Pages

Monday, July 27, 2015

Paradoks Mexes

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Pandit Sharing di situs Pandit Football http://panditfootball.com/pandit-sharing/paradoks-mexes/ disalin setelah mendapatkan izin dari administratornya
Philippe Mexes adalah sebuah paradoks.
Orang-orang niscaya berdecak kagum menyaksikan bagaimana Mexes mencetak gol ke gawang Inter Milan di International Champions Cup. Gol yang indah. Tendangan yang sangat elok. Tapi dalam setiap momen keindahan yang diciptakan Mexes, banyak orang yang juga ingat kebrengsekan-kebrengsekan Mexes.
Tak ada yang meragukan talenta pemain yang bergabung dengan Milan sejak 2011 ini. Gol-gol spektakuler, kemampuannya dalam membangun serangan, positioning yang baik, kekuatannya di udara ditambah kemampuan dalam man marking semestinya menjadi modal yang lebih dari cukup untuk menjadikannya pemain top.
Gol ‘tendangan ninja’ ke gawang FC Internazionale pekan lalu masih jadi bahan perbincangan, dan itu bukan satu-satunya. Publik juga kembali mengingat-ingat golnya ke gawang Anderlecht dua tahun lalu. Bahkan sampai ada yang menyebut bahwa Mexes memang jarang mencetak gol, namun sekalinya gol tercipta darinya, maka gol tersebut selalu layak dinominasikan di ajang Puskas Award.
Namun sayangnya semua kelebihan itu dibarengi berbagai kekurangan yang sifatnya mendasar: temperamen buruk. Dalam dua musim terakhirnya bersama Milan, dua kali ia dihukum sebanyak empat pertandingan akibat konfrontasi dengan pemain lawan. Dua tahun lalu dengan bek Juventus, Giorgio Chiellini dan beberapa bulan lalu dengan gelandang Lazio, Stefano Mauri.
Bukan hanya temperamen buruk berujung hukuman kartu dari wasit, ia juga kerap melakukan pelanggaran-pelanggaran ceroboh berujung hukuman tendangan bebas di posisi rawan. Karena hal inilah Mexes dinilai tidak memiliki efektifitas dan kehati-hatian, dua atribut yang amat dituntut dari seorang bek tengah. Beberapa nama seperti Alessandro Nesta dan Paolo Maldini adalah contoh bek-bek yang mampu menghadang lawan dengan elegan sekaligus keras, namun amat jarang terkena hukuman kartu.
Begitulah paradoks seorang Mexes. Jangan heran juga jika AC Milan sempat ragu kepadanya.
Awal Juli 2015, Presiden Milan, Silvio Berlusconi, memberi titah untuk menawarkan kontrak baru kepada Mexes. Kontrak lama senilai 4 juta euro per tahun telah berakhir 30 Juni 2015 lalu, dan Sky Italia sempat mengabarkan bahwa kontrak pemain asal Prancis ini tidak akan diperpanjang. Ia memang sempat menganggur, namun hal tersebut hanya berlangsung kurang lebih selama seminggu. 8 Juli 2015, Mexes menandatangani kontrak baru senilai 1,5 juta euro yang akan membuatnya bertahan di San Siro setidaknya hingga bulan Juni tahun depan.
Kalau memang jasa Mexes dirasa masih layak dihargai, mengapa Milan tak memperpanjang kontrak sebelumnya? Kenapa harus menunggu kontraknya habis? Apakah tidak cemas jika Mexes diboyong kesebelasan lain?
Tapi nyatanya Milan melakukan hal itu. Dan tindakan Milan itu bisa dibaca sebagai sebentuk kontradiksi yang merespons paradoks.
Keputusan sudah diambil. Tepat atau tidaknya keputusan Berlusconi memang belum dapat dijustifikasi hingga musim kompetisi 2015/16 berakhir. Waktu yang nanti akan membuktikannya.
Yang pasti, Mexes sudah tak punya banyak waktu lagi. Usianya sudah 33 tahun, jelas sudah tak muda lagi. Tinggal sedikit waktu baginya untuk memperlihatkan diri sebagai pemain yang patut dikenang, ya… dikenang dengan baik, setidaknya oleh sejumlah orang, setidaknya oleh para suporter dari kesebelasan yang mempekerjakannya.
