Pages

Friday, March 30, 2012

Mohamed Kallon, the real Sierra Leone hero

Si hati emas

Masih ingat dengan pemain murah senyum satu ini? Mohamed Kallon. Salah satu pemain paling nomaden, unik, namun memiliki jiwa kepahlawanan tinggi untuk tanah airnya, Sierra Leone.

Kallon kecil sering bermain bersama dua abangnya, Kemokai dan Musa. Dibandingkan dengan kedua abangnya, justru dialah yang paling menonjol. Tidak heran di usia 15 tahun dia sudah bermain di Liga Primer Sierra Leone bersama klub Old Edwardian. Hebatnya, di tahun yang sama dia juga sudah memperkuat tim nasional negaranya dalam perhelatan Kualifikasi Piala Afrika 1996. Calon legenda telah lahir.

Disinilah kisah petualangan Kallon dimulai. Dari Timur Tengah, Eropa Tengah, Eropa Utara, Mediterania hingga ke negeri tirai bambu Cina pernah dia jelajahi. Hanya setahun saja di Old Edwardian, Kallon remaja memilih hijrah ke Lebanon, dan bermain di klub Tadamon Sour. Setahun kemudian Kallon hijrah lagi ke belahan bumi utara untuk bermain di Spanga FC, sebuah klub di Swedia. Disaat anak-anak seusianya menjadi tentara anak-anak di negaranya yang sering dilanda konflik dan pemberontakan, Kallon sudah menjelajah separuh dunia.

Bakat dan mental baja Kallon ternyata tercium oleh Internazionale FC. Kallon direkrut klub besar Italia itu, untuk kemudian disekolahkan ke berbagai klub. Selama 4 musim dia dipinjamkan ke Lugano, Bologna, Cagliari dan Genoa. Tempaan dari kerasnya calcio menjadikan Kallon penyerang berbakat saat itu. Kallon kemudian mengikat co-ownership dengan Reggina, dimana dia berhasil mencetak 11 gol dari 30 pertandingan. Inter belum mau menebusnya, kemudian Kallon dioper ke Vicenza, dimana dia mengukir 8 gol dari 24 pertandingannya.

Nama Kallon dikenal dunia saat Inter akhirnya menariknya di musim 2001/2002. Kallon memang hanya menjadi penyerang cadangan di tim kota mode itu, karena saat itu tengah bercokol deretan penyerang kelas atas seperti Ronaldo Luiz Nazario, Christian Vieri, Alvaro Recoba, Hakan Sukur dan Nicola Ventola. Kallon mendapat kesempatan kala Ronaldo dan Recoba mengalami cedera. Total selama tiga musim di Inter, Kallon melesakkan 14 gol dari 42 pertandingan yang dijalaninya.

Kemunculan pemain muda berbakat, Obafemi Martins dan kembalinya Adriano dari masa pinjaman membuat Kallon tidak mendapatkan tempat di skema Luige Simoni. Belum lagi masalah cedera dan kekagalan tes doping yang pernah dialaminya selama bermarkas di Appiano Gentile.

Sampai disitu saja petualangan Kallon di Inter, dia kemudian hijrah ke Monaco, dimana dia menghabiskan 3 musim disana dan mencetak 13 gol sebelum konflik dengan pelatih Didier Deschamps memaksanya hengkang ke Al Ittihad, klub Arab Saudi sebagai pemain pinjaman.

Setelah ditolak oleh Birmingham City dan Derby County akibat persoalan izin kerja, pada tahun 2008 Kallon akhirnya kembali ke Eropa dengan bermain di AEK Athens, namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian Kallon hijrah ke Al Shabab sebelum kemudian mudik ke klub miliknya Kallon FC. Belum puas menjelajahi separuh bumi, Kallon sempat mencicipi Liga Cina bersama Shaanxi Chanba untuk bermain sebanyak 27 pertandingan. Kallon memutuskan untuk meninggalkan klub ke 16 sepanjang karirnya tersebut karena alasan keluarga. Dia menginginkan putrinya mengenyam pendidikan berbasis bahasa Inggris, hal yang tidak ditemuinya di kawasan klubnya bermain. Hingga kini, belum diketahui dimana Kallon bermain.


Kallon FC dan MKCF


Selagi mengukir petualangannya di Eropa, Kallon tetap peduli dengan tanah airnya. Dia membeli sebuah klub bernama Sierra Fisheries seharga USD 30,000 lalu mengganti namanya sesuai nama keluarganya, Kallon FC. Klub ini dia beli untuk menyalurkan bakat para anak-anak tanah airnya.

Tidak hanya itu, Kallon juga mendirikan yayasan sosial yang bernama Mohamed Kallon Children’s Foundation. Kallon mendedikasikan dirinya untuk membantu anak-anak jalanan kota Freetown untuk meraih hidup yang lebih baik. Selain film Blood Diamond yang mengisahkan perdagangan berlian oleh pasukan pemberontak untuk membeli senjata, kisah Kallon sangat pantas diangkat ke layar lebar.

Darah sepakbola dan nomaden memang seperti sudah mengalir di ketiga Kallon. Abang tertuanya Kemokai juga pernah bermain dua musim di klub Swedia, sementara Musa sempat mencicipi Liga Indonesia di PSM Makassar. Pengalamannya menjelajah separuh dunia di usia yang sangat muda membuat Kallon memiliki kebijaksanaan yang tinggi untuk ukuran seorang pemain bintang yang memiliki gaji besar. Disaat para pesepakbola itu berlomba-lomba mengumpulkan mobil mewah atau berganti-ganti pasangan, Kallon sudah banyak melakukan hal-hal luar biasa. Heroik dan bermanfaat. Pahlawan berhati emas.

Lagi, sepakbola instan kembali menjadi pilihan

Bergabungnya striker asal Singapura Noh Alam Shah ke Stadion Jalak Harupat membawa angin segar bagi bobotoh dan pengurus yang tidak puas pada performa striker mereka asal Ghana, Moses Sakyi.

Alam Shah adalah seorang striker yang bisa dibilang terbaik di Singapura sepanjang masa. Kontribusi 33 gol dari 84 caps-nya masih yang tertinggi. Hal ini juga menjadikannya salah satu striker terbaik di region Asia Tenggara.

Along, sapaan akrabnya memang pemain bermental juara. Sepanjang karirnya, dia telah membawa timnya meraih banyak gelar, baik bersama klub dan timnas Singapura. Terakhir dia membawa Arema Indonesia menjuarai Indonesia Super League (ISL) 2009/2010. Dan kini, dia berambisi membawa Persib menjadi juara.

Kualitas tehnik, pengalaman dan naluri mencetak golnya memang tidak diragukan lagi. Tapi Persib tetaplah berjudi dengan mendatagkannya. Performa Along menurun dalam setahun terakhir, dimana dia tidak lagi setajam ketika membela Arema Indonesia di musim pertamanya. Bisa jadi, Persib mengontrak seorang pemain yang masa keemasannya telah berlalu. Jangan lupa pula bahwa tempramen tinggi adalah kelemahan mencolok Along lainnya yang dapat dimanfaatkan lawan.

Tidak puas hanya mendatangkan Along, kini Persib mengincar Marcion Souza, yang kini bermain di Arema Indonesia ISL. Souza dikenal memiliki ketajaman dan kekuatan sebagai bomber, serta memiliki kemampuan eksekusi bola mati yang bagus. Kehadirannya akan menambah senjata Maung Bandung dalam situasi set-piece.

Klub-klub ISL yang umumnya memberi kontrak berdurasi pendek kepada pemain memberikan tekanan tersendiri bagi pemain. Simple saja, jika tidak mampu beradaptasi cepat, kontrak pemain tidak akan diperpanjang. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang bagus karena pemain sekaliber Samir Nasri dan Fernando Torres saja masih mencari bentuk permainan terbaiknya bersama klub barunya. Bongkar pasang pemain yang terjadi di kebanyakan klub sepakbola Indonesia malah menjadikan klub-klub tersebut kehilangan soliditasnya.

