Pages

Friday, August 21, 2015

Rodrigo Ely dan Bahaya Laten Dario Smoje

Pembenahan lini pertahanan menjadi salah satu prioritas Milan pada bursa transfer musim panas ini. Alessio Romagnoli pun berhasil direkrut dengan bayaran 25 juta euro setelah melalui negosiasi yang panjang. Pemain berusia 20 tahun ini dianggap sebagai sosok yang dapat memperbaiki kualitas lini belakang Rossoneri.

Bagaimanapun, Milan tidak bisa menempatkan asa mereka pada Romagnoli seorang diri untuk menuntaskan problem pertahanan. Romagnoli jelas perlu diapit dua bek sayap yang disiplin, diproteksi oleh para gelandang yang berdiri di depannya, dan tentu saja ditemani rekan duet yang saling mengisi. Setelah kedatangan Romagnoli, sepertinya tidak ada lagi pembelian pemain bertahan baru. Keadaan ini memaksa pelatih Sinisa Mihajlovic untuk memaksimalkan stok bek tengah yang masih dimiliki untuk dipasangkan dengan Romagnoli.

Di atas kertas, sosok yang lebih berpengalaman seperti (Philippe) Mexes, Alex, (Gabriel) Paletta dan (Cristian) Zapata tentu lebih difavoritkan untuk mengisi posisi itu. Namun Mihajlovic sepertinya tengah mematangkan sosok yang sebelumnya tak disangka-sangka untuk menjadi bagian dari back four andalan baru. Rodrigo Ely adalah sosok yang dimaksud.

Pemain berpostur 188 cm ini tiba di Milan tahun 2010 untuk bergabung dengan tim primavera. Saat itu usianya masih 16 tahun, namun oleh sang agen, Mino Raiola, Ely digambarkan akan menjadi pemain berkualitas. “Ia pemain yang hebat dan suatu saat dapat menjadi bagian sukses dari Milan. Hanya butuh waktu baginya untuk menembus tim utama,” ujarnya ketika kali pertama memperkenalkan Ely pada publik Milan.

Mungkin semua orang menganggap apa yang dikatakan Raiola saat itu hanya sebatas lip service untuk mengatakan hal yang baik-baik tentang kliennya. Dan benar saja, setelah datang, tidak ada hal luar biasa yang ditunjukkan Ely untuk meyakinkan staf pelatih agar merekomendasikannya ke tim utama.

Karena itulah Ely kemudian harus menjalani peminjaman ke kesebelasan-kesebelasan yang bermain di divisi lebih rendah yaitu Reggina, Varese dan Avellino agar kemampuannya berkembang. Penampilan cemerlangnya bersama Avellino musim lalu di kompetisi Seri B Italia akhirnya membuat Milan tidak membuang waktu untuk mengikatnya dengan kontrak baru yang berlaku hingga tahun 2019 sebelum masa latihan pramusim dimulai.

Bergabung sejak awal ternyata menguntungkan bagi pemain yang bulan November nanti akan berusia 22 tahun ini. Mihajlovic bersama tim pelatihnya memiliki waktu yang cukup untuk mengamati perkembangan Ely dari latihan ke latihan. Performa baik saat latihan inilah yang sepertinya membuat Mihajlovic tertarik memainkan Ely sebagai starter dalam laga-laga pramusim yang dimainkan Milan. Dan Ely memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Kepercayaan Mihajlovic pun berlanjut. Dalam laga resmi perdana Milan musim 2015-16 melawan Perugia di ajang Coppa Italia awal minggu ini, Ely diduetkan dengan Romagnoli di jantung pertahanan. Dengan merumputnya duet ini bersama Mattia De Sciglio dan Luca Antonelli, rataan usia back four Milan dalam pertandingan itu jelas sangat menjanjikan: 22,75 tahun. Ditambah fakta bahwa Ely memiliki kemungkinan untuk memperkuat timnas senior Italia (ia memiliki dual citizenship, Italia dan Brasil), maka prospek untuk menyaksikan back four timnas Italia dihuni oleh seluruh pemain Milan jelas terbuka lebar.

Ely pun sukses menjalani debut kompetitifnya. Bukan hanya berbuah kemenangan, tapi gawang Milan juga bersih dari kebobolan. Melihat keberanian Mihajlovic dalam menurunkan pemain muda dan inkonsistensi yang masih melanda bek-bek sentral Milan yang lain, boleh jadi ini adalah blessing in disguise bagi Ely. Siapa tahu, perkataan Raiola 5 tahun lalu memang baru dapat dibuktikan sekarang.

“Alessio (Romagnoli) dan saya berduet dengan baik, kami juga bekerja dengan baik dengan semua pemain. Kami perlu melanjutkan apa yang kami lakukan sekarang, dan akan menjalani musim yang hebat,” demikian petikan wawancara pemain ini dengan Milan Channel.

Lawannya memang hanya Perugia, sebuah kesebelasan dari Seri B. Namun demikian, sebuah laga resmi, sekalipun hanya melawan kesebelasan dari Seri B, tetaplah laga yang penting. Pujian yang datang pun berlanjut dengan masuknya penawaran fantastis untuk Ely dengan nilai berkisar 12-13 juta euro dari sebuah klub Liga Primer Inggris, yang tentu saja langsung ditolak oleh Milan.

Namun demikian, kemunculan Ely ini sedikit mengingatkan saya pada sosok pemain belakang berbakat yang pernah sebentar memperkuat Milan pada tahun 90an, Dario Smoje.

Tahun 1997 kala usia Smoje masih 19 tahun, Milan memenangkan perebutan dengan Juventus dan Parma yang juga tertarik dengan bek tengah asal Kroasia ini. Ketertarikan klub-klub besar memang wajar karena sejak usianya masih muda, Smoje sudah menjadi andalan klub NK Rijeka dan timnas Kroasia U-15 hingga kemudian U-21. Fabio Capello, pelatih Milan saat itu bahkan menilainya dengan amat tinggi. “Ia mengingatkan saya pada Fulvio Collovati,” ujar Capello saat itu, seraya membandingkan Smoje dengan salah seorang bek tengah legendaris Milan dan timnas Italia.

