Pages

Sunday, July 1, 2012

Preview Final Euro 2012: Spanyol vs Italia

The Final

Setelah selama hampir sebulan disuguhi atraksi fenomenal dari tim-tim terbaik benua biru, tibalah saat yang paling ditunggu-tunggu para pecinta sepakbola, termasuk kita yang dari timur jauh untuk menyaksikan laga final Piala Eropa 2012 antara Spanyol melawan Italia. Dalam lima pertemuan terakhir termasuk di babak penyisihan yang berkesudahan 1-1, kedua tim sama-sama memenangi satu laga, dan dua laga sisanya berakhir imbang. Hal ini menyimpulkan tipisnya disparitas kekuatan kedua tim.

Perjalanan mengagumkan si biru
Sekitar tujuh bulan lalu, sepakbola Italia diguncang berita menggemparkan. Seorang penyerang dari klub AC Milan, Antonio Cassano rubuh di bandara Malpensa beberapa jam setelah Milan menahan imbang AS Roma pada lanjutan kompetisi seri a Italia. Cassano didiagnosa mengalami serangan stroke yang hampir merenggut nyawanya.

Saat itu fantanito padahal sedang berada dalam permainan terbaik sepanjang karirnya dengan memimpin perolehan assist dan menjadi duet sehati bagi Zlatan Ibrahimovic di Milan. Fantanito juga menjadi pilihan utama pelatih Cesare Prandelli di tim nasional Italia untuk menjalani babak kualifikasi Euro 2012. Segenap pemain dan pengurus Milan dilanda keguncangan hebat, keguncangan yang kemudian membuat Milan mengambil langkah cepat dengan mencoba membeli Carlos Tevez dari Manchester City, walaupun belakangan transfer tersebut urung terwujud.

Presiden FIGC, federasi sepakbola Italia, Giancarlo Abete menjenguk Cassano seraya berkata “Lupakan Milan, lupakan Euro. Pentingkan kesembuhanmu.” Fantanito sudah tidak lagi diharapkan untuk menjadi ujung tombak la nazionale. Ia menyusul Giuseppe Rossi, yang telah lebih dulu mengalami cedera parah yang memaksanya absen setahun lebih.

Cesare Prandelli jelas sangat pusing dengan fakta bahwa dua penggedor utamanya tidak dapat dia gunakan dalam wajah baru tim nasional yang telah dia kampanyekan. Prandelli sejak awal menegaskan akan meninggalkan cara lama catenaccio dalam pendekatan permainan timnas. Bahkan Prandelli dengan gamblang pernah berkata bahwa ia ingin meniru permainan tiki-taka Spanyol yang mengandalkan penguasaan bola yang dominan untuk mengalahkan lawan.

Cassano dan Rossi sejatinya adalah kepingan penting pola baru ini. Kedua pemain ini bukanlah penyerang atletis yang mampu mengintimidasi bek lawan secara fisik layaknya penyerang-penyerang konvensional. Prandelli berupaya menggunakan false nine dalam strateginya, yang membuat Italia bermain lebih dalam dan mengalir.

Namun siapa sangka salah satu dari kedua attacante, yaitu Cassano hari ini akan bersiap untuk menghadapi partai final di kejuaraan yang sebenarnya nyaris tidak bisa dia ikuti. Keteguhan dan kesabaran sang pemain dalam menghadapi sakitnya adalah kunci kesembuhan, ditambah dari dukungan luar biasa dari berbagai pihak. Demikian dengan Prandelli, dia tetap menaruh keyakinan pada pemain bengal ini meskipun baru menjalani comeback-nya, yang tentu saja belum kembali ke bentuk terbaiknya.

Kepercayaan Prandelli tidaklah salah. Cassano menjadi salah satu aktor penting bagi perjalanan brilian gli azzuri walaupun belum mencapai match fitness sempurna. Selain selalu menjadi starer, Cassano mencetak satu gol ke gawang Republik Irlandia dan sebuah assist untuk Mario Balotelli pada partai melawan Jerman di semifinal. Cassano jugalah yang membuat Balotelli merasa telah menemukan teman sehati. Balotelli yang semula diplot menjadi pilihan setelah Rossi, kini membuktikan siapa dirinya kepada para pengkritik. Sifat yang mirip antara keduanya membuat Balotelli merasa nyaman dan imbasnya adalah penampilan terbaiknya saat melawan Jerman.