Dalam hal soliditas, klub-klub ini dapat mencontoh Persipura yang skuadnya relatif tidak berubah dan mengandalkan pemain akademi sendiri, sehingga tim ini memang terkenal memiliki karakter dan selalu menjadi kandidat juara setiap musimnya.

Kompetisi ISL yang akan memasuki putaran kedua dalam waktu dekat memaksa klub berbenah, termasuk Persib. Prestasi Maung Bandung yang sebenarnya sudah diisi banyak pemain bagus dan merindukan gelar juara belum mencapai tahap memuaskan. Persib hanya menempati posisi ke 7 setelah menyelesaikan seluruh pertandingan putaran pertama ISL. Dilihat dari data statistik, pencapaian Persib yang diperkuat pemain-pemain bereputasi nasional ini belumlah dapat dikatakan memuaskan. Hanya mencetak 21 gol dan kebobolan 25 dari 17 laga menunjukkan bahwa Persib memiliki masalah minimnya ketajaman sekaligus keroposnya pertahanan.

Persib juga banyak kehilangan angka jika bertanding diluar kandang, dimana mereka hanya mampu meraih 5 angka dan 6 partai lainnya dilalui dengan tangan hampa alias kekalahan. Satu-satunya pencapaian yang dapat dibanggakan hanyalah rekor kandang, dimana mereka belum terkalahkan dalam 8 laga, dan 6 laga diantaranya berakhir dengan kemenangan.

Problem mereka bertambah dengan cedera bahu yang menimpa gelandang jangkar Hariono. Gelandang yang memiliki daya jelajah sangat tinggi dan bermain tanpa kompromi ini sulit dicari penggantinya yang sepadan. Di jeda kompetisi, manajemen perlu mempertimbangkan untuk mencari gelandang bertahan baru untuk menemani Milijan Radovic yang lebih berkarakter sebagai pengumpan.

Dalam pertandingan melawan Persiba akhir pekan lalu dimana Persib menyerah 1-2, terlihat Persib bermain tanpa inspirasi. Penempatan Robbie Gaspar menemani Radovic malah mengakibatkan banyaknya ruang tercipta untuk para pemain tengah Persiba yang memang tampil impresif dan sangat mobile. Belum lagi penempatan dua gelandang serang yaitu Atep dan M. Ilham, yang lebih banyak beroperasi di sisi lapangan, membuat lini tengah Persib makin tereksploitasi.

Terus dipaksakannya pola dua striker, disinyalir karena intimidasi salah seorang pengurus, malah menjadi bumerang bagi Persib. Dua striker yaitu Airlangga Sucipto dan Aliyudin bermain tidak efektif malam itu karena kurangnya dukungan lini tengah mereka. Persib bermain tanpa seorang gelandang beertahan murni, yang membuat tim tuan rumah Persiba hanya tinggal menunggu waktu saja untuk membuat gol. Dan kapten Maman Abdulrahman yang malam itu jadi pesakitan karena blundernya.

PR besar menanti manajemen klub yang berdiri sejak 1933 ini dalam memasuki putaran kedua ISL. Persib membutuhkan striker yang bukan sekedar mencetak gol, namun bisa menahan bola, karena strategi mereka memperlihatkan jarak yang cukup jauh antar lini depan dan tengah, membuat striker dituntut untuk bisa men-delay permainan guna menunggu para gelandang ikut naik ke daerah tiga perempat lapangan. Hal ini cukup paten dilakoni Hilton Moreira musim lalu.

Sementara posisi Hariono lebih vital lagi karena dialah garda terdepan yang melindungi kuartet pemain belakang Persib. Ketiadaan pemain berkarakter jangkar ini dan memaksakan pemain berkarakter pengumpan macam Robbie Gaspar untuk mengisi pos gelandang angkut air ternyata malah menjadi bumerang. Lini belakang Persib jadi keropos dan mudah ditembus.

Belum beres masalah krisis pemain, kabar terakhir menyebut pelatih mereka Drago Mamic mengajukan pengunduran diri. Sebuah jawaban atas intervensi kelewat batas dari pengurus, dan target terlalu tinggi yang dibebankan kepadanya.
Lagi-lagi. Sepakbola instan sangat digemari.

Thursday, March 29, 2012

Sepakbola Instan

Kabar mengejutkan datang dari tanah Borneo. Tim yang bermarkas di Stadion Aji Imbut bermana Mitra Kutai Kartanegara (Mitra Kukar) membuat berita sensasional dengan memecat pelatih mereka Simon McMenemy.
 
Dikutip dari situs resminya dan Wikipedia, Mitra Kukar dulunya adalah klub Niac Mitra, klub lawas asal Surabaya yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Mitra Surabaya. Ketika Mitra Surabaya terdegradasi ke Divisi Satu Liga Indonesia pada tahun 1999, klub ini dibeli pemilik Barito Putra dari Banjarmasin yakni H. Sulaiman HB dan pindah markas ke ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Sejak itu Mitra Surabaya berganti nama menjadi Mitra Kalteng Putra (MKP).
 
Singkat kata, status Mitra Kukar secara resmi menjadi milik Kutai Kartanegara setelah klub ini dibeli dari H. Sulaiman HB dengan harga Rp. 1,5 milyar pada tahun 2005. Klub ini juga satu-satunya klub sepakbola professional di wilayah Tenggarong

Pemecatan McMenemy yang membawa tim The Azkals Filipina ke semifinal Piala AFF tahun 2010 lalu memang mengejutkan banyak pihak. Dalam akun twitternya, McMenemy mengungkapkan keheranannya. Reputasi yang dimilikinya seolah tidak cukup. Belum lagi prestasinya yang sebenarnya tidaklah jelak. Dia berhasil membawa skuad penuh bintang ini ke peringkat keempat putaran pertama kompetisi Indonesia Super League (ISL).

McMenemy bernasib kurang lebih sama dengan Antoine Komboure dan Andre Villas-Boas. Komboure dipecat oleh klub kaya baru, Paris Saint Germain (PSG) setelah membawa klub ibukota tersebut menyelesaikan putaran pertama Ligue 1 sebagai juara paruh kompetisi. Para Sheikh yang duduk di kursi manajemen menilai Komboure tidak memiliki nilai jual dan daya pikat tinggi untuk menarik para bintang dunia bermain di Parc Des Princes. Untuk tujuan itu, pelatih berprofil tinggi, Carlo Ancelotti didatangkan.

Sementara Villas-Boas hanya diberi umur delapan bulan oleh sang oligarki Roman Abramovich. Penolakan pemain senior yang berujung kesulitan meraih kemenangan membuat pelatih bertalenta besar ini harus angkat koper lebih awal, dengan membawa serta jutaan euro sebagai pesangon.

Hanya bedanya, McMenemy adalah pelatih yang berprofil tinggi di kawasan Asia Tenggara. Keberhasilannya di Piala AFF membuatnya dipandang sebagai pelatih muda potensial. Entah apa yang ada dibenak pengurus Mitra Kukar saat memecat pelatih kharismatik tersebut. Mereka berkilah bahwa selain prestasi, kendala bahasa yang menjadi alasan utama. Penolakan terhadap Bahasa Inggris masih ada di tahun 2012?

Bicara prestasi, posisi keempat di putaran pertama kompetisi level tertinggi Indonesia bukanlah pencapaian buruk, apalagi inilah tahun Pertama Mitra Kukar mengarungi kompetisi level tertinggi. McMenemy hanya memiliki waktu yang singkat untuk menyatukan skuadnya, yang mayoritas berisi pemain-pemain baru. Para pemain baru ini memang berstatus bintang, dan kebanyakan dari mereka adalah langganan tim nasional. Tapi untuk membuat tim bermain apik sebagai satu unit dan berprestasi, seorang Sir Alex Ferguson saja butuh butuh waktu satu dekade.

