Pages

Tuesday, December 1, 2015

Ketika Paolo Rossi Berbaju Merah-Hitam

Paolo Rossi dalam Derby Della Madonnina, Photo: Wikipedia

Paolo Rossi dianggap sebagai salah satu penyerang terbaik yang pernah dilahirkan Italia. Berbicara karir klub, Rossi identik dengan Juventus, di mana ia berhasil membawa klub ini meraih beberapa trofi bergengsi. Selain Juventus, Vicenza juga menjadi klub yang kerap diasosiasikan dengannya karena di klub inilah ia bermain sebagai penyerang tengah untuk kali pertama.

Namun Rossi juga pernah bermain di Milan, yang secara historis merupakan rival dari Si Nyonya tua. Tidak banyak yang mengingat kisah Rossi saat berlabuh di San Siro, tepatnya tahun 1985, atau tiga puluh tahun silam untuk berbaju merah-hitam khas Milan.

Milan mengeluarkan 200 ribu lira untuk mendatangkannya, namun sayangnya kepindahan itu tidak menghadirkan cerita indah. Rossi yang kala itu berusia 29 tahun sudah melewati puncak permainannya, sementara Milan tengah mengalami fase kemunduran pasca pensiunnya sang legenda, Gianni Rivera tahun 1979. Pada periode ini, dua kali Rossoneri terdegradasi ke Seri B. Pertama, tahun 1980 karena terseret skandal judi Totonero dan yang kedua tahun 1982 akibat performa buruk.

Meskipun dapat segera kembali ke Seri A, namun status Milan saat itu tidak lebih dari kesebelasan medioker. Fulvio Collovati, bek lulusan akademi Milan yang juga menjadi anggota timnas Italia pemenang Piala Dunia 1982 bahkan memilih hengkang ke Inter pada tahun yang sama.

Rossi menghuni lini depan Rossoneri bersama Pietro Paolo Virdis dan penyerang asal Inggris, Mark Hateley. Di kesebelasan ini sebetulnya sudah bercokol pula nama-nama yang kelak menjadi tulang punggung Milan pada era selanjutnya, seperti Franco Baresi, Alessandro Costacurta, Alberigo Evani dan Paolo Maldini. Bagi Maldini, saat itu adalah musim debutnya memperkuat tim senior Milan.

Di bawah arahan pelatih yang juga legenda kesebelasan, Nils Liedholm, Rossi kerap dipasang bersama Hateley dan Virdis. Baik Hateley maupun Virdis memang cukup produktif dengan torehan masing-masing delapan dan enam gol pada musim tersebut. Rossi sendiri hanya mencetak dua gol saja, sebuah torehan yang tentu saja jauh dari kata memuaskan.

Meski demikian, terdapat sebuah momen yang patut diingat dari Rossi. Kebetulan bagi Milan, momen tersebut amatlah spesial, yaitu Derby Della Madonnina melawan rival besar lainnya, yaitu FC Internazionale pada 1 Desember 1985.

Sebelum pertandingan, suporter Milan mengkritik performa sang penyerang seraya bertanya “Di manakah Rossi yang menjadi bintang Piala Dunia?” imbas dari kemandulan Rossi di depan gawang lawan hingga sebelum derby berlangsung.

Namun tak disangka, Rossi yang masih dipercaya Liedholm, menjawabnya hanya lima menit setelah merumput di laga derby. Setelah bergerak diagonal dari sayap ke kotak penalti, Rossi menerima umpan tarik di posisi yang bebas. Tanpa ampun, penyerang kidal ini menjebol gawang Walter Zenga untuk membawa Milan unggul 1-0.

Inter memberi perlawanan sengit, hingga berhasil membalikkan kedudukan melalui Alessandro Altobelli dan Liam Brady. Namun ketika laga menyisakan satu menit, Rossi berhasil menyamakan kedudukan lewat gol yang mengingatkan publik pada gol ketiganya ke gawang Brasil di Piala Dunia 1982.

Sebuah clearance yang kurang sempurna dari bek Inter membuat bola jatuh di kaki gelandang Milan, Agustino Di Bartelomei. Tendangan keras Di Bartelomei mengarah kepada Rossi, yang berdiri membelakangi gawang. Bukannya menghindari bola, Rossi malah mengontrolnya lalu berbalik badan kemudian menembak. Gol yang “sangat Rossi” tercipta, dan Milan berhasil selamat dari kekalahan.

Ironisnya, dua gol tersebut menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir dipersembahkan Rossi untuk Milan, karena hingga akhir musim, penyerang yang pernah tersangkut skandal ini tidak kunjung menambah rekening golnya dan Milan menempati posisi ke-7. Pada akhir musim, Rossi hijrah ke Verona untuk menutup karir sepakbolanya.

Satu hal lagi yang lebih ironis, sepeninggal Rossi, datanglah seorang pengusaha bernama Silvio Berlusconi yang membeli Milan. Dan seperti diketahui, kedatangan Berlusconi mengawali sebuah era baru bagi kesebelasan ini. Memang amat disayangkan jika pemain dengan reputasi setinggi Rossi gagal menjadi bagian dari kesuksesan Milan di bawah rezim Berlusconi.

Namun demikian, Rossi yang kini menjadi salah satu pundit sepakbola Italia masih menyebut-nyebut nama dari mantan klubnya ini. Misalnya saat bursa transfer musim panas ini resmi ditutup, Rossi menyebut Milan tidak memiliki ambisi untuk memenangi scudetto. Komentar ini diberikan menyusul kegagalan Milan mendatangkan pemain berkualitas untuk membenahi lini tengah. Sebuah kisah yang telah tertulis, bagaimanapun baik dan buruknya, entah singkat atau lama, tetaplah tidak bisa terhapus.

Satu setengah dekade kemudian, kisah Rossi ini diikuti oleh seorang penyerang bernama Gianni Comandini. Penyerang kelahiran 1977 ini bermain di Milan pada musim 2000-2001. Seperti halnya Rossi, Comandini juga sempat bermain di Vicenza. Kedatangannya ke Milan disambut dengan harapan tinggi seperti Rossi, karena musim sebelumnya, Commandini berhasil mencetak 20 gol dari 34 pertandingannya di ajang Seri B.

Sayangnya, Comandini juga gagal memenuhi ekspektasi. Ia kalah bersaing dengan Andriy Shevchenko, Oliver Bierhoff dan bahkan Jose Mari. Mengikuti jejak Rossi, Commandini juga hanya berhasil mencetak dua gol, dan secara kebetulan juga dicetak ke gawang Inter pada ajang Derby Della Madonnina.

Baik Rossi maupun Comandini mungkin tidak terlalu diingat oleh Milanisti karena selain jumlah gol yang minim, mereka juga tidak memberikan kontribusi berupa trofi. Namun setidaknya, keduanya akan selalu mendapat tempat tersendiri karena keberhasilan mereka mencetak dua gol ke gawang klub yang memang menjadi rival besar.

No comments:

Post a Comment