Namun sayangnya karir Smoje hanya berumur singkat di Rossoneri. Dalam debutnya melawan Reggiana di ajang Coppa Italia, Smoje hanya bertahan 10 menit di lapangan karena dikartu merah wasit. Hingga musim 1997-98 berakhir, Smoje hanya diberi kesempatan merumput sebanyak enam kali di kompetisi Seri A. Meski menunjukkan performa yang tidak buruk, namun Capello sendiri sudah dibuat kecewa dengan debut Smoje –dan merasa telah salah menilai terlalu tinggi kemampuan pemainnya.

Akhir musim 1997-98, bek dengan postur 194 cm ini dipinjamkan selama dua musim ke Monza. Meski tampil rutin di klub satelit Milan itu, Rossoneri tidak menariknya kembali. Smoje kemudian dilepas ke Ternana, hanya untuk menjalani tiga pertandingan saja. Merasa sudah cukup, Smoje kemudian memilih mudik untuk bergabung dengan Dinamo Zagreb. Rangkaian kemalangannya selama berkarir di Italia inilah yang kemudian membuat Smoje dikategorikan sebagai pemain bidone, atau gagal.

Gagal di Italia bukan berarti Smoje adalah pesepakbola yang buruk. Terbukti, Smoje berkontribusi besar membawa Dinamo Zagreb memenangkan Piala Kroasia dan juara liga Kroasia. Performa gemilang ini bahkan sempat berbuah satu caps timnas senior Kroasia pada tahun 2003. Tahun 2004 hingga 2010, Smoje kembali berpetualang ke luar negeri bersama Gent dan Panionios, lalu kemudian mengakhiri karir di klub lokal, Hrvatski Dragovoljac.

Cerita singkat dari Smoje seperti membuktikan bahwa perjalanan karir seorang bek di Milan memang tidak bisa ditebak. Seorang bek berbakat pun bisa saja gagal bersinar di Milan akibat tidak mampu mengemban ekspektasi yang tinggi. Status Milan sebagai klub papan atas dan kultur keras sepakbola Italia yang amat menyorot permainan para pemain bertahan juga memberikan beban yang berat bagi pemain muda seperti Smoje.

Pemain seperti (Paolo) Maldini dan (Alessandro) Costacurta seperti telah dijadikan standar. Jika ingin menembus tim utama, kemampuan sang pemain minimal haruslah mendekati mereka. Smoje tentu saja bukan satu-satunya pemain yang nasibnya seperti ini. Bek-bek seperti Roberto Ayala, Fabricio Coloccini, Martin Laursen atau Roque Junior juga merasakan betul betapa tingginya standar itu.

Hal ini juga berlaku pada Ely, yang baru saja menjalani debut kompetitif mengesankan untuk Milan. Debut mengesankan tentu saja membuat sorotan mulai mengarah kepadanya, dan lawan sudah mulai mempelajari kelemahan-kelemahannya. Hal ini berbeda jauh dengan keadaannya beberapa bulan lalu saat namanya sama sekali belum terkenal.

Ely tentu saja memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa bahaya laten Smoje tidak akan terulang pada dirinya. Ia memiliki keuntungan karena telah mengenal kultur sepakbola Italia, dan ia juga tidak memiliki pesaing-pesaing seberat Smoje. 

Tuesday, August 18, 2015

Memahami Club Licensing Regulations dan Manfaatnya untuk Sepakbola Indonesia (salinan Kanal About The Game - Detiksport)

Tulisan ini adalah salinan dari kanal About The Game - Detiksport. Ditulis oleh Dex Glenniza dari Pandit Football. Disalin untuk keperluan arsip pengetahuan.

Sepakbola Indonesia sudah menyelesaikan semua agenda utamanya (ISL dan timnas), tapi perbincangan lain sedang mencuat: bursa perpindahan pemain! Media sosial dan situs-situs berita ramai oleh rumor perpindahan-perpindahan pemain.

Ada drama, seperti saat Ferdinand Sinaga secara mengejutkan hijrah ke Sriwijaya FC. Ada tarik menarik, seperti rumor Fabiano Beltrame yang dikabarkan akan bergabung dari Arema hingga Barito. Juga riuh karena Bambang Pamungkas kembali ke Persija Jakarta. Juga rumor ‘wah’ soal biaya yang harus dibayarkan Persib untuk mempekerjakan Pacho Kenmogne yang sampai dikabarkan mencapai Rp 2 miliar lebih.

Beberapa orang menganggap ini tanda iklim industriasasi sepakbola Indonesia semakin membaik dan menguat. Benarkah demikian?

Satu hal yang sudah pasti, riuh rendah pembicaraan tentang perpindahan pemain di Indonesia ini muncul saat timnas senior benar-benar hancur lebur di Piala AFF. Ditargetkan juara, malah gagal lolos ke semifinal dengan catatan menyedihkan: bertekuk lutut di tangan Filipina secara memalukan.

Belum lagi jika bicara sepakbola gajah yang belum tuntas. Masih belum jelas siapa sebenarnya aktor intelektual dari laga memalukan PSS vs PSIS ini. Para pemain dan kedua tim melakukan banding dan hingga kini belum jelas juga bagaimana dan seperti apa hasilnya.

Jangan sampai publik sepakbola terpukau dengan berita-berita wah soal perpindahan pemain dan harganya yang luar biasa dan abai mempertanyakan pertanyaan mendasar: sudahkah persoalan-persoalan laten dan menahun sepakbola Indonesia itu terselesaikan

Pertanyaan yang harus selalu diajukan tiap kali melihat perpindahan pemain dengan harga yang terdengar luar biasa (Pacho, kabarnya, dibandrol lebih dari Rp 2 miliar) adalah benarkah itu harga yang masuk akal? Apakah riuh rendah ini menandakan bahwa iklim industri sepakbola sudah terbentuk? Adakah jaminan gembar-gembor kontrak pemain di awal musim ini bisa konsisten dipraktikkan sesuai kesepakan kontrak sampai akhir musim? Jangan-jangan cerita klasik akan mencuat kembali: gaji ditunggak, pemain mogok atau tim yang gagal berangkat ke Papua karena kehabisan dana?

Untuk menjawab persoalan itu, penting menengoknya dari aspek yang mendasar. Dan dalam hal industri sepakbola Indonesia dan Asia, cara terbaik untuk memulainya adalah membahas soal Club Licensing Regulation (CLR) yang sudah dipatok oleh AFC sebagai “standar baku mutu”.