Sepakbola memang industri, dimana memang terdapat ukuran sebuah kesuksesan. McMenemy memiliki kemewahan dalam skuad, namun tidak memiliki kemewahan dalam hal waktu. Skema 4-4-2 berlian yang diterapkannya juga bukanlah skema lazim yang digunakan tim-tim Indonesia. Pola berlian tersebut menuntut tim untuk bermain lebih rapat, sementara tim-tim Indonesia umumnya bermain melebar.

Memang sudah seperti tradisi bahwa di Indonesia, sepakbola adalah sesuatu yang instan. Kontrak pemain atau pelatih kebanyakan hanya berdurasi setahun. Jika dinilai bermain buruk, pemecatan adalah solusi yang diambil oleh klub. Instan dan prematur. Padahal, sebuah tim akan lebih baik jika dibiarkan berkembang. Jika hanya trofi atau peringkat semata, atau hasil buruk di sebuah laga kandang yang menjadi patokan, sampai kapanpun sepakbola akan jalan ditempat.

Barcelona butuh waktu untuk menjadi seperti sekarang. Begitupun Manchester United atau Manchester City. City tidak langsung menjadi juara liga setelah disuntikkan dana melimpah oleh Sheik Mansour. Roberto Mancini butuh semusim untuk menemukan komposisi ideal Joe Hart, Vincent Kompany, Yaya Toure dan David Silva sebagai roh permainan tim.

Memecat pelatih atau bongkar pasang pemain dalam waktu singkat hanya akan membuat tim melangkah mundur. Proses adaptasi sistem baru harus diinisiasi kembali dari awal. Dan hal itu kontraproduktif dalam pengejaran prestasi, lebih jauh lagi pembentukan karakter tim.

Ironisnya di Indonesia situasi semacam ini bukan hanya terjadi pada McMenemy. Saat tulisan ini dibuat, bahkan di social media sudah terhembus kabar bahwa pelatih Persib Drago Mamic sudah dipecat.

Semua suka sepakbola instan.

UEFA Europa League, si anak tiri yang siap mencuri perhatian

Mari sekilas flashback ke tahun 90an, lalu lihat liga Eropa mana yang paling banyak dibicarakan oleh banyak orang saat itu. Jawabannya pasti Liga Italia Seri a. Liga yang pada tahun 90an dipandang sebagai liga terbaik dunia ini kini berada sungguh bertolak belakang dibanding masa keemasannya. Mereka mencoba bangkit dari ketertinggalannya atas English Premier League (EPL), La Liga, dan sekarang Bundesliga. Adalah tugas AC Milan, Juventus, Inter Milan, Napoli, Udinese, Roma dan Lazio sebagai lo sette magnifico untuk mengembalikan Seri a ketempat terhormatnya.

Di era 90an kita sama-sama mengetahui bahwa lo sette magnifico diisi Parma dan Fiorentina sebagai refleksi Napoli dan Udinese masa kini. Pada masa itu, Seri a memang menjadi tujuan utama para bintang dunia. Juventus adalah klub yang mengirim Zinedine Zidane ke planet lain. Di Juve, Zidane menjelma menjadi pemain terbaik yang seolah bukan penduduk bumi.

Milan juga memiliki pemain sekaliber il Genio Dejan Savicevic, yang mampu membawa Milan "melabrak" Barcelona di final Liga Champions 1993/1994 empat gol tanpa balas. Bukan cuma mereka saja, kita semua tahu bahwa Lazio menjuarai Piala Winners terakhir pada tahun 1996/1997, Inter menjadi finalis Piala UEFA 1995/1996, belum lagi kiprah Parma yang dua kali meraih gelar di ajang yang sama. Mereka sangat respek pada kompetisi Eropa, apapun kastanya.

Giuseppe Signori-Pierluigi Casiraghi di Lazio, Manuel Rui Costa-Gabriel Batistuta di Fiorentina, Hernan Crespo-Enrico Chiesa di Parma, Ivan Zamorano-Ronaldo di Inter, Abel Balbo-Daniel Fonseca di Roma melengkapi nama-nama besar lainnya adalah pelaku langsung dari masa keemasan Seri a.

Kini, Seri a seolah-olah raksasa yang tertidur pulas. Inter memang menjadi juara Liga Champions 2 tahun lalu, Milan juga meraihnya di 2006/2007, tapi hanya sebatas itulah pencapaian terbaik klub-klub Seri a sepanjang empat tahun kebelakang, yang menjadi basis bagi UEFA untuk menghitung koefisien negara, yang menjadi legitimasi keikutsertaan wakil-wakil mereka di kompetisi terakbar benua biru ini. Jika dibandingkan dengan wakil dari Bundesliga, prestasi klub Seri a memang kalah di lima tahun belakangan ini.

Bayern Muenchen memang takluk ditangan Inter Milan pada final Liga Champions 2009/2010, namun wakil-wakil Bundesliga di Liga Europa berprestasi jauh lebih baik. Klub-klub seperti Werder Bremen, Vfb Stuttgart, Hamburger SV maupun Schalke lebih menghargai kompetisi ini ketimbang klub-klub Seri a. Hal inilah yang membuat Bundesliga perlahan namun pasti mendongkel Seri a di peringkat koefisien.

Europa League. Itulah jawaban atas kudeta Bundesliga terhadap Seri a di peringkat koefisien yang dirilis UEFA. Klub-klub Bundesliga memang lebih memandang kompetisi kelas dua Eropa ini dengan sepantasnya. Contoh nyata tersaji di musim 2009/2010. Saat itu Hamburger SV, Werder Bremen dan Vfl Wolfsburg masih gagah sebagai wakil Jerman untuk bertarung di Liga Europa.

Saya akan coba jabarkan penghitungan peringkat koefisien UEFA, yang berlaku di kompetisi Liga Champion dan Liga Europa secara garis bersar.
1. Dua poin diberikan atas setiap kemenangan, dan satu poin setiap draw.
2. Bonus poin untuk klub yang lolos ke penyisihan grup Liga Champions (4 poin).
3. Lolos ke babak knock-out Liga Champions (5 poin).
4. Lolos ke babak perempat final, semi final dan final kompetisi baik Liga Champions maupun Liga Europa.

Dapat dilihat bahwa Liga Champions memang menawarkan lebih banyak poin, namun Liga Europa juga demikian. Dua poin setiap kemenangan, satu poin setiap hasil imbang, dan satu poin bonus setiap kelolosan dimulai dari babak 8 besar membuat Liga Europa turut memegang kunci dalam penentuan peringkat koefisien UEFA.

Sementara Italia saat itu hanya menyisakan Juventus, namun kemudian Juve tersungkur ditangan Fulham. Dari 3 wakil Italia yang mengikuti Europa League sejak fase grup, hanya Roma yang lolos ke babak 32 besar, itupun langsung keok ditangan Standard Liege. Sementara Lazio dan Genoa sudah kandas di penyisihan grup.

Saat itu Hamburg dan Wolfsburg maju hingga ke delapan besar. Hamburg bertahan hingga semifinal sebelum dihentikan Fulham, yang menjadi kuda hitam saat itu sebelum ditaklukkan Atletico Madrid di partai final.

Italia memang harus memberi respek lebih pada kompetisi ini, bukan hanya sekedar mengejar posisi tinggi di Seri a untuk meloloskan mereka ke Liga Champions. Kurang respeknya wakil mereka makin nyata terlihat di musim lalu dimana mereka hanya menyisakan Napoli di babak 32 besar, itupun langsung tumbang ditangan Villareal. Kurang seriusnya Napoli sudah terlihat di babak penyisihan saat mereka mencadangkan Marek Hamsik, Edinson Cavani dan Ezequiel Lavezzi yang berakibat dibantainya mereka oleh Steaua Bucaresti tiga gol tanpa balas.

