Pages

Wednesday, October 30, 2013

Selamat Ulang Tahun, Anak Emas

Diego Armando Maradona. Sebagian kecil penduduk bumi menyebutnya “Tuhan”. Memang bukan sembarang sebutan, karena Gereja Maradona memang benar-benar ada di Argentina, dikenal dengan nama Iglesia Maradona. Kitab sucinya adalah buku Biografi Maradona, dan hari natal mereka peringati setiap tanggal 30 Oktober (tepatnya hari ini) yang merupakan hari lahir Maradona. Belum lagi menyebut berapa ratus (mungkin ribu) penduduk Naples yang menamai anaknya dengan nama depan Diego. Namun saya tidak ingin membuat polemik dengan ikut-ikutan menyebutnya Tuhan. Cukup anak emas saja.

Tidak perlu menjadi seorang penggemar sepak bola sungguhan untuk mengakui bahwa Maradona adalah seniman sejati sepak bola. Siapapun yang pernah menyaksikan golnya ke gawang Inggris pada babak perempat final Piala Dunia 1986, baik langsung maupun lewat youtube tentu akan mengakui bahwa pemain yang mampu melewati  7 orang pemain dari jarak 55 meter dalam waktu 12 detik saja bukanlah seorang pemain sembarangan.

Bakat tersebut memang sepertinya hanya diberikan Tuhan kepada sejumlah kecil manusia. Bagaimana seorang pemain mampu mengontrol bola dengan lengketnya, dengan gerakan yang lincah seperti penari, namun juga sangat cepat. Okelah gol-gol tersebut pernah ada yang menirunya, contohnya Saed Al-Owairan di Piala Dunia 1994, George Weah tahun 1996, juga penerusnya bernama Lionel Messi tahun 2008. Namun tetaplah gol Maradona lebih tinggi nilainya karena terjadi di sebuah babak menentukan Piala Dunia.

Maradona merayakan gol tersebut bersama jutaan rakyat Argentina, yang memang pada tahun yang sama harus merelakan Kepulauan Malvinas kepada pihak Inggris (kemudian berganti nama menjadi Kepulauan Falkland). “Mereka memang bangsa yang suka berperang, sementara bangsa kami biasa berdansa, makan dan minum-minum.” Begitulah ungkapan hati rakyat Argentina mengenai kekalahan perang mereka dari Inggris, seraya menyebut bangsa itu sebagai pencuri.

Aksi Maradona di lapangan tersebut seolah menjadi obat pelipur lara bagi rakyat Argentina. Bukan hanya karena Argentina akhirnya memenangi laga (dan akhirnya memenangi Piala Dunia), namun beberapa menit sebelumnya Maradona juga mencetak gol yang tidak kalah “sakral”nya dalam dunia sepak bola, apa lagi jika bukan gol “tangan Tuhan” itu.

Nyatanya, kisah Maradona memang jauh dari kesempurnaan milik Tuhan. Selain aksi mendorong bola dengan tangan tadi, puluhan tingkah kontroversial Maradona di luar lapangan makin menggambarkan betapa sosok Maradona jauh dari ketuhanan. Ingat saat ia turut mendukung komersialisasi sepak bola dengan hendak datang ke Indonesia untuk memberikan seminar dan coaching clinic dengan tiket jutaan rupiah? Itu adalah tindakan yang bertolak belakang dari seseorang yang memiliki tato bergambar Che Guevara dan Fidel Castro di tubuhnya.

Namun memang sulit untuk tidak menyebut Maradona jika ditanya siapakah 3 pemain sepak bola terbaik sepanjang masa. Saya punya versi sendiri soal ini selain Maradona, yaitu Pele, dan Johan Cruyff. Kesamaan dari ketiganya adalah vitalnya peran mereka di lapangan. “Mereka adalah strategi dari tim masing-masing” begitulah ucapan dari seorang pengamat sepak bola yang saya kenal. Dengan kata lain, Maradona, sama seperti Pele dan Cruyff adalah roh permainan.

Pele dan Cruyff memimpin tim yang dianggap terbaik sepanjang masa, yaitu tim nasional Brasil 1970 dan Belanda 1974. Namun meski tim nasional Argentina 1986 bukan termasuk jajaran tim terbaik, keberadaan Maradona seorang adalah pembedanya. Maradona mengangkat tinggi-tinggi level permainan Argentina tahun 1986.

