, dan kini mungkin Nil Maizar. Belum lagi jika kita mengingat Diego Mendieta dan Bruno Zandonadi.

Jika keadaan tetap seperti ini, Blanco mungkin akan memikul beban entah seberat apa untuk menjuarai SEA Games 2013, Piala AFF 2014 dan yang terdekat Kualifikasi Piala Asia 2015. Seperti yang pernah teman saya Saleh Assegaf bilang ketika ditanya mengenai apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki sepak bola Indonesia, marilah kita banyak berdoa saja.

No comments:

Post a Comment