Pages

Friday, July 15, 2016

Sebuah Apresiasi Sederhana Untuk Mereka Yang Luar Biasa



Seiring berakhirnya Piala Eropa 2016, saya teringat momen yang sama pada tahun 2012, akan saya kenang dengan istimewa. Saya ingin menuliskan sebuah catatan sederhana yang menandai persinggahan saya yang sempat begitu intens dengan dunia sepak bola. Saat masih terpikir soal ini, salah seorang penulis sepak bola yang lebih senior, Zen RS juga baru saja menuliskan catatan tentang kiprahnya selama 12 tahun menulis sepak bola di akun Facebook-nya (yang kemudian dituangkan sebagai editorial di web Pandit Football).

Pada tahun 2012 itulah kali pertama saya mulai berusaha menulis sepak bola. Tujuan saya menulis awalnya adalah untuk mencari teman baru. Tepatnya, teman yang bisa diajak berbicara tidak sekadar skor pertandingan dan siapa pencetak gol dalam pertandingan sepak bola. Namun pada perkembangannya, saya juga menulis untuk berbagi informasi, tentunya informasi berbasis data, fakta atau pengalaman menjalani langsung. Dalam menuangkannya, saya juga terus belajar memperhatikan kaidah tata bahasa yang benar. 

Sebetulnya sebelum Piala Eropa 2012 pun saya sudah mulai senang menulis sepak bola. Mundur agak jauh, saya pernah menulis beberapa coretan sepak bola saat masih duduk di bangku SMA, tepatnya tahun 1998. Kegiatan ini saya lakukan sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan saya karena gagal menjadi pesepak bola profesional (FYI, selepas lulus SMP saya sempat meminta didaftarkan ke Diklat Ragunan, dan tentu saja ditolak mentah-mentah oleh orang tua). Tulisan pertama saya saat itu adalah tentang Christian Vieri, pemain yang dulu saya idolakan sebelum Andriy Shevchenko. Saya menulisnya dengan tulisan tangan di buku diary. :)

Tapi memang tahun 2012 itulah keinginan untuk menulis sepak bola timbul kembali, seiring semakin banyaknya ide-ide dan berbagai kegelisahan yang sulit tersampaikan di dunia nyata. Saya lalu membuat blog ini, yang tentunya menjadi milestone pertama saya di dunia penulisan sepak bola (yha!). Blog yang dulunya sering berganti nama sebelum saya mantap meminjam istilah The Classic Number 10 untuk menjadi judul blog ini.

Mengetahui kebiasaan saya dalam ngeblog sepak bola, Hilda, seorang teman baik di kantor lama, memberitahu saya untuk mem-follow akun Twitter dari seorang penulis sepak bola bernama Pangeran Siahaan. Ini merupakan langkah awal. Dari tulisan-tulisan Pangeran, saya kemudian mengetahui penulis lain seperti Andibachtiar Yusuf di blognya yang berjulul Larger Than Life yang begitu naratif dan mengalir, lalu ada tulisan yang begitu enak dibaca dan kaya data dari Hedi Novianto di blognya berjudul Sekadar Blog, selanjutnya, beberapa catatan sepak bola Mas Zen yang begitu sastrawi dan bernas di blog Pejalan Jauh. Empat penulis inilah yang begitu menginspirasi saya pada awal-awal bergelut di dunia penulisan sepak bola. 

Ternyata dari situlah awal terbukanya kesempatan yang lebih luas. Saya lalu menghubungi Pangeran dan mengirimkan tulisan saya tentang sepak bola Indonesia ke blognya yang berjudul Indonesian Football Diary. 

Saya beruntung karena penulis yang juga penggemar kesebelasan Manchester United, FC Sankt Pauli dan PSMS Medan ini berbaik hati dan memuat tulisan saya, dan bahkan mengundang saya untuk mengisi proyek podcast perdananya (cmiiw) di Indonesian Football Diary untuk berbicara soal sepak bola Indonesia saat konflik ISL-IPL sedang hangat-hangatnya. Tentu saja sebuah apresiasi yang betul-betul meningkatkan moral seorang penulis pemula, dan saya amat berterima kasih kepadanya. Ini menandai milestone saya selanjutnya.