Secara tim, performa Italia kali ini dianggap sebagai salah satu yang terbaik di turnamen. Mereka bermain dengan hati, begitulah anggapan banyak pecinta sepakbola. Ucapan dari Arrigo Sacchi benar-benar terbukti. “For Italians, football is not a game. It’s a reflection of society. So football has to be sufferance, sacrifice, craftiness and improvisation. Italians have brought football to their style of life.” Begitulah gambaran permainan tim nasional mereka di Euro 2012 ini. Mereka adalah tim yang bermain dengan hati dan memberikan segalanya di lapangan. Mentalitas yang juga mereka bawa ke kehidupan sehari-hari mereka dalam menghadapi krisis ekonomi yang menjerat, juga mentalitas yang sama yang membawa mereka empat kali meraih Piala Dunia.
 
Perjalanan berliku Italia menuju final Euro 2012 bisa dikatakan sebuah perjalanan epik, sama seperti perjalanan Chelsea menjuarai Liga Champions baru-baru ini. Mereka melaju dengan berbagai kesulitan dan kejanggalan. Publik juga tidak menempatkan mereka sebagai unggulan utama, seolah lupa bahwa tim ini telah memenangi empat Piala Dunia dan sebuah Piala Eropa. 

Banyak orang yang memuja Andrea Pirlo seolah pemain ini adalah anak kemarin sore yang tiba-tiba muncul mengejutkan banyak orang. Italia selalu menjadi tim underdog sejak babak knock-out, namun mampu menjawab segala keraguan publik. Publik juga seolah lupa bahwa Pirlo juga bermain seperti sekarang ketika membawa Italia menjuarai Piala Dunia 2006. Hanya saja di 2006 gli azzuri masih diperkuat pemain-pemain berpengaruh lainnya seperti Francesco Totti, Alessandro Del Piero dan Fabio Cannavaro, sehingga atensi media dan lawan terbagi kepada pemain-pemain tersebut dan saat itu Fabio Cannavaro didaulat menjadi pemain paling berpengaruh dalam kemenangan Italia dengan ganjaran Ballon d’or.

Tidak banyak yang membahas peran para partner Pirlo di tengah. Mereka melakukan berbagai dirty jobs demi membuat sang regista nyaman mengorkestra permainan. Jika di 2006 Pirlo memiliki Gennaro Gattuso, kini Pirlo memiliki duo Claudio Marchisio dan Daniele De Rossi sebagai dua pelindung sang deep-lying playmaker seperti halnya strategi yang dikembangkan Antonio Conte di Juventus, dimana tugas tersebut diemban oleh Marchisio dan Arturo Vidal.

De Rossi, walaupun bagian dari skuad 2006, juga dapat dianggap sebagai pemain kunci tim ini. Pemain yang selalu memberikan 110% dari setiap penampilannya mengungkapkan bahwa dia selalu memperlakukan setiap pertandingan dengan sama, yaitu sikap totalitas. “Saya memperlakukan partai melawan Jerman di semifinal besok, sama pentingnya dengan partai Roma melawan Triestina di Coppa Italia beberapa waktu lalu.” Demikian ungkap De Rossi dalam wawancaranya sebelum partai melawan Jerman.

De Rossi melalui turnamen ini nyaris tanpa cela. Dia rela bermain dengan peran apapun yang diinstruksikan pelatih. Kemampuan defence-nya yang baik membuatnya dua kali menempati posisi sentral pertahanan dan menambah panjang daftar pemain yang mampu berposisi sebagai false defender sebagai tuntutan sepakbola modern yang meninggalkan peran rigid dari para pemain di lapangan. Sejauh ini, tidak ada De Rossi yang menyikut Brian McBride seperti di 2006, atau De Rossi yang melakukan diving epic pada partai melawan Paraguay di Piala Dunia 2010.


Apakah Spanyol tim yang membosankan?
Sementara Spanyol sedari awal turnamen sudah difavoritkan untuk mampu mempertahankan gelar mereka, sekaligus mencetak hattrick kemenangan di kejuaraan besar secara beruntun. Filosofi tiki-taka yang mereka kembangakan telah menyumbangkan dua gelar turnamen besar terakhir yang mereka ikuti.