Sudah terlalu lama waktu terbuang oleh aksi-aksi yang tidak perlu, yang membuat Mexes bisalah dibilang sebagai cerita klasik tentang wasted talent — tepatnya: pemain dengan bakat yang besarnya sama dengan temperamennya.
Ia memperkuat Auxerre sejak berusia 12 tahun, dan menjadi bagian dari generasi muda emas kesebelasan yang kala itu dilatih Guy Roux. Bersama Jean-Alain Boumsong, Djibril Cisse, dan Olivier Kapo, Mexes tampil sebagai pemain kunci yang membawa Auxerre tampil di Liga Champions. Ia layak disebut sebagai salah satu pemain kunci ketika kesebelasan yang sempat disinggahi mantan penyerang nasional Indonesia, Rochi Putiray, menjuarai Coupe de France edisi 2003.
Kala itu, Mexes adalah bakat terbesar bukan hanya bagi Auxerre, tapi juga sepakbola Prancis. Saat media mulai mendengungkan namanya, Roux turut mengamini, namun sekaligus mengerem pujian-pujian tersebut.
“Ia sangat berbakat. Tetapi untuk pemain muda yang tengah berkembang, pujian-pujian ini tidak membantunya dan tidak membantu saya sebagai pelatihnya,” ujar Roux saat itu.
Pengakuan atas bakat pemain kelahiran Toulouse juga ditunjukkan dengan berlimpahnya kesebelasan yang meminatinya. Pemandu bakat Arsenal, Liverpool dan beberapa kesebelasan di Italia kerap terlihat di stadion Abbe Deschamps milik Auxerre. Mexes akhirnya memutuskan untuk pindah ke AS Roma pada 2004, setelah melalui saga transfer yang pelik hingga harus melibatkan pengadilan. Transfer terjadi tanpa persetujuan Auxerre, dan untuk itu Roma harus membayar 7 juta euro kepada Auxerre. Mexes pun terkena getahnya: dihukum larangan tampil sebanyak enam laga.
Hukuman yang diakibatkan transfer ilegal ini berbuntut panjang. Musim 2005/2006, Roma dilarang melakukan transfer pemain, kecuali yang berstatus free agent. Tanpa diduga, hukuman ini menjadi berkah terselubung bagi Mexes. Pelatih Roma saat itu, Luciano Spalletti menjadikannya sebagai kunci lini belakang bersama Cristian Chivu dan Matteo Ferrari, dua pemain bertahan lain yang juga menjanjikan. Mexes turut berkontribusi membawa Roma memenangi dua gelar Coppa Italia secara beruntun tahun 2007 dan 2008.
Namun masalah kedisiplinan lagi-lagi muncul dalam karir pemain bertinggi badan 187 cm ini. Hanya dalam tiga musim saja, ia mengoleksi 28 kartu kuning. Pada 2009, Roma akhirnya meminjam Nicolas Burdisso dari Inter, yang memengaruhi jatah bermain Mexes. Mexes juga mengalami kerusakan ligamen lutut kiri pada awal 2011.
Kombinasi semua hal itulah yang membuat waktu bermainnya di Roma mendekati habis. Roma memutuskan tidak memperpanjang kontrak Mexes. Ia meninggalkan Si Serigala dalam status bebas transfer — sesuatu yang agak menyedihkan bagi pemain dengan bakat sebaik Mexes. Dari situlah kisah Mexes di Milan akhirnya dimulai.
Awal karir internasional Mexes juga menjanjikan. Ia dianggap sebagai penerus ideal Laurent Blanc di jantung pertahanan tim Ayam Jantan. Namun, bakat besar yang dimiliki Mexes tidak otomatis menjadikannya pilihan utama.
Dalam rentang 2002 hingga 2012, ia hanya 29 kali membela Les Blues, itu pun hanya sekali saja tampil di turnamen besar yaitu Piala Eropa 2012. Pada era usia emasnya sebagai pesepakbola, ia kerap kalah bersaing dengan bek-bek dengan bakat yang sekilas tidak lebih baik ketimbang dirinya, namun memiliki perilaku yang lebih tenang di lapangan semisal William Gallas, Boumsong, Mikael Silvestre atau Sebastien Squilacci.