Dengan semangat yang masih menggebu-gebu, saya makin rajin mengisi blog pribadi, membagikan tautannya di akun Twitter kepada beberapa teman yang rajin membaca tulisan sepak bola seperti Saleh, penggemar Manchester United dan timnas Inggris yang juga ikut dalam podcast Indonesian Football Diary, Anton Congkreng si Juventino jenaka yang punya hobi kekinian yaitu lari dari kenyataan 42k, dan Toni Hadi yang begitu passionate dengan Manchester United, dunia perpajakan dan cewek-cewek kantoran yang hobi lembur, serta Dodin Anshorudin yang makin hari makin menawan di Menawan FC, juga beberapa kawan di kantor lama. Oh iya, saya juga berterimakasih kepada Mas Wolga dari Gilasepakbola yang berbaik hati me-Retweet tulisan-tulisan saya dan sering mengajak diskusi via Twitter. Berkat dorongan dari mereka pula, saya mulai pede mengirimkan tulisan-tulisan ke media yang lebih besar. Blog di media Beritasatu dan media Kompasiana saat itu menjadi wadah dalam menulis. 

Lalu kemudian datanglah ajang Piala Eropa 2012. Saya berusaha mengikuti dengan menuliskan catatan-catatan pertandingan, masih yang ala kadarnya. Namun dari coret-coretan ala kadarnya itu, siapa sangka terbuka kembali berbagai 'pintu'.

'Teman sepak bola' saya pun semakin bertambah, hingga saya kemudian mengenal mereka yang berada di luar Jakarta. Dalam momentum baik itu, Pangeran kembali merekomendasikan saya untuk menjadi penulis di proyek baru bernama Bolatotal. Gunther Tampubolon, pemilik Bolatotal saat itu kemudian meminta saya untuk mengirimkan contoh tulisan yang temanya adalah pengaruh kedatangan Robin Van Persie dari Arsenal ke Manchester United. Waduh, saya memang dikelilingi pendukung Manchester United :)

Selanjutnya, di Bolatotal saya diminta untuk menulis topik yang spesifik tentang industri sepak bola. Kegemaran menulis tentang industri ini berawal ketika saya sering membaca tulisan dari blogger ternama asal Inggris, Swiss Ramble, dan juga setelah membaca buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski. 

Dari Bolatotal jugalah saya kemudian kenal dengan para penulis-penulis ciamik lain dalam 'formasi awal' seperti Marini Saragih, penulis wanita yang kekayaan literasinya amat mencengangkan, juga cara bertuturnya yang begitu puitis. Lalu ada Ekky Rezky, penggemar cewek-cewek Jepang dan Korea yang begitu rajin mengikuti begitu banyak kompetisi sepak bola, dari Bundesliga, Seri A, hingga J-League dan Chinese Super League. Selanjutnya ada Mahir Pradana, seorang novelis yang kini bekerja sebagai dosen, yang begitu fasih berbicara sepak bola Spanyol. Kemudian ada Angga Wirastomo, seorang pecinta kuliner olahraga rugby yang begitu ahli dalam urusan produk olahraga. Tidak lupa, ada Ranaditya, seorang Gooner realis (?) pecinta manga yang analisanya begitu cerdas tepat sasaran, Eddward Samadyo Kennedy "Panjul" yang begitu filosofis, dan juga Andica Haradi yang begitu menggebu-gebu jika membicarakan timnas Indonesia. 

Selain nama-nama tadi, banyak pula penulis-penulis lain yang kemudian turut meramaikan dan mewarnai Bolatotal dengan karya-karya yang begitu liar dan nyaman dengan gaya tulisan masing-masing. Membebaskan pikiran layaknya kebebasan seorang Juan Roman Riquelme dalam berekspresi di lapangan. Maaf jika ada yang terlewat dan terlupa, tapi pastinya tidak mengurangi rasa hormat. Di Bolatotal juga saya sempat beberapa kali diundang mengisi program podcast yang diarahkan oleh Mas Dovid yang baik. Sesuatu yang sebelumnya sangat tak terbayangkan.

