Pages

Monday, September 28, 2015

Filosofi dan Mentalitas Menang Paulo Sousa

Banyak pihak beranggapan bahwa Inter dan Milan akan kembali sebagai penghuni papan atas musim ini. Tidak banyak yang memperhitungkan Fiorentina, terutama karena klub ini ditinggalkan banyak pemain andalan dan baru mengalami pergantian pelatih dari Vincenzo Montella ke Paulo Sousa, membuat klub ini akan lebih dulu menjalani transisi. Dan sebagaimana umumnya terjadi, masa transisi selalu dijadikan alibi yang paling bisa diterima orang banyak jika prestasi tidak didapat.

Masa transisi dapat disamakan dengan masa pancaroba, atau pergantian musim. Pada masa ini, banyak tubuh yang terserang penyakit karena tidak siap dengan perubahan. Para bos di kantor, atau para guru di sekolah akan maklum jika karyawan atau murid-muridnya menelpon untuk meminta izin absen sehari-dua hari karena harus mengunjungi dokter.

Memang kompetisi masih panjang, tapi apa yang ditunjukkan Sousa sejauh ini begitu sensasional. Mengalahkan Inter, kesebelasan yang memenangi lima laga awal secara beruntun dengan skor telak 1-4 di Giuseppe Meazza, bukanlah prestasi sembarangan. Terlebih, kemenangan ini berbuah capolista, yang merupakan kali pertama yang diperoleh klub ini sejak 1999.

Sousa sudah dibebani PR yang cukup berat ketika kali pertama datang ke Artemio Franchi, yaitu hengkangnya para andalan di seluruh posisi. Bek Stevan Savic dipinang Atletico Madrid, sementara kiper utama Neto dibeli Juventus. Tidak hanya itu, La Viola juga kehilangan Joaquin Sanchez, winger veteran yang memilih pulang kampung ke Real Betis. Lini tengah juga kehilangan dua gelandang senior, Alberto Aquilani dan David Pizarro yang mengakhiri kontraknya. Bahkan, Fiorentina ditinggalkan Mohamed Salah, winger asal Mesir yang musim lalu tampil sebagai kunci serangan.

Namun Sousa bukanlah pelatih yang tanpa rencana. Ia membeli gelandang bertahan Atletico, Mario Suarez untuk mengisi pos yang ditinggalkan Pizarro, lalu mematangkan Milan Badelj untuk mengisi pos Aquilani. Di sektor sayap, ia menghubungi mantan klubnya kala masih bermain, Borussia Dortmund, untuk meminjam Jakub Blaszczykowski. Untuk posisi penggedor gawang lawan, Sousa sadar tidak bisa mengandalkan Giuseppe Rossi, bomber berbakat namun amat rentan cedera, atau Mario Gomez yang menua. Untuk itu, ia mendatangkan Nikola Kalinic, penyerang Kroasia yang musim lalu membawa Dnipro Dnipropetrovsk ke babak final Europa League.

Musim kompetisi 2015-16 dimulai menghadapi Milan. Dengan cerdik, Sousa mengarahkan serangan ke tempat di mana bek muda Rodrigo Ely berada. Baik Josip Ilicic maupun Marcos Alonso selalu meneror bek Brasil ini dengan kecepatan mereka, yang berakibat pelanggaran-pelanggaran yang membuat Ely diusir wasit. Fiorentina pun menang dengan nyaman.

Pada giornata kedua, Fiorentina memang sempat menyerah dari Torino, namun selanjutnya, Fiorentina memenangi empat laga secara beruntun, yang puncaknya adalah laga semalam menghadapi Inter di Giuseppe Meazza yang mereka menangi dengan skor 1-4, yang diwarnai hattrick yang ditorehkan Kalinic.

Kembali ke soal penunjukan Sousa sebagai pelatih, beberapa orang memang meragukan kapasitas pria Portugal yang sempat malang melintang bermain di Seri A bersama Juventus ini. Namun sekali lagi, Sousa tidak kembali ke Italia tanpa bekal pengalaman.

Setelah menjadi asisten Carlos Queiroz di timnas Portugal U-16 sejak 2005, Sousa hengkang ke Inggris tahun 2008. Ia menukangi klub Championship, Queens Park Rangers. Namun di klub ini, karirnya berakhir kurang menyenangkan. Ia disebut membocorkan informasi sensitif terkait transfer Dexter Blackstock ke Nottingham Forest.

