Pages

Sunday, March 20, 2016

Ahmed Musa Yang Akan Naik Kelas

Ada yang unik dari menggemari liga sepak bola Rusia. Ketika kita membicarakan topik ini, nyaris tidak pernah terdengar nada antusias dari lawan bicara. Seperti seorang cucu yang sudah bosan mendengar cerita yang itu-itu saja dari pengalaman hidup sang kakek. Mimik lawan bicara barulah berubah menjadi antusias ketika pembicaraan beralih ke liga-liga yang lebih mainstream.
 
Liga sepak bola Rusia baru mencuri perhatian dengan malu-malu kucing ketika berita keberminatan klub-klub besar Eropa lain muncul terhadap pemain-pemain mereka. Misalnya ketika penyerang Aleksandr Kokorin yang diisukan diminati oleh Arsenal, atau ketika Seydou Doumbia bergabung dengan Newcastle United dari CSKA Moskow. Atau yang lebih bombastis adalah ketika CSKA menolak tawaran 22 juta euro dari Leicester City untuk seorang Ahmed Musa.

Siapa yang bisa-bisanya menolak uang sebanyak itu untuk penyerang yang belum terbukti di liga top Eropa seperti Ahmed Musa? Presiden CSKA, Yevgeny Giner memiliki jawaban yang sangat logis dan matematis. “Tawaran Leicester memang besar. Namun saya telah berbicara dengan Musa, dan ia setuju untuk setidaknya bertahan sampai akhir musim. Dengannya, kami memiliki peluang besar untuk menjadi juara.”

“Jika menjadi juara dan lolos ke Liga Champions, kami sudah pasti mendapatkan 15 juta euro. Jadi, apakah pantas jika Musa dihargai hanya selisih dari 22 juta dengan 15 juta? Saya rasa tidak. Membiarkannya pergi akan menjadi keputusan yang salah. Lagipula, Musa adalah penyerang bagus yang bisa bermain di tiga posisi. Saya yakin pada musim panas nanti akan ada lebih banyak klub besar yang menawarnya.”

Perkataan Giner memang ada benarnya. Secara ekonomis, presiden yang juga pernah diasosiasikan dengan mafia ini melihat harga Musa bisa lebih dari itu, terlebih jika sang penyerang berusia 23 tahun terus tampil cemerlang. Atau bisa jadi, Musa memang ngeri melihat sejarah mafia dari Giner. Bayangkan saja jika Anda diajak bertemu sosok Giner yang dikelilingi para pengawal sedang merokok cerutu Kuba di sebuah restoran bercahaya temaram.

Keputusan CSKA untuk menahan Musa toh bukan hanya didasari pertimbangan finansial. Bagi pelatih Leonid Slutsky, Musa memang satu-satunya orang yang tepat untuk mengisi pos penyerang tengah, terlepas dari catatan Whoscored yang menyebut bahwa kapten timnas Nigeria ini gagal memanfaatkan sembilan peluang bersih yang didapatnya di Liga Primer Rusia, atau terbanyak di liga. Hengkangnya Doumbia memang otomatis menjadikan Musa pilihan utama mengingat nama-nama tersisa dari barisan penyerang CSKA hanyalah Kiril Panchenko serta dua penyerang muda Carlos Strandberg dan Aaron Olanare. Jika Musa dijual pada bursa transfer musim dingin, CSKA akan sulit mencari penggantinya.

Kemarin (19/3), Musa mencetak dua gol yang membawa CSKA menang 2-0 atas Kuban Krasnodar dan kembali memuncaki klasemen Liga Primer Rusia. Dengan demikian, penyerang yang pernah bermain di kesebelasan asal Belanda, VVV Venlo ini telah mencetak sembilan gol hingga saat ini, semakin mendekati torehan terbanyaknya dalam semusim, yaitu 11 gol pada musim 2012-13

Namun ketajaman Musa memang tidak menghilangkan persoalan di barisan penyerang CSKA. Musa tidak memiliki karakter sebagai penyerang murni. Aset utamanya adalah kecepatan dan skill olah bola, namun Musa bukanlah pembuka ruang. Dengan atribut ini, pencetak dua gol ke gawang Argentina pada perhelatan Piala Dunia 2014 ini lebih cocok bermain sebagai penyerang sayap.