Dari situlah kita bisa mulai membahas dan mendiskusikannya, agar riuh-rendah bursa perpindahan pemain ini bisa diletakkan dalam konteks yang tepat dan agar kita bisa aware dengan jebakan-jebakan yang membuat kita lupa dengan persoalan-persoalan laten yang selalu muncul dari tahun ke tahun.

Pentingnya Lisensi sebagai Dasar

Banyak yang beropini tentang pelaksanaan Club Licensing Regulations (CLR) di Indonesia. Pada tahun 2010, AFC telah memberlakukan pedoman untuk klub sepakbola dan anggota asosiasinya untuk memenuhi persyaratan untuk berkompetisi.

Implikasinya adalah jika Indonesia tidak berhasil menetapkan dan menerapkan CLR, pemenang Liga Indonesia akan kehilangan tempat mereka di Liga Champions AFC. Meskipun Persib Bandung (bersama Persipura Jayapura dan Arema Cronus) memenuhi syarat, PSSI juga didorong untuk menerapkan peraturan dalam kompetisi domestik mereka sendiri.


Dalam interval antara saat musim liga yang baru saja berakhir dan musim baru yang belum dimulai, otoritas tertinggi di sepakbola Indonesia ini sedang sibuk dengan proses pelaksanaan CLR yang sudah menjadi kewajiban.


Sementara kita menunggu hasil verifikasi, banyak orang bertanya apakah CLR adalah segalanya. Beberapa bahkan skeptis tentang CLR yang hanya akan memperburuk nasib klub sepakbola profesional di Indonesia.


Sebelumnya, FIFA dan para konfederasi memang telah menyelenggarakan seminar untuk liga dan klub administrator di berbagai negara dan benua. Tujuannya adalah untuk mendidik mereka tentang konsep dan cara kerja CLR serta menyampaikan manfaat dari pelaksanaan peraturan tersebut.


Baru-baru ini, pada bulan Oktober 2014, sebuah seminar CLR diselenggarakan oleh Asosiasi Sepakbola Yordania bersama dengan Konfederasi Sepakbola Asia (AFC).


Club Licensing Regulations
CLR telah disetujui oleh FIFA pada tahun 2004. Hasil ini kemudian diadopsi oleh Komite Eksekutif FIFA pada tanggal 29 Oktober 2007 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2008. Dalam edarannya kepada anggota asosiasi, FIFA menggambarkan CLR sebagai:
“Dokumen kerja dasar untuk sistem perizinan klub, dimana para anggota yang berbeda dari keluarga sepakbola bertujuan untuk mempromosikan prinsip-prinsip umum dalam dunia sepakbola seperti nilai-nilai olahraga, transparansi dalam keuangan, kepemilikan dan kontrol dari klub, dan kredibilitas dan integritas dari kompetisi klub.”

Hal ini mengandaikan bahwa ada persyaratan minimal yang klub sepakbola harus capai dalam rangka untuk dilisensikan agar bisa berpartisipasi dalam kompetisi tingkat nasional, tingkat benua, dan tingkat internasional.

Dokumen kerja dasar (dikenal sebagai FIFA Club Licensing Regulations) telah dihasilkan oleh FIFA dan Konfederasi (misalnya AFC) yang diperlukan untuk membuat peraturan lisensi klub mereka sendiri, sementara anggota asosiasi (misalnya PSSI) pada gilirannya juga diperlukan untuk mengadopsi CLR mereka sendiri untuk pelaksanaan di tingkat nasional.

Oleh karena itu, CLR FIFA diadopsi menjadi CLR AFC, sedangkan PSSI mengadopsi CLR AFC, sejalan juga dengan standar minimal yang ditetapkan dalam CLR FIFA.

Hal ini patut dicatat bahwa pada tingkat nasional, anggota asosiasi diperbolehkan untuk mendelegasikan tanggungjawab lisensi klub untuk liga yang berafiliasi. Misalnya, PSSI dapat mendelegasikan tanggungjawab lisensi klub kepada Club Licensing Committee (CLC PSSI) dan Club Licensing Department (CLD PSSI).

Persyaratan Minimal
Persyaratan minimal adalah kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh klub agar memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam kompetisi nasional atau kontinental. Persyaratan ini dibagi ke dalam lima kriteria. Mereka adalah kriteria olahraga, kriteria infrastruktur, kriteria personel dan administrasi, kriteria hukum, dan kriteria keuangan.

