Pages

Sunday, November 23, 2014

Ingatlah Kontribusi Paolo Rossi Pada Satu Hal

Paolo Rossi, taken from Old School Panini

Perjalanan karir sepak bola seorang Paolo Rossi memang amat berwarna. Mengawali karirnya di Juventus, Rossi sempat cedera lutut parah yang membuatnya harus dioperasi. Bianconeri kemudian meminjamkannya ke Como dan Vicenza sambil menjalani penyembuhan. Di Como, ia hanya bermain sebanyak enam kali dengan nihil gol.

Rossi yang mengawali karir bermain sebagai pemain sayap, patut berterima kasih pada sosok Edmondo Fabbri, pelatihnhya kala memperkuat Vicenza. Fabbri melihat naluri gol yang tinggi sebagai aset utama Rossi, sehingga pelatih yang pernah menukangi timnas Italia tahun 60an ini tidak ragu menempatkan pemain kidal ini sebagai penyerang tengah.

Rossi, penyerang kelahiran Prato tahun 1956 ini seperti diketahui kemudian muncul sebagai salah satu penyerang tertajam sepanjang sejarah klub yang bermarkas di stadion Romeo Menti dengan torehan 60 gol dalam 94 pertandingan, termasuk menjadi topskor kompetisi Seri B saat usianya masih 20 tahun. Karirnya di Vicenza inilah yang kemudian menjadi titik balik dari pemain yang semula terancam mengakhiri karir di usia muda menjadi penyerang legendaris Italia.

Cerita kemudian berlanjut. Rossi menjadi tumpuan serangan Italia dalam Piala Dunia 1978. Bersama Franco Causio dan Roberto Bettega, mereka membentuk tridente menakutkan meski kemudian harus puas menduduki posisi ke-4 turnamen yang dimenangi tuan rumah Argentina itu. Rossi sendiri membukukan tiga gol pada turnamen yang melesatkan nama Mario Kempes tersebut.

Pahitnya karir mewarnai perjalanan selanjutnya. Tahun 1980, Rossi terjerat skandal judi Totonero yang membuatnya dihukum tiga tahun tidak boleh bermain. Ia kembali ke Juve saat menjalani hukuman, yang kemudian berkurang setahun setelah menjalani sidang banding. Pengurangan hukuman tersebut berandil membawa Rossi ke status legenda. Hukumannya usai hanya beberapa bulan sebelum Piala Dunia 1982 berlangsung, dan pelatih timnas Italia Enzo Bearzot melakukan perjudian besar dengan memanggilnya.

Sisanya adalah sejarah. Rossi berandil besar membawa Italia juara, salah satunya dengan torehan hat-trick ke gawang tim super Brasil yang beranggotakan Socrates, Zico dan Paulo Roberto Falcao. Rossi, pada usianya yang ke-26 saat itu, telah melalui hal-hal yang amat berwarna sebagai pesepak bola. Cedera parah, pergeseran posisi, terjerat skandal, lalu memenangi Piala Dunia sekaligus merebut gelar pemain terbaik. Rossi sendiri tercatat sebagai pemain ketiga setelah Garrincha dan Kempes yang mendapatkan tiga gelar sekaligus dalam satu Piala Dunia, yaitu juara, pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak.

Nama Rossi kemudian identik dengan Juventus setelah ia menjadi andalan Bianconeri pasca Piala Dunia 1982. Ia berandil besar membawa Juve berjaya di Eropa dengan merebut gelar European Cup (sekarang Liga Champions) tahun 1985 untuk kali pertama dengan torehan lima gol dan kolaborasi apik dengan Michel Platini. Gelar ini melengkapi kemenangan mereka pada Cup Winners Cup dan Piala Super Eropa setahun sebelumnya. Kini ia pun bekerja sebagai pengamat di stasiun Juventus Channel, yang menegaskan keterikatannya yang erat dengan Si Nyonya Tua. Ketika membicarakan namanya, publik pun lebih mengingat kiprahnya di Juve, di samping kiprahnya bersama tim Azzurri.