Jalan hidup Maradona mungkin tidak “selurus” Pele dan Cruyff. Namun Maradona memperlihatkan sisi manusiawi sebagai makhluk lemah dan kerap berbuat salah. Pengakuannya ketika ditanya gol “tangan Tuhan” pun tidak kalah nyelenehnya. “We've robbed them. But whoever robs a thief gets a 100-year pardon.”

Apapun itu, selamat ulang tahun ke-53, Diego!

Sunday, October 27, 2013

So You Think You Know Neymar

Internazionale Milan boleh meraih gelar treble winners tahun 2010 lalu, namun yang mereka hadapi setelah itu adalah kepergian Jose Mourinho, yang kemudian menjadi awal kemunduran mereka hingga kini. Barcelona juga meraih treble winners setahun sebelum Inter, namun hingga kini prestasi Barcelona masih stabil (jika ukurannya adalah gelar-gelar La Liga yang masih mereka dapatkan dan pencapaian minimal semifinal Liga Champions sejak 2009 tersebut).

Barcelona yang kini kita saksikan bukanlah tim asal jadi. Adalah Johan Cruyff, mantan pemain dan pelatih mereka yang mengusulkan pembangunan akademi La Masia tahun 1976 kepada Josep Luis Nunez, presiden Barca saat itu. Ia belajar dari keberhasilan Ajax Amsterdam yang mampu meraih tiga gelar beruntun Piala Eropa (sekarang Liga Champions) tahun 1971 hingga 1973 lewat penampilan memukau talenta-talenda dari akademi sendiri. Seperti kita tahu, talenta-talenta tersebut juga menghasilkan salah satu tim terbaik dunia sepanjang masa yang tanpa mahkota, yaitu tim nasional Belanda tahun 1974.

Cruyff mendapatkan keinginannya dari Nunez tahun 1979, dimana ia kelak menuai hasil yang ia tanam lewat pemain-pemain macam Pep Guardiola dan Guilermo Amor yang ia tangani awal tahun 90an. Selanjutnya, La Masia menelurkan generasi Xavi Hernandez, Carles Puyol, Victor Valdes, Andres Iniesta hingga Lionel Messi dan kawan-kawan yang biasa kita saksikan kini.

Maka tidaklah mengherankan saat semalam Barcelona mampu mengalahkan Real Madrid yang dihuni pemain berharga ratusan juta euro. Terlepas dari kontroversi yang memang suka atau tidak menjadi bagian dari permainan sepak bola, Barca memang lebih superior. Pelatih Tata Martino mengusung pola 4-3-3 seperti biasa, juga pemain yang biasa ia turunkan, dengan preferensi menaruh Cesc Fabregas sebagai false nine dan menempatkan Leo Messi di sayap kanan. Taktik yang biasa digunakan Barca kala menghadapi lawan kuat yang pertahanannya rapat.

Tata Martino belajar banyak dari keberhasilan tim nasional Brasil pada Piala Konfederasi beberapa bulan lalu. Alih-alih menjadikan Messi sebagai sentral permainan, ia justru lebih mengandalkan Neymar. Hal ini terlihat dari banyaknya aliran bola mereka di daerah final third yang ditujukan kepada pemuda yang oleh pengamat dinilai overrated itu. Situs Whoscored memperlihatkan bahwa 36% dari serangan Blaugrana berada pada sisi kiri dimana Neymar bermain.

Nyatanya, Neymar sudah berkali-kali membuktikan bahwa ia bukanlah pesepakbola yang hanya hebat di Youtube dan memiliki yacht seharga 30 juta dollar serta mansion senilai 15 juta dollar. Lebih dari itu, Neymar adalah seorang pesepakbola cerdas dengan pemahaman taktik yang tinggi.

Keputusannya pindah ke Barca awal musim sempat mengundang keraguan karena Neymar lebih menonjol sebagai pemain yang sering “bermain sendiri” sementara Barcelona adalah tim yang dapat menghasilkan ratusan passing per laga. Pindahnya Neymar ke Eropa juga dinilai terlalu cepat, apalagi Piala Dunia di rumah sendiri sudah di depan mata.