Selain di Bolatotal, saya juga amat tersanjung ketika menerima ajakan dari anak-anak prodigy dari kota Yogyakarta untuk membentuk Football Fandom. Media Twitter pula yang menjadi penghubung kami hingga saling membaca tulisan masing-masing yang berujung ajakan untuk berkolaborasi. Bersama 'generasi awal' Sirajudin Hasbi, pribadi yang aktif, asertif dan dinamis yang begitu berdedikasi dengan sepak bola nasional, juga calon ketua PSSI di masa mendatang. Lalu ada Yoga Cholandha, sang penyuka film, musik, dan makanan enak yang referensi sepak bolanya begitu kaya, tercermin dari tulisan-tulisannya yang begitu brilian. Juga ada Arsyad Muhammad Fajri “Aad”, seorang insinyur yang khatam sepak bola Jerman sampai ke divisi-divisi bawahnya, kemudian ada Gayuh Adityo dan Galih Satrio, duo ilustrator, arsitek, desainer, kolektor jersey, sekaligus “guru” dalam urusan percintaan hehehe.

Bersama mereka, saya kemudian aktif meramu dan mengisi blog Fandom, juga ikut mengisi e-magazine Fandom yang proses penerbitannya tergantung niat dari para penyusun :), termasuk kemudian mengenal beberapa penulis muda berbahaya lain di lingkaran Fandom. Saya sempat mendatangi markas Fandom di Jogja bersama Anton, dan berterimakasih sekali atas keramahan dan kebaikan hati mereka, terutama kepada Hasbi, Yoga dan Lukman yang bersedia saya tumpangi rumahnya untuk bermalam. Perjalanan kami pun mengalami peningkatan setelah mengikat kontrak dengan media besar Yahoo untuk menjadi kontributor di blog olahraga. Kami mendapatkan kesempatan ini melalui seorang editornya yaitu Arya Perdhana, yang juga teman dari Aad. 

Inilah yang kemudian menjadi milestone selanjutnya.

Dengan kontrak-kontrak yang buat ukuran saya begitu besar ini (bukan semata nilainya, tapi apresiasi dan kepercayaannya), saya makin tergerak untuk membaca bermacam tulisan bertema sepak bola dan juga buku-buku sepak bola. Selain Soccernomics, saya juga kemudian membeli 'buku-buku bacaan wajib penulis sepak bola' seperti Inverting The Pyramid dan Behind The Curtain karya Jonathan Wilson, dan Memahami Dunia Lewat Sepak Bola karya Franklin Foer. Selain itu, saya juga senang membaca trilogi catatan sepak bola karya Sindhunata. Untuk media daring, sampai sekarang saya masih suka membaca situs These Football Times, Futbolgrad, FC Business, dan sebagainya.

Sembari bekerja kantoran, dunia tulis-menulis sepak bola saya terus geluti dengan intens sepanjang tahun 2013 hingga akhir tahun 2014, dengan begitu banyak suka dan duka. Begadang dan menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Juga beberapa hal menyebalkan terkait komitmen yang tidak ditepati. Saya coba telan semuanya, baik yang konstruktif hingga yang destruktif sekali pun, ataupun yang menghibur seperti saat membaca kolom komentar. 

Menulis bukan hanya mengajari saya untuk lebih telaten membaca, menganalisa data dan mengecek fakta, tetapi juga untuk menarik kesimpulan untuk selanjutnya menuangkan dalam bentuk bangunan tulisan yang terangkai cantik dan berisi dalam satu kesatuan. Menulis sepak bola juga memperhatikan atribusi, menakar 'bumbu-bumbu penyedap', 'menjahit' paragraf demi paragraf dengan sistematis serta membangun opini yang tajam. Bahkan sampai ke persoalan menemukan punchline dan menentukan judul tulisan. Dan terlepas dari kepuasan batin yang didapat dari pergumulan-pergumulan melelahkan tadi, menulis juga mengajari saya untuk menerima kritik, dari yang sehalus gulali hingga yang sepedas cabe setan.