  • Kriteria Olahraga: Kriteria ini membuat klub untuk memiliki program pengembangan pemain muda yang berkualitas. Ini melibatkan memiliki setidaknya satu tim muda masing-masing memiliki rentang usia 15-21 tahun dan 10-14 tahun, serta investasi dalam pendidikan sepakbola dan non-sepakbola serta pelayanan kesehatan. Manfaat ini bagi klub adalah bahwa program pengembangan pemain muda memproduksi pemain berbakat untuk cikal bakal tim senior. Selain itu, klub juga mendapatkan kompensasi untuk pemain di bawah usia 23 tahun yang dilatih oleh mereka yang ditransfer ke klub asing.
  • Kriteria Infrastruktur: Pada kriteria ini, klub diharapkan memiliki stadion yang aman dan dilengkapi dengan kelengkapan yang baik, untuk mengakomodasi penonton serta pers dan juga media. Kriteria infrastruktur termasuk sarana pelatihan yang memadai bagi pemain. Ini dianggap sebagai investasi jangka panjang dengan manfaat bagi fans yang tertarik pada stadion yang aman, mudah diakses, dan dilengkapi dengan kelengkapan yang menjanjikan pengalaman matchday yang menghibur.
  • Kriteria Personel dan Administrasi: Pada dasarnya, sebuah klub sepakbola yang benar-benar profesional membutuhkan ahli di bidang teknis seperti keuangan, pemasaran, hiburan, media, hukum, sumber daya manusia, dll. Dengan meningkatnya kelayakan komersial dari klub sepakbola, maka klub perlu dijalankan dan dikelola secara profesional juga, sehingga ada kebutuhan untuk keterlibatan spesialis dalam kerja langsung dan/atau kapasitas konsultasi sehingga klub bisa bersaing baik di atas maupun di luar lapangan.
  • Kriteria Hukum: Kriteria hukum bertujuan untuk melindungi integritas dari kompetisi dengan menghindari situasi dimana akan ada lebih dari satu klub di satu kompetisi yang sama, atau dikelola dan dipengaruhi oleh entitas yang sama. Fitur lainnya adalah bahwa klub harus memiliki struktur kepemilikan yang transparan dan mekanisme kontrol. Klub juga harus terikat dengan peraturan kompetisi, termasuk melarang kasus jatuh ke pengadilan biasa.
  • Kriteria Keuangan: Kebutuhan di sini adalah agar klub mengadopsi transparansi dan kredibilitas keuangan. Pemeliharaan dan pengawasan catatan dan laporan keuangan akan meningkatkan stabilitas keuangan klub, mempromosikan kredibilitas serta melindungi kreditor dan stakeholder.
Sebuah elemen penting dari sistem perizinan klub adalah poin-poin yang berbeda dari kriteria-kriteria di atas yang dibagi ke dalam kategori A, B, dan C. Masing-masing dari lima kriteria dibagi menjadi berbagai poin, masing-masing dinilai dari segi kebutuhan mereka.
Kelas A dan B adalah persyaratan wajib, sedangkan kelas C merupakan ‘praktik terbaik’ yang diinginkan dan dapat dibuat wajib di masa depan. Mereka dibedakan sebagai berikut:
  • Kriteria ‘A’ (Wajib) – jika klub tidak memenuhi persyaratan Grade A, klub tidak akan memenuhi syarat untuk mengambil bagian dalam kompetisi.
  • Kriteria ‘B’ (Wajib) – meskipun juga menjadi syarat wajib, perbedaan di sini adalah bahwa klub-klub yang gagal memenuhi persyaratan masih bisa diizinkan untuk berpartisipasi dalam kompetisi, meskipun dengan beberapa sanksi. Misalnya, di bawah Kriteria Infrastruktur persyaratan untuk fasilitas stadion klub memiliki fasilitas toilet yang memadai atau sanitasi terdaftar sebagai persyaratan Grade B. Dengan demikian, di mana hal ini kurang, meskipun klub mungkin diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam kompetisi, akan ada beberapa bentuk sanksi, mungkin seperti dipaksa untuk memainkan pertandingan kandang di stadion yang berbeda.
  • Kriteria ‘C’ – kegagalan untuk memenuhi persyaratan ini tidak menyebabkan diskualifikasi dari kompetisi atau sanksi. Namun, klub diharapkan untuk berusaha ke arah ini karena Grade C dapat dibuat menjadi wajib di masa depan. Sebuah contoh adalah persyaratan Kriteria Infrastruktur untuk stadion yang akan dilengkapi dengan kursi individu bernomor atau fasilitas untuk kaum difabel.
Sistem perizinan klub beroperasi sedemikian rupa bahwa klub-klub yang berpartisipasi dalam kompetisi mengajukan permohonan izin, yang mengeluarkan sertifikasi bahwa mereka memenuhi standar minimum di bawah CLR. Namun, ada ruang untuk banding jika aplikasi klub untuk lisensi ditolak.

Manfaat CLR
Jika hal tersebut telah dipahami, CLR sangat bermanfaat untuk sepak bola Indonesia. Manfaatnya akan terasa sangat besar dan jelas. Manfaat ini adalah apa yang CLR FIFA tetapkan untuk dicapai, beberapa di antaranya terdaftar dalam bab ‘tujuan’ di dalam regulasi tersebut. Daalm implementasinya, berikut adalah manfaat yang dapat dipetik.

Untuk klub, CLR tentunya akan memprofesionalkan manajemen sepakbola klub dan administrasi kompetisi, mempromosikan kelayakan dan stabilitas finansial, mempromosikan transparansi dalam keuangan, kepemilikan, dan kontrol dari klub.
CLR juga bisa menjaga kredibilitas dan integritas kompetisi klub, sehingga klub dan kompetisi dapat mempromosikan nilai-nilai olahraga sesuai dengan prinsip-prinsip fair play.

Kemudian untuk pemain, CLR akan bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan pemain muda, termasuk pendidikan non-sepakbola. Ini juga akan meningkatkan transparansi dalam hubungan kontraktual atau hukum dengan klub, serta memberikan pemain jaminan perawatan medis.

CLR ini selain bemanfaat bagi klub, kompetisi, dan pemain, ternyata juga memiliki manfaat bagi fans. CLR tentunya akan mempromosikan lingkungan pertandingan yang aman dan meningkatkan pengalaman matchday, serta memastikan kompetisi sepakbola yang menarik.

Kesimpulan
Kenyataannya, CLR ini hampir mustahil untuk seluruh klub Indonesia lakukan. Oleh karena itu, mungkin konsesi harus diberikan jika klub Indonesia ingin mendapatkan pengakuan dari dunia. Namun, tidak ada yang menyangkal fakta bahwa penerapan sistem perizinan klub adalah suatu keharusan jika sepakbola dalam negeri Indonesia ingin menjadi menarik dan sehat secara finansial.

Soal finansial ini sangat penting untuk diletakkan sebagai konteks utama sepakbola di Indonesia. Dalam kendala finansial yang akut, tapi memaksakan diri untuk ikut kompetisi, rentan membuat sebuah kesebelasan akan mengarungi kompetisi dengan kondisi yang mengerikan: gaji tak terbayar, uang latihan tak ada, jatah makan di asrama pas-pasan, tim tidak bisa melakukan perjalanan tandang, tidak memiliki stadion dan harus bermain dan menyewa stdion di kota lain, dll.

Salah satu imbas paling mengerikan dari soal finasial ini adalah pemain-pemain yang tak digaji akan rentan tergoda oleh uang haram suap. Pengaturan skor hingga sepakbola gajah sangat rentan terjadi dalam situasi seperti ini.

Monday, August 17, 2015

Mengapa Milan Kurang Memaksimalkan Penjualan Pemain

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Deloitte edisi 2015 yang menggambarkan kondisi tahun 2014, AC Milan terlempar dari posisi 10 besar klub dengan pendapatan terbesar dunia. Pundi-pundi uang yang mereka himpun dari tiga unsur utama pendapatan klub berupa gate receipt (pendapatan dari tiket), media (hak siar) dan commercial (sponsor dan penjualan merchandise) memang mengalami stagnansi dalam lima tahun ke belakang.