Namun dari sepertiga musim yang telah dilalui, Neymar telah menunjukkan bahwa ia adalah seorang team player, menyamai reputasinya sebagai pesepakbola Youtube yang sering dinilai dangkal oleh para penggemar awam. Gol pertama yang ia ciptakan tepat saat bendera Catalonia berkibar dan teriakan “Independence” bergemuruh di tribun ultras adalah buah dari pergerakan yang cerdik dan eksekusi dengan presisi tinggi.

Carlo Ancelotti bukannya tinggal diam. Sebagai pelatih yang telah memenangi dua gelar Liga Champions dan memenangi gelar juara liga di tiga kompetisi berbeda (Italia, Inggris dan Prancis), Carletto jelas lebih dari berpengalaman, ia adalah Guru. Ancelotti menurunkan Dani Carvajal alih-alih Alvaro Arbeloa yang tampangnya mirip bintang film porno itu. Ancelotti belajar dari final Piala Konfederasi saat Arbeloa berkali-kali dikadali oleh Neymar.

Kedatangan Neymar juga dapat dilihat sebagai bukti tajamnya visi petinggi Blaugrana. Meski memiliki akademi terbaik dunia, mereka masih membutuhkan pemain dengan kemampuan seperti Neymar agar permainan mereka tidak terlalu text-book. Namun Barca juga tidak pernah sembarangan mengambil talenta. Jika mereka mengincar seorang pemain dari luar klub, pastilah pemain tersebut memang benar-benar memenuhi standar tinggi yang mereka miliki. Neymar, setidaknya telah mampu membuktikan diri bahwa ia memiliki standar tersebut.

Keberadaan Neymar nyatanya memberi alternatif dan kesegaran pada permainan Barca yang terlalu Messi-sentris. 6 assist dan rataan 2 key-passes per laga yang telah ia sumbangkan dan rambut ayam yang telah ia cukur juga membuktikan bahwa Barcelona telah menjadi rumah yang baik untuknya, bukan hanya makin mengembangkannya secara taktikal, namun juga membuatnya lebih rendah hati. Hal yang tidak mudah mengingat saat bermain di Santos, ia telah mencetak lebih dari 200 gol. Puja-puji juga ia dapatkan, dan ia tidak pernah salah. Neymar disebut nekat dengan pindah ke Barcelona untuk berbagi tempat dengan Messi, bintang yang telah menjadi ikon kota.


Kompetisi memang masih berada pada fase awal. Madrid juga masih memiliki banyak amunisi untuk terus membuat hidup Barca susah hingga akhir kompetisi nanti, belum lagi ancaman yang datang dari The Wonder Team Atletico. Tapi dalam kasus Neymar, setidaknya ia telah membuktikan bahwa ia bukanlah pemain yang overrated, melainkan wrongly-rated.

Sunday, October 20, 2013

Saat Gol Hantu Memanusiakan Sepak Bola

Anda yang memiliki rejeki bagus dan juga kesempatan yang memadai tentu akan senang mengunjungi benua Eropa, benua berupa daratan luas dengan batas-batas negara yang tegas. Benua asal para penakluk yang jika digabungkan luasnya, akan berukuran tidak jauh berbeda dengan luas wilayah Indonesia.

Berbicara Eropa, tentu sangat disayangkan jika Anda tidak mengagendakan sedikit saja waktu untuk melihat sepak bola, meskipun Anda tidak menggemari olahraga ini. Di benua tempat pertama kali sepak bola diklaim dimainkan dan dirumuskan aturannya inilah sepak bola seperti agama. Manusia boleh lahir dan mati, bangunan boleh berdiri kokoh lalu berjamur dan runtuh, namun sepak bola bukannya memudar malah terus berpendar.

Perkembangan sepak bola memang tidak secepat perkembangan teknologi komputer atau telepon genggam. Dengan kesederhanaannya, sepak bola pada dasarnya adalah permainan yang mempertandingkan 11 orang dari sebuah komunitas atau kampung. Kesederhanaan itulah yang membuat perkembangan sepak bola tidak secepat perkembangan teknologi.