Ketiadaan sosok penyerang tengah murni ternyata menimbulkan persoalan lain. Para gelandang menjadi sulit untuk merangsek ke posisi menguntungkan dan mencetak gol. Musim lalu, gelandang-gelandang CSKA seperti Roman Eremenko dan Bibras Natkho amat terbantu dengan keberadaan sosok Doumbia yang mampu membuka ruang, menahan dan memantulkan bola. Dari Eremenko dan Natkho saja, 25 gol berhasil didapat CSKA. Tanpa kehadiran sosok penyerang tengah murni, baik Eremenko maupun Natkho baru mencetak dua gol di Liga Primer Rusia.

Beban berat jelas berada di pundak seorang Ahmed Musa. Dialah tumpuan serangan sekaligus mesin gol CSKA, hal yang tentu saja akan memudahkan lawan untuk membaca permainannya. Jika tidak mampu menyelesaikan musim dengan performa memuaskan dan bergelar juara, harganya mungkin tidak akan lebih dari 22 juta euro sesuai dengan tawaran Leicester. Tentunya kalkulasi finansial Giner terancam meleset. Namun jika rutin mencetak gol dan memberi gelar bagi CSKA, maka torehan ini akan menjadi tiket bagi Musa untuk 'naik kelas' bermain di liga top Eropa. Bagi CSKA, uang minimal 25 juta euro juga dapat dikantongi sebagai modal untuk mendatangkan penyerang berkualitas yang baru.

Saturday, March 12, 2016

FK Rostov, Dari Rusia Mengikuti Cerita Leicester City


Seperti seekor beruang yang baru terbangun dari tidur panjang musim dingin, Liga Primer Rusia putaran kedua telah bergulir kembali pada pekan lalu. CSKA Moskow yang memimpin klasemen langsung dihadapkan pada partai derby Moskow yang epik menghadapi The Peoples Club, Spartak Moskow. Kemenangan berhasil diraih lewat gol tunggal penyerang yang ‘dipaksakan’, Ahmed Musa.
 
Namun CSKA tidak dapat bersantai di puncak klasemen. Tepat di belakang mereka, ada sebuah kesebelasan yang begitu konsisten membuntuti dengan selisih hanya tiga poin. Kesebelasan ini bukanlah Zenit St. Petersburg, Spartak Moskow, FC Krasnodar atau Lokomotiv Moskow yang menjadi langganan papan atas Liga Primer Rusia, melainkan FK Rostov, kesebelasan yang lebih banyak berkutat di papan bawah dan divisi terbawah, plus masalah finansial.

Rostov telah mengumpulkan 37 poin, dan mereka juga berjarak lima poin dengan peringkat ketiga, Lokomotiv Moskow, dan enam poin dengan peringkat keempat hingga enam yang dihuni FC Krasnodar, Zenit dan Terek Grozny. Prestasi ini jelas jauh melampaui pencapaian musim lalu di mana mereka hanya mengumpulkan 29 poin dalam satu musim kompetisi penuh. Karena alasan-alasan tadi, jadilah pertandingan Rostov melawan CSKA akhir pekan ini sebuah laga big match yang sebelumnya tak pernah diperhitungkan.

Apa yang menjadi kunci kehebatan Rostov sejauh ini?

Jurnalis yang sering mengupas persepak bolaan Rusia, Manuel Veth menggarisbawahi peran pelatih Kurban Berdyev. Pelatih religius yang terbiasa membawa tasbih dalam pertandingan ini adalah sosok sarat pengalaman yang sukses membawa klub Rubin Kazan ke papan atas Liga Primer Rusia dalam dua belas tahun kiprahnya menangani kesebelasan berciri khas warna merah marun. Di kancah antarklub Eropa, pria 63 tahun kelahiran Asgabat, Turkmenistan ini juga pernah membawa Kazan secara mengejutkan mengalahkan Barcelona di Camp Nou, seakan mengulangi kiprah Valeriy Lobanovskiy kala menghancurkan Barca di Camp Nou bersama Dynamo Kiev tahun 1997 silam.

Kemampuan Berdyev dalam menangani kesebelasan non unggulan membuktikan kecakapan taktik dan kemampuan memotivasi yang dimiliki. Tidak mengherankan jika namanya sempat dinominasikan untuk menjadi pelatih timnas Rusia menggantikan Fabio Capello setahun lalu, meski kemudian jabatan tersebut kini diduduki Leonid Slutsky, pelatih CSKA Moskow, klub yang akan dihadapinya hari ini (12/3).