Hukuman kartu memang identik dengan perjalanan karir Mexes. Lima musim bermain di Auxerre, ia mengoleksi 23 kartu kuning dan sebuah kartu merah. Rekor kedisiplinan Mexes tidak membaik saat ia mulai bermain di Serie-A. Dalam tujuh musim di Roma, ia mengoleksi 42 kartu kuning dan empat kartu merah. Masalah kedisiplinan ini tidak juga hilang ketika ia bermain di Milan, padahal kala Milan mendatangkannya, ia sudah berusia 29 tahun — usia yang cukup matang bagi seorang pemain. Padahal ia sedang bermain di kesebelasan yang menjadi tempat sejumlah bek-bek hebat menemukan panggungnya.
Pada musim pertama berseragam merah-hitam, Mexes yang masih dalam pemulihan cedera hanya menjadi pelapis Nesta. Ia hanya bermain 14 kali di liga dengan mengumpulkan tiga kartu kuning. Semusim kemudian, saat Milan ditinggal Nesta, Mexes dipercaya menempati posisi inti di jantung pertahanan bersama Thiago Silva. Di musim inilah rekor kedisiplinan Mexes memburuk dengan total koleksi 11 kartu kuning dari 25 penampilan.
Dua musim beruntun setelahnya, rekor kedisiplinan itu makin’tak terkendali. Ia mengumpulkan 16 kartu kuning dan tiga kartu merah. Secara total, Mexes mengoleksi 30 kartu kuning dan tiga kartu merah selama 81 kali membela Milan di Seri A. Jika dirata-rata, Mexes menerima kartu kuning setiap 243 menit, atau setara kurang lebih tiga pertandingan.
Jika diakumulasi, hukuman-hukuman dari kartu merah yang diterimanya selama berbaju Milan itu senilai dengan masa hukuman sepertiga musim kompetisi. Bandel betul, bukan?
Dalam pertandingan sepakbola, pemain belakang yang tugas utamanya menghadang serangan lawan memang sudah sewajarnya rentan terkena hukuman kartu. Namun akan menjadi tidak termaafkan bagi sang pemain jika hukuman kartu diberikan bukan atas pelanggaran profesional untuk mencegah lawan mencetak gol, tetapi karena ketidakmampuan mengendalikan emosi.
Sikap pendukung Milan atas perpanjangan kontrak Mexes pun terbagi dua. Sebagian menentang, namun tidak sedikit pula yang menginginkannya bertahan. Bagi yang kontra, Mexes tetaplah pemain yang sama, yang ketika diturunkan berisiko merugikan timnya lewat kecerobohan dan hukuman kartu. Namun bagi yang pro, terlihat kurang fair jika menilai Mexes hanya dari sisi hukuman kartu lalu mengesampingkan talenta, pengalaman dangrinta yang dimilikinya.
Kelebihan langka Mexes dalam mencetak gol-gol spektakuler juga dapat menjadikannya seorang game changersaat Milan mengalami kebuntuan dalam membobol gawang lawan. Para pendukung juga dapat berharap Sinisa Mihajlovic, pelatih baru Milan, mampu menjadikan Mexes sebagai pemain penting musim depan. Sebagaimana diketahui, Mihajlovic memiliki kisah sukses musim lalu di Sampdoria kala menjadikan Matias Silvestre, bek senior yang semula tidak diperhitungkan, sebagai kunci lini pertahanan Il Samp.
Dengan komposisi bek-bek tengah Milan sekarang, Mexes dianggap sedikit lebih baik, terlebih ia kini yang paling senior. Cristian Zapata kerap tampil inkonsisten, Gabriel Paletta masih mencari form terbaik, Alex sudah lamban dan Rodrigo Ely masih perlu pembuktian.
Milan memang sudah hampir pasti akan mendatangkan seorang bek tengah lagi, dengan bek berbakat Alessio Romagnoli dari Roma sebagai target utama. Kedatangan Romagnoli (atau siapapun bek tengah baru nantinya) kemungkinan besar akan mengorbankan salah satu dari Alex, Zapata, Paletta ataupun Rodrigo Ely. Dengan demikian, Mexes memang memiliki peluang terbesar untuk mendampingi sang bek tengah baru Milan.
Sepakbola memang penuh dengan kesempatan kedua, dan bagi Mexes kesempatan langka ini boleh jadi yang terakhir jelang penghujung karir.