Sousa kemudian pindah ke Swansea City, menggantikan Roberto Martinez yang hengkang ke Wigan Athletic. Di klub asal Wales ini, Sousa mulai menunjukkan kehebatannya. Swansea dibawanya ke posisi 7 Championship Division, tertinggi sejak 27 tahun. Gaya ball possession yang hingga kini diusung Swansea tidak bisa dilepaskan dari peran Sousa. “Saya ingin tim mengontrol permainan dengan bola, bukan tanpa bola,” ujarnya.

Sukses di Liberty Stadium membuatnya ditawari pekerjaan di Leicester City. Saat itu, Sousa tertarik dengan proyek yang dicanangkan pemilik klub Milan Mandaric. Namun ironisnya, Mandaric menjual saham klubnya kepada konsorsium dari Thailand, hanya sebulan sejak penunjukan Sousa. Hal ini cukup berpengaruh pada performa tim di lapangan. Dari sembilan laga, Leicester hanya menang satu kali dan Sousa dipecat dari jabatannya.

“Pergi dari Swansea adalah kesalahan. Namun saat itu saya berpikir bahwa pindah ke Leicester adalah kesempatan untuk meningkatkan karir,” kenangnya seperti dikutip dari Guardian. “Kita semua membuat kesalahan dalam hidup, namun yang terpenting adalah apa yang kita lakukan selanjutnya,” ujarnya dalam wawancara tahun lalu.

Ucapan tersebut seakan menjadi refleksi dari karir Sousa. Setelah dipecat Leicester, Sousa berhenti sejenak dari sepak bola. “Saya kemudian menonton banyak pertandingan, mempelajari banyak taktik dan gaya bermain, serta melanjutkan pendidikan sebagai pelatih. Saya rasa pemecatan itu ada hikmahnya,” lanjutnya.

Rangkaian peristiwa yang terjadi di Inggris membuat namanya tidak lagi diperhitungkan. Setahun kemudian, ia hijrah ke tengah Eropa, tepatnya Hongaria. Di negara yang sempat berjaya pada tahun 50an ini, Sousa menangani klub Videoton. Di klub ini, ia memenangi sebuah gelar liga domestik dan dua cup competition.

Petualangan Sousa selanjutnya adalah ke negara Israel, dengan Maccabi Tel Aviv menjadi pelabuhannya. Sebelum kembali ke Italia, Sousa sempat melatih Basel, klub terbaik di Swiss dalam beberapa tahun terakhir. Di Maccabi dan Basel, ia menjuarai titel domestik sekaligus mencicipi beberapa laga kontinental, hal yang membentuk mental pemenang.

Kepindahan ke klub-klub terbaik di negara-negara yang bisa dibilang medioker dalam percaturan sepak bola Eropa ternyata memang strategi yang baik untuk memperbaiki reputasi sekaligus membentuk mental pemenang. “Saya tidak memiliki masalah untuk bekerja di liga yang kurang dikenal. Dua setengah tahun di Videoton dan Maccabi membentuk mentalitas saya untuk menang. Saya rasa kemenangan memang penting bagi pelatih, karena membuktikan kesuksesan metode dan pendekatannya,” ujarnya lagi.

Sousa sadar bahwa melatih klub Seri A adalah pekerjaan berat. Kultur sepak bola Italia yang mengutamakan hasil dan amat kaya dalam taktik bukanlah hal mudah untuk dijalani seorang pelatih. “Selain ball possession, saya juga mengutamakan kuatnya pertahanan, karena saya pernah bermain di Italia,” ujarnya pasca kemenangan atas Inter.

Sekarang, setidaknya Sousa telah merebut segala perhatian. Dan kiprah Fiorentina akan menjadi sesuatu yang luar biasa untuk Seri A musim ini.

Thursday, September 24, 2015

Warna-Warni Sepak Bola Tarkam, Dulu dan Kini

I.
"Ini ada vitamin. Elu minum aja biar nanti kuat di lapangan. Semua juga minum kok," ujar seorang bapak berkumis lebat bakal Caleg berusia 40an pengurus tim tarkam yang saya bela, sepuluh tahun silam.

Sang bapak lalu memberi saya sebuah pil berukuran kecil berbentuk lingkaran. mungkin diameternya tidak lebih besar dari parasetamol yang dijual bebas. Tanpa curiga, saya menenggaknya.