Napoli memang berhasil menempati posisi keempat Seri a musim lalu yang meloloskan mereka ke Play-off Liga Champions, namun lihatlah akibatnya pada Seri a. Mereka resmi terkudeta oleh Bundesliga, yang berarti mulai musim ini Seri a hanya boleh mengirim maksimal 3 wakil ke fase grup Liga Champions.

Jika Seri a ingin mengembalikan martabatnya, serta menarik minat lebih banyak pemain bintang dunia, maka klub-klub mereka harus mulai kembali menapaktilasi the 90's magnificent seven. Respect every single game. Tahun inipun penyakit klub-klub mereka belum sembuh. Udinese resmi tersungkur setelah dikandaskan AZ Alkmaar di babak 16 besar UEFA Europa League. Jerman? Merka masih punya Hannover 96 dan Schalke 04 disini, plus Bayern Muenchen di Liga Champions. Kini AC Milan menjadi harapan tunggal Seri a dalam mendulang poin di papan klasemen koefisien UEFA, itupun jika mereka mampu menyingkirkan tim super Barcelona.

Europa League kini memberi jawaban mengapa mereka tidak bisa lagi disepelekan. Kompetisi ini siap berjalan sejajar dengan saudara mereka, UEFA Champions League.

The Young and Dangerous Persija

Klub kebanggaan ibukota, Persija Jakarta meraih hasil mengecewakan dalam tur Sumateranya. Pada pertandingan akhir pekan lalu mereka menyerah 0-1 atas tim papan bawah, PSAP Sigli.


Kekalahan itu membuat Persija terpaku di posisi kelima klasemen sementara Indonesia Super League (ISL) dengan 26 angka. Di kompetisi ISL putaran pertama ini Persija tinggal memiliki satu pertandingan sisa melawan PSMS Medan di Stadion Teladan yang akan berlangsung hari Jumat, 30 Maret 2012 mendatang.


Kekalahan menghadapi tim asal kota Sigli ini membuat Persija semakin tertinggal dari pimpinan klasemen sementara, Sriwijaya FC yang sudah mengoleksi sepuluh angka lebih banyak, walaupun Persija masih menyimpan satu laga.


Persija, yang diawal musim masih dilanda konflik internal, yang menyebabkan mereka menyebrang ke ISL memang tidak memiliki persiapan yang memadai untuk mengarungi kompetisi. Saat kompetisi menjelang kick-off, mereka baru merampungkan skuad. Proses adaptasi bagi pemain baru, ditambah hengkangnya beberapa pemain pilar membuat permainan anak asuh Iwan Setiawan belum mencapai titik optimal. Belum lagi masalah izin penggunaan stadion Gelora Bung Karno yang sulit didapat, yang sempat memaksa tim Macan Kemayoran ini menggelar partai kandang mereka diluar Jakarta.


Coach Iwan Setiawan adalah pelatih yang sangat memperhatikan pertahanan. Ketangguhan lini belakang Persija, yang baru kebobolan 10 gol dari 16 laga adalah yang terbaik diantara kontestan ISL. Kuartet Ismed Sofyan, Precious Emuejeraye, Fabiano Rosa Beltrame, dan Leo Saputra yang dilapis Ngurah Nanak dan Hasim Kipuw menjamin kokohnya lini belakang Persija. Sayangnya, jumlah minim kebobolan ini didapat dari beberapa hasil skor kacamata atau satu sama di kandang sendiri. Kekokohan lini belakang tidak diimbangi dengan ketajaman lini serangan.


Pola 4-4-1-1 yang menekankan pada serangan balik cepat ala Coach Iwan memang membutuhkan pemain garda serang dengan efisiensi pemanfaatan peluang yang tinggi. Pedro Javier yang diplot sebagai ujung tombak sayangnya belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi. Pemain ini sebenarnya memiliki tehnik dan kekuatan yang bagus dalam menahan bola serta kemampuan duel di udara, namun inkonsistensi permainan dan seringnya pemain ini membuang peluang bagus membuatnya sempat dicadangkan.


Persija jelas kehilangan sosok eksplosif Greg Nwokolo yang musim ini hengkang ke Pelita Jaya. Permainan Greg yang licin serta bisa ditempatkan di berbagai posisi lini penyerangan memang masih sulit dicari penggantinya. Namun hal positif yang bisa dilihat dari perjalanan Persija sepanjang putaran pertama ISL musim ini adalah pengorbitan pemain-pemain muda dari tanah air. Jika dikombinasikan dengan pemain senior seperti sang ikon Bambang Pamungkas dan si penendang jitu Ismed Sofyan dalam waktu lama, tim ini jelas memiliki potensi. Mereka muda dan berbahaya.


Pemain-pemain seperti Ramdani Lestaluhu, Hasim Kipuw, Andritany, Alan Martha, Johan Juansyah hingga Rudi Setiawan sudah banyak dibicarakan para pemerhati sepakbola sebagai pemain masa depan bukan hanya Persija, tapi juga untuk tim nasional Indonesia yang siap meneruskan perjuangan para senior mereka. Ramdani, Kipuw, dan Andritany bahkan sudah memperkuat timnas Indonesia di Sea Games beberapa waktu lalu. Johan juga sempat mengikuti seleksi. Dengan seringnya mereka diberikan minutes-play, Persija dapat menjadi feeder tim nasional Indonesia di masa depan.

Meski demikian, Coach Iwan Setiawan belum berpuas diri. Sebagai klub besar yang setiap musim selalu menargetkan gelar juara, tekanan tersendiri berada di pundak pelatih yang juga mantan pemain tim nasional tersebut. Coach Iwan merasa perlu berbenah dengan mendatangkan lagi seorang striker dan seorang pemain sayap yang mampu mengobrak-abrik lini pertahanan lawan dari lini kedua.


Gol-gol yang tercipta memang banyak lahir dari situasi set piece. Tidak mengherankan karena tim favorit para The Jakmania ini memang memiliki jagoan-jagoan bola mati dalam diri Ismed Sofyan, Pedro Javier, Robertino Pugliara, Oktavianus hingga Bambang Pamungkas. Namun jika ingin menjadikan lini depannya lebih subur dan menghasilkan lebih banyak poin bagi tim, Persija harus membenahi permainan menyerang mereka dari skema open-play.




Permainan Ramdani Lestaluhu dan Oktavianus yang mengisi pos sayap memang cukup baik, namun bermasalah jika mereka absen. Pemain-pemain yang masih muda macam Johan Juansyah dan Alan Martha masih membutuhkan waktu untuk menyatu dengan tim dan taktik Coach Iwan. Begitupula dengan lini depan. Jika salah satu dari Bepe atau Pedro absen, mereka tidak memiliki pengganti yang sepadan. Rudi Setiawan memang berbakat, namun masih membutuhkan jam terbang lebih banyak.


Sudah saatnya bagi Persija untuk mempersiapkan tim yang bervisi jangka panjang. Menuntut prestasi instan dari sederet pemain muda bukanlah solusi yang baik. Menyambut putaran kedua kompetisi ISL, ada baiknya Persija menambah amunisi di lini depan dan sayap sesuai kebutuhan Coach Iwan, namun penambahan pemain-pemain tersebut jangan sampai terlalu banyak mengorbankan kesempatan bermain bagi para young guns mereka. Jika mereka jarang dimainkan dan berujung hengkang diakhir musim, regenerasi yang sebenarnya sudah berjalan baik ini akan menjadi sia-sia.

Thursday, March 22, 2012

Menang tetap membumi, kalah tidak mencaci

Kebanyakan penggila sepakbola memiliki klub favorit, tentunya klub favorit yang ada di benua Eropa nun jauh disana. Klub-klub itu sayangnya hanya bisa sebatas membuat kita berangan-angan. Dari angan-angan bermain disana, lalu setelah tidak tercapai menjadi hanya menonton langsung di stadion mereka, dan dalam tingkatan paling realistis yaitu memiliki jersey original sampai action figure pemain-pemain yang harganya mahal itu.