Monday, July 20, 2015

Ramai-Ramai Melambung

Terciumnya gosip transfer pemain oleh media, tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab melambungnya harga seorang pemain. Dikatakan melambung, karena kenaikan harga yang terjadi sangat drastis –bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dari harga pasar sebenarnya dari sang pemain.

Data komprehensif situs Transfermarkt dapat dijadikan referensi harga pasar pemain –meski tidak mutlak. Sebagai contoh, harga gelandang baru Inter, Geoffrey Kondogbia sebetulnya tidak sampai 20 juta euro menurut situs database berbasis Jerman ini, namun kenyataannya, Nerazzuri harus mengeluarkan cek senilai 40 juta euro untuk menebus pemain berusia 22 tahun ini dari AS Monaco. Cerita yang sama juga berlaku untuk Raheem Sterling, yang dibeli Manchester City dari Liverpool sebesar 49 juta pound. Sebagai ilustrasi, nilai ini lebih mahal ketimbang transfer Zinedine Zidane dari Juventus ke Real Madrid sebesar 46 juta pound tahun 2001 lalu. Komparasi yang boleh jadi one-sided, tapi tetap saja tidak menghilangkan fakta bahwa harga Sterling –yang baru berusia 20 tahun dan belum memenangi apapun- terlalu mahal jika dibandingkan Zidane yang saat itu berstatus sebagai pemain terbaik dunia.

Di samping berita yang diramaikan media, harga pemain juga mengalami eskalasi karena campur tangan dari agen pemain. Seperti diketahui, peran agen pemain, ataupun pihak dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menguasai lisensi kepemilikan pemain, memegang peranan amat penting dalam proses negosiasi perpindahan pemain. Terang saja, untuk beberapa kasus, nilai komisi dari para agen ini bisa melebihi 10% dari nilai transfer. Wajar bukan, jika harga pemain akan terus dikipas-kipasi semahal mungkin.

Faktor lainnya, bisa muncul tergantung kasus yang spesifik. Misalnya, preferensi sang pemain untuk bermain di klub tertentu, contoh hal ini adalah pilihan Kondogbia terhadap Inter alih-alih Milan. Atau bisa jadi keinginan klub pemilik untuk tidak menjual pemainnya kepada klub tertentu, misalnya dengan alasan rivalitas tradisional ataupun alasan lainnya.

Hal inilah yang sialnya dialami Milan dalam bursa transfer kali ini. Padahal, perbaikan di tubuh klub milik Silvio Berlusconi ini bukan lagi main-main. Investor dari Asia sudah diberi lampu hijau menanamkan modal, stadion baru siap dibangun, hutang-hutang siap dibereskan, dan direktur-direktur asal Italia sudah diberi garansi untuk tetap mengendalikan klub agar ciri khas tidak hilang. Ini baru dari sisi manajerial saja, dari sisi kepelatihan, Sinisa Mihajlovic -pelatih yang jauh lebih berpengalaman dibanding dua pendahulunya, Clarence Seedorf dan Pippo Inzaghi- resmi ditunjuk. Mihajlovic juga telah diberi kebebasan untuk memilih sendiri staf pelatihnya, juga disediakan budget besar untuk membenahi skuatnya.

Hasil pembenahan skuat juga telah hadir. Andrea Bertolacci, Carlos Bacca, Luiz Adriano, dan Jose Mauri telah menjadi bagian dari keluarga besar Milan. Ditambah lagi, Milan juga telah melepas pemain-pemain yang dianggap tidak lagi diperlukan dan malah membebani biaya gaji seperti Sulley Muntari, Michael Essien, Daniele Bonera hingga Robinho dan Valter Birsa.

Namun hal ini belumlah cukup. Para penggemar yang lebih cerdas sepertinya paham betul bahwa problem Milan teramat kompleks. Dari mulai semangat bertanding atau grinta, kreativitas di sepertiga lapangan lawan, hingga bocornya lini pertahanan yang musim lalu kebobolan 50 gol, atau rata-rata 1,3 kali per laga. Karena alasan itulah kehadiran Bertolacci, Bacca, Adriano dan Mauri dirasa belum cukup.

Para pakar Twitter menganggap bahwa Rossoneri masih memerlukan setidaknya tiga pemain lagi untuk menjadikan tim mereka sebagai penantang serius gelar scudetto. Seorang gelandang tengah dan seorang trequartista handal amat diperlukan untuk membenahi dua departemen sekaligus, yaitu departemen mesin dan departemen penyerangan. Para fans masih berharap Zlatan Ibrahimovic melakukan comeback dan mengisi pos tiga perempat lapangan, sekalipun usia sang pemain sudah terbilang uzur. Sementara untuk posisi gelandang tengah, pemain asal Belgia yang bermain di Zenit St. Petersburg, Axel Witsel, menjadi kandidat yang paling pantas.

Witsel, yang tahun ini berusia 26 tahun, dianggap memiliki atribut kreativitas, power sekaligus pengalaman bermain di level tertinggi. Kehadirannya akan berdampak signifikan bagi lini tengah lesu Milan. Ia akan memberi tambahan perisai bagi lini belakang, memperlancar peredaran darah bola, hingga menjadi ancaman nyata bagi lawan lewat tendangan-tendangan jarak jauhnya. Tetapi Zenit, sang pemilik, juga tidak akan melepas sang andalan dengan mudah. Mengapa?