Pada tahun 2014, pendapatan Milan sebesar 250 juta euro mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 264 juta euro. Tahun 2015, pendapatan kembali menurun dengan jumlah yang belum dapat dipastikan (laporan belum rilis) karena kegagalan mereka mengikuti kompetisi antarklub Eropa. Tahun 2016 nanti, kondisinya kurang lebih akan sama.

Namun Deloitte tidak menghitung unsur penjualan pemain dalam daftar yang mereka susun. Untuk beberapa klub, penjualan pemain justru merupakan unsur yang cukup signifikan dalam pendapatan. Sebut saja FC Porto atau Udinese. Porto, salah satu klub tersukses Portugal, memang terkenal sebagai klub dengan model bisnis menjual pemain.

Jika hanya menghimpun pendapatan dari tiga unsur utama tadi, pendapatan Porto seperti tercantum di laporan keuangan tahun 2014 hanya sebesar 67 juta euro, namun dari penjualan pemain, mereka berhasil mendapatkan 91 juta euro. Bagi Porto, pendapatan dari penjualan pemain memang amat vital untuk dapat bersaing dengan klub-klub besar Eropa lain, karena mereka memang sulit berharap banyak pada pendapatan dari tiga unsur utama tadi.

Porto menjalankan model bisnis yang cukup unik di dunia sepak bola. Mereka menganggap pemain sebagai aset yang memiliki nilai jual. Pemandu bakat mereka tidak pernah berhenti mencari pemain-pemain berbakat di seluruh negeri dan wilayah Amerika Selatan. Dan seperti halnya seorang pedagang yang cerdas, mereka memoles para pemain hingga memiliki pengalaman dan kematangan, lalu pemain ini akan dijual saat harga mereka tinggi.

Hebatnya, keseimbangan tidak pernah terganggu dengan penjualan pemain-pemain tersebut. Waktu penjualan pemain telah mempertimbangkan kesiapan pemain lain yang akan menjadi suksesor. Selalu ada pertimbangan matang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan ini telah membantu klub untuk bersaing tidak hanya di kompetisi domestik, namun sesekali mereka juga bermain cukup baik di kompetisi antarklub Eropa.

Di lain sisi, Milan memang tidak dapat dibandingkan dengan Porto. Kedua kesebelasan menjalankan model bisnis dan strategi transfer yang berbeda. Porto mampu mengumpulkan 300 juta euro dari penjualan pemain dalam empat tahun ke belakang, sementara Milan --terutama pada era Berlusconi-- lebih dikenal sebagai klub yang membeli pemain yang sudah jadi ketimbang mendidik talenta muda lalu menjualnya dengan harga yang mahal.

Data yang terpampang di situs Transfermarkt menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, Milan hanya meraup 145 juta euro dari penjualan pemain, atau setengahnya dari yang didapat Porto. Penulis beranggapan, ada beberapa faktor yang membuat Milan begitu sulit memaksimalkan penjualan pemain untuk mendongkrak pendapatan mereka.

Pembelian Pemain yang Tidak Memiliki Nilai Jual Kembali
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kesulitan keuangan melanda, Milan banyak mendatangkan pemain berkemampuan rata-rata air dan berusia matang. Sebut saja Sulley Muntari, Michael Essien, Bakeye Traore atau Cristian Zaccardo. Dalam banyak kasus, pemain-pemain seperti ini bukan hanya telah melewati puncak permainan, tetapi harga mereka juga akan terus menurun.

Memang banyak di antara mereka yang didatangkan dengan gratis, namun tetap saja ada biaya gaji yang dikeluarkan, dan sudah pasti mereka meminta gaji yang besar. Sayangnya, kontribusi mereka di lapangan amat jauh dibandingkan dengan gaji yang mereka terima. Menjual pun menjadi tidak mudah karena permintaan gaji yang sulit dipenuhi calon pembeli. Zaccardo adalah contohnya. Pemain ini terus menerus menolak tawaran dari klub lain karena akan lebih menguntungkan baginya untuk tinggal dan menunggu kontraknya habis.

Menjual dengan Harga Murah
Milan memang sering membeli pemain berkualitas dengan harga yang terbilang miring, namun hal serupa juga kerap terjadi ketika mereka menjual pemain. Terlepas dari rumitnya bisnis sepak bola, beberapa pemain dilepas dengan harga yang terlalu murah, padahal Milan harus membayar harga yang lebih mahal ketika membeli. Contohnya, Kevin Constant. Dibeli dari Genoa tahun 2012 seharga 8 juta euro, harga Constant hanya 2,5 juta euro ketika dijual ke Trabzonspor dua tahun kemudian. Situasi ini memang cukup bisa dimengerti karena saat dijual, Constant dianggap sebagai surplus, menempatkan Milan pada posisi tawar yang rendah.

Hal serupa terjadi pada Riccardo Saponara.  Tahun 2013, Saponara dibeli dari Empoli dengan harga 4,8 juta euro, namun pada bursa transfer 2015 ini, Saponara dibeli kembali oleh Empoli senilai 4 juta euro. Seperti Constant, Saponara juga dipandang sebagai surplus. Namun melihat usianya yang masih muda dan prospeknya yang cukup baik, semestinya Milan bisa sedikit menaikkan harga jualnya.

Selain itu, ada penjualan Adil Rami ke Sevilla pada bursa transfer ini. Meski Rossoneri tidak mengeluarkan uang ketika mendatangkannya dari Valencia, namun penjualan sebesar 3,5 juta euro tentu terlalu murah jika menimbang kualitas yang dimiliki Rami. Terkait hal ini, posisi tawar Milan memang lemah karena mereka menginginkan Carlos Bacca. Milan terpaksa menerima tawaran tersebut agar Los Nervionenses bersedia menerima pembayaran berkala yang diajukan Milan atas Bacca.

Yang cukup disayangkan adalah penjualan dua pemain yang masih terbilang muda, Alexandre Pato dan Stephan El Shaarawy. Pato dijual dengan nilai 15 juta euro ke Corinthians tahun 2012, sementara El Shaarawy dipinjamkan ke Monaco dengan loan fee sebesar 2 juta euro dengan klausul mandatory buying sebesar 16 juta euro.