Kita menyukai mereka sejak kecil, sejak mengenal sepakbola, dan kita tidak pernah berganti klub yang kita dukung. Menemukan orang berpindah-pindah klub dukungan sangat sulit dan sangat jarang terjadi, mungkin lebih jarang kasusnya daripada menemukan orang yang pindah agama atau berganti-ganti pasangan. Tentunya hal ini tidak berlaku pada orang yang memang netral alias tidak memihak klub manapun, hanya penikmat permainan sepakbola. Tidak berlaku pula pada si casual fans, alias fans musiman alias fans berpindah-pindah klub dukungan tergantung pada prestasi klub saat itu.


Kalau ditanya alasan kenapa suka sama klub itu, jawabannya beragam. "Gue suka Del Piero, makanya gue suka Juventus sampai sekarang." Ada juga yang bilang suka dengan Eric Cantona, makanya suka Manchester United. Dengan pola alasan yang sama, yaitu karena terdapat pemain favoritnya, bisa ditebak kalau anak-anak muda yang baru kenal sepakbola sekarang kebanyakan menggemari Barcelona ataupun Real Madrid, dimana dua ikon sepakbola bernama Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo merumput.


Ada pula teman saya yang baru menyukai sepakbola saat sudah kuliah, dan memilih Arsenal sebagai pilihannya dengan alasan permainan sepakbola Arsenal enak dilihat. Alasan yang lebih logis, sesuai dengan umurnya. Logika sederhana seorang anak kecil tentu berbeda dengan logika seorang mahasiswa dalam menentukan pilihan. Tapi sekali menjatuhkan pilihan, nampaknya itu adalah pilihan sekali seumur hidupnya.


Saya kebetulan tipe orang penyuka sesuatu yang berhubungan dengan perlawanan dan anti kemapanan. Klub-klub seperti Athletic Bilbao, Napoli, atau Stoke City adalah klub-klub berkarakter kuat yang cocok menjadi representasi simbol dari pemberontakan, perlawanan dan penjaga kemurnian tradisi itu.


Dari ketiganya. Bilbao adalah klub yang berhasil mengambil simpati saya, dan saya yakin banyak orang yang berpikiran sama seperti saya melihat permainan mereka musim ini, terutama setelah mereka mampu menundukkan Manchester United di perempat final Europa League tahun ini.


Semua mata terperanjat kala anak-anak pegunungan di timur laut Spanyol yang hanya berpopulasi 3 juta penduduk berhasil mempecundangi klub super-besar dari kota Manchester. Bilbao adalah klub "kolot" yang memegang prinsip saklek dan mengusung semangat primordial yang kental dengan hanya memakai pemain keturunan asli Basque.


Sebelumnya, Bilbao seperti Stoke City. Satu-satunya klub Spanyol yang bermain ala Inggris. Namun, sosok Marcelo Bielsa mampu mengubah sekelompok pejuang Sparta itu menjadi sekelompok filsuf pemikir bijak Athena. Dengan fisik yang sudah lebih dari terlatih, Bielsa membumbui para awak San Mames dengan permainan umpan-umpan pendek menawan. Dengan kemurnian yang senantiasa terpelihara dan prestasi yang mulai mencuat berkat cantera berkualitas yang muncul ke permukaan saat ini, Bilbao akan mudah menjaring fans-fans baru, baik casual maupun die-hard fans.


Tapi, semua itu kembali kepada sisi unik dari sepakbola, yaitu sisi unconditional devotion. Betapapun kagumnya saya pada Bilbao, tidak cukup untuk menggeser AC Milan sebagai klub favorit saya nomor satu yang saya sukai sejak mengenal sepakbola. Bilbao mungkin jadi klub favorit saya nomor 3-4.


Namun, geli rasanya melihat tingkah sebagian saudara kita sebangsa Indonesia yang sangat agresif membela klub Eropa kesayangannya itu. Bahasa mereka sungguh indah dan puitis kala mendukung klub favoritnya, namun berubah menjadi cacian bermuatan 1 megaton bom atom saat menghina KLUB EROPA lain yang menjadi rival klub Eropa favorit mereka. Sangat sering terlihat di artikel berita terjadi perang kata-kata antar fans yang ngakunya sejati itu. Aura negatif selalu terpancar setiap membaca komentar-komentar miring itu.


Entah apa yang ada di pikiran mereka, mungkin di dunia nyata mereka tidak mampu memaki atau melabrak orang lain dan bertindak seperti jagoan, maka di dunia maya dengan nama anonim pula-lah mereka melampiaskan kekesalannya itu.


Belum puas, ada juga yang dengan niat sepenuh hati untuk membuat status berisi kebencian terhadap klub rival di facebook atau di blackberry messenger. Padahal, klub Eropa yang jauh disana itu sama sekali tidak memberi mereka apa-apa selain rasa iri kita akan hebatnya mereka. Mereka jauh disana, dan tidak ada hubungannya dengan kita di Indonesia. Tidak jarang pula kita mendengar kabar miris soal keributan yang terjadi setelah acara nonton bareng klub Eropa itu, bahkan cerita itu juga terjadi saat perhelatan Piala Dunia 2010 lalu saat orang Indonesia yang menjadi supporter negara lain terlibat perkelahian. Ayolah, Anda semua orang Indonesia, bukan orang Inggris atau orang Jerman. Get a life.


Pemandangan yang tidak asik di twitter hampir di setiap berakhirnya sebuah big match adalah saling mengejek. Saya juga melakukannya just for fun. Saya enjoy sekali meledek Juventus, Inter Milan atau Real Madrid. Tapi ya hanya sebatas itu, tidak membenci mereka dan tidak juga mencaci pendukung mereka. Jika mereka meledek bahkan mencaci AC Milan-pun bukan urusan saya. Tidak ada keinginan untuk berkelahi dengan fans klub rival jika bertemu dijalan, tidak terbersit juga untuk mengotori timeline orang lain dengan sumpah serapah yang tidak mendidik.


Mungkin sudah banyak yang menulis tema seperti ini. Saya hanya menambahkan dan mendukung kampanye positif itu, demi pendidikan yang baik bagi para suporter. Jadilah suporter bijak yang jika menang tetap membumi dan jika kalah tidak mencaci. Karena pertengkaran besar banyak yang berawal dari cacian-cacian kecil. Semoga para akun kelompok supporter sering juga mengkampanyekan jargon positif ini. Come on guys, you can do better than that!

Tuesday, March 20, 2012

Harusnya Sepak Bola Tidak Membunuh Pemainnya

Dari tujuh miliar populasi dunia saat ini, situs sportbusiness.com mengungkapkan bahwa final Piala Dunia 2010 antara Spanyol melawan Belanda disaksikan oleh lebih dari 700 juta orang dari layar kaca. Dapat dikatakan bahwa 1 dari 10 penduduk dunia ini menyaksikan final kejuaraan sepak bola terakbar dunia tersebut.

Dua negara kontestan yaitu Spanyol dan Belanda masing-masing memiliki 15,6 juta dan 12,2 juta penonton, yang berarti sepertiga dan setengah dari warga kedua negara tersebut menyaksikan partai yang dimenangi Spanyol ini melalui layar kaca.

Fakta tersebut hanya sedikit dari fakta bahwa sepak bola adalah olahraga paling digemari di dunia. Apapun yang terjadi di dunia si kulit bundar tidak akan luput dari perhatian warga bumi.

Sepak bola kini bukan menjadi olahraga semata. Kecintaan publik terhadap olahraga ini menjadikannya bisnis yang sangat menguntungkan. Lihat saja penerimaan klub terkaya dunia Real Madrid yang menurut Deloitte mencapai 436.8 juta euro pada musim 2009/2010 lalu.