Tahun 2014, milestone kembali saya capai. Saya diajak menulis buku sepak bola bersama Mahir, Aad, Ekky, Angga dan Galih. Kami mengikat kontrak dengan dua penerbit, yaitu Gagas Media dengan Resita Febriarti sebagai editor dan Salaris Publisher dengan Arifun Natik sebagai editor dalam rangka menyambut Piala Dunia 2014. Tidak peduli seberapa hasil penjualannya, tetap saja pengalaman ini begitu bernilai. Apalagi saat mempromosikan buku, saya dan Aad sempat diundang untuk melakukan siaran di Stasiun Radio RRI dipandu Si Mas penyiar kocak dan ramah yang, mohon maaf, saya lupa namanya. :)

Di luar itu semua, saya juga beruntung bisa berinteraksi baik langsung maupun virtual dengan para penulis ciamik dan penggiat sepak bola berpengaruh lainnya yang jumlahnya cukup banyak, dan tanpa mengurangi rasa hormat, akan terlalu panjang jika disebutkan satu persatu. Mungkin bisa saya ceritakan lebih detil tentang mereka dalam kesempatan lain.

Sepak bola memang membawa saya ke mana-mana, dari lapangan becek dekat rumah, studio radio, hingga stadion megah. Melalui orang-orang yang saya kenal tadi, saya diperlihatkan, baik langsung maupun tidak langsung, berbagai realita menarik yang bersinggungan dengan dunia si kulit bundar, termasuk sisi lain (dan sisi gelap) persepak bolaan nasional. Pengalaman yang betul-betul unik.

Bagi orang-orang yang saya sebut namanya di atas (dan juga yang mungkin saya lupa sebut tapi tetap memiliki kontribusi luar biasa di dunia sepak bola), membicarakan sepak bola tidak berhenti saat wasit meniupkan peluit tanda berakhirnya pertandingan, namun sepak bola bisa dibedah dari sudut pandang mana pun. Sepak bola bukan sekadar berapa skor dan siapa pencetak gol, tidak pula sebatas saling mencela klub rival. Sepak bola pun berhubungan erat dengan segala cabang ilmu pengetahuan, dunia pendidikan hingga dunia hiburan, bahkan menyentuh kearifan lokal seperti klenik. Sepak bola juga memiliki nilai yang amat universal yang tentunya bersinggungan nyaris dengan seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari. 

Orang-orang seperti inilah yang memang saya cari dari dulu. Dari perkenalan-perkenalan maya ini, sebagian berlanjut menjadi teman hingga sekarang di dunia nyata. Dan ngobrolnya udah gak mesti soal sepak bola.

Pada pergelaran Piala Eropa tahun 2016 ini, saya malah tidak pernah menulis sekali pun. Rasanya sudah terlalu banyak kesibukan kantor dan rumah yang begitu menyita waktu. Dan rasanya tanpa saya sadari, ada prioritas yang mulai bergeser. Selepas menulis buku pada tahun 2014, kegiatan menulis sepak bola saya sudah jauh berkurang. Bolatotal sedang hiatus (?), Yahoo Indonesia sudah tidak ada, dan saya sudah tidak aktif lagi di Fandom. Meski demikian, saya masih sesekali mengirim tulisan ke Fandom yang kini sudah diisi 'generasi baru' yang semakin menjanjikan, Pandit Football yang terus berkibar di bawah arahan Mas Zen atau Four Four Two Indonesia, yang semakin menarik sejak bergabungnya Ekky. Saya senang dan bangga bukan main karena sempat (dan mudah-mudahan masih akan) menjadi bagian dari kalian, bagian dari berkembangnya literasi sepak bola Indonesia, yang mudah-mudahan semakin hari terus produktif menghasilkan karya-karya berkualitas, syukur-syukur bermanfaat bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Yah, walaupun tidak pernah ada bukti bahwa sebuah negara yang penulis sepak bolanya banyak akan lebih besar peluangnya dalam memenangi Piala Dunia. :)

Tentunya, saya masih menyimpan keinginan untuk terus menulis, karena memang seperti yang sudah saya bilang, tujuan utama saya dalam menulis adalah berbagi informasi dan menambah teman. Dengan menulis, buah pikiran ini juga akan tertuang menandai sebuah zaman, yang mungkin saja dapat dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya. 