Tidak banyak yang mengangkat cerita singkatnya kala memperkuat Milan. Ya, Rossi sempat bersama Milan pada musim 1985-86. Sayangnya, karir pria bertinggi 178 cm ini tidaklah cemerlang di Rossoneri. Selain fakta bahwa Milan tengah berada dalam titik nadir sebelum kedatangan Silvio Berlusconi, permainan Rossi juga tengah menurun akibat rangkaian cedera yang diderita meskipun baru menyumbangkan gelar Eropa untuk Juventus. Selama 20 kali memperkuat klub merah-hitam, Rossi hanya mencetak dua gol.

Namun siapa sangka jika dua gol tersebut sebetulnya terjadi pada momen yang amat megah: Derby Della Madonnina. Laga yang berlangsung pada 1 Desember 1985, atau 29 tahun silam ini kemudian berakhir imbang 2-2.

Dua gol itulah yang menjadi torehan paling sensasional Rossi untuk Milan, dan sayangnya menjadi satu-satunya karena tidak ada lagi gol dari pemain ini untuk Rossoneri. Torehan ini kemudian sempat diikuti oleh seorang penyerang yang juga mantan penggedor Vicenza seperti Rossi, Gianni Comandini pada tahun 2001. Seperti halnya Rossi, dua gol ke gawang Inter juga menjadi sumbangan tunggal Comandini untuk Milan karena ia memang tidak mampu mencetak gol ke gawang tim lain selain Nerazzuri selama berbaju Milan.

Baik Rossi, maupun Comandini tetaplah berada di hati Milanisti meskipun mereka tidak termasuk jajaran legenda terkait minimnya kontribusi secara keseluruhan. Namun ketika membicarakan Derby Della Madonnina, sulit untuk tidak membicarakan jasa dua pemain ini.

Dalam derby yang akan berlangsung dini hari (24/11) nanti, adakah penyerang Milan yang mengikuti jejak Rossi dan Comandini dengan sumbangan dua gol? Tentu saja dengan harapan sumbangan golnya tidak mandek setelahnya. Jawablah pertanyaan ini, Torres, Menez, El Shaarawy dan Pazzini!

Saturday, November 8, 2014

Tentang Kemenangan Persib

Tidak ada buku manual bagaimana cara menjadi penggila sepak bola, namun seperti yang selalu saya bilang, mendukung tim lokal adalah cara yang paling menggugah.

Sepak bola Indonesia memang terus mengalami degradasi, bukan lagi stagnansi. Apapun yang kita lihat, baca maupun dengar adalah hal-hal mengecewakan, kekalahan demi kekalahan, dan juga baru-baru ini sepak bola gajah. Bagi suporter lokal, hal itu nyatanya tidak menyurutkan minat mereka untuk menonton bola. Sebagaimanapun bobroknya sepak bola, passion dari suporter akan selalu ada. Dan tidak akan mati.

Saya sendiri belum merasa mantap ketika seseorang bertanya “klub Indonesia favorit lo apa?” beberapa waktu lalu di sebuah acara nonton bareng Liga Inggris. Maklum, saya tidak dilahirkan dari keluarga dengan minat sepak bola yang tinggi, sehingga meskipun ayah saya berasal dari Surabaya dan ibu saya dari Bandung, tidak pernah sedikitpun saya pernah mendengar cerita-cerita yang memercikkan kebanggaan atas klub Persebaya maupun Persib.

Masuknya sepak bola ke dalam hidup saya sepertinya kebetulan kosmik. Setelah diolok-olok dalam permainan sepak bola masa kanak-kanak, saya merasa amat sebal kepada para pencela itu, lalu dengan amarah yang mendidih di kepala, saya belajar bermain sepak bola, bukannya berusaha menonjok mereka (gak berani juga sih, mereka berjumlah banyak dan berusia lebih tua daripada saya saat itu). Cerita layaknya kapten Tsubasa tidak menghinggapi kehidupan saya, karena saya toh gagal menjadi pesepakbola profesional sesuai keinginan saya, dan berakhir sebagai ‘tukang insinyur’ bidang pajak. Tapi setidaknya saya bukanlah penendang, pengumpan dan penggocek bola yang buruk. Dan yang terpenting, berkat celaan masa kanak-kanak itu, sepak bola datang memberi warna hidup dalam bentuk tontonan, dunia tulis menulis, dan teman-teman baru.