Pertama, Zenit memperoleh sang pemain dengan harga yang amat mahal, yaitu 40 juta euro. Ia didatangkan dari Benfica tahun 2012 lalu. Sempat menjadi sasaran rasis suporter dan sasaran iri hati rekan setim karena gajinya yang besar, nyatanya Witsel tetap tegar dan kini menjelma sebagai pemain tak tergantikan di lini tengah klub asuhan Andre Villas-Boas.

Kedua, Zenit ingin tetap menjadikan Witsel sebagai poros tim yang ingin berprestasi lebih baik di Liga Champions. Bukan rahasia lagi jika klub yang didukung penuh oleh perusahaan raksasa Gazprom ini sudah lelah hanya menjadi jagoan di tingkat domestik saja, namun masih melempem di Eropa. Melepas Witsel berarti menjauhkan mereka pada target tampil baik di Eropa.

Ketiga, dan cukup krusial, adalah ketertarikan klub-klub lain atas pemain gimbal ini. Milan tidak sendirian mengincarnya, karena Chelsea dan Juventus juga meminatinya. Sisanya adalah hukum demand dan supply, dan posisi Milan amat tidak bagus jika dibandingkan dua pesaing mereka tadi. Sama sekali tidak ada jaminan bahwa Milan akan memenangi perburuan meski mengklaim bahwa Witsel telah menyetujui personal terms yang ditawarkan.

Kasus Witsel juga terjadi sebelas-dua belas pada bek paling potensial Italia saat ini, Alessio Romagnoli. Baru berusia 20 tahun dan menjalani satu musim cemerlang, harga Romagnoli tidak tanggung-tanggung melonjak lima kali lipat ketimbang harga pasar 6 juta euro yang dipampang situs Transfermarkt. AS Roma, klub pemiliknya sekembali pemain ini dari Sampdoria, membanderol 30 juta euro untuk siapapun yang menginginkan jasanya.

Saga Romagnoli menjadi lebih pelik karena ialah yang dianggap kepingan puzzle terakhir yang amat dibutuhkan Milan dalam mengarungi musim yang baru. Romagnoli dianggap memiliki kecakapan teknis untuk membangun serangan dari belakang, sekaligus kemampuan tekel dan duel di udara yang mumpuni. Seorang bek yang bukan lagi sekadar hot prospect, tapi juga telah dibanding-bandingkan dengan para legenda seperti Alessandro Nesta atau bahkan Paolo Maldini. Suporter rasanya masih akan memahami jika Milan gagal mendatangkan Witsel dan Ibra, namun tidak untuk Romagnoli. 

Mengetahui pengharapan Milan yang teramat tinggi, Roma jelas memiliki keleluasaan untuk mempertahankan asking price mereka. Tidak ada kata diskon, turun harga ataupun pertukaran pemain. Mereka juga butuh uang untuk mendatangkan target mereka sendiri, yaitu Edin Dzeko. Jika pun Romagnoli tidak jadi dilepas, Romanisti pun akan senang karena akan bertambahlah ‘gladiator’ asli Roma lainnya menemani Francesco Totti, Daniele De Rossi dan juga Alessandro Florenzi. Posisi Milan pun semakin sulit karena peminat bek bertinggi badan 185 cm ini juga bertambah, setelah Arsenal dan Chelsea ikut melakukan pengejaran.

Melambungnya harga para pemain incaran ini mau tidak mau membuat Milan menjalankan rencana kedua. Incaran-incaran alternatif ini pun telah diumumkan, yaitu Stevan Savic dan Ezequiel Garay untuk posisi bek tengah, serta Roberto Soriano dan Diego Perotti untuk posisi gelandang. Memang terdengar kurang ‘premium’, namun lebih baik dibandingkan tidak sama sekali.

Sayangnya, untuk para pemain incaran alternatif ini pun, Milan tidak akan mendapatkannya dengan mudah. Savic dikabarkan sudah merapat ke Atletico Madrid (ya, seperti yang mereka lakukan atas Jackson Martinez), sementara Garay sudah berusia 28 tahun dan terhitung terlalu mahal, yaitu 25 juta euro. Milan bisa saja berpaling kembali kepada bek Torino, Nikola Maksimovic, namun seperti yang sudah-sudah, harga Maksimovic sudah pasti akan ‘dilambungkan’ terlebih dahulu. Ya, ramai-ramai melambung.

Monday, July 13, 2015

Arti Stadion Baru Bagi Milan

Di antara berita-berita transfer Milan yang cukup menggembirakan (jika tidak bisa dikatakan impresif) pada liburan kompetisi ini, muncul berita yang amat menggembirakan, yaitu terkait pembangunan stadion baru.