Bukan hanya soal harga dan prospek sang pemain yang patut disayangkan, namun jika pada akhirnya Milan memutuskan untuk melepas keduanya, mengapa tidak melakukannya saat ada penawaran tinggi? Pato pernah ditawar PSG dan El Shaarawy pernah ditawar Zenit, masing-masing sebesar 35 juta euro, dan saat itu Milan menolak karena status mereka sebagai pemain kunci. Situasi yang memang serba salah, namun dalam hal ini Milan tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sebuah situasi yang tentu saja lumrah dalam bisnis nyata penjualan pemain yang tidak semudah bermain Football Manager.

Membiarkan Pemain Pergi dengan Bebas Transfer
Ini mungkin yang paling disayangkan. Untuk para senatori, yang melakukan ‘bedol desa’ tahun 2012 dengan bebas transfer, sebagian pendukung bisa memahaminya. Kontribusi mereka pada kejayaan Milan tidak bisa ditakar dengan uang. Dalam banyak situasi, Milan memang membeli pemain bukan untuk dijual kembali, terlebih jika sang pemain telah menjadi bagian integral dari kejayaan. Pemain-pemain ini akan dipertahankan terus sampai kontrak mereka habis. Inilah sisi unik Milan membedakan mereka dengan klub-klub besar lain.

Namun untuk beberapa nama seperti Didac Vila, Giampaolo Pazzini, Robinho, atau Urby Emanuelson, Milan sebetulnya bisa saja untuk menjual sebelum kontrak mereka habis. Dengan catatan, memang bukan hal yang mudah untuk menjual pemain surplus atau pelapis seperti mereka. Hukum demand-supply lah yang berlaku.

Penjualan Mahal Karena Alasan Taktis atau Kondisi Finansial
Penjualan Kevin-Prince Boateng ke Schalke dan Mario Balotelli ke Liverpool karena alasan taktis adalah hal yang paling bisa diterima. Milan membeli mereka dengan harga yang cukup mahal, namun kemudian menjual dengan nilai yang kurang lebih sama.

Milan bukannya tidak pernah menjual pemain dengan harga yang amat mahal, dan mengambil keuntungan dari mereka. Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka, dan Thiago Silva adalah pemain dengan nilai jual jauh lebih tinggi daripada harga beli mereka. Namun seperti diketahui, Milan tidak pernah berniat menjual mereka. Penjualan ini dilakukan untuk menambal hutang, mengurangi biaya gaji dan mengompensasi kerugian yang sudah teramat besar.

Friday, August 14, 2015

Alessio Romagnoli dan Mahalnya Sebuah Tradisi

Suatu sore di Milanello, musim panas tahun 2002, Carlo Ancelotti begitu terpukau menyaksikan umpan dan gocekan Manuel Rui Costa, visi ajaib Andrea Pirlo, kecepatan Andriy Shevchenko dan klinisnya Pippo Inzaghi. Tetapi, ada yang amat mengganjal. Ia begitu terganggu melihat Paolo Maldini yang terlalu keras berjibaku di lini belakang, terlebih saat mengetahui bahwa lutut La Bandiera tidaklah sekuat dulu. Billy Costacurta juga sudah menua. Ia menginginkan tambahan bek sentral.

Bukan sembarang bek sentral, tapi yang berkualitas dunia.

Adegan singkat di atas memang hanya rekaan. Tetapi ketika Milan harus kehilangan Franco Baresi, Mauro Tassotti serta kenyataan bahwa mereka tidak bisa terus menerus mengandalkan Maldini dan Costacurta, lini belakang Milan berada pada risiko. Baik Berlusconi ataupun Galliani bukannya tidak menyiapkan pengganti. Roberto Ayala, Jose Chamot, Luigi Sala, Bruno N’gotty, Taribo West, Fabricio Coloccini, Roque Junior hingga Martin Laursen silih berganti diperkenalkan. Nama-nama tersebut bukanlah pemain kacangan, namun sayangnya mereka tidak cukup memberi rasa aman.

Di benak Ancelotti, hanya ada satu nama yang dianggap pantas untuk memberi rasa aman tersebut. Dialah Alessandro Nesta, salah satu bek tengah terbaik dunia yang saat itu masih berstatus sebagai kapten Lazio.

Dalam keadaan normal, tentu saja mustahil menggaet pemain bintang sekaligus didikan asli klub rival seperti Nesta, terlebih saat itu Nesta masih berusia 26 tahun, usia emas pesepak bola. Namun Milan diuntungkan dengan kesulitan keuangan yang dialami Lazio pasca kebangkrutan perusahaan Cirio milik presiden Sergio Cragnotti. Meski sebenarnya enggan pergi, Nesta pun berhasil digaet dengan nilai transfer 30 juta euro jelang penutupan bursa transfer musim panas tahun 2002. Nilai transfer termahal sepanjang sejarah yang dikeluarkan Rossoneri untuk memboyong seorang pemain bertahan.

Kehadiran Nesta terbukti menyempurnakan lini belakang Rossoneri bersama Maldini, Costacurta, juga (Jaap) Stam, (Kakha) Kaladze, dan Cafu hingga menjadikannya salah satu yang terkuat di Eropa. Nesta kemudian berperan besar membawa Milan meraih dua gelar Seri A, sebuah Coppa Italia, dua Liga Champions, dua Piala Super Eropa dan dua Piala Dunia Antarklub.

Sepeninggal Nesta, Milan sempat memberikan tongkat estafet penerus pada Thiago Silva. Namun bedanya, tidak banyak yang mengenal sosok Silva ketika ia baru menginjak San Siro. Tahun 2009, Silva dibeli dengan harga 10 juta euro dari klub Fluminense saat masih berusia 25 tahun. Bersama Milan, Silva berkembang sebagai bek berkelas dunia. Pemain kelahiran 1984 ini pun didapuk sebagai calon legenda. Namun malang tidak dapat ditolak. Akibat kesullitan finansial, Milan terpaksa menerima tawaran 42 juta euro dari Paris Saint Germain tahun 2012 atas bek timnas Brasil ini.

Kepergian Silva tidak hanya meninggalkan lubang menganga di lini belakang, tapi juga menandai ketiadaan bek tengah berkualitas dunia di skuat Rossoneri. Sebuah 'pelanggaran' atas tradisi yang selama ini telah dijaga.