Namun saat komersialisasi digaungkan, mulailah sepak bola tersaji seperti yang setiap pekannya Anda saksikan. Sebuah klub sepak bola kini telah banyak memiliki manajemen sekuat perusahaan besar, meskipun omzet mereka masih jauh. Perusahaan apparel yang dulunya dibayar oleh klub sepak bola untuk menyediakan perlengkapan bermain, kini berbalik menjadi pihak yang membayar. Kontrak televisi lantas menggila, dunia bisnis lantas melirik sepak bola sebagai lahan promosi yang sangat potensial, penggemar sepak bola terutama di benua Asia lantas dijejali berbagai gimmick dan tontonan sepak bola tengah malam yang tidak jarang mengaduk-aduk emosi mereka sendiri, memenuhi pikiran mereka dengan ilusi berbalut fanatisme. Sebelum era semacam ini timbul, pemanfaatan tertinggi pada sepak bola baru dilakukan oleh para politisi untuk menyebarkan propaganda.

Kembali ke stadion-stadion di Eropa, jika Anda pernah berkunjung ke salah satu stadion ternama, Anda akan menyaksikan fasilitas anjangsana yang sekilas lebih cocok untuk kaum borjuis, namun ternyata cocok untuk seluruh kelas dalam masyarakat. Di stadion sepak bola, mungkin saja tidak berlaku prinsip sama rata sama rasa. Anda duduk sesuai dengan harga karcis yang Anda bayar. Namun Anda akan menyaksikan pertunjukan yang sama, pertunjukan adu tehnik dua puluh dua orang pesepak bola dan adu strategi dua orang pelatih. Ditambah lagi, Anda akan menyaksikan protokoler dan prosedural kelas elit, bahkan sebagian ada yang sudah menerapkan teknologi garis gawang agar hasil pertandingan benar-benar valid dan human error diperkecil kemungkinannya. Pertandingan sepak bola adalah sebuah event penting yang hasilnya memang ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan. Football is a serious business.

Maka agak lucu jika dengan perangkat pertandingan yang sudah berada pada tingkat kecanggihan pesawat Air Force One, kontroversi masih saja muncul. Stefan Kiessling, penyerang berambut kuning keemasan bertubuh tinggi dan agak kurus adalah salah satu pesepakbola handal saat ini yang diabaikan oleh tim nasionalnya. Meski ia terus menjawab segala keraguan lewat rekor golnya yang mengagumkan dan statistik-statistik yang mencengangkan, namun Jogi Loew tidak kunjung meliriknya untuk menjadi salah satu penggawa Die Nationalmannschaft.

Kiessling akhirnya memilih cerita lain, meskipun ia tidak bermaksud melakukannya. Ia mencetak gol yang kemudian banyak disebut sebagai gol hantu, karena bola sebenarnya memang tidak masuk ke gawang melainkan hanya menyentuh samping gawang. Ekspresi Kiessling sungguh datar hingga semuanya berubah saat wasit mengesahkan momen tersebut menjadi sebuah gol. Bukan sembarang gol, namun gol yang memenangkan klubnya, Bayer Leverkusen. Publik geram, pengelola liga kebakaran jenggot, perangkat pertandingan merasa kecolongan, namun tidak sedikit pula yang menertawakan sekaligus menganggap momen tersebut sebagai hal unik dalam sepak bola. Ya, hal-hal yang membuat permainan ini tidak kehilangan sisi manusia. Manusia yang tidak lepas dari kesalahan.

***

(Sementara itu di belahan bumi lainnya, 13 tahun silam)
“Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo
Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo”

Begitulah teriakan yang terdengar nyaris di seantero sekolah kala laga classmeeting digelar. Parodi chantCampione.. Campione..” yang biasa didengar dari layar kaca kemudian mereka ubah menjadi “Sociale.. Sociale..” melambangkan kelas 3 IPS atau Sosial, seakan menunjukkan superioritas skill sepak bola sekaligus rasa kebersamaan yang lebih cair antar sesama dibandingkan anak-anak IPA. Ya, anak-anak yang terkesan lebih serius, ilmiah, individualis, tidak banyak bicara, sinis, terpelajar namun selalu kalah dalam bermain sepak bola di sekolah.