Rencana pembangunan ini bukanlah berita baru, melainkan telah didengungkan sejak beberapa tahun ke belakang, tepatnya saat kesulitan finansial Milan terkuak telak –seiring penjualan para bintang dan ketidakmampuan mereka mendatangkan penggantinya yang berujung dekadensi prestasi. Rencana ini kemudian mulai dijalankan saat sang patron, Silvio Berlusconi akhirnya membuka pintu bagi pihak lain yang ingin berinvestasi di klub berjuluk Rossoneri.

Februari lalu, rancangan stadion yang akan berada di wilayah Portello dan tepat di sebelah Casa Milan, museum dan toko resmi Milan, telah terdengar media. Digambarkan, Milan akan membangun stadion di wilayah yang masih masuk hitungan pusat kota Milan, yaitu hanya berjarak 2,5 km dari kawasan Duomo di Milano atau Galeria Vittorio Emanuele II. Berbeda dengan lokasi stadion San Siro milik pemerintah daerah yang selama ini mereka gunakan bersama FC Internazionale, di mana stadion ini berjarak 9 km dari Duomo.

Dan tepat tanggal (7/7) yang lalu, Milan akhirnya mendapatkan jawaban positif dari pemilik lahan, yaitu Fondazione Fiera Milano untuk membangun stadion yang akan berkapasitas 48 ribu penonton ini. Anggukan kesetujuan dan penandatanganan berkas perjanjian ini –meski tidak disebutkan dalam rilis pernyataan resmi kedua belah pihak- tidak dapat dilepaskan begitu saja dari akuisisi sebagian saham Milan kepada investor asal benua Asia yang diwakili oleh Bee Taechaubol, seorang pengusaha asal Thailand.

Stadion ini tentunya akan digunakan mereka sendiri, tidak lagi berbagi dengan klub lain. Dari stadion ini, Milan juga dapat membuka episentrum gaya hidup yang baru dengan cara menyewakan restoran, pusat perbelanjaan hingga hotel. Pusat kegiatan, rekreasi dan gaya hidup. Tipikal penggunaan stadion modern yang tentu saja akan menambah pendapatan klub secara signifikan.

Proyek besar ini, seperti dikatakan joint-CEO mereka yaitu Barbara Berlusconi, memang belum final. Proses “ketok palu” dan peletakan simbolis batu pertama masih harus melalui berbagai izin dari pemerintah setempat, meski banyak pihak berpendapat bahwa hal ini hanyalah formalitas. Meski demikian, “(Kota) Milan akan melangkah seperti kota London” merujuk pada perkataan Barbara dalam komparasi kota Milan dengan London, melihat begitu banyaknya klub-klub sepak bola berbasis di London yang sebagian besar telah memiliki stadion sendiri.

Pernyataan ini sekaligus menjadi jawaban atas kepastian nasib Inter Milan, yang juga memiliki proyek stadion baru. Dengan menyisakan beberapa dokumen formalitas legal, Milan akan memulai proyek pembangunan dalam beberapa bulan ke depan, di mana hal ini memudahkan rencana Inter untuk menggolkan proyek mereka membeli dan merevitalisasi San Siro. “Dengan memiliki dua stadion, kota Milan bisa menjadi pelopor (di Italia),” ujar Marco Fassone, salah satu direktur Nerazzuri.

Menuju Modernisasi = Lepas Dari Tradisi
Dari stadion baru, Barbara yang juga putri dari Silvio Berlusconi menyatakan bahwa Milan setidaknya dapat meraih tambahan pendapatan senilai 50-80 juta euro. Bagaimana hitung-hitungannya? Sederhananya seperti ini:

Rata-rata harga tiket (+/- 50 euro) x +/- 45.000 penonton = 2.250.000 euro per pertandingan.

Dalam satu musim kompetisi liga domestik, Milan minimum menggelar laga kandang sebanyak 19 kali. Jadi total semusim, Milan akan mendapatkan sekitar 40 juta euro. Ini baru dari sektor penonton, belum menghitung penyewaan ruangan dan lapangan untuk acara non-sepak bola yang bisa saja mencapai 10 juta euro per tahun. Ditambah lagi, kemungkinan penjualan stadium naming right yang bisa menghasilkan 10 juta euro per tahun. Dan jangan lupa, asumsi ini hanya berlaku untuk kompetisi liga domestik saja, belum termasuk ajang kompetisi antarklub Eropa.

