Pages

Sunday, July 13, 2014

Ketika Joachim Loew Beradapatasi

Pertengahan tahun 2000, mendukung timnas Jerman mungkin akan menjadi bahan tertawaan. Tim dengan permainan kaku seperti robot, dengan pemain-pemain tua mendominasi, skema yang tidak jelas ditambah lagi liga yang kurang komersil dan kompetitif. Sepak bola Jerman kala itu mengalami stagnan yang parah.

Namun seperti halnya bangsa besar, kegagalan total pada Euro 2000 bukannya membuat mereka semakin terpuruk, melainkan menjadi alasan kuat untuk bangkit. Jerman melalui DFB (Federasi Sepak bola) melakukan serangkaian program yang kelak membuat timnas Jerman menjadi seperti yang kita lihat sekarang dan klub-klub asal Bundesliga kerap berjaya di Liga Champions Eropa.

DFB ketika itu menyadari bahwa kunci kegagalan timnas adalah minimnya talentpool alias ketersediaan pemain-pemain berbakat berkelas dunia. Berangkat dari kesadaran itu, mereka lantas memperbaiki sistem pembinaan pemain dan kompetisi, dua hal krusial yang menjadi rahasia keberhasilan sepak bola sebuah negara.

Pembinaan pemain dimulai dengan pembangunan 366 fasilitas latihan yang tersebar di seluruh negara. Dengan terbangunnya infrastruktur, maka talenta yang semula terlantar kemudian akan tersalurkan dengan baik.

Satu terobosan penting kemudian dilakukan terkait imigran. Menyadari bahwa negeri Luftwaffe memang banyak dihuni oleh imigran asal Turki, Polandia maupun benua Afrika, mereka melonggarkan kebijakan terkait imigran tersebut sehingga talenta-talenta mereka dapat memberi warna baru bagi sepak bola Jerman.

Kini kita saksikan sendiri betapa Jerman seakan tidak pernah kehabisan talenta. Kolaborasi talenta pribumi seperti Thomas Mueller, Mario Goetze maupun Marco Reus bersanding dengan Ilkay Guendogan, Mesut Ozil, Sami Khedira dan lainnya. Bahkan meskipun Reus dan Guendogan absen dari Piala Dunia 2014 ini, kekuatan Jerman seakan tidak terpengaruh.

Barisan talenta ini telah diuji pertama kali saat mereka menjadi tuan rumah tahun 2006. Kala itu di bawah Juergen Klinsmann, Jerman bermain lebih atraktif dan cair. Mereka akhirnya terhenti pada babak semifinal di tangan Italia yang akhirnya menjadi juara turnamen. Namun meski gagal, harapan baru mewarnai sepak bola mereka.

Selanjutnya, Jerman terus menunjukkan peningkatan permainan dan prestasi. Di bawah Joachim Loew yang menjadi asisten Klinsmann tahun 2006, Jerman terus memperlihatkan permainan cantik hasil kolaborasi para pemain-pemain berbakat yang seakan tidak ada habisnya. Tahun 2008 mereka menjadi finalis Piala Eropa, 2010 mereka menjadi semifinalis Piala dunia, dan 2012 mereka juga menjadi semifinalis Piala Eropa.

Setelah puas hanya menjadi finalis ataupun semifinalis, banyak yang beranggapan bahwa Jerman masih kehilangan sebuah ciri khas yang di masa lalu menjadikan mereka sebagai tim juara, yaitu mental. Jerman yang sekarang dinilai hanya bisa bermain cantik dan mengesankan di awal turnamen, namun melempem jelang akhir turnamen. Karena alasan itulah, Loew kemudian beradaptasi.

Kedatangan Pep Guardiola ke Bayern Muenchen awal musim lalu memberi ide pada Loew. Dengan bermaterikan sebagian besar pemain Bayern, Loew juga sedikit mengkopi apa yang dilakukan Pep terhadap kapten Philipp Lahm, yaitu menggeser sang bek sayap ke gelandang bertahan. Dengan kemampuan yang lengkap, Lahm ternyata tidak canggung memerankan posisi ini.

Kondisi ini menambah variasi permainan bagi Loew. Pola 4-1-4-1, 4-2-3-1 atau 4-3-3 dapat digunakannya sekaligus dalam satu pertandingan. Dan dengan trend taktik baru belakangan ini, Loew juga berani memainkan seorang single pivot dalam diri Lahm. Dipakainya single pivot, berarti memperkaya variasi serangan karena gelandang-gelandang lain memiliki lisensi untuk menyerang. Bedakan saja permainan Khedira di Real Madrid dengan di Nationalmannschaft sebagai contoh.


Yang jelas, adaptasi yang dilakukan Loew berhasil membawa Jerman ke babak final untuk pertama kalinya sejak 12 tahun silam. Baginya, inilah pencapaian tertinggi setelah final Piala Eropa 2008. Menang atau kalah nantinya, Loew telah meninggalkan impresi positif sekaligus memperlihatkan suatu hal. Bahwa dengan materi yang dimilikinya sekarang, Jerman akan tetap menjadi kandidat juara Piala Dunia setidaknya dalam tiga Piala Dunia ke depan.

Sunday, July 6, 2014

Untuk Anda Si Nomor 10 (Bukan Surat Terbuka)

Disclaimer: Jangan tertipu dengan judul Blog ini. Entri ini memang bertujuan untuk sedikit memberi pandangan berbeda kepada si nomor 10. Oh iya, ini bukan surat terbuka seperti yang lagi ngetrend di kalangan pendukung fanatik capres sekarang ini. 