Pertandingan dimulai, saya bermain sebagai starter di posisi sayap kiri dalam formasi klasik 4-4-1-1. Anehnya, saya tidak merasakan grogi sedikitpun, padahal biasanya saya grogian kalau bermain bola di hadapan banyak penonton. Yang saya rasakan saat itu adalah rasa gelisah. Saking gelisahnya, saya tidak mau berhenti berlari. Ke manapun bola bergulir, saya mengejarnya. Ketika mendapat umpan terobosan yang terlalu kencang hingga bola lebih dekat pada lawan, saya masih mengejarnya mati-matian.

Pada jeda pertandingan, saya juga tidak mau diam. Saya meminta bola, lalu meminta pemain cadangan berlatih passing. Pokoknya terus bergerak. Begitu terus sampai akhir pertandingan, hingga tim kami menang dan saya membuat sebuah assist

"Elu main bagus banget! Abis ini elu pulang, beli susu beruang (maksudnya produk susu cair kalengan yang ada cap beruangnya), habis itu elu tidur deh biar pules," ujar bapak itu lagi, sambil menyalami saya.

Ketika pertandingan berakhir, saya merasakan lelah yang amat sangat, kepala terasa berat dan mata terasa mengantuk. Tapi lagi-lagi menuruti saran si bapak untuk meminum susu beruang. Sesampainya di rumah, masih menjelang maghrib. Saya membersihkan badan dan sebagainya, lalu makan, lalu tertidur pulas sampai besok siang!

Orang tua saya bingung, kenapa saya tertidur seperti habis bekerja tiga hari tiga malam? Ya memang saya habis main bola, tapi biasanya tidak begini-begini amat. Kepala saya sudah lebih ringan, dan badan saya sudah kembali segar, tapi pertanyaan berkecamuk: Apa yang telah terjadi?

Tidak butuh waktu lama untuk mengingat, karena saya langsung terngiang pil berwarna putih itu. "Sial," batin saya, terlebih setelah mencari tahu pil macam apa itu.

Ya, begitulah sepak bola tarkam di sini. Mereka, para pengurus klub, menghalalkan segala cara untuk menang, sekalipun hadiah turnamen hanya berupa seekor kambing. Ini soal gengsi kampung yang tidak bisa ditawar. "Elu main jangan malu-maluin! Tuh liat, di pinggir lapangan ada encang-encing dan emak-babe lu yang nonton! Elu kagak mau bikin mereka kecewa, kan?"

II.
Sudah selang satu dekade, setelah lama vakum, kompetisi tarkam ini kembali bergulir. Kali ini saya sudah tidak lagi bermain, tapi mengajak anak untuk menonton. Keramaian dan keseruan pertandingan masih sama, cuma bedanya, tingkah polah para penonton. Baik tingkah para abg maupun para penonton lain yang membawa sepeda motor.

Kemudahan mendapatkan moda transportasi roda dua ini menjadikan semua orang memiliki setidaknya satu sepeda motor di rumahnya. Ketika tontonan rakyat seperti ini berlangsung, tak pelak, motor-motor yang semula berada di garasi, atau ditempatkan paksa di ruang keluarga, kini seperti tumpah ruah ke pinggir jalan lapangan.

Kemacetan tak terhindarkan, terlebih, begitu banyak orang yang memarkir motornya sembarangan, dan mereka yang asik menonton sambil duduk di jok motornya, dengan posisi agak ke tengah jalan. Klakson mobil yang meraung minta diberikan jalan, tidak mereka gubris. Ketika bersatu, mereka merasa selalu benar.

Belum lagi para melihat tingkah polah para ABG, baik cowok maupun cewek, tingkah yang tidak seperti anak-anak seumuran pada zaman saya dulu. Yang cewek sama sekali tidak berniat menonton bola, dilihat dari gaya dan dandanan mereka. Rambut basah lepek yang dijepit dengan aneka jepit rambut, baju ketat dipadu hot pants dengan padanan warna yang tabrakan tak keruan, tawa ngakak di atas jok motor matic sambil sesekali memonyongkan bibir untuk ber-selfie dan wefie seakan tidak peduli pandangan orang-orang dewasa yang jengah melihat tingkah mereka.