Pendek kata, ucapan Barbara bahwa Milan dapat menyisihkan uang untuk pembelian pemain baru per musimnya bukanlah omong kosong belaka. Milan dapat mengikuti Juventus sebagai klub Italia pertama yang memiliki stadion sendiri, juga mengikuti proyek Roma dan Udinese yang saat ini tengah memulai pembangunan stadion, dan dalam skala yang lebih besar, Milan juga akan berdiri sejajar dengan klub-klub papan atas lain yang telah lama menikmati guyuran fulus dari kepemilikan stadion.

Bagaimanapun, tidak melulu aspek finansial jika membicarakan klub sepak bola. Ada romantisme, sejarah dan kenangan-kenangan yang harus ditinggalkan seiring langkah relokasi mereka dari San Siro. Stadion terbesar di Italia ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesuksesan (dan kegagalan) Milan. Romantisme semacam ini tentu tidak dapat dikesampingkan begitu saja, terlebih jika para legenda seperti Franco Baresi dan Gianni Rivera telah angkat bicara.

Menurut Rivera, mendukung Milan selain di San Siro akan terasa berbeda. Sementara Baresi dengan senada juga mengatakan bahwa San Siro telah menyimpan banyak kenangan. Namun kedua legenda ini juga mengemukakan bahwa inilah satu-satunya cara bagi Milan jika ingin terus menjadi klub papan atas di Italia dan juga di Eropa.

Keputusan ini, tentu saja menjadi kabar gembira bagi kubu Inter. Mereka tidak perlu meninggalkan rumput bersejarah dan tiang gawang San Siro, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan banyak uang, bahkan amat mungkin lebih banyak ketimbang 300 juta euro yang akan digelontorkan Milan dalam proyek stadion di Portello. Inter harus lebih dahulu membeli San Siro (Oke, Giuseppe Meazza) kepada pemerintah setempat, lalu mereka juga harus mengeluarkan biaya besar untuk merenovasi stadion. Si Merah membuka lembaran baru, Si Biru melanggengkan memori.

Lalu bagaimana pengaruh proyek ini pada kelompok suporter kedua klub? Apakah masih ada sebutan Curva Sud bagi Milanisti atau Curva Nord bagi Interisti, mengingat sebutan ini tercipta atas pembagian ‘lapak’ mereka ketika masih berbagi San Siro, ketika mereka bergantian mendukung tim kesayangan dari pintu dan kursi yang sama, ketika Derby Della Madonnina yang megah itu begitu khas dengan latar pemandangan San Siro. Romantisme seperti ini, kelak akan berganti tempat, atau bahkan berbagi bentuk.

Namun setidaknya, cerita ini toh tidak akan memadamkan rivalitas dan gengsi di antara kedua kubu yang telah berlangsung lebih dari seabad. Karena kota Milan, publik sepak bola Italia dan bahkan publik sepak bola dunia akan tetap menantikan derby panas antara kedua tim. Keberhasilan proyek stadion baru Milan, berarti pula keberhasilan Inter membeli San Siro, sekaligus kebangkitan bagi dua tim kota mode untuk kembali ke papan atas Italia sekaligus Eropa, karena duo Milan ini telah 10 kali merebut Liga Champions (Milan 7, Inter 3), lebih dari kota-kota lain di Italia, dan hanya mampu disamai kota Madrid di Eropa.

Thursday, July 2, 2015

Pengumpul Golden Foot

Sebelum menuliskan ini, saya sempat berpikir, bagaimana jika saya disebut sebagai seorang fan yang selalu bersikap negatif terhadap kebijakan tim favorit. Namun kemudian saya kembali berpikir, ah masa bodoh. Di dunia maya yang tiada batas ini, siapapun boleh menyuarakan pendapatnya.

Saya memang selalu menekan tombol favorite pada lini masa sebuah akun penggemar Milan, setiap kali akun tersebut memberitakan nama-nama pemain yang menjadi target pembelian Rossoneri. Terlihat kurang kerjaan, tapi sebetulnya saya sedang menebak-nebak bagaimana Milan akan menjadi sebuah tim pada lima musim ke depan.

Milan sudah mendatangkan Andrea Bertolacci, dan dalam beberapa jam ke depan setelah posting entri ini, Carlos Bacca akan menyusul sebagai rekrutan baru. Dua nama ini memang tampil ciamik musim lalu. Bertolacci tak pelak adalah aktor utama lini tengah Genoa yang begitu impresif, sementara Bacca adalah striker berkelas kontinental yang telah dua kali memberi gelar Liga Europa kepada Sevilla. Untuk dua pemain ini, Milan harus mengeluarkan uang sebesar 50 juta euro, dengan rincian Bertolacci 20 juta, dan Bacca 30 juta sesuai buy out clause.

