Pages

Tuesday, April 15, 2014

Saatnya Overhaul, Milan

Milan menang dalam 4 laga beruntun. Diawali laga melawan Fiorentina, kemudian berlanjut pada Chievo, Genoa dan Catania. Sebuah streak kemenangan terbanyak musim ini, seakan memperlihatkan bahwa tim ini sudah back on track dan siap menyongsong musim depan yang lebih baik.

Benarkah demikian?

Anda boleh berpendapat lain, namun saya sudah beberapa tahun belakangan tidak menyukai apa yang terjadi pada tim ini. Yang saya maksud adalah visi dari manajemen. Tanpa bermaksud sok tahu, dari yang saya baca (mungkin bacaan yang sama dengan kalian), Milan memang tidak mampu mengganti para pemain bintangnya yang hengkang akibat krisis finansial yang melanda.

Bukan itu yang sebetulnya mengganggu, well, krisis finansial memang tak terhindarkan apalagi dengan berbagai kontroversi yang dibuat Berlusconi yang salah satunya membuat Milan harus turut menganggung denda 500 juta euro yang dibebankan kepada Fininvest, salah satu perusahaan Berlusconi. Namun yang cukup mengganggu adalah, Milan hanya melakukan perekrutan yang sifatnya tambal sulam. Ibarat sebuah mobil, Milan sudah waktunya turun mesin, namun bukannya melakukan itu malahan sibuk mengecat body agar tetap terlihat kinclong. Melihat hal ini, saya jadi sepenuhnya memahami curhat Paolo Maldini yang berkata bahwa Milan memang tidak memiliki real project. Skuat yang ada hanya bermanfaat 2-3 tahun, yang tentunya tidak mengherankan jika tidak terjalin kekompakan, apalagi menimbulkan kebanggaan dan identitas.

Memang bukan perkara mudah. Ini adalah kebijakan yang diambil, dan yang namanya kebijakan, bisa benar dan bisa salah. Dalam hal ini, saya pribadi menilai Milan telah keliru dalam mengabaikan pendidikan pemain muda. Setelah Billy Costacurta, Demetrio Albertini dan Max Ambrosini, siapa lagi yang lolos ke tim utama? Justru mereka harus menebus Ignazio Abate, Luca Antonini dan juga Alessandro Matri setelah mereka bersinar lebih dulu di klub lain. Atau, mereka harus rela melihat Pierre Aubameyang, Marco Donadel, dan bahkan Matteo Darmian yang ternyata cukup cemerlang setelah klub-klub lain memberikan kepercayaan.

Bagi Milan, adalah penting untuk lolos setiap tahun ke kompetisi Eropa agar pendapatan mereka stabil, sehingga mereka mampu membayar gaji pemain-pemain yang menurut pendapat saya berkemampuan nanggung. Bukankah lebih baik mengembangkan pemain-pemain muda dari akademi lalu mengombinasikannya dengan talenta-talenta muda dari klub lain walaupun harus membeli mahal sedikit? Daripada membeli pemain gratis berusia 28-32 tahun namun masa jayanya telah lewat dan gajinya di atas 1,5 juta euro?

Satu-satunya yang patut diapresiasi dari kebijakan Milan adalah menyangkut marketing. Di liga Italia, merekalah yang mendapatkan pemasukan tertinggi dari segi sponsorship. Dalam hal ini, Milan memang telah banyak mencontoh klub-klub Inggris. Selain cukup aktif di social media, Milan juga (dengan nama besar Berlusconi) mampu menjalin berbagai kerjasama komersial menguntungkan, yang berbuah pendapatan di atas 100 juta euro per musimnya.

Namun sayangnya kerjasama komersial ini juga berkorelasi dengan prestasi. Dengan menduduki zona champions, tentu banyak pihak yang masuk sebagai sponsor. Untuk itulah selalu ada tekanan masuk zona Champions tiap musimnya agar mendapatkan dana untuk membayar hutang, dan tentunya hal ini memerlukan dana untuk membeli pemain-pemain berpengalaman. Catat, pemain berpengalaman yang didapat dengan free transfer bukan berarti tidak perlu biaya sama sekali, karena mereka tentunya memiliki gaji besar.