ABG cowok, juga sama tidak berniat nontonnya. Baju kotak-kotak, celana jeans ketat, dan rambut yang seperti ketumpahan gel, tidak sadar daun-daun kering debu dan lalat asyik menempel. Mata mereka asyik 'berbelanja' memperhatikan para ABG cewek yang duduk sembari pamer paha di jok motor matic. Sesekali, para generasi penerus ini saling mengumpat dan berbicara kasar kepada sesama mereka. Tangan kanan memegang sebatang rokok, tangan kiri memegang minuman es sirup berwarna pekat khas pewarna.. entah pewarna apa itu. Lalu tanpa berdosa membuang sampah di mana mereka suka. Ketika ditegur orang dewasa, mereka pasang wajah marah. Tiada respek. 

Mohon maaf, tanpa bermaksud merendahkan dan men-segregasi, saya akui amat sulit untuk tidak bersikap sinis jika melihat pemandangan seperti ini, terlebih di tengah tontonan seru pertandingan sepak bola akar rumput. Sungguh mengurangi keasyikan menonton. 

III.
Sementara dari tepi garis tengah lapangan, masih ada tenda sederhana seperti dulu. Kursi sofa pinjaman milik panitia disediakan untuk Pak Camat yang akan memberikan sambutan dan menonton pertandingan walau hanya satu babak. Meja ruang tamu milik panitia juga dipindahkan, untuk menaruh kudapan pengganjal perut dan buah-buahan. Tapi bedanya, sekarang terhampar spanduk dari sebuah supermarket retail modern yang rupanya menjadi sponsor turnamen ini. Program doorprize pun digulirkan, berhadiah tongsis, powerbank, atau voucher pulsa, tidak lagi seperti doorprize sepuluh tahunan lalu yang biasanya berhadiah kipas angin, piring, gelas dan payung cantik.

Di sebelah tenda, seperangkat mixer delapan track pengatur sound system diletakkan, seorang teknisi yang berpengalaman dalam panggung dangdutan diminta untuk mengatur suara dua speaker yang diletakkannya di atas pohon mangga sisi lapangan. Dalam praktiknya, si abang sound engineer hanya asik duduk menenggak gelas besar berisi kopi hitam, dan menghisap rokok tak berfilter tanpa henti.

Di sebelah teknisi, duduklah seorang pemandu pertandingan gaek yang suaranya sudah tidak asing lagi. "Ada puluhan ribu penonton memadati stadion ini, saudara-saudara, selamat datang untuk Bapak Camat. Kita kembali ke lapangan. Nomor sepuluh membawa bola, diberikan kepada nomor tujuh, kutak-kutik sebentar, dua-tiga-empat pemain dilewati, angkat ke mulut gawang, ada nomor sembilan di sana --melompat tinggi dia, terjadi kemelut di mulut gawang, bola jatuh di kaki pemain nomor delapan --lalu ditendang, dan... Apa yang terjadi... Rupanya melenceng sekian sentimeter saja dari tiang gawang.." Padahal, bola melenceng jauh. 

Something's never change. Tak pelak, penonton tertawa riang. Kami mengerti betapa lebay-nya pemandu pertandingan tarkam ini. Penonton yang jumlahnya ratusan dibilang puluhan ribu, tendangan yang melenceng jauh dibilang hanya sekian sentimeter. Tapi kami tidak peduli, begitu pula si bapak pemandu ini. Para penonton hanya merindukan atmosfer humble sepak bola tarkam, sepak bola yang masih memberi tempat bagi pemandu pertandingan yang kocak, penonton yang duduk santai berselonjor di pinggir lapangan, pemain-pemain berperut buncit yang hanya sanggup bermain 10 menit, atau anak-anak pramuka yang bertindak sebagai petugas medis.

Hiburan seperti ini, bagaimanapun sungguh mahal di tengah keringnya tontonan langsung kompetisi sepak bola Indonesia.