Perputaran masif uang di dunia sepak bola tidak juga dipandang sebelah mata oleh kalangan politisi Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia mana pun sepak bola juga menarik para elite politik. Dari zaman diktator fasis Benito Mussolini yang mengancam akan melemparkan pemain Italia ke Colloseum untuk bertarung sebagai gladiator jika mereka kalah di final Piala Dunia 1934, hingga seorang raja media bernama Silvio Berlusconi yang melapangkan jalannya menjadi Perdana Menteri Italia setelah berjaya di klub AC Milan menunjukkan bahwa sepak bola telah menjadi bagian besar dari sejarah dunia.

Industrialisasi sepak bola yang sangat kental di Eropa dimulai saat digelarnya Liga Champions untuk menggantikan Piala Champions. Lennart Johansson, Presiden UEFA kala itu di tahun 1992 membuat terobosan untuk merubah format kejuaraan antar klub terbesar Eropa tersebut.

Jika semula Piala Champions hanya diikuti oleh juara liga domestik saja dan berformat sistem gugur, kali ini UEFA mengizinkan negara-negara berperingkat koefisien tinggi untuk mengirimkan lebih banyak wakilnya. Imbasnya, pertandingan yang digelar menjadi semakin banyak, yang tentu saja membuat perputaran uang menjadi semakin menggila.

Kalender pemain makin padat jika menghitung tambahan uji coba internasional, kejuaraan antar negara, Piala Konfederasi, dan Piala Dunia antar klub yang diperbaharui formatnya. Pemain menjadi tak ubahnya sapi perah.

Meningkatnya frekuensi pertandingan membuat klub bermain lebih banyak, otomatis para pemain yang terkena imbas langsung, karena merekalah pelaku sepak bola sebenarnya di lapangan. Gaji mereka memang besar, namun fisik mereka terkuras luar biasa.

Contohnya, pemain seperti Wesley Sneijder di tahun 2010 memainkan lebih dari 60 pertandingan semusim, karena selain bermain di kompetisi domestik, klubnya yaitu Inter Milan juga melaju hingga partai puncak Liga Champions, plus keikutsertaannya hingga final Piala Dunia 2010 bersama Belanda.

Sejak saat itu, performa Sneijder menurun karena faktor kelelahan dan cedera. Banyak pula Sneijder-Sneijder lain yang menurun performanya karena terlalu dieksploitasi tenaganya. Pemain muda Arsenal Jack Wilshere juga hingga kini mengalami cedera panjang akibat terlalu dipaksakan bermain musim lalu.

Namun, satu hal yang lebih mengkhawatirkan daripada sekadar penurunan performa dan cedera adalah nyawa pemain itu sendiri. Saya sedih mendengar kabar Fabrice Muamba terkena serangan jantung pada partai Piala FA akhir pekan lalu, yang masih membuatnya kritis.

Mari kita tengok berapa pemain yang kehilangan nyawanya di lapangan hijau. Sejak awal tahun 1900, 79 pemain kehilangan nyawanya di lapangan, baik di pertandingan resmi maupun pada waktu latihan, baik terkena serangan jantung maupun menjadi korban insiden tersambar petir atau akibat benturan keras dengan pemain lain.

Dari 79 tragedi pejuang yang tercatat meninggal di lapangan tersebut, 50 tragedi di antaranya terjadi di atas tahun 1990 hingga sekarang. Angka ini berarti setengah dari korban jiwa jatuh dalam dua dasawarsa terakhir, yang menunjukkan bahwa jumlah pemain yang meninggal di lapangan semakin meningkat.

Saya tidak tahu pasti mengenai validitas data, bisa saja total 79 pemain itu hanyalah yang tercatat resmi , sementara masih banyak yang mungkin tidak tercatat.

Belum lagi kejadian yang terjadi di pertandingan tidak resmi, seperti yang menimpa beberapa selebriti tanah air yaitu almarhum Benyamin S. dan almarhum Adjie Massaid yang meninggal dunia setelah bermain sepak bola.

Belum cukup, saya juga beberapa kali mendengar kisah memilukan dari lapangan hijau dari kenalan-kenalan saya. Anda juga mungkin pernah mendengarnya dari kenalan-kenalan Anda.

Saya bukan seorang yang ahli di bidang kesehatan, namun dari data di atas dapat kita lihat bahwa sepak bola adalah olahraga yang berisiko tinggi dan berkategori olahraga berat. Sepak bola hanya layak dimainkan oleh orang yang sehat.

Dampak kematian akibat memainkan olahraga ini menunjukkan bahwa olahraga ini berisiko menyerang organ vital tubuh dan berakibat kematian. Padahal, pemain sepak bola profesional terbiasa hidup sehat, banyak berlatih dan asupan gizinya cukup. Jika kontrol klub akan kesehatan pemainnya sudah relatif baik, mungkin di sistem sepak bola itu sendirilah ada yang salah.

Frekuensi pertandingan yang tinggi, tekanan dari pihak klub tempat bermain, maupun tekanan dari supporter membuat pemain menjadi tertekan. Di era yang mengutamakan hasil akhir ini, para pemain seolah diwajibkan untuk berusaha lebih keras di lapangan, bahkan hingga mati di lapangan.

Padahal, hidup sang pemain sendiri bukanlah melulu tentang sepak bola. Pemain juga punya keluarga yang bergantung pada mereka. Kita harus melihat lebih dalam bahwa nyawa manusia lebih berharga dibandingkan dengan sepak bola itu sendiri.

Haruskah industri sepak bola terus menutup mata terhadap keselamatan para pelakunya? Haruskah FIFA dan badan-badan yang bernaung di bawahnya terus mengeksploitasi tenaga pemain tanpa batas?

Cepat sembuh, Fabrice Muamba. #prayformuamba

Wednesday, March 14, 2012

Pavel Pogrebnyak, kembalinya si anak hilang

“Seorang striker, bagaimanapun akan dinilai dari berapa gol yang dia cetak, untuk itulah dia bermain.” Demikian ungkapan yang saya curi dengar dari seorang pelatih sebuah tim amatir di dekat tempat tinggal saya, saat dia sedang menasihati strikernya, yang sering sekali membuang-buang peluang.
Entah apa yang dikatakan seorang pelatih terhadap dua striker mahal Liga Primer Inggris, Fernando Torres dan Andy Carroll mengenai seretnya gol mereka sejak didatangkan dengan harga fantastis pada bursa transfer musim dingin tahun lalu. Torres dan Carroll bukanlah striker jelek, mereka adalah mesin gol di klub terdahulu mereka, namun melempem di klub barunya.

Tidak terpikir sedikitpun oleh petinggi Chelsea dan Liverpool saat itu untuk mengontrak seorang striker asal Rusia bernama lengkap Pavel Viktorovich Pogrebnyak. Pogrebnyak memang nama yang masih asing bagi penggemar sepakbola, ditambah lagi dengan sulitnya melafalkan namanya yang sangat Rusia sekali. Padahal, pemain inilah yang semula akan menjadi ujung tombak utama tim nasional Rusia saat akan menghadapi kompetisi Euro 2008. Sayangnya, Pogrebnyak mengalami cedera saat latihan, yang kemudian mengubur impiannya bermain di kejuaraan antar negara terakbar di benua biru itu.

Penampilan Rusia tanpa Pogrebnyak di kejuaraan yang berlangsung di Austria dan Swiss tersebut ternyata tetap memikat. Mereka mampu melaju hingga babak semifinal, tempat dimana pemain asal klub Zenit St. Petersburg bernama Andrei Arshavin mencuri perhatian dunia pertama kali. Penggantinya, yaitu Roman Pavlyuchenko juga tampil baik di kejuaraan tersebut. Setelah kejuaraan itu, Arshavin dan Pogrebnyak kemudian diboyong oleh dua klub kota London yang berseberangan. Arshavin ke Arsenal, Pavlyuchenko ke Tottenham Hotspurs. Sejak saat itu,Pavel Pogrebnyak dilupakan.