Cerita yang dialami Rostov ini mengingatkan pada kiprah Leicester City musim ini di Liga Primer Inggris, yang tentu saja lebih mewah. Kebetulan, dua kesebelasan ini memiliki kesamaan dalam hal kepelatihan, yaitu sama-sama diasuh sosok berpengalaman. Baik Berdyev di Rostov maupun Claudio Ranieri di Leicester sama-sama telah memakan asam garam dunia kepelatihan. Jika Leicester City kini menjadi populer dan bahkan sudah ada akun twitter fans-nya, hal yang sama rasanya tidak akan terjadi pada Rostov karena mereka tidaklah bermain di liga Inggris.

Kejutan Rostov pun kini menjadi cerita menarik dalam Liga Primer Rusia musim ini, di tengah kemunduran yang dialami kesebelasan-kesebelasan kuat. Zenit, yang selalu menjadi langganan papan atas, musim ini memiliki persoalan karena pelatihnya, Andre Villas-Boas sempat dibuat demotivasi akibat aturan 6+5 terkait komposisi pemain asing dan lokal yang diperbolehkan merumput. Posisi Villas-Boas kini kian terancam setelah Zenit tersingkir di kompetisi Liga Champions di tangan Benfica.

Harapan masih dapat digantungkan pada duo Moskow, Lokomotiv dan Spartak, juga Krasnodar dan Terek untuk menyemarakkan kompetisi hingga akhir musim. Lokomotiv sempat menjadi tim kejutan dengan menempati posisi ketiga musim 2013-14, namun musim lalu anjlok ke posisi tujuh. Kini, mereka kembali bangkit dan terus mengejar posisi tiga besar yang berarti tiket ke kompetisi antarklub Eropa. Di lain sisi, Spartak Moskow sebetulnya begitu menjanjikan pada awal musim. Dengan skuat yang berkualitas dan di bawah asuhan pelatih berbakat, Dmitri Alenichev, Spartak sempat meraih hasil-hasil memuaskan pada awal musim, namun mereka mengalami periode negatif pada pertengahan putaran pertama.

Dengan performa angin-anginan dari para Rival, Rostov sebetulnya memiliki peluang untuk setidaknya menduduki posisi tiga besar, apalagi kompetisi hanya menyisakan 10 pertandingan. Bahkan jika mampu mengalahkan CSKA akhir pekan ini, poin mereka akan sama, dan bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi momentum positif untuk mendongkel CSKA dari puncak klasemen. Siapa tahu? 

Performa Rostov sepanjang putaran pertama sebetulnya tidak dapat dikatakan spektakuler. Mereka jarang menang saat menghadapi kesebelasan-kesebelasan kuat seperti CSKA, Zenit, Krasnodar maupun Spartak. Rostov mendulang banyak poin ketika menghadapi kesebelasan-kesebelasan yang selevel, itu pun kebanyakan diraih dengan skor tipis. Efektivitas permainan memang betul-betul diandalkan oleh Berdyev mengingat kesebelasan dengan warna khas kuning ini tidaklah kaya talenta.

Kekuatan pertahanan dan rekor kandang yang baik menjadi andalan lain dari skuat Berdyev. Jumlah kebobolan mereka sebanyak 16 kali adalah yang paling sedikit di kompetisi domestik, unggul atas CSKA dan Terek yang kebobolan 18 kali. Sementara dilihat dari rekor pertandingan kandang, mereka menang sebanyak enam kali, seri lima kali dan belum terkalahkan. Kondisi permukaan rumput lapangan kandang stadion Olimp 2 yang licin dianggap sebagai keuntungan tersendiri bagi mereka, dan dipercaya akan menyulitkan kesebelasan semacam CSKA yang mengandalkan umpan-umpan pendek cepat.

Serupa dengan cerita Leicester City, FK Rostov pun sepertinya hanya memiliki kesempatan pada musim ini untuk memberikan prestasi yang tak terlupakan bagi para pendukungnya. Dan bagi kesebelasan yang berada di situasi ini, bermain tanpa beban dan terus menjaga kebersamaan adalah kuncinya. Apalagi, masa depan Rostov masih tidak jelas akibat kesulitan finansial.