“Woi! Oper dong bolanya ke gue! Mata lo di mana?”
“Lo ngerasa lebih jago? Ayo kita man to man di lapangan.”
“Minggir lo! Cuma gue yang boleh ambil eksekusi penalti ini!”
Dan kalimat-kalimat makian yang tidak pantas ditulis.

Kalimat-kalimat seperti itu seringkali kita dengar dari seseorang. Seorang pemain bola di lapangan yang merasa dirinyalah yang paling jago. Dan karena merasa paling jago, dia juga merasa mengemban beban yang tinggi untuk timnya, dan untuk itulah ia juga merasa berhak memarahi rekan setim yang tidak mendukungnya. Ada lagi, dia seolah merasa memliki license untuk banyak menggiring bola, dan menembak ke gawang lawan, seberapapun seringnya ia gagal. Jika ia berhasil, maka itu karena kehebatannya. Jika ia gagal, itu karena memang kebetulan. A self-proclaimed key player.

Mau bermain di manapun, kapanpun, dalam suasana apapun, orang ini selalu serius. Jiwa kompetisinya sangat tinggi dan ia juga amat membenci kekalahan. Ia akan memberikan segenap kemampuannya dan akan sangat terganggu jika mengalami kekalahan. Itu semua benar, tapi sebetulnya yang membuat dia lebih terganggu adalah jika ada rekan setim yang lebih jago darinya.

Orang-orang seperti itu jelas ada. Mereka akan memperlakukan orang lain seperti itu, baik dikenalnya ataupun tidak. “I am the captain. I am the most passionate on this game. I am simply the bestI am the center of this teamIt’s always be about me.”

Agar kelihatan tidak terlalu menyudutkan, sebetulnya si nomor 10 ini bisa melakukan berbagai hal luar biasa dalam sepak bola. Hal-hal yang membuat sepak bola lebih mengejutkan, terutama dalam perkembangan taktik yang makin mengurangi ruang untuk berkreasi ini. Jika tidak bisa melakukan hal-hal luar biasa seperti ini, maka anda bukanlah nomor 10 beneran. Di antaranya adalah:
  • Si nomor 10 bisa menjadi motivator rekan-rekannya, bahkan tanpa perlu berteriak-teriak. Sejurus akselerasi kilat yang membelah selapis-dua lapis pertahanan lawan akan membuka ruang. Dari situ, ia bisa mengeksekusinya langsung atau mengoper kepada rekannya yang semula bingung bagaimana cara menembus pertahanan sdisiplin lawan.
  • First touch adalah hal kecil yang membedakan apakah seorang pemain berkelas top atau biasa-biasa saja. Tidaklah berlebihan, karena dengan first touch yang prima, seorang nomor 10 bisa mengarahkan bola ke tempat di mana lawan kehilangan kewaspadaan.
  • Imajinasi tinggi mutlak dimiliki si nomor 10. Gaya bermainnya tidak boleh monoton. Gocek ya gocek terus, posisi menembak ya dari arah yang sama. Tidak demikian. Nomor 10 harus menjelajah ke setiap jengkal pertahanan lawan. Ia mungkin bukan seorang ramdeuter yang mencari ruang tanpa bola di kakinya, melainkan ia membuka ruang kepada rekan-rekannya dengan bola di kakinya. Imajinasinya harus tanpa batas dan tak tertebak lawan.
  • Skill tertinggi di antara rekan-rekannya juga harus dimiliki si nomor 10. Bola adalah teman sejatinya. Satu hentakan, terobosan, gerak tipu, tembakan atau gocekan bisa mengubah arah permainan.
Tidak gampang, bukan? Jadi jika anda tidak memiliki atribut-atribut di atas, tahu dirilah sedikit dan berhentilah merasa bahwa anda adalah si nomor 10. Tanpa harus merasa sebagai si nomor 10, anda masih boleh bermain sepak bola.

Bukannya membantu tim, kemampuan tanggung anda justru malah akan membuat permainan menjadi tidak menarik dan rekan-rekan anda menjadi sebal. Mulailah bermain untuk tim dan melakukan simple passing yang presisi dan milikilah kesadaran posisi yang akan menguntungkan tim anda sendiri. Karena seperti kata Cruyff, “Playing simple football is the hardest thing to do.”

Tapi bagaimanapun, ada kalanya kita tidak bisa mengubah keadaan. Akan selalu ada si nomor 10 di manapun anda bermain. Jika anda berada satu tim dengan pemain seperti itu, dukunglah jika memang ia si nomor 10 beneran. Tapi jika ia hanyalah si nomor 10 nanggung, berbesar hati saja untuk terus mengoper kepadanya. Toh jika kualitasnya abal-abal, kejelekannya akan mudah terlihat, dan sepak bola tentu selalu punya caranya sendiri untuk menggiring pemain-pemain seperti itu ke luar lapangan.

Ya, karena sepak bola itu bersebelas, bung. Dan seperti halnya dalam kehidupan: kecuali anda memang benar-benar sempurna (dan memang tidak mungkin ada yang sempurna), maka anda tidak berhak untuk merasa lebih baik daripada orang lain.

Ah, kenapa ending tulisan ini jadi kaya tag line motivator begini?