Pages

Thursday, March 3, 2016

Berharap Pada Dua Maverick

Pada awal musim 2015-16, pelatih Milan Sinisa Mihajlovic menggunakan formasi favoritnya yaitu 4-3-1-2. Ia menempatkan Keisuke Honda di belakang duet penyerang yang diisi Carlos Bacca dan Luiz Adriano. Posisi gelandang bertahan diisi oleh Nigel De Jong yang juga bertindak sebagai kapten, yang dipercaya hingga laga kedua melawan Empoli. Setelah laga derby pertama melawan FC Internazionale, Mihajlovic mulai mempercayakan posisi gelandang kepada kapten utama, Riccardo Montolivo. Hal ini juga didasari performa gemilang Montolivo dalam derby meski laga tersebut berakhir dengan kekalahan Milan.

Formasi 4-3-1-2 masih digunakan Mihajlovic hingga laga pekan ketujuh melawan Napoli. Hasilnya, Milan menderita tambahan dua kekalahan dari Genoa dan Napoli. Sementara laga melawan Palermo dan Udinese berhasil dimenangi dengan skor tipis.

Selepas kekalahan memalukan 0-4 dari Napoli di San Siro yang membuat posisinya terancam, Mihajlovic melakukan beberapa perubahan. Selain memasang Alex untuk menggantikan Cristian Zapata di jantung pertahanan, pelatih berusia 47 tahun ini juga mengganti formasi menjadi 4-3-3. Dalam formasi ini, Giacomo Bonaventura ditempatkan sebagai sayap kiri dengan peran wide playmaker. Di sisi kanan, Alessio Cerci dimainkan sebagai inverted winger mendukung penyerang tengah Bacca.

Dengan formasi 4-3-3 dan dipasangnya Alex, terjadi perbaikan signifikan dalam lini pertahanan. Namun Mihajlovic belum terlalu puas. Masih berada di bawah ancaman pemecatan, ia lalu mengambil keputusan yang amat berani dan dianggap nekat oleh publik, yaitu menurunkan penjaga gawang remaja, Gianluigi Donnarumma menggeser Diego Lopez sejak laga kandang melawan Sassuolo.

Donnarumma ternyata menjadi kepingan puzzle terakhir pertahanan ideal Milan versi Mihajlovic. Di samping memiliki teknik yang mumpuni, ia juga memiliki refleks yang baik dan kematangan yang tentunya amat mengagetkan banyak orang. Donnarumma pun ditahbiskan bukan hanya sebagai kiper masa depan Milan, tapi juga penerus Gianluigi Buffon di timnas Italia.

Namun demikian, Mihajlovic masih belum menemukan formula yang tepat untuk mempertajam serangan Milan. Maklum dalam laga-laga awal tersebut, Milan tercatat sebagai salah satu tim dengan jumlah tembakan ke gawang paling sedikit di Seri A, padahal mereka memiliki seorang predator sekelas Bacca. Dengan konversi pemanfaatan peluang yang tinggi meski tanpa dukungan mumpuni, Bacca masih mampu mencetak lima gol dalam 10 laga.

Setelah menggunakan formasi 4-3-3 sebanyak enam laga dengan hasil tiga kemenangan, dua imbang dan sekali kekalahan atas Juventus, Mihajlovic akhirnya mengganti formasi ke 4-4-2 sejak laga pekan ke-14 melawan Sampdoria. Dengan formasi ini, dua pemain berkarakter playmaker, Bonaventura dan Honda, ditempatkan sebagai gelandang sayap yang mengapit duet Montolivo bersama Juraj Kucka dan Andrea Bertolacci.

Di depan, M’Baye Niang juga mulai dipasang sebagai rekan duet Bacca. Dalam laga perdananya sebagai penyerang kedua, Niang berhasil mencetak dua gol dan sebuah assist saat melawan Sampdoria. Hasil-hasil positif memang belum terlalu terlihat. Milan ditahan imbang Carpi dan Hellas Verona, lalu kalah melawan Bologna pada awal tahun 2016. Posisi Rossoneri pun semakin tertinggal dari para penghuni papan atas. Buntutnya, Mihajlovic mendapat ultimatum pemecatan untuk kali kedua.