Setelah sembuh. kepindahannya ke Bundesliga bersama Vfb Stuttgart ternyata malah menurunkan level permainannya. Selama dua setengah tahun, Pogrebnyak hanya mampu mencetak 15 gol dari 68 pertandingannya bersama klub di kota produk mobil Mercedez-Benz diproduksi yang pernah diperkuat oleh the 90’s magic triangle Krassimir Balakov, Giovane Elber, dan Fredi Bobic tersebut.

Penciuman tajam Martin Jol yang akhirnya membawa Pogrebnyak ke Craven Cottage. Fulham yang tengah dililit masalah ketajaman memang membutuhkan seorang striker yang memiliki kemampuan finishing touch yang baik. Tidak puas dengan performa Bobby Zamora, Jol yang pernah mengenal Pogrebnyak karena sempat melatih Hamburger SV itu kemudian meminjam Pogrebnyak dari Stuttgart hingga akhir musim. Hal ini membuatnya melepas Zamora ke Queens Park Rangers.

Tidak disangka, striker berusia 28 tahun ini justru menemukan sinarnya di kompetisi Premier League. Dia mampu mencetak 5 gol dari 3 pertandingan awalnya, termasuk sebuah hattrick ke gawang Wolverhampton Wanderers dua pecan lalu. Ajaibnya, 5 gol tadi tercipta hanya dari 7 percobaan tembakan ke gawang lawan. Dari statistik tersebut terbukti bahwa Pogrebnyak adalah striker yang sangat efisien dalam memanfaatkan peluang. Dia mungkin tidak banyak mengancam gawang lawan dan bukanlah pemain yang bisa sendirian memenangkan pertandingan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ketajamannyalah yang akhirnya menolong timnya meraih poin demi poin. Dia telah memenuhi tugas utamanya sebagai seorang striker, yaitu mencetak gol.

Rezeki memang rahasia Tuhan, memang terlalu dini menyebut Pogerbnyak sudah sukses di Liga Inggris hanya dari beberapa pertandingan saja. Belum terbacanya permainan striker besar ini memang menjadi berkah baginya, namun jika lawan-lawan Fulham mampu menganalisa lebih dalam permainan sekaligus menemukan kelemahan Pogrebnyak, masa sulit siap menanti. Pogrebnyak bukanlah tipe striker yang mampu menciptakan peluang mencetak golnya sendiri lewat aksi-aksi magis macam Zlatan Ibrahimovic, dia butuh dukungan penuh dari rekan-rekannya. Jumlah tembakannya yang hanya tujuh kali dalam tiga laga menunjukkan bahwa Pogrebnyak bukanlah pemain yang kerap mengancam lini pertahanan lawan. Efisiensinya dalam memanfaatkan peluanglah yang perlu diwaspadai.

Bagaimanapun juga, Pogrebnyak memiliki modal untuk menjadi striker yang sukses di Inggris. Postur yang tinggi kekar membuatnya memiliki kekuatan untuk beradu fisik dengan para defender besar yang menghadang. Keatletisannya jika dikombinasikan dengan kecepatan lari, kekuatan tendangan kaki kiri dan efektifitas pemanfaatan peluang akan membuatnya menjadi seorang striker komplit.

Pogrebnyak memang masih perlu banyak hal untuk membuktikan diri. Level permainannya memang belum pantas disamakan dengan Robin Van Persie yang berpredikat sebagai striker terbaik saat ini di level top flight, namun dengan lima golnya dari tiga pertandingan, sudah lebih dari cukup untuk membuat publik Inggris meng-googling namanya dan tabloid olahraga Inggris mulai memasangnya sebagai pusat pemberitaan. Jangan kaget pula jika para penggemar permainan fantasy premier league akan mulai memasang dirinya sebagai salah satu striker di tim khayalan mereka.

Setelah Kamerad Arshavin sudah mulai lelah karena hanya menghangatkan bangku cadangan dan Kamerad Pavlyuchenko sudah mudik ke Lokomotiv Moscow, kini nantikan aksi kompatriot mereka. Si anak hilang telah kembali, Kamerad Pogrebnyak.

Friday, March 9, 2012

Maaf, tidak ada tragedi Emirates

Kemenangan dengan skor besar sudah sewajarnya dirasakan dengan suka cita. Apalagi jika kemenangan terjadi didepan publik sendiri. Merayakan kemenangan bersama fans yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan adalah perasaan ekstasi bagi semua pemain.

San Siro adalah rumah besar sepakbola Italia. Stadion terbesar di Italia yang menjadi kandang AC Milan dan Internazionale Milan ini menjadi saksi bisu kejayaan kedua klub besar di kota mode tersebut. Pada pertandingan 1st leg Liga Champion, publik San Siro disuguhi permainan memikat dari Milan. Tanpa ampun, I rossoneri menghajar Arsenal empat gol tanpa balas.

Kekalahan di partai terakhir Thierry Henry sebelum kepulangannya ke New York Red Bulls tersebut sangat memukul Arsenal, dan menipiskan harapan satu-satunya wakil Inggris yang tersisa di kompetisi terbaik benua biru ini. Bagaimanapun, sulit untuk membalikkan ketertinggalan empat gol.

Namun Arsenal juga menyadari sepenuhnya bahwa Milan adalah klub limbung yang mudah menderita banyak gol justru saat mereka tengah diatas angin. Jika dalam ajang Liga Champions banyak menyajikan kisah come-back paling menabjubkan, nama Milan selalu disebut banyak orang. Sayangnya, Milan selalu menjadi korban dari semangat come-back dramatis tersebut. Tragedi Riazor 8 April 2004 dan tragedi Istanbul 25 Mei 2005 tak pelak adalah dua tragedi terbesar yang menodai kesuksesan Milan di ajang Liga Champions. Fans Milan juga sudah mengantisipasi hal ini dengan tidak terlalu banyak berpesta setelah kemenangan 4-0 di San Siro.

Seolah menyadari bahwa lawannya adalah tim yang mudah menderita banyak gol setelah unggul jauh, Arsenal langsung memasang jurus serangan frontal sejak pertandingan dimulai. Apalagi, pelatih Max Allegri justru sangat berani menurunkan tiga orang penyerangnya sekaligus di pertandingan yang rentan ini. Bak petinju yang sedang lengah, Milan menerima pukulan telak bertubi-tubi dari petinju yang tengah bersemangat bernama Arsenal. Pertandingan baru memasuki menit ke tujuh, bek Laurent Koscielny menanduk sepak pojok untuk membuka skor menjadi 1-0 untuk tim London utara tersebut.

Dejacu akan terulangnya tragedi Riazor seolah terbayang di kepala fans Milan. Saat itu, Walter Pandiani berhasil mencetak gol cepat di menit ke enam untuk membawa Super Depor unggul, dan menutup babak bertama dengan keunggulan 3-0 untuk klub yang saat itu diasuh oleh Javier Irureta. Persis terulang di Emirates Stadium, sepakan mendatar Tomas Rosicky dan penalti Robin Van Persie membawa Arsenal unggul 3-0 di babak pertama, sangat persis dengan tragedi Riazor. Fans Milan di seluruh dunia pasti terdiam saat itu, dan banyak pula yang tidak menonton lanjutan babak kedua karena tidak sanggup lagi menghadapi tragedi berikutnya.