Menulis sepak bola buat saya bukanlah untuk 'mengepulkan dapur' dan membayar tagihan-tagihan, walaupun harus diakui, rezeki yang mengalir hasil menulis memang cukup membantu menyambung hidup. Betul sekali kata orang, bahwa dibayar dari mengerjakan hobi adalah salah satu perasaan terbaik yang pernah ada. Namun untuk jadi pegangan hidup ya tidak juga, karena saya memilih berjuang di bidang lain saja. Biarkan sepak bola tetap di tempatnya, yaitu sebagai hobi dan hiburan. Sebagai teman menghabiskan akhir pekan.

Akhirnya, saya akan mencoba terus merawat blog ini jika memang belum terbuka kesempatan menulis lagi di media yang lebih besar. Toh dari blog inilah berawalnya segala hal yang saya tulis di atas.

PS: Mohon maaf saya tidak memberi link dari nama-nama orang, blog atau website yang saya jadikan rujukan. Karena itulah ada yang namanya mbah Google :)

Thursday, June 9, 2016

Italia Dengan Segala Keterbatasannya Di Euro 2016

 
Timnas Italia. Foto: Getty Images





Sudah sejak seminggu lalu pelatih Antonio Conte telah mengumumkan skuat timnas Italia. Banyak yang menyebut bahwa ini adalah salah satu skuat paling minim talenta yang pernah dibawa Gli Azzurri ke sebuah turnamen besar, dan karena alasan itu, Italia hanya pantas dipandang sebagai kuda hitam, bukan lagi unggulan. Apakah saya sependapat? Bisa ya dan tidak. 

Jika dikatakan 23 pemain yang dipanggil Conte begitu minim talenta dan nama besar, ya betul juga. Selain Buffon dan trio BBC (Barzagli-Bonucci-Chiellini), praktis tidak ada nama pemain-pemain Italia yang pantas muncul setidaknya sebagai 20 pemain terbaik dunia saat ini. Sebetulnya Marco Verratti dan Claudio Marchisio boleh jadi pantas masuk daftar, tetapi sayangnya mereka menderita cedera.

Hilangnya Verratti dan Marchisio jelas sebuah pukulan besar. Pasalnya, mereka berdua boleh dikata sebagai yang terbaik di posisi gelandang Italia saat ini. Verratti mampu menjadi roh permainan skuat bertabur bintang Paris SG, sementara Marchisio memotori kebangkitan Juventus sejak putaran kedua kompetisi Seri A Italia musim ini, sekaligus melepas ketergantungan Juve pada sosok Andrea Pirlo yang telah hengkang ke kompetisi MLS.

Tanpa keduanya, Conte memanggil Daniele De Rossi dan Stefano Sturaro. De Rossi dihadirkan kembali setelah dalam dua tahun terakhir hanya dua kali memperkuat Gli Azzurri untuk mengisi posisi sentral yang ditinggalkan Verratti, sementara Sturaro disiapkan sebagai pelapis Thiago Motta, Marco Parolo dan Alessandro Florenzi. Padahal untuk memercikkan kreativitas, Conte masih bisa memanggil Giacomo Bonaventura, Franco Vazquez atau Jorginho, yang musim ini begitu memukau bersama Milan, Palermo dan Napoli, atau bahkan memanggil kembali Pirlo.

Dengan minimnya talenta, kreasi, fantasi sekaligus pengalaman, saya jadi merasa dejavu dengan situasi skuat Italia pada Piala Dunia 2010. Saat itu, pelatih Marcello Lippi begitu percaya diri dengan tidak menyertakan pemain-pemain bertalenta seperti Antonio Cassano dan Fabrizio Miccoli meski saat itu permainan keduanya tengah cemerlang. Lippi memiliki pandangan sendiri, bahwa tidak dipanggilnya Miccoli adalah semata alasan teknis, sementara Cassano ditinggalkan karena memiliki perangai buruk.

Semua sudah tahu bagaimana hasil Italia di Piala Dunia yang diselenggarakan di Afrika Selatan itu. Italia tidak mampu mengalahkan Paraguay, Selandia Baru dan Slowakia, dan akhirnya gagal lolos ke babak 16 besar. Saat itu Italia terlihat begitu sulit menembus lawan yang bermain bertahan. Ketiadaan sosok playmaker kreatif membuat serangan negeri Peninsula begitu monoton dan mudah dipatahkan. 