Ketiadaan pengaruh keluarga, plus fakta bahwa saya besar di pinggiran kota Jakarta membuat saya sempat berpaling kepada tim ibukota, Persija Jakarta. Saya sempat mendukung tim tersebut, namun rasanya aneh ketika mendukung Persija namun masih menyimpan simpati promordial atas Persib, klub yang menjadi rival dalam satu dekade terakhir ini. Dukungan inipun agak terasa hambar.

Lalu ketika denyut sepak bola kota Depok mengalir, klub Persikad Depok tampil mengarungi belantara sepak bola Indonesia divisi bawah. Saya pun sempat menceburkan diri dengan menonton langsung beberapa laga kandang mereka di Stadion Merpati, tempat saya biasa bermain semasa SMP. Menyaksikan Persikad adalah bentuk romantisme sepak bola sesungguhnya, karena dari segi apapun, Persikad sulit mengambil hati penonton netral seperti saya. Namun jika menyaksikan sendiri betapa sulitnya keadaan mereka, cerita miris dari para pemain, stadion yang ala kadarnya, juga investor yang datang dan pergi dengan begitu mudahnya, orang tidak berperasaan pun akan tersentuh mendukung klub ini.

Saya sudah cukup lama tidak menyaksikan Persikad di stadion Merpati karena sekarang sedang libur kompetisi. Gairah sepak bola lokal saya pun sempat terhenti. Namun hal ini sesaat berubah semalam. Momen tersebut adalah saat Persib bertanding di final kompetisi ISL melawan Persipura, klub yang dalam lima tahun terakhir begitu superior dan baru-baru ini mencapai babak semifinal AFC Cup. Ketika menyaksikan tim ini di layar kaca, saya masih merasakan sedikit unsur Persib dalam diri karena keterkaitan asal usul, dan saya pun turut gembira ketika sepakan penalti Ahmad Jufriyanto berhasil memastikan gelar juara. Namun rasanya, kegembiraan ini lebih pantas dimiliki oleh para Bobotoh beneran.

Kemenangan Persib lantas membawa lamunan saya kepada Persikad. Menantikan Persikad menjuarai liga Indonesia mungkin sama saja berharap Indonesia menjadi peserta Piala Dunia. Para pendukung Persikad boleh jadi tidak akan pernah merasakan momen paripurna sebagai pendukung sepak bola, yaitu menyaksikan klubnya juara. Namun mendukung Persikad bagi saya bukanlah soal kapan menjadi juara, namun lebih kepada wujud nyata kecintaan terhadap olahraga sepak bola. Hanya dengan mendukung klub inilah saya bisa menyelami denyut sepak bola Indonesia secara langsung dan merasakan seperti apa mendukung klub lokal, klub yang ada di depan mata. Tidak jauh seperti mereka yang ada di Eropa sana. Menyoraki, merasa cemas, senang dan sedih sekaligus mengintimidasi pemain dan suporter lawan dapat dirasakan hanya dengan meluangkan waktu selama 90 menit di stadion Merpati, dan buat saya sih kegiatan ini lebih menyenangkan ketimbang menonton film seru di bioskop sekalipun. Ya, menonton sepak bola di stadion, bagi saya sudah seperti piknik.

Momen kemenangan Persib ini, bagaimanapun telah meluruskan pikiran saya untuk terus menonton sepak bola langsung dari dekat. Siapa tahu kebetulan kosmik lainnya hadir dalam bentuk kesempatan menyaksikan langsung pertandingan sepak bola di Eropa. Siapa tahu.