Ancaman ini dihadapi Mihajlovic dengan lebih tenang, karena ia sebenarnya telah menemukan formasi dan susunan pemain yang paling ideal. Benar saja, selepas kekalahan dari Bologna, Milan melaui sembilan laga berikutnya tanpa kekalahan, termasuk kemenangan atas Fiorentina dan Inter, juga menahan imbang Roma dan Napoli di kandang mereka. Lima kemenangan dan empat hasil imbang akhirnya kini semakin mendekatkan Milan pada posisi keempat dan kelima, dan bahkan kini hanya berselisih enam angka dari peringkat ketiga yang sementara ini ditempati Fiorentina. Ini masih belum menghitung keberhasilan Rossoneri melaju ke babak final Coppa Italia untuk kali pertama sejak tahun 2003.

Di tengah optimisme ini, terjadilah sebuah situasi tidak menguntungkan, yaitu cederanya Niang. Konyolnya, cedera engkel dan pundak yang diderita penyerang berusia 21 tahun ini tidak didapat di lapangan, melainkan akibat kecelakaan mobil. Meski telah menyumbang delapan gol di semua ajang kompetisi, Niang pun harus menepi setidaknya dalam waktu dua bulan ke depan.

Situasi ini amat disayangkan. Setelah hanya dianggap sebagai penyerang berpotensi, Niang mulai membuktikan bahwa potensi itu memang nyata adanya. Leicester City yang telah memimpin Liga Primer Inggris pun menyatakan minat. Niang merupakan sosok sentral di balik hasil-hasil impresif Milan selama ini. Kecepatan dan skill-nya amat klop dipadukan dengan ketajaman Bacca. Andai saja Niang memiliki konversi peluang yang lebih baik, rasanya ia akan dianggap sebagai penyerang papan atas. Sekarang, sang pemain keturunan Senegal harus menepi, dan Mihajlovic tentu harus memikirkan penggantinya.

Mihajlovic harus memilih satu dari empat pemain. Jeremy Menez kembali setelah hampir setahun mengalami cedera, begitu pula dengan Balotelli dan Adriano. Kevin-Prince Boateng juga kapabel untuk diturunkan sebagai second striker. Tapi masalahnya, tidak ada satu pun dari mereka yang sudah benar-benar fit, karena mereka telah cukup lama absen dari lapangan.

Pilihan yang tidak mudah bagi Mihajlovic, karena jika ingin mempertahankan formasi 4-4-2, Mihajlovic hanya memiliki Balotelli sebagai penyerang paling fit. Namun sebagaimana diketahui, Balotelli sempat membuat Mihajlovic murka dengan tingkah indisiplinernya pada taktik.

Jeremy Menez adalah alternatif lain bagi Mihajlovic. Di samping memiliki skill yang amat tinggi, Menez juga memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda hasil pertandingan. Meski dianggap belum fit, ia mampu mencetak dua gol dalam kemenangan Milan atas Alessandria pada laga semifinal Coppa Italia. Hanya saja, di manakah Menez bermain dalam skema Mihajlovic?

Musim lalu, Menez memang diberi kebebasan penuh oleh pelatih Pippo Inzaghi, sehingga ia menjalani musim terbaik sepanjang karir dengan torehan 16 gol di Seri A meski prestasi Milan melempem. Menez dibolehkan bergerak ke sayap, kotak penalti lawan, hingga dipercaya sebagai eksekutor tendangan penalti.

Namun zaman sudah berbeda. Permainan Milan di bawah Mihajlovic tidaklah sama dengan Inzaghi, dan Mihajlovic bukanlah tipe pelatih yang menyukai pemain egois dan memperlambat tempo permainan seperti Menez. Terlepas dari talentanya yang tidak perlu diragukan, tidak jarang kita menyaksikan keputusan Menez yang terlalu asik menggiring bola dan tidak mengoper kepada kawan yang posisinya lebih bebas. Ditambah lagi tingginya kemungkinan bola direbut lawan yang membuat hilangnya momentum.

Seburuk-buruknya situasi, Milan sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali mundur dan menyerah. Dua maverick inilah yang boleh jadi akan menentukan nasib Milan musim ini. Baik Balotelli maupun Menez semestinya beranggapan bahwa inilah kesempatan terbesar mereka untuk unjuk kemampuan. Adalah tugas mereka untuk menggunakan imajinasi guna membongkar rapatnya penjagaan lawan, dan melepaskan Bacca untuk mencetak gol kemenangan.


Seperti itulah storyline yang diharapkan pada perjalanan Milan di fase terakhir kompetisi ini, bukan?

No comments:

Post a Comment