Bukannya bermaksud mengatakan situasi 2010 sudah pasti berulang di Piala Eropa 2016 ini. Meski tanpa para ‘pemikir’ di lapangan tengah, timnas Italia asuhan Conte jelas masih berpeluang untuk memberi kejutan. Conte begitu menitikberatkan mental dan karakter alih-alih talenta, dan hasilnya Italia ala Conte sulit dikalahkan, meskipun tidak dapat dikatakan impresif karena selama babak kualifikasi, hanya sekali saja mereka berhasil mencetak lebih dari dua gol, yaitu kala bertandang ke Azerbaijan.

Italia tetaplah Italia. Langkah mereka tetap sulit ditebak. Jika diremehkan, biasanya mereka malah tampil impresif. Jika keberangkatan diiringi banyak persoalan, mental juara mereka akan terlecut untuk kemudian mengejutkan banyak orang. Dari dulu, Italia memang selalu melahirkan cerita tersendiri setiap kali memenangkan kejuaraan. Silakan baca sendiri kisah mereka tahun 1930, 1934, 1982 dan 2006.

Tetapi, tradisi ini sepertinya hanya berlaku bagi Italia di ajang Piala Dunia. Justru di ajang Piala Eropa, Italia sepertinya kurang bersinar. Mereka hanya mampu memenangi sebuah trofi, yaitu tahun 1968, dan hanya dua kali meraih posisi runner-up yaitu tahun 2000 dan 2012. Kemenangan tahun 1968 pun didapat pada saat klub-klub asal Italia merajai kompetisi Eropa. Dalam dekade 60an tersebut, duo Milan dan Inter masing-masing memenangi dua gelar Piala Eropa (sekarang Liga Champions). Pemain-pemain yang menghuni skuat Azzurri pun banyak disumbang duo klub kota mode seperti Gianni Rivera, Sandro Mazzola atau Giacinto Facchetti. Keadaan yang begitu jauh berbeda dengan sekarang. 

Kini, skuat Italia dapat dikatakan hanya mengandalkan kokohnya pertahanan. Tetapi faktor ini dapat menjadi pembeda. Seperti pernah diungkapkan pelatih legendaris Sir Alex Ferguson, “Attack wins you games, defence wins you titles”. Dalam pertandingan-pertandingan turnamen yang berjalan ketat, pertahanan yang kuat dapat memberi perbedaan hasil pertandingan. Andai Buffon dan trio BBC terus fit sampai akhir turnamen, Italia jelas memiliki harapan. Conte sudah begitu mengenal mereka dan tahu betul cara memaksimalkan keempatnya.

Hal yang cukup mengkhawatirkan terlihat di barisan gelandang dan penyerang. Selain minimnya sosok kreatif, para gelandang ini juga kurang berpengalaman. Hanya De Rossi dan Candreva yang memiliki catatan caps di atas 30. Sementara di barisan penyerang, tidak ada di antara nama Graziano Pelle, Simone Zaza, Eder, Ciro Immobile dan Lorenzo Insigne yang bahkan sudah mengumpulkan 15 caps! Terhadap fenomena ini, Conte memang tidak banyak pilihan. Italia memang sudah cukup lama tidak memiliki lini depan menakutkan pasca era Christian Vieri, Filippo Inzaghi dan Alex Del Piero. Namun sebetulnya Conte memiliki pilihan untuk memanggil Domenico Berardi, Nicola Sansone atau Andrea Belotti, tiga penyerang muda berbakat demi kepentingan regenerasi.

Akan sampai di mana perjalanan timnas Italia? Sekali lagi, hasil pertandingan sepak bola antara tim mana pun tidaklah dapat ditebak. Sepak bola dapat dikatakan sebagai olahraga yang penuh faktor kejutan. Tim terbaik tidak selalu menang, dan keberadaan pemain-pemain terbaik bukanlah jaminan juara. Kokohnya pertahanan Italia dapat menutupi kelemahan yang mencolok di lini depan. Saya pun akhirnya setuju bahwa dengan segala keterbatasan, Italia setidaknya memiliki kapasitas untuk dapat merepotkan tim-tim unggulan seperti Prancis, Jerman, Spanyol atau.. well.. Inggris.