Thursday, March 3, 2016

Berharap Pada Dua Maverick

Pada awal musim 2015-16, pelatih Milan Sinisa Mihajlovic menggunakan formasi favoritnya yaitu 4-3-1-2. Ia menempatkan Keisuke Honda di belakang duet penyerang yang diisi Carlos Bacca dan Luiz Adriano. Posisi gelandang bertahan diisi oleh Nigel De Jong yang juga bertindak sebagai kapten, yang dipercaya hingga laga kedua melawan Empoli. Setelah laga derby pertama melawan FC Internazionale, Mihajlovic mulai mempercayakan posisi gelandang kepada kapten utama, Riccardo Montolivo. Hal ini juga didasari performa gemilang Montolivo dalam derby meski laga tersebut berakhir dengan kekalahan Milan.

Formasi 4-3-1-2 masih digunakan Mihajlovic hingga laga pekan ketujuh melawan Napoli. Hasilnya, Milan menderita tambahan dua kekalahan dari Genoa dan Napoli. Sementara laga melawan Palermo dan Udinese berhasil dimenangi dengan skor tipis.

Selepas kekalahan memalukan 0-4 dari Napoli di San Siro yang membuat posisinya terancam, Mihajlovic melakukan beberapa perubahan. Selain memasang Alex untuk menggantikan Cristian Zapata di jantung pertahanan, pelatih berusia 47 tahun ini juga mengganti formasi menjadi 4-3-3. Dalam formasi ini, Giacomo Bonaventura ditempatkan sebagai sayap kiri dengan peran wide playmaker. Di sisi kanan, Alessio Cerci dimainkan sebagai inverted winger mendukung penyerang tengah Bacca.

Dengan formasi 4-3-3 dan dipasangnya Alex, terjadi perbaikan signifikan dalam lini pertahanan. Namun Mihajlovic belum terlalu puas. Masih berada di bawah ancaman pemecatan, ia lalu mengambil keputusan yang amat berani dan dianggap nekat oleh publik, yaitu menurunkan penjaga gawang remaja, Gianluigi Donnarumma menggeser Diego Lopez sejak laga kandang melawan Sassuolo.

Donnarumma ternyata menjadi kepingan puzzle terakhir pertahanan ideal Milan versi Mihajlovic. Di samping memiliki teknik yang mumpuni, ia juga memiliki refleks yang baik dan kematangan yang tentunya amat mengagetkan banyak orang. Donnarumma pun ditahbiskan bukan hanya sebagai kiper masa depan Milan, tapi juga penerus Gianluigi Buffon di timnas Italia.

Namun demikian, Mihajlovic masih belum menemukan formula yang tepat untuk mempertajam serangan Milan. Maklum dalam laga-laga awal tersebut, Milan tercatat sebagai salah satu tim dengan jumlah tembakan ke gawang paling sedikit di Seri A, padahal mereka memiliki seorang predator sekelas Bacca. Dengan konversi pemanfaatan peluang yang tinggi meski tanpa dukungan mumpuni, Bacca masih mampu mencetak lima gol dalam 10 laga.

Setelah menggunakan formasi 4-3-3 sebanyak enam laga dengan hasil tiga kemenangan, dua imbang dan sekali kekalahan atas Juventus, Mihajlovic akhirnya mengganti formasi ke 4-4-2 sejak laga pekan ke-14 melawan Sampdoria. Dengan formasi ini, dua pemain berkarakter playmaker, Bonaventura dan Honda, ditempatkan sebagai gelandang sayap yang mengapit duet Montolivo bersama Juraj Kucka dan Andrea Bertolacci.

Di depan, M’Baye Niang juga mulai dipasang sebagai rekan duet Bacca. Dalam laga perdananya sebagai penyerang kedua, Niang berhasil mencetak dua gol dan sebuah assist saat melawan Sampdoria. Hasil-hasil positif memang belum terlalu terlihat. Milan ditahan imbang Carpi dan Hellas Verona, lalu kalah melawan Bologna pada awal tahun 2016. Posisi Rossoneri pun semakin tertinggal dari para penghuni papan atas. Buntutnya, Mihajlovic mendapat ultimatum pemecatan untuk kali kedua.