Sebagai bangsa yang sukses menjadi tujuan wisata sepakbola, Spanyol menularkan demam sepakbola klub-klub mereka kepada tim nasional. Sebelum raihan Euro 2008, publik menganggap Spanyol hanyalah tim yang mampu bermain cantik namun tidak mampu meraih gelar. Kerumitan sosio-kultural yang membagi negara ini kedalam suku castillan, catalonia, aragon dan basque ini menjadikan potensi disintegrasi dalam tim lebih besar. Namun sejak 2008, mereka berubah menjadi tim juara dari sekedar tim yang bermain cantik.

Tiki-taka Spanyol menghasilkan minimal 9 passing dalam satu tembakan ke gawang. Sistem yang mulai dibilang membosankan oleh berbagai pihak ini adalah pengembangan dari totaal voetbaal karya Rinus Michels di tahun 1970an. Sistem ini mengharuskan rotasi posisi pemain yang bahkan lebih banyak menghasilkan pemain palsu. Tidak ada bomber bertipe poacher yang kuat di udara dan mampu berduel dengan bek lawan, sebagai gantinya mereka menggunakan false nine yang bermain lebih kedalam dan berupaya menarik bek lawan meninggalkan posnya. Inilah jawaban mengapa duo Fernando, Torres dan Llorente jarang masuk skuad.  

“Pemain palsu” lainnya dalam tim ini adalah Gerard Pique dan Sergio Busquets. Kedua pemain ini sejatinya memiliki kemampuan passing dan control permainan yang bagus. Tuntutan tiki-taka membuat mereka bermain jauh ke belakang demi lancarnya aliran bola di wilayah sepertiga pertama lapangan.

Tiki-taka ini dikombinasikan dengan elemen-elemen kejutan yang bisa dipercikkan oleh Xabi Alonso. Kemampuan passing jarak jauh dan eksekusi bola mati pemain asal Basque ini setara dengan Pirlo. Produktivitas gelandang tengah ini jugalah yang turut membawa Spanyol mengatasi perlawanan Prancis di babak perempat final. Elemen kejutan lainnya yang bisa menjadi senjata Del Bosque adalah duo Fernando, yaitu Torres dan Llorente serta Jesus Navas. Ketiga pemain yang masih miskin minute play dan minim argo gol ini seolah hanya diperlukan di saat genting saat skema tiki-taka tidak kunjung melumpuhkan lawan.

Jadilah saksi sejarah
Menarik ditunggu duel tim yang sejatinya memang terbaik di Eropa saat ini. Duel dua negara yang sedang mengalami krisis ekonomi dan berupaya menjadikan sepakbola sebagai obat dari kesusahan yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua tim inilah yang menyajikan partai paling seru di babak penyisihan Euro 2012. Namun jika dilihat dari grafik, kelelahan tim Spanyol, yang mayoritas pemainnya memperkuat Barcelona dan Real Madrid yang bermain di lebih dari 50 pertandingan membuat mereka perlu mewaspadai faktor keletihan yang membuat grafik permainan tim ini terkesan kian menurun dari awal hingga ke partai puncak.

Sementara Italia yang mengalami start lebih lamban daripada Spanyol, kian menampilkan penampilan yang menanjak dari babak awal hingga final. Pencapaian epik Italia hingga ke final saat ini ditengah berbagai masalah yang mereka hadapi bahkan sudah membuat mereka seperti menjadi jawara turnamen ini bahkan sebelum bertanding. Pemenang pertandingan ini adalah tim yang mampu menjaga intensitas permainannya, lebih disiplin di belakang dan mampu memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk menciptakan gol. Kedua tim ini memiliki ketiga faktor tersebut. Pertandingan paling seru jilid dua siap mentas. Jadilah saksi sejarah.

Italia dikabarkan tidak akan kembali menggunakan skema 3 bek seperti di pertemuan mereka di babak penyisihan. Formasi diamond kesukaan Prandelli akan beradu dengan formasi 4-6-0 Vicente Del Bosque yang menurut pandangan saya sama sekali tidak membosankan, namun membunuh lawan pelan-pelan.

Apapun hasilnya, kedua tim ini telah berhasil menjawab slogan turnamen ini. Siapakah diantara dua penjaga gawang terbaik dunia, Iker Cassilas dan Gianluigi Buffon yang akhirnya akan mengangkat trofi Henry Delaunay? Let’s create history together.

No comments:

Post a Comment