Pages

Wednesday, July 31, 2013

Milan want Honda to drive their midfield


Let us anticipate a more competitive and more entertaining Serie A this season, as big name players have arrived. Last year, stars like Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva and Ezequiel Lavezzi  joined the nouveau riche PSG. The financial difficulties of their clubs forced them to sell their best players and, consequently, the departures reduced the competition’s prestige and teams’ competitiveness in European competition.
The situation in this summer transfer market has changed. The Serie A clubs now get results for the tight-money policies they have employed in recent years. To this point, Italian clubs have dominated the big name signings, while Premier League and La Liga clubs are still negotiating with their targets.
After Carlos Tevez and Fernando Llorente arrived at Juventus, the highly-rated Dutch midfielder Kevin Strootman penned a five-year contract with AS Roma. He refused other big clubs’ offers, such as Manchester United and Tottenham Hotspur, to join the capital city side. Internazionale, Fiorentina and especially Napoli have also been doing a great job in reinforcing their squads. With the arrival of three Spanish players, Gonzalo Higuain and Dries Mertens under coach Rafael Benitez, Il Partenopei are more than ready to compete in the scudetto race and Champions League.
However, the arrival of those big names could only be completed after the clubs sold other players. Both Roma and Napoli sold Marquinhos and Edinson Cavani for huge prices respectively, while Juventus sold Emanuele Giaccherini before they sealed transfer of Angelo Ogbonna. Financial Fair Play rules have changed the way the clubs behave in spending their money, as they now often need to sell a player before they buy.
While the other teams are busy, AC Milan have remained calm. Their movements in this summer’s market are very slow; only Andrea Poli and Jherson Vergara have arrived, as Riccardo Saponara’s transfer had been finalised in last winter’s break. Milan failed to reach an agreement with Santos about Robinho, and thus couldn’t negotiate with Fiorentina regarding Adem Ljajic. Currently, they are also in talks with CSKA Moscow in order to reduce Keisuke Honda’s price. Both Ljajic and Honda are not actually too expensive, but the financial condition of the Rossoneri makes them both very tight targets.
The recent injuries to Daniele Bonera – out for at least three months – and Robinho – whose recovery period is yet to be determined – may change everything. Although both players were not first choice in the regular starting XI last season, it forces Milan to take further action in the transfer market, and soon. The club now are linked with Argentinian defender Mathias Silvestre, who plays for city rivals Internazionale, to replace Bonera, while Robinho’s issue may expedite the discussions over Honda.
Milan are known for their last minute movement, as they usually wait until the last day of transfer window to acquire their targets. That may result costing them a minimal price, a loan-to-buy option, or other favourable scheme, but now, as they have an important Champions League play-off match in mid-August, they have to buy at least two players to replace Bonera and Robinho beforehand. Failure to qualify for the group stages would cost them a great amount of money from TV revenues, prize money and gate receipts.
During their pre-season matches against Juventus, Sassuolo and Valencia, Milan seem to have found their balance. They performed well in those three matches with solid midfield displays, and Nigel De Jong’s return from injury further boosts their options in the centre; he stabilises the engine room and makes Andrea Poli comfortable alongside