Pada hari itu, semua berubah di lapangan. Laga semifinal classmeeting antara kelas IPA saya dengan kelas IPS berlangsung sengit karena ternyata kami mampu memberi perlawanan. Skor masih imbang 1-1 hingga penghujung pertandingan. Kami semua nampak siap melanjutkan laga dengan perpanjangan waktu, namun sebuah momen mengubah segalanya.

Rekan saya, sebut saja Mr. K, melepas tendangan langsung ke gawang IPS. Merasa bola tidak akan masuk, kiper IPS hanya mendiamkannya. Bola memang tidak masuk, dan Mr. K juga menunjukkan gestur kekecewaan. Namun apa daya, hakim garis dan wasit serentak mengangkat bendera dan tangan ke arah tengah lapangan pertanda tendangan tersebut gol. Sempat terjadi moment of silence beberapa saat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, namun kencangnya bunyi peluit dari wasit mengonfirmasi bahwa gol hantu telah terjadi. Teriakan “Sociale” lalu berubah menjadi koor masal bernada kekecewaan pada kepemimpinan wasit. Ya, laga saat itu memang tidak dapat dibandingkan dengan laga Bundesliga yang dilakoni Stefan Kiessling. Gawang yang terbuat dari bambu dan tidak terpasangnya jaring memang menyulitkan pengambilan keputusan.

IPS meradang, menggugat, marah dan kecewa. Sementara kami hanya diam tanpa merayakan gol seperti biasa, meskipun tersenyum simpul dalam hati. Laga usai, kami menang. Wasit dicerca, emosi melanda, namun beruntung keributan tidak meledak. Gestur sportivitas juga kami berikan pada lawan, hasil akhir sudah ditentukan. Sepak bola memang kadang seperti ini. Aneh, unik, kejam, tidak terduga seperti gambaran umum kehidupan.

Pada hari itu, meskipun bukan dengan cara yang kami inginkan dan bukan dengan cara yang ilmiah serta terukur, kami berhasil mengubah stigma di sekolah dimana anak IPA tidak bisa mengalahkan anak IPS dalam bermain sepak bola.

Sunday, October 13, 2013

Haruskah Sebatas Mengulangi Euforia?

Belum sampai 3 x 24 jam kita menyaksikan timnas sepak bola U-19 Indonesia melaju ke putaran Piala Asia U-19 dengan rekor kemenangan sempurna. Euforia sepak bola kembali membuncah layaknya gempita publik bola Indonesia pada momen Piala Asia 2007, Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011.

Mari sejenak kita melihat ke belakang. Pada Piala Asia 2007, timnas yang kala itu diasuh Ivan Venkov Kolev dengan formasi andalan 3-4-3 memang membuka turnamen dengan mengalahkan Bahrain lewat gol Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas. “Gue pelukan sama penonton di sebelah gue pas golnya Bepe kemaren, padahal kami gak saling kenal!” ujar salah satu teman saya, sebut saja namanya Revi yang memang rajin menonton langsung pertandingan timnas di Gelora Bung Karno. Sayangnya setelah itu Indonesia menyerah dari kaki Arab Saudi dan Korea Selatan, sehingga gagal lolos ke babak berikutnya pada turnamen yang akhirnya dimenangi oleh Irak itu.

Meski kalah, determinasi timnas merah putih patut diacungi jempol mengingat lawan yang dihadapi kualitasnya satu-dua tingkat di atas. Sepak bola Indonesia bergairah lagi. Sejak saat itu, jersey home merah-putih dan jersey away putih-hijau laris bagaikan kacang goreng, tanpa harus menunggu midnite sale. Para penggemar kasual maupun musiman juga otomatis merasa memiliki tim ini.

Selanjutnya, datanglah Piala AFF. Indonesia yang saat itu dilatih Alfred Riedl memukau publik lewat penampilan spektakuler di babak penyisihan. Malaysia diganyang 5-1, Thailand digasak 2-1, dua momen yang jarang terjadi pada timnas Indonesia. Stadion GBK penuh sesak, gemuruh lagu kebangsaan berkumandang tanpa dikomando, nasionalisme publik seakan berada pada puncaknya. Sepak bola (atau timnas) dianggap sebagai pemersatu bangsa meski akhirnya penampilan timnas di final antiklimaks dan harus menyerah di tangan Malaysia.