Kondisi ini, bagaimanapun bukan hanya diakibatkan krisis keuangan yang dialami Rossoneri. James Horncastle dalam kolomnya di ESPN secara gamblang menyebut bahwa dunia sepak bola sekarang ini memang sedang dilanda kelangkaan bek tengah berkualitas dunia.

Nama Alessio Romagnoli kemudian muncul di permukaan sebagai satu purwarupa dari sedikit komoditi langka itu. Posturnya tinggi, namun tidak gempal. Ia memang memiliki atribut serang yang memadai berupa kaki-kaki yang tidak kagok untuk menggiring atau mengoper bola, namun ia juga memiliki kesigapan, tekel yang prima, sekaligus kemampuan man marking sebagai atribut bertahan.

Adalah Bruno Conti, eks gelandang Roma yang pertama kali melihatnya bermain, lalu merekomendasikannya ke akademi AS Roma. Saat itu, Romagnoli terbiasa berposisi sebagai gelandang –sedikit menjelaskan kecakapan teknik yang dimilikinya. Namun oleh Sandro Tovalieri --eks penyerang Bari yang saat itu menjabat sebagai pelatih—posisi Romagnoli dipindahkan ke jantung pertahanan.

Selanjutnya, Romagnoli terus berkembang hingga takdir mempertemukannya dengan Sinisa Mihajlovic di Sampdoria. Miha menilai begitu tinggi kemampuan anak muda ini, dan menjadikannya kunci lini belakang Il Samp. Ketika dikontrak Milan pada musim panas ini, maka tidak mengherankan jika Miha menginginkan reuni dengan Romagnoli.

Saga transfer pun mulai terjadi, seperti kondisi yang terjadi 13 tahun lalu saat Milan begitu ingin mendatangkan Nesta. Tetapi kali ini kondisinya berbeda. Roma sebagai pemilik tidak sedang mengalami krisis keuangan seperti Lazio dulu. Namun, sikap Roma juga tidak menunjukkan bahwa Romagnoli adalah pemain yang tak tersentuh. Roma mau saja melepas Romagnoli, namun dengan harga yang mereka tetapkan.

Negosiasi Galliani dengan Walter Sabatini, sporting director Roma, menghasilkan kesepakatan. Romagnoli resmi menjadi bek Milan termahal kedua setelah Nesta setelah ditebus dengan mahar 25 juta euro. Bagi Sabatini dan Galliani, transaksi ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Dengan uang yang didapat dari Milan, Sabatini dapat mendatangkan Edin Dzeko dan Mohamed Salah, sementara Milan mendapatkan sosok pemain yang akan menambal lini belakang.

Apa yang dilakukan Sabatini jelas patut diacungi jempol dari sudut pandang finansial. Bagaimana tidak, dari penjualan dua pemain homegrown seperti Romagnoli (dan Andrea Bertolacci), Roma mendapatkan 45 juta euro. Namun sepak bola jelas bukan melulu soal tampilan juta euro dalam neraca dan laporan laba rugi. Menempatkan sudut pandang sebagai penggemar Milan, saya tentu saja senang dengan kedatangan Romagnoli. Tapi jika menempatkan diri sebagai penikmat netral, saya tentu saja menyayangkan keputusan Roma.

Dengan keputusan ini, Roma seperti menunjukkan bahwa kini mereka adalah tidak lebih dari sebuah entitas internasional yang berbasis di kota Roma, bukan lagi klub asal kota Roma yang melegendakan setidaknya satu-dua pemuda lokal, keunikan yang telah mereka jaga sejalan dengan karir mengagumkan Francesco Totti dan Daniele De Rossi.

Ini memang bukan hal aneh di era industri sepak bola, di mana identitas yang tergerus dan cita rasa lokal yang terlupakan sudah biasa terjadi, dan penjualan pemain lokal kesayangan publik demi keuntungan finansial adalah hal yang memang menjadi tujuan klub. Alih-alih menyaksikan sanak saudara, keponakan atau sepupu berjuang di lapangan, pendukung sudah terbiasa menyaksikan para ‘tentara bayaran’ dari belahan dunia lain untuk mewakili perjuangan klub kota mereka.

Milan memang begitu pintar menciptakan brand image sebgai klub yang masih mempertahankan –atau setidaknya menyisipkan-- warna dan rasa lokal. Namun jangan lupakan bahwa mereka membayar mahal untuk mempertahankan tradisi itu.

Ketika tidak ada lulusan akademi yang dipandang pantas memperkuat di tim senior, Milan akan memburamkan warna lokal klub rival dengan cara membeli para calon legenda mereka. Datangnya Romagnoli hanyalah meneruskan tradisi pembelian Nesta dari Lazio, Gattuso dari Salernitana, Donadoni dari Atalanta, Lentini dari Torino, Massaro dari Fiorentina, Panucci dari Genoa ataupun Gilardino dari Parma. Semuanya asli Italia, dan lebih dulu angkat nama di klub lain. Sebagian dari mereka, ada yang melegenda, ada yang flop, dan ada pula yang hanya bertahan sebentar.

Dan di masa depan, akan selalu ada Romagnoli-Romagnoli berikutnya di Milan. 

Tuesday, August 11, 2015

Serie A 2015-16 Season Preview: Lebih Kompetitif

Kompetisi Seri A Italia tengah bergairah setelah begitu lesu dalam empat tahun ke belakang. Performa melempem di kompetisi antarklub Eropa berhasil ditebus Juventus yang musim lalu melaju hingga partai puncak Liga Champions. Kini, kesadaran akan pentingnya pengelolaan keuangan mulai melanda tim-tim Seri A. Beberapa tim sudah menunjukkan peningkatan performa keuangan, dan bahkan mulai menuai profit dalam operasi mereka. Proyek pembangunan stadion baru ataupun revitalisasi stadion lama juga sudah mulai dijalankan beberapa klub.

Perubahan juga digagas oleh pengelola kompetisi. Salah satunya, penggunaan goal-line technology yang mulai diberlakukan musim ini. Terlepas dari pro dan kontra, kebijakan ini menunjukkan adanya itikad baik untuk meningkatkan kredibilitas kompetisi, yang begitu tercoreng dengan berbagai skandal yang sebelumnya menerpa. 