Ancaman ini dihadapi Mihajlovic dengan lebih tenang, karena ia sebenarnya telah menemukan formasi dan susunan pemain yang paling ideal. Benar saja, selepas kekalahan dari Bologna, Milan melaui sembilan laga berikutnya tanpa kekalahan, termasuk kemenangan atas Fiorentina dan Inter, juga menahan imbang Roma dan Napoli di kandang mereka. Lima kemenangan dan empat hasil imbang akhirnya kini semakin mendekatkan Milan pada posisi keempat dan kelima, dan bahkan kini hanya berselisih enam angka dari peringkat ketiga yang sementara ini ditempati Fiorentina. Ini masih belum menghitung keberhasilan Rossoneri melaju ke babak final Coppa Italia untuk kali pertama sejak tahun 2003.

Di tengah optimisme ini, terjadilah sebuah situasi tidak menguntungkan, yaitu cederanya Niang. Konyolnya, cedera engkel dan pundak yang diderita penyerang berusia 21 tahun ini tidak didapat di lapangan, melainkan akibat kecelakaan mobil. Meski telah menyumbang delapan gol di semua ajang kompetisi, Niang pun harus menepi setidaknya dalam waktu dua bulan ke depan.

Situasi ini amat disayangkan. Setelah hanya dianggap sebagai penyerang berpotensi, Niang mulai membuktikan bahwa potensi itu memang nyata adanya. Leicester City yang telah memimpin Liga Primer Inggris pun menyatakan minat. Niang merupakan sosok sentral di balik hasil-hasil impresif Milan selama ini. Kecepatan dan skill-nya amat klop dipadukan dengan ketajaman Bacca. Andai saja Niang memiliki konversi peluang yang lebih baik, rasanya ia akan dianggap sebagai penyerang papan atas. Sekarang, sang pemain keturunan Senegal harus menepi, dan Mihajlovic tentu harus memikirkan penggantinya.

Mihajlovic harus memilih satu dari empat pemain. Jeremy Menez kembali setelah hampir setahun mengalami cedera, begitu pula dengan Balotelli dan Adriano. Kevin-Prince Boateng juga kapabel untuk diturunkan sebagai second striker. Tapi masalahnya, tidak ada satu pun dari mereka yang sudah benar-benar fit, karena mereka telah cukup lama absen dari lapangan.

Pilihan yang tidak mudah bagi Mihajlovic, karena jika ingin mempertahankan formasi 4-4-2, Mihajlovic hanya memiliki Balotelli sebagai penyerang paling fit. Namun sebagaimana diketahui, Balotelli sempat membuat Mihajlovic murka dengan tingkah indisiplinernya pada taktik.

Jeremy Menez adalah alternatif lain bagi Mihajlovic. Di samping memiliki skill yang amat tinggi, Menez juga memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda hasil pertandingan. Meski dianggap belum fit, ia mampu mencetak dua gol dalam kemenangan Milan atas Alessandria pada laga semifinal Coppa Italia. Hanya saja, di manakah Menez bermain dalam skema Mihajlovic?

Musim lalu, Menez memang diberi kebebasan penuh oleh pelatih Pippo Inzaghi, sehingga ia menjalani musim terbaik sepanjang karir dengan torehan 16 gol di Seri A meski prestasi Milan melempem. Menez dibolehkan bergerak ke sayap, kotak penalti lawan, hingga dipercaya sebagai eksekutor tendangan penalti.

Namun zaman sudah berbeda. Permainan Milan di bawah Mihajlovic tidaklah sama dengan Inzaghi, dan Mihajlovic bukanlah tipe pelatih yang menyukai pemain egois dan memperlambat tempo permainan seperti Menez. Terlepas dari talentanya yang tidak perlu diragukan, tidak jarang kita menyaksikan keputusan Menez yang terlalu asik menggiring bola dan tidak mengoper kepada kawan yang posisinya lebih bebas. Ditambah lagi tingginya kemungkinan bola direbut lawan yang membuat hilangnya momentum.

Seburuk-buruknya situasi, Milan sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali mundur dan menyerah. Dua maverick inilah yang boleh jadi akan menentukan nasib Milan musim ini. Baik Balotelli maupun Menez semestinya beranggapan bahwa inilah kesempatan terbesar mereka untuk unjuk kemampuan. Adalah tugas mereka untuk menggunakan imajinasi guna membongkar rapatnya penjagaan lawan, dan melepaskan Bacca untuk mencetak gol kemenangan.


Seperti itulah storyline yang diharapkan pada perjalanan Milan di fase terakhir kompetisi ini, bukan?