Pada SEA Games 2011, tim asuhan Rahmad Darmawan nyaris menggondol medali emas andai tidak kalah adu penalti dari “hantu” yang sama bernama Malaysia. Publik pun dengan masygul menyebut sepak bola Indonesia sebagai “sepak bola nyaris”. Nyaris menang, nyaris juara, nyaris berprestasi. Nyaris yang tidak memberi kita apapun.

Euforia yang padam dan suporter yang patah arang kemudian mengawali salah satu periode terburuk sepak bola Indonesia, yaitu munculnya dualisme pada federasi. Perpecahan di kalangan elite menular hingga ke lapisan bawah, kondisi yang berlangsung hingga dua tahun. Prestasi timnas di lapangan hijau mengenaskan dan terus mengukir sejarah kelam. Sepak bola Indonesia seperti di-restart, euforia tahun 2007 dan 2010 seakan tak berbekas.

Setelah fase kegelapan itu, muncul sekelompok pemuda yang kembali “menyalakan tombol euforia”. Kali ini gelar benar-benar mereka genggam dan permainan cantik betul-betul diperagakan, bukan lagi sekadar nyaris. Pemain-pemain U-19 ini bermain dengan cara yang tidak seperti pemain Indonesia pada umumnya: bermain long pass, goreng menggoreng lalu stamina kendor setelah memasuki menit ke-65.

“Anda semua ingin membanggakan orang tua? Keluarkan kemampuan terbaik kalian sekarang!!” Begitulah talk team pelatih Indra Sjafri kala jeda pertandingan lawan Korea Selatan. Hasilnya dapat terlihat di babak kedua dimana pemain-pemain timnas bermain dengan penuh determinasi sekaligus menunjukkan kematangan luar biasa hingga akhir laga. Jagoan-jagoan dari negara penyebar virus K-Pop itu bahkan dipaksa memainkan umpan lambung karena tekanan pemain-pemain Indonesia yang tak kenal lelah.

Seperti bangsa yang tidak pernah mau belajar, muncullah ide-ide absurd soal timnas ini, dari ide yang menyangkut pada komersialisasi hingga politisasi. Tanpa bermaksud menggurui, seharusnya mereka belajar dari pengalaman yang sudah lewat dimana pembebanan yang berlebihan dan penanganan yang keliru (apalagi kepada sekelompok pemuda yang usianya masih belasan tahun) hanya akan merusak masa depan mereka. Mengapa tidak dibiarkan saja mereka fokus pada sepak bola dan menapaki jenjang timnas dengan proses panjang, karena memang tidak ada jalan pintas untuk menggapai kesuksesan. Semua prestasi besar memerlukan waktu.

Biarkan saja timnas U-19 ini melanjutkan perjuangan ke level yang lebih tinggi lagi, yaitu Piala Asia. Jangan pula dihujat jika tahun depan mereka kalah. Disamping bermain di kandang lawan, mereka juga akan menghadapi lawan-lawan tangguh dengan level permainan jauh di atas. Calon lawan nanti juga pasti sudah mengantisipasi kekuatan kita. Perjuangan mereka masih harus ditunggu lagi hingga ke level senior, dimana disitulah segalanya dipertaruhkan.

Tidak ada cara yang lebih baik selain mempersiapkan lagi pasukan timnas selanjutnya. Kemenangan yang sudah diraih timnas U-19 harus dilanjutkan dengan pembinaan yang serius. Untuk membentuk tim jurara ini, Indra Sjafri sampai harus blusukan ke daerah-daerah pelosok karena pemain yang diwariskan dari tim U-16 tidak ada yang layak, dan juga PSSI tidak memiliki sistem pembinaan memadai yang mampu menyaring talent pool pemain di seluruh penjuru negeri dengan 17 ribu pulau ini.

“Tonight is proof that Indonesian Youth Football can compete with the best in Asia. Focus on kids, they are the future. Great game!” Demikian isi kicauan Tom Byer, seorang ahli pengembangan bakat pemain muda yang telah sukses membantu Jepang dan kini sedang menjajaki kerjasama dengan Indonesia.