Entah apa yang diucapkan Allegri saat team-talk di ruang ganti. Di babak kedua, Milan bermain sangat berbeda, mereka lebih tenang dan perlahan mampu mengambil alih kendali permainan. Beberapa peluang mereka ciptakan melalui Zlatan Ibrahimovic maupun Antonio Nocerino. Lini pertahanan yang bermain sangat buruk di babak pertama kini menjadi stabil seperti layaknya yang mereka biasa pertontonkan sebagai layaknya pimpinan klasemen Seri a. Penyelamatan super Christian Abbiati terhadap peluang yang dimiliki Robin Van Persie, striker yang dianggap terbaik dunia saat ini, kemudian menutup kisah perlawanan heroik The Gunners, yang urung menjadi sebuah another epic come-back story. Max Allegri berkomentar bahwa kekalahan ini memang memalukan namun melegakan.

Tragedi Riazor dan tragedi Istanbul tidak jadi terulang bagi awak Milanello. Mereka memang kembali tampil bagaikan petinju limbung yang menganggap enteng lawannya, namun mentalitas mereka berbicara bahwa tragedi tidak boleh terulang untuk ketiga kali. Tidak ada tragedi Emirates, dan keadaan menjadi baik-baik saja bagi klub milik Silvio Berlusconi itu. Badai telah berlalu dan kapal mereka yang semula oleng kini telah back on track.

Milan kini telah mengatasi trauma tragedi come-back sekaligus tradisi selalu kalah dari tim asal Inggris dalam dua tahun terakhir. Namun keberhasilan ini sekaligus tamparan bagi Milan karena bukan seperti inilah permainan tim yang mengincar gelar juara Liga Champions. Kekalahan di Istanbul dari Liverpool terjadi setelah di partai semifinal mereka hanya unggul gol agregat di kandang PSV Eindhoven akibat kekalahan 1-3 di Phillips Stadium setelah sebelumnya unggul 2-0 di San Siro atas tim yang saat itu masih diperkuat Park Ji Sung tersebut.  

Hasil di San Siro terbukti sangat membantu mereka. Walaupun mereka ke Emirates dengan bermodal kemenangan 4-0, namun Arsenal bukanlah tim sama seperti yang mereka pukul di San Siro. Arsenal bermain dengan modal kemenangan sensasional 5-2 atas Tottenham Hotspurs dan 2-1 atas Liverpool. Kemenangan yang membuat The Gunners kian mantap untuk kembali ke empat besar liga Inggris, walaupun mereka kini terancam untuk kembali tidak mengangkat trofi di akhir musim.

Milan menunjukkan bahwa sikap menganggap enteng lawan bukanlah sikap yang tepat, sementara Arsenal member pelajaran bahwa sikap pantang menyerah membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin. Selamat untuk Milan, salut untuk Arsenal.

Tuesday, March 6, 2012

Rumah Sepakbola

Masih segar dalam ingatan kita saat seorang pemain yang saat itu kurang terkenal bernama Fabio Grosso melangkah maju menghadapi seorang kiper berpengalaman bernama Fabien Barthez dalam sebuah tendangan penalti. Grosso melangkah mantap lalu menendang dengan keras kearah kiri Barthez tanpa mampu dihalaunya. Selebrasi lalu menggema dan mencapai puncaknya saat kapten Fabio Cannavaro mengangkat trofi Piala Dunia. Cuplikan tersebut adalah saat-saat tim nasional Italia menjuarai Piala Dunia tahun 2006 setelah mengalahkan Perancis dalam drama adu penalti.

Banyak pula yang tahu bahwa pada tahun yang sama, kompetisi seri a Italia diguncang skandal pengaturan skor yang masif, terkenal dengan sebutan calciopoli. Saat itu, gelar juara yang disandang Juventus selama dua musim beruntun dicabut. Para pelaku kejahatan tersebut dihukum berat. Banyak yang beranggapan sepakbola Italia saat itu mencapai titik nadir, dan kesebelasan mereka mengikuti Piala Dunia 2006 tepat setelah "musim beracun" itu berakhir.

Tidak ada yang menyangka Italia mampu berbicara banyak di Piala Dunia setelah kondisi mengenaskan menimpa kompetisi tertinggi mereka. Tapi apa yang terjadi? Cobaan yang mereka terima justru membuat timnas Azzuri tampil bak singa terluka. Mereka bertarung dengan cerdas dan berani sehingga mampu meraih gelar Piala Dunia keempat mereka. Perolehan tertinggi kedua setelah Brasil yang sudah lima kali merebut supremasi tertinggi sepakbola dunia tersebut.

"What doesn't kill you makes you stronger." Kita sering mendengar ungkapan tersebut. Kesebelasan Italia di Piala Dunia 2006 menggambarkan situasi tersebut. Sepakbola Italia dihajar dan degerogoti oleh anak bangsanya sendiri, namun hal itu nyatanya tidak membunuh mereka. Mereka menjawab segala tudingan dengan cara paling elegan yaitu dengan menjuarai Piala Dunia. Hal ini juga mengulangi cerita Piala Dunia 1982 dimana Italia menjuarai turnamen yang diselenggarakan di Spanyol tersebut setelah pemain-pemain mereka diguncang skandal suap.

Rangkaian kejadian ini mengingatkan saya pada sepakbola Indonesia. Bedanya, segala kisruh sepakbola kita justru bukannya membuat tim nasional kita berjaya, tapi justru luluh lantak di kualifikasi Piala Dunia, dan mencapai titik terendahnya dengan kekalahan sepuluh gol tanpa balas dari Bahrain. Kekalahan terburuk sepanjang sejarah timnas.

Kita memang tidak bisa menyamakan diri dengan bangsa Italia. Bangsa mereka memang sudah maju sejak dulu zaman kekaisaran romawi. Mereka bisa langsung mengambil sikap yang tepat untuk segera bangkit dari keterpurukan. Konflik yang dihadapi merekapun berbeda dengan yang tengah kita hadapi sekarang.

"Indonesian Football is a sleeping Giant, I hope someday will awaken. It's a shame, all the money goes to the top, little at the bottom." Begitulah kata seorang Tom Byer dalam twitnya tentang sepakbola Indonesia dan pengurus-pengurusnya. Banyak pihak yang memang terus menidurkan sepakbola Indonesia demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan mereka. "They don't want to invest on youth, they only want to own ISL and IPL." Lanjutnya.

Ternyata banyak pihak disini yang memang hanya mencari keuntungan semata tanpa berdedikasi untuk membangun sepakbola Indonesia. Pembinaan pemain muda memang gak memberi mereka keuntungan besar layaknya mengurusi kompetisi tertinggi, tapi ini adalah embrio kesuksesan di masa depan. Tom Byer menciptakan terobosan-terobosan yang mengesankan di dunia pengembangan pemain muda, yang terbukti hasilnya di Jepang. Sekarang dunia mengakui kualitas pemain-pemain seperti Shinji Kagawa, Keisuke Honda atau Ryo Miyaichi. Mereka adalah hasil dari program Tom Byer, yang tentunya juga berhasil membawa Jepang tampil reguler di Piala Dunia.

Namun segala pembinaan tersebut tentu saja butuh investasi yang mahal. Lalu dengan CV-nya yang mentereng itu, Tom Byer datang mengetuk para calon investor Indonesia. Apa yang dikatakan oleh para calon investor itu? "Tom, kami ingin sukses yang instan, dan program pembinaan Anda tidak profitable buat kami. Lebih baik kami invest ke kompetisi ISL atau IPL saja."

Kita semua tahu kalau sepakbola ibarat sebuah rumah. Jika tim nasional adalah atap, kompetisi adalah bangunan, dan pembinaan pemain muda adalah fondasi, serta PSSI adalah arsitek bangunannya sudah jelas kita keropos di fondasi dan bangunannya. Tidak ada rumah yang mampu berdiri tanpa fondasi yang kokoh, bangunan yang sesuai dan arsitek yang handal. Jadi, untuk saat ini beginilah "rumah sepakbola" kita. Silahkan menilai sendiri bagaimana kedepannya.

Bangkitlah sepakbola Indonesia!
@aditchenko