Wednesday, September 23, 2015

Ketika Milan Lolos Dari Kekuatan Team Talk

Sebuah pertandingan yang diwarnai kisah comeback, alias kisah kesebelasan yang mampu membalikkan keadaan dari kalah ke menang, selalu menyisakan cerita yang tidak mudah basi. Bahkan banyak orang yang akan membicarakan pertandingan semacam ini meski waktu telah lama berlalu.
Siapa yang tidak ingat comeback Liverpool dalam final Liga Champions 2005 melawan AC Milan? Meski kejadian ini sudah berlalu satu dekade lamanya, dan walaupun Milan berhasil membalas kekalahan itu pada final kejuaraan yang sama tahun 2007, tetap saja memori pahit akan peristiwa Istanbul 2005 ini masih sulit dilupakan Milanisti.
Dalam setiap kejadian comeback yang luar biasa, tentu saja ada peranan dari pelatih. Bukan hanya dalam hal taktik, karena amat mungkin sang pelatih sudah mengisi kepala pemain-pemainnya dengan berbagai studi taktikal sejak seminggu sebelum pertandingan. Sang pelatih ini akan melakukan team talk, atau berbicara kepada tim untuk memberi evaluasi, arahan dan motivasi yang dibutuhkan.
Jamie Carragher, eks penggawa Liverpool yang turut menjadi bagian dari peristiwa Istanbul 2005 menceritakan bagaimana pelatih Rafa Benitez, yang meski kemampuan bahasa Inggrisnya tidak terlalu bagus pada saat itu, melakukan team talk yang begitu diingatnya.
"Cobalah cetak satu gol, dan lihat apa yang terjadi" dan selanjutnya adalah sejarah.
Saat itu memang tidak semata team talk yang mengubah hasil akhir, melainkan perubahan taktik. Benitez mengubah formasi 4-2-3-1 andalannya menjadi 3-5-2. Carragher menirukan instruksi Benitez kepada Luis Garcia dan Steven Gerrard untuk menghambat distribusi bola dari Andrea Pirlo. Sekali lagi, sisanya adalah sejarah.
Akhir pekan lalu, terjadi salah satu comeback terbaik dalam sejarah sepak bola Rusia, dan mungkin saja dalam sejarah sepak bola saat CSKA Moskow membalikkan keadaan dari tertinggal 0-3 dari tuan rumah Mordovia Saransk pada babak pertama menjadi keunggulan 6-4 pada akhir pertandingan.
Apa yang dikatakan Leonid Slutsky, pelatih CSKA di jeda pertandingan untuk memotivasi pemainnya sungguh unik. "Saya meminta pemain saya untuk bermain di kota Irkutsk pada ajang Piala Rusia jika tidak memenangi laga ini."
Untuk diketahui, Irkutsk adalah sebuah kota di utara Rusia yang menjadi kandang dari kesebelasan Baikal Irkutsk. Hari Rabu (23/9) ini, CSKA bertandang ke kota itu. Slutsky sendiri telah memberi isyarat akan mengistirahatkan sebagian pemain inti untuk menghemat tenaga menjalani tiga ajang sekaligus. 
Team talk unik dan agak nyeleneh ini ternyata memancing reaksi dari publik penduduk remote area Irkutsk. Bebeapa menganggap Slutsky menganggap remeh kompetisi ini, dan khususnya klub Baikal Irkutsk. Seluruh tiket pertandingan terjual, dan meski kabar ini belum dapat dikonfirmasi, namun panitia telah menyiapkan ratusan 'kursi darurat' untuk penonton yang tidak kebagian tiket.
Dan tidak hanya itu, Slutsky juga membuat perubahan, meski tidak dalam formasi permainan. Ia menarik keluar gelandang serang andalannya, Roman Eremenko untuk memberi tempat kepada Kiril Panchenko, gelandang serang yang jarang bermain. Tanpa diduga, adalah Panchenko yang memperkecil kekalahan pada awal babak kedua lewat sundulannya menyambut umpan silang Zoran Tosic, gol yang memompa semangat bertarung anak-anak CSKA hingga akhirnya berhasil mencetak lima gol tambahan.
Team talk yang inspiratif juga mewarnai comeback lainnya seperti pertandingan Newcastle United melawan Arsenal tahun 2011. Saat Newcastle tertinggal 0-4 pada 45 menit pertama, pelatih Alan Pardew menginstruksikan pemainnya untuk agresif. "Lalu mereka bermain seperti singa," ujarnya. Papan skor pun menunjukkan kedudukan akhir 4-4.
Dan semalam, Milan nyaris mengulangi cerita dahsyatnya team talk dari pelatih lawan. Unggul 3-0 atas Udinese di Friuli pada babak pertama, Lo Zebrette berhasil mencetak dua gol cepat pada babak kedua. Beruntung, Milan masih bisa mempertahankan skor 3-2 hingga akhir pertandingan.