Tentang dua nama ini, saya jelas memandangnya secara positif. Bertolacci masih muda, yaitu 24 tahun. Ia juga mampu bermain sama baiknya sebagai gelandang tengah atau gelandang serang. Asli Italia pula, yang tentu sejalan dengan keinginan Silvio Berlusconi yang ingin melihat Milan didominasi pemain-pemain Italia. Lalu Bacca, well, ia memang sudah berusia 29 tahun. Tapi jangan lupa bahwa saat mendatangkan Pippo Inzaghi dari Juventus tahun 2001 lalu, Pippo juga telah berusia 28 tahun, dan nyatanya ia mencuat sebagai salah satu penyerang terbaik yang pernah dimiliki Il Diavolo Rosso. Siapa tahu Bacca dapat meneruskan jejak Pippo. Sebagai pemain, Bacca memang tidak seelegan Lionel Messi dan tidak seklinis Gonzalo Higuain, namun sang penyerang asal Kolombia memiliki daya juang, cara bermain yang sederhana namun efektif, juga amat berbahaya di kotak penalti lawan.

Soal harga yang selangit, memang menjadi ganjalan. Harga Bertolacci dan Bacca menurut situs Transfermarkt masing-masing senilai 10,5 dan 14 juta euro saja. Dilihat dari perspektif ini, Milan jelas telah membayar terlalu mahal. Ditambah lagi banyak pihak yang juga menyuarakan hal senada. Namun bagi klub yang tengah berada pada situasi terpuruk seperti Milan, uang memang satu-satunya yang bisa mereka tawarkan kepada para incaran, meskipun premis ini tidak berlaku pada Geoffrey Kondogbia.

Eskalasi berita transfer, juga posisi Milan yang memang amat membutuhkan pemain-pemain baru berlabel bintang memang menjadikan Milan sebagai ‘tambang emas’ baik bagi klub pemilik, agen pemain, hingga pemain incaran sendiri. Mereka bisa saja dengan mudahnya mengipasi harga pemain hingga ke level tertinggi, toh Milan sudah pasti mengupayakan tercapainya kata deal. Harga pemain yang diincar Milan seperti mengalami inflasi. Ibarat mencari mobil sewaan untuk mudik pada hari raya lebaran, di mana para penyewa akan memberi harga yang amat jauh di atas harga normal. Apa boleh buat, untuk saat ini, Milan tidaklah memiliki bargaining power akibat tidak jelasnya proyek mereka.

Namun betapa sebalnya saya mendengar keberminatan Milan pada pemain-pemain lain yang usianya sudah di atas 28 tahun. Luiz Adriano dan Zlatan Ibrahimovic tepatnya. Pemain-pemain yang lebih cocok memasuki nominasi peraih Golden Foot award, penghargaan untuk pemain dengan pencapaian atletis tertentu yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah berusia di atas 28 tahun (Zlatan bahkan pernah memenanginya tahun 2012). Oke, dua pemain ini memang memiliki kemampuan atletik yang istimewa, dan sepertinya masih dapat mempertahankan level permainan dalam waktu dua-tiga tahun ke depan. Tapi tetap saja hal ini memperlihatkan Milan sebagai klub yang masih saja mencari solusi instan. Mengapa tidak membeli penyerang muda berbakat seperti saat mereka mendatangkan Andriy Shevchenko atau Ricardo Kaka? Sudah hilangkah ketajaman scouting Milan?

Membeli dan menggaji pemain mahal berusia di atas 28 tahun hanya akan memaksa Milan untuk kembali merogoh kocek dalam-dalam dalam dua-tiga tahun ke depan. Terlebih, pemain-pemain dengan usia tersebut tidak lagi memiliki resale value. Milan pun harus rela melepas mereka dengan harga murah, menunggu kontrak mereka habis, atau memutus kontrak seperti dalam kasus Sulley Muntari. Milan boleh saja memiliki pemilik baru yang kaya raya, namun seperti diketahui, di era Financial Fair Play, klub sepak bola tidak bisa lagi dijalankan dengan penuh pemborosan.

Jika pun Milan kembali tampil baik, performa tersebut rasanya hanya akan berlangsung dua-tiga musim saja. Itu pun belum menghitung bagaimana kiprah para pesaing yang tentu saja memiliki proyek lebih jelas seperti Juventus, Roma, Napoli, Lazio dan Inter Milan.