Begitu pula penghapusan sistem co-ownership atau dikenal dengan comproprieta. Meski keberadaan sistem ini cukup menguntungkan klub dan pemain, namun dalam praktiknya sangat sulit untuk diawasi. Ketidakrapian klub dalam membukukan biaya gaji dan pajak pemain yang terikat perjanjian kepemilikan bersama ini bisa menyeret klub pada konsekuensi yang berat. Contoh paling pas tentu saja kasus Parma dua musim lalu ketika mereka gagal lolos ke kompetisi Europa League akibat adanya tunggakan pajak penghasilan pemain yang mereka pinjamkan ke klub lain.

Berbicara peta kekuatan musim 2015-16 ini, kembalinya Milan dan Inter dalam perebutan gelar juara amat mungkin terjadi. Pembenahan yang terjadi pada kedua klub, terutama dari sisi manajemen berhasil mengembalikan jalan mereka ke rute juara. Setidaknya, pembenahan ini amat kentara dari lantai mercato

Meski kegiatan pembelian dan penjualan pemain belum lagi usai, kedua kesebelasan setidaknya telah berhasil meyakinkan publik bahwa mereka memiliki proyek ambisius. Hingga saat ini, Milan telah menghabiskan 85 juta euro, jumlah yang hanya kalah dari rekor mereka sendiri saat menghabiskan 125 juta euro tahun 2001 lalu saat mendatangkan Rui Costa, Pippo Inzaghi dan Andrea Pirlo. Perburuan pemain pun rasanya masih belum usai.

Inter, di lain sisi, tidak mau kalah. Setelah menggebrak bursa transfer dengan mendatangkan pemain-pemain kelas satu seperti Geoffrey Kondogbia, Joao Miranda dan Stevan Jovetic, Nerazzuri masih menunggu kedatangan satu atau dua orang pemain bintang untuk mendongkrak kualitas skuat mereka agar mampu bersaing memperebutkan scudetto. Satu hal yang patut disayangkan adalah hengkangnya Mateo Kovacic.

Keseriusan duo Milan dalam berbenah, ditambah fakta bahwa Juventus kehilangan Carlos Tevez, Andrea Pirlo dan Arturo Vidal sedikit memberikan harapan akan muncul juara baru di Seri A musim ini. Namun, solidnya skuat dan mental juara yang telah terbentuk dari Juve masih sulit ditandingi, sekalipun oleh kekuatan baru Milan dan Inter. Geliat The Old Lady di lantai mercato pun belum usai. Pasca kedatangan Mario Mandzukic, Paulo Dybala, Sami Khedira, Neto dan Daniele Rugani, mereka akan semakin kuat jika berhasil memboyong salah satu di antara Julian Draxler, Isco atau Franco Vasquez. Hanya saja, rasanya kali ini Juve akan mendapatkan perlawanan yang lebih sengit dari para rival. Kompetisi Seri A Italia musim 2015-16 akan lebih kompetitif.

Gencarnya kegiatan mercato yang dilakukan tiga klub tersukses Italia ini juga mencerminkan derasnya arus pembelian pemain. Musim panas tahun lalu, klub-klub Seri A Italia hanya menghabiskan 346 juta euro, sementara musim ini sudah 450 juta euro (dan nampaknya masih akan bertambah). Dari jumlah 450 juta tersebut setengahnya adalah pembelian yang dilakukan Milan, Juve dan Inter.

Roma, Lazio dan Napoli juga patut dijagokan sebagai penghadang Juventus. Il Lupo telah memperkuat lini depan dengan kedatangan Edin Dzeko dan Mohamed Salah. Sedangkan di lini belakang, kedatangan kiper Wojciech Szczesny akan semakin memperkuat pertahanan mereka, yang dalam dua musim terakhir hanya kalah dalam hal jumlah kebobolan dari Juventus. 

Namun satu hal yang cukup disayangkan, Roma memilih mengorbankan dua pemain masa depan, Andrea Bertolacci dan Alessio Romagnoli. Dua pemain homegrown ini dilepas ke Milan, klub yang jelas menjadi pesaing mereka. Meski penjualan kedua pemain menyumbang pendapatan yang signifikan, Roma menempatkan masa depan mereka pada risiko, karena kebanyakan pemain-pemain baru yang didatangkan adalah pemain-pemain matang dengan masa edar tidak sepanjang Bertolacci maupun Romagnoli. Ditambah lagi, menjual pemain homegrown berbakat juga tentu saja mengurangi cita rasa lokal.

Nantikan juga performa Napoli dan Lazio. Di bawah komando Maurizio Sarri, publik Il Partenopei dapat berharap pada pertunjukan yang lebih segar karena musim lalu, pelatih yang pernah bekerja sebagai bankir ini berhasil mempertontonkan sepak bola atraktif bersama Empoli. Kini tanpa sorotan berarti, Sarri telah menyiapkan skuat yang cukup kompetitif. Pepe Reina, Vlad Chiriches, Allan, Mirko Valdifiori dan Elseid Hysaj berhasil diboyong. Kedatangan mereka juga dibarengi bertahannya para pemain bintang seperti Gonzalo Higuain, Dries Mertens, Marek Hamsik dan Lorenzo Insigne.

Bagaimana dengan Lazio? Klub asuhan Stefano Pioli ini memang tidak membeli pemain-pemain dengan harga mahal. Gelandang muda Serbia, Sergej Milenkovic-Savic adalah pembelian termahal klub dengan nilai 9 juta euro. Namun, di situlah letak kehebatan Gli Aquilotti di bawah rezim presiden Claudio Lotito dan sporting director Igli Tare. Kesuksesan pembelian pemain berkualitas dengan harga murah semacam Felipe Anderson dan Stefan De Vrij telah menggiring mereka ke jajaran papan atas.

Selanjutnya Fiorentina, Torino, Sampdoria dan Genoa nampaknya akan mereamaikan zona Europa League. Musim ini, kekuatan empat klub ini memang terlucuti oleh kepergian pelatih atau pemain-pemain kunci. Jika tidak banyak berbenah, posisi mereka amat rawan digusur oleh Sassuolo, Verona atau Udinese.

Siapa yang berpeluang terdegradasi? Dalam tiga musim terakhir, setidaknya terdapat satu klub promosi yang kembali terdegradasi. Musim ini, baik Carpi, Frosinone dan Bologna berusaha menghindari jeratan tersebut. Namun untuk menghindari hal itu, mereka harus bersaing dengan Palermo, Atalanta, Chievo, ataupun Empoli.