Saya tidak tahu persis apa yang dikatakan pelatih Udinese Stefano Colantuono pada jeda pertandingan. Ia hanya berkomentar bahwa Udinese setidaknya layak meraih satu poin. Namun jelas hal ini meruntuhkan kesempurnaan performa Milan pada babak pertama. Ketika suporter Milan begitu terbawa euforia karena merasa pelatih Mihajlovic telah menemukan winning formula, team talk Colantuono merusaknya, dan akhirnya mengembalikan Milan pada imaji awal: tim yang masih immature.

Monday, September 21, 2015

Lima Pelajaran Yang Didapat Milan Dari Empat Pekan Pertama Seri A 2015-16

Dua kemenangan dan dua kekalahan menjadi hasil Milan dalam empat laga pembuka Seri A Italia musim ini. Tidak terlalu jelek, namun tidak bisa dikatakan impresif. Terdapat lima hal yang dapat disimpulkan dari perjalanan singkat Milan sampai saat ini.

Juraj Kucka Adalah Kejutan
Kedatangan Kucka diantisipasi pendukung dengan datar, bahkan cenderung pada keraguan. Gelandang komplit seperti Axel Witsel atau sosok yang lebih kreatif seperti Roberto Soriano dan Diego Perotti lebih ditunggu kehadirannya. Secara teknis, Kucka memang lebih baik ketimbang Andrea Poli dan Antonio Nocerino, dua gelandang tengah Milan lainnya. Namun butuh lebih dari seorang Kucka untuk memecahkan problem lini tengah Milan.

Tiga pertandingan telah dijalani, dan ternyata Kucka mematahkan segala keraguan. Saat melawan Inter, ia bertarung tak kenal takut dengan Kondogbia, Melo dan Guarin. Lalu saat melawan Palermo, meski sempat terpincang, namun ia tetap bermain penuh dan bahkan memberi sebuah assist bagi gol sundulan Carlos Bacca.

Pembeliannya boleh jadi kandidat transfer terbaik Milan musim ini, apalagi jika ia dapat mengulangi kolaborasinya dengan Andrea Bertolacci seperti musim lalu.

Beri Bonaventura Kepercayaan
Sejak musim lalu, Jack Bonaventura telah tampil baik. Ia beberapa kali mencetak gol cantik dan menunjukkan kreativitas dalam membongkar pertahanan lawan. Bonaventura juga dapat bermain di banyak posisi, entah gelandang serang, gelandang tengah atau bahkan penyerang sayap.

Bonaventura mungkin tampil kurang meyakinkan dalam laga pramusim, tapi bukan berarti ia pemain yang buruk. Ia hanya perlu beradaptasi untuk bermain sebagai gelandang tengah-kiri, di mana ia juga dituntut untuk menyerang dan bertahan sama baiknya, juga lebih aktif dalam mengisi jarak yang timbul antara gelandang bertahan dan trequartista.

Lalu di mana Bonaventura sebaiknya bermain? Saat Bertolacci pulih, sebaiknya taruh dia di posisi trequartista.

Tidak Ada Masalah Di Sektor Bek Sayap
Sebelumnya, posisi ini kerap dituding sebagai titik lemah Milan, tapi kini saya sudah tidak melihatnya sebagai kelemahan yang menonjol. Cederanya Ignazio Abate memberi berkah terselubung bagi Davide Calabria. Ketika tampil menggantikan Abate dalam laga melawan Palermo, Calabria begitu tenang, percaya diri dan rajin. Satu yang menonjol darinya adalah umpan silang dan ketenangannya dalam bertahan.

Soal De Sciglio yang kurang ajeg di sisi kiri, ya memang demikian adanya. Naturalnya, De Sciglio adalah seorang bek kanan berkaki dominan kanan yang tentu saja secara naluriah lebih sering menggiring dan menendang bola dengan kaki kanannya.

Saat bermain sebagai bek kiri, De Sciglio terlihat agak kaku ketika membantu serangan, karena ia kerap terpaksa memindahkan bola ke kanannya di saat semestinya menendang dengan kaki kiri. Jika pun terdesak menendang dengan kaki kiri, akurasinya jauh berkurang. Sekarang tinggal bagaimana Mihajlovic membagi menit bermainnya dengan Calabria dan Abate saat bek kiri Luca Antonelli pulih dari cedera. Ah, betapa membanggakan bukan, ketika seluruh full back Milan diisi oleh pemain-pemain lulusan akademi?