Dengan menurunnya prestasi Milan sekarang ini, ditambah ancaman tidak lolos ke kompetisi antar klub Eropa, memang semestinya sudah saatnya bagi Milan untuk melakukan overhaul secara besar-besaran. Buang pemain-pemain senior bergaji besar minim kontribusi, percayakan pemain-pemain akademi macam Bryan Cristante dan Andrea Petagna. Beli pemain muda potensial, mahal sedikit gak masalah, namun efeknya berkepanjangan.


Dan tentunya dengan tidak mengikuti kompetisi Eropa, Milan sadar betul bahwa mereka tidak memiliki pendapatan cukup untuk membayar biaya gaji di atas 150 juta euro setahun. Semestinya keadaan ini memaksa mereka untuk melakukan restrukturisasi gaji musim depan, caranya ya dengan melepas pemain-pemain berkategori senior gaji besar minim konribusi tadi. Tidak perlu berharap untuk kembali lolos ke Liga Champions musim depan, melihat Juventus, Roma, Napoli, bahkan Inter Milan masih akan setangguh sekarang musim depan. Betulkan mesin, jangan hanya kilapkan cat.

Perjuangan Si Anak Punk

Anda ingin dicap sebagai penggemar sepak bola yang unik dan berbeda dari yang lain? Saran saya mulailah memperhatikan Atletico Madrid, tontonlah pertandingannya, koleksilah jersey-nya. Anda akan sekeren dan sekece penggemar baru Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund.

Berbicara Atleti, berarti membicarakan tim underdog. Secara alamiah, tidak semua orang menyukai hegemoni. Bayern Muenchen adalah penguasa baru, Real Madrid atau Barcelona adalah penguasa lama, sementara Chelsea meski baru 1 dekade ini menggebrak namun sudah 7 musim beruntun lolos ke semi final Liga Champions. Atleti? Mereka hanyalah anak bau kencur dibandingkan 3 semifinalis lainnya.

Jika diibaratkan sebagai anak musik, Atleti ini seperti anak punk. Bermodal tampang gahar, penampilan urakan, musik yang berisik dan minim pertunjukan skill. Mereka tidak peduli pada kord miring atau solo gitar yang keriting. Mereka hanya ingin meluapkan ekspresi seliarnya, berteriak sekenanya, dan melawan segala bentuk kemapanan meskipun hanya sepukul dua pukul.

Oleh masyarakat, anak-anak punk mungkin dijauhi. Mereka dicap suka berbuat onar, gak jelas, dekil dan stereotip-stereotip beserta generalisasi lain yang memang sudah terdoktrin. Tapi jangan lupa, mereka kini adalah underdog. Seorang underdog bisa berubah dari troublemaker menjadi liberator. Lihatlah sosok Bane dalam film Batman. Coba katakan, Bane itu penjahat atau liberator?

Atleti bukanlah Bayern Muenchen yang begitu digdaya, rapi, intelek dan kece. Bayern seperti halnya musik band Dream Theater yang begitu presisi, rumit, rigid, megah dan berkelas. Apakah semua suka musik seperti itu? Tidak juga.

Bagaimana dengan Real Madrid? Madrid itu seperti musisi Glam Rock yang dulunya berjaya, namun sekarang masih mencoba mengumpulkan puing-puing kejayaan. Proyek megah senilai MRT Jakarta seperti Los Galacticos jilid 1 dan 2 terus digulirkan namun hasilnya masih nihil. Terakhir kali mereka merebut Champions League adalah tahun 2002 saat Zinedine Zidane cs sukses mengandaskan pasukan Cristoph Daum, Bayer Leverkusen.

Kalo Chelsea itu seperti musik apa? Hmm mungkin seperti musik dance, elektrik dan hip-hop yang digemari mayoritas anak-anak muda. Mereka lamban di intro, lalu menghentak di chorus, lalu mengakhiri lagu dengan klimaks. Persis seperti gaya Jose Mourinho.

Jadi, 'musik' apakah yang akan berkumandang di Lisabon nanti? Mampukah anak-anak punk asuhan Diego Simeone membuat kejutan?