Sejalan dengan pencetakan pemain, pencetakan pelatih berkualitas juga harus dilakukan. Tidak mungkin PSSI berharap ada 1000 orang seperti Indra Sjafri yang rela blusukan sekaligus mampu memoles bakat mentah macam Evan Dimas, Ilham Udin, Maldini Pali dkk. Saatnya cara-cara kuno dan mindset “Indonesia gudangnya bakat alam” ditinggalkan. Tanpa dilatih dan dibina dengan benar, bakat-bakat alam itu hanya akan tersia-siakan.

Jika kita tidak belajar dari pengalaman, euforia ini juga hanya akan sekadar singgah layaknya euforia 2007, 2010 dan 2011, lalu restart lagi dan terus memulai dari awal. 

Saturday, October 12, 2013

Timnas Tanpa Kepentingan

“It’s not like watching Indonesia.” Begitulah judul artikel full English salah seorang penulis kenalan saya di sebuah media, menggambarkan betapa atraktifnya penampilan tim nasional Under 19 sehari setelah mengalahkan Filipina. Ia mungkin sengaja menggunakan bahasa Inggris untuk mempromosikan tim ini lebih luas lagi ke skala global. 

Filipina memang memainkan sepak bola negatif. Mereka menumpuk seluruh pemainnya di daerah sendiri, termasuk 8 pemain di kotak penalti. Strategi ini lazim dipakai tim yang menghadapi Barcelona ataupun Bayern Muenchen, tim dengan kemampuan luar biasa dalam mengendalikan permainan dan mengolah bola. Indonesia, dengan level yang berbeda dengan Barca dan Bayern tentunya, mampu memaksa Filipina (yang juga dibawah level lawan-lawan Barca dan Bayern) melakukan itu.

Okelah kualitas Filipina memang masih di bawah Indonesia. Tapi yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana tim Indonesia U-19 menjaga konsistensi dan tetap membumi meskipun mereka baru mengakhiri dahaga 22 tahun gelar internasional Indonesia. “Kalo elo baru juara kelas, selain ada kebanggaan, pasti juga ada beban untuk mempertahankan prestasi. Belum lagi pujian-pujian dari sekeliling yang malah melenakan.” Begitulah ujar salah seorang mentor saya mengomentari kondisi timnas U-19. “Tapi sepertinya euforia berlebihan ini tidak terjadi di tim U-19.”

Ya, tim U-19 ini memang beda. Maksudnya, beda dari tim Indonesia pada umumnya. Dari segi permainan, level tim ini memang masih di bawah Vietnam, yang mereka kalahkan di final Piala AFF U-19 bulan lalu. Namun tim ini memiliki modal luar biasa yang bahkan menurut saya tidak dimiliki oleh tim-tim olahraga di Indonesia.

Tim ini terus diajarkan untuk rendah hati. Pelatih Indra Sjafri juga menanamkan disiplin tinggi kepada anak asuhannya. Tidak ada pemain yang merasa seperti pemain bintang, yang lalu merasa layak untuk tampil di acara infotainment menggandeng selebritis yang turut memanfaatkan momentum ini untuk menjadi social climber.

Krioterapi dan 4-3-3
Saya menulis ini sesaat setelah pertandingan penentuan lawan “tim drama dengan pemain berbedak tebal” Korea Selatan berakhir. Indonesia berhasil mengalahkan Taeguk Warriors 3-2 yang otomatis membawa tim ini ke putaran final Piala Asia di Myanmar tahun depan, sesuatu yang bahkan sudah tiga periode tidak mampu dicapai timnas senior. Lagipula, melihat permainan timnas yang begitu menyulitkan sebuah tim juara bertahan Piala Asia (dan juara 12 kali Piala Asia junior), hal ini sudah membanggakan. Sudah lama kita tidak memiliki timnas seperti ini.

Apapun hasilnya nanti di Piala Asia, tim U-19 ini dapat saya anggap sebagai timnas terbaik yang dipunyai Indonesia sejak pertama kali saya menyaksikan pertandingan timnas. Mereka mungkin bukan yang terbaik secara teknis, namun dilihat dari mentalitas dan sikap, mereka jelas patut dicontoh. Permainan mereka juga sangat tenang, tidak asal membuang bola ke depan dan juga tidak banyak menggocek bola. Jarak antar pemain begitu rapat dan transisi bertahan-menyerang  juga mulus, apalagi kombinasi umpan satu sentuhan yang mereka peragakan di daerah final third. Mereka membalikkan mindset orang Indonesia pada umumnya yang menganggap pemain paling jago adalah yang paling hebat menggoreng bola.

Timnas U-19 adalah contoh nyata betapa proses yang tidak instan tanpa jalan pintas dan sikap yang benar adalah jalan menuju kesuksesan. Proses pelatnas jangka panjang, penempatan psikolog dalam tim, juga penggunaan metode krioterapi menunjukkan tim ini tidak menutup mata pada perkembangan zaman.

Krioterapi adalah metode yang banyak dipakai tim-tim Eropa, termasuk pemain macam Phillip Neville, Javier Zanetti maupun Raul Gonzalez yang karirnya awet di level tertinggi meski sudah berusia senja. Krioterapi menggunakan media es batu, dimana pemain berendam di kolam yang dipenuhi es batu tersebut (tentu suhu kolam telah diatur) dalam beberapa menit. Metode ini disamping meningkatkan ketahanan, juga efektif untuk mempercepat pemulihan cedera. Sayangnya meski lazim digunakan di Eropa, krioterapi ini masih jarang digunakan di Indonesia.

Berbicara sedikit pola permainan, pola 4-3-3 yang digunakan memang cocok dengan karakter sepak bola Indonesia. Timnas senior juga menggunakan pola ini, meski pengaplikasiannya di lapangan jauh berbeda. Tentang penggunaan pola 4-3-3 ini, pelatih Indonesia di masa lalu seperti Toni Pogacnik dan Anatoly Polosin memang telah lama mengamati kelebihan Indonesia dalam permainan sayap. Kini, tidak ada salahnya pola 4-3-3 yang cocok dengan kultur kita ini diimplementasi seluruh jenjang tim nasional, bahkan jika perlu hingga ke klub-klub.

Seorang teman malah mengingat trio gelandang Muhammad Hargianto, Zulfiandi dan Evan Dimas sehebat Andres Iturraspe, Javi Martinez dan Ander Herrera (tentunya dalam level berbeda) yang membawa Athletic Bilbao meluluhlantakkan Manchester United di Old Trafford. Ya, baik Hargianto maupun Zulfiandi dan kapten Evan Dimas memang seperti sudah menyatu benar permainannya, dengan chemistry tingkat tinggi yang terjalin. Khusus Evan Dimas, first touch, positioning dan visi permainannya bahkan sudah berada di level Asia. Mengingat usianya yang masih 18, bukan tidak mungkin ia akan menggapai prestasi lebih tinggi lagi (semoga ada klub Jepang atau bahkan Eropa yang segera mengontraknya, jangan main disini).

Catatan positif lainnya adalah stamina pemain. Hal ini sudah ditunjukkan lewat penampilan mereka kala menjuarai Piala AFF U-19 di Sidoarjo lalu ketika mereka mampu mempertahankan ritme permainan meski harus melakoni babak perpanjangan waktu dan bermain setiap dua hari sekali. Pola latihan dan metode krioterapi yang dijalankan berkontribusi pada rataan VO2 Max pemain-pemain timnas U-19 yang diatas 60 ml/(kg.min), padahal kadar VO2 Max ideal berada pada angka 57-58. Memadainya VO2 Max pemain ini amat mendukung taktik zone press yang diterapkan, bahkan sejak pemain lawan menguasai bola di daerahnya sendiri.

Bagaimanapun dibalik segala kehebatan dan kebanggaan, juga euforia dan harapan tidak usahlah menanamkan optimisme berlebihan. Tim ini masih muda, masih akan menapaki jalan panjang untuk terus membela bangsa bersebelas di lapangan hijau. Jangan lupakan pula bahwa tim ini masih relatif bebas kepentingan, juga semua kemenangan ini didapat kala bermain di kandang sendiri. Kini setelah mampu memukul Korea Selatan dengan permainan impresif, jangan heran jika terjadi perebutan panggung antar para pahlawan kesiangan yang mengaku ikut-ikutan membentuk tim ini. Semoga saya salah.