Staffetta De Jong-Montolivo
Dirotasinya dua kapten ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Mihajlovic berhasil menunjukkan ‘who’s in charge’ kepada para pemainnya. Lalu setelahnya, Mihajlovic sukses memotivasi Montolivo yang ia cadangkan di dua laga awal, untuk membuktikan bahwa ia masih berguna untuk tim. Terbukti, performa Montolivo mulai menuai pujian.

Tantangan Mihajlovic selanjutnya adalah kapan harus merotasi dua pemain ini. Dua pemain ini berbeda karakter, dan siapa pun yang diturunkan, akan berpengaruh pada jalannya laga. Jika salah satu terlalu sering dicadangkan, tentu akan berpengaruh pada mentalitasnya dalam menghadapi atmosfer pertandingan. Miha juga perlu melakukan pendekatan personal agar keduanya tetap merasa penting.

Alternatif Taktik
Mematangkan pola 4-3-1-2 tentu butuh waktu. Namun tidak seharusnya pola ini mengurangi fleksibilitas Milan ketika bermain, yang akibatnya, mereka bisa saja kehilangan arah di tengah laga sulit karena keterbatasan ide.

Namun sayangnya, Miha tidak memiliki pemain yang lihai bermain di berbagai posisi, juga tidak memiliki barisan pemain dengan kemampuan seimbang antara menyerang dan bertahan. Pendek kata, Miha tidak dibekali amunisi untuk bermain pragmatis, alias menyesuaikan taktik dengan kekuatan (dan kelemahan) lawan.

Sejauh yang telah terlihat, jika ingin berimprovisasi, Miha hanya dapat menerapkan sedikit penyesuaian berupa pergantian pemain di tengah laga, atau pergeseran posisi –misalnya Kucka yang kerap bergeser dari sisi kanan ke kiri lapangan, atau Bonaventura dari gelandang tengah ke trequartista. Tidak terlalu terlihat penerapan micro tactic, karena dari pengelihatan awam saya, Miha masih berjuang memperbaiki mentalitas dan pendekatan permainan dari para pemainnya.

Hasilnya memang mulai kelihatan, karena sekarang pemain-pemain Milan terlihat selalu ‘lapar’ dan tak takut pada lawan. Namun demikian, Milan masih terlihat buntu ketika menghadapi lawan yang menumpuk banyak pemain di daerahnya. Sebaliknya, pertahanan Milan kocar-kacir dan lini tengah Milan kalah tenaga ketika menghadapi tim yang lebih kuat.

Kematangan sebagai tim juga belum terlihat. Terbukti, dalam kemenangan atas Empoli atau Palermo, Milan terlihat sulit mempertahankan keunggulan dan mengakhiri laga dengan kemenangan nyaman, mutlak dan meyakinkan. Semoga saja semua ini tumbuh seiring waktu, dan hal ini memang baru dapat dievaluasi ketika kompetisi memasuki paruh kedua.

Tuesday, September 8, 2015

Sepak bola Indonesia Di Antara Mecin dan Schadenfreude

Sepak bola Indonesia memang tengah mati suri. Liga tidak ada, timnas dihukum FIFA akibat sikap Menpora yang membekukan PSSI. Para pemain pun banyak yang alih profesi, dari menjadi pemain tarkam, penyewa odong-odong, pengendara ojek berbasis aplikasi, hingga berwara-wiri menjadi bintang tamu di acara talk show televisi swasta.

Sedikit kilas balik, ketika Indonesia Super League(ISL)  akan bergulir awal tahun 2015 ini, PT Liga Indonesia (PT LI) sebagai pengelola liga memberlakukan aturan ketat bagi klub yang akan mengikuti kompetisi. Aturan ini berbentuk lisensi yang harus dipenuhi sesuai standar yang ditetapkan oleh AFC (Asian Football Confederation). Daftar yang harus dipenuhi untuk memperoleh lisensi cukup panjang, bisa dibaca di sini. Namun PT LI meringankan persyaratan. Dari lima syarat yang semula ditetapkan, PT LI meminta klub untuk memenuhi tiga syarat saja, yaitu terkait finansial, legal dan infrastruktur.

Tiga hal ini sifatnya wajib dan mengikat. Jika tidak memenuhi, klub tidak boleh berpartisipasi. Ketegasan coba ditegakkan, karena dari sikap permisif yang terus diambil, pemain lah yang menjadi korban karena seretnya pembayaran gaji. Proses verifikasi pun dijalankan, dan hasilnya ada 17 tim yang berhak berpartisipasi. Sebelumnya kita Namun seperti diketahui, kompetisi yang akhirnya disponsori Qatar National Bank ini hanya berumur satu minggu pertandingan hingga terjadinya kisruh antara Kemenpora dengan PSSI.

Syarat yang paling sulit dipenuhi tentu soal finansial. Klub harus mengumpulkan laporan keuangan, laporan pajak, juga proyeksi yang menunjukkan bagaimana posisi keuangan mereka pada akhir tahun. Pada kenyataannya di lapangan, jangankan proyeksi, lha NPWP saja tidak punya. Beginilah klub yang dijalankan dengan manajemen warteg.

Banyak klub yang berkoar, terutama mereka yang telah merasa menjadi ‘pemain lama’. Klub-klub seperti ini memiliki attitude Elu yang butuh gue, bukan gue yang butuh elu! Jadi lupakan aja deh syarat-syarat ribet itu. Yang penting liga berjalan, penonton senang, pemain bisa makan

Sikap arogansi inilah yang memang harus diberantas. Klub-klub Indonesia sudah terbiasa disuapi APBN. Tidak ada profesionalisme, tidak ada pertanggungjawaban. Yang ada hanyalah uang rakyat yang tersedia untuk dihamburkan selama setahun penuh. Yang penting, rakyat punya tontonan sepak bola lokal.

Tentu saja sepak bola tidaklah lebih penting daripada perbaikan sarana pendidikan dan perbaikan standar pelayanan kesehatan. Pemikiran bahwa klub sepak bola adalah tanggungan pemerintah adalah pemikiran usang dan kuno. Sekarang sudah eranya klub sepak bola mampu berdiri sendiri.

Sayangnya lagi, klub-klub di sini sudah terbiasa dengan pola pikir instan. Seperti memasak pakai Monosodium Glutamat (MSG) untuk memberi ilusi rasa lezat, atau lebih akrab dengan sebutan mecin. Maunya membuat masakan lezat, tapi malas meracik bumbu. Cukup jentikkan saja bubuk ajaib, habis perkara. Rasa lezat, pengunjung senang dan kenyang, restoran ramai.

Tapi untuk jangka panjang, semua orang tahu seperti apa dampak dari kebanyakan mengonsumsi mecin.

Nadi sepak bola akan kembali berdegup setelah PTUN memenangkan PSSI dalam gugatan mereka atas Kemenpora. PT LI pun kembali dengan program licensing. Kali ini, mereka memberi pilihan pada klub atas model verifikasi finansial.

Niat ini sebetulnya sudah baik. Lisensi untuk mengikuti kompetisi mutlak diberlakukan apabila kita tidak ingin mendengar lagi cerita miris pemain yang berbulan-bulan tidak digaji. Selain itu, klub yang memiliki lisensi (asal diverifikasi dengan jujur dan transparan) sudah tentu adalah klub dengan modal yang tidak sekadar modal dengkul untuk mengikuti kompetisi. Kondisi ini jelas akan mengembalikan kepercayaan publik, yang nantinya akan berujung makin banyaknya pihak sponsor yang melirik. Industrialisasi sepak bola pun bukan sekadar pepesan kosong.

Namun sebagaimana cerita yang sudah lalu, seberapa besar niat baik yang digagas, sepak bola Indonesia kadung terbagi pada dua kubu. Kubu yang memimpin dan kubu oposisi. Kedua kubu ini bagaikan naik dan turun panggung sejara bergantian. Jika digambarkan sebagai pertunjukan musik, kubu yang berada di bawah panggung selalu meneriaki menimpuki mereka yang sedang tampil.

Pertikaian yang tidak kunjung usai ini termasuk dalam salah satu ciri dari fenomena schadenfreude. Istilah bahasa Jerman ini mengandung arti sebagai seseorang yang senang melihat kesusahan orang lain. Keberhasilan suatu kubu akan ditanggapi nyinyir oleh kubu lain, sementara blunder yang dilakukan salah satu kubu akan menjadi bahan bakar bagi kubu yang lain untuk meneriakkan kritikan pedas. Bukan kritik konstruktif, tapi lebih kepada penjatuhan kredibilitas dan penghinaan pada personal.

Sebuah drama menyedihkan yang sayangnya tak kunjung usai. Ya, begitulah jika membicarakan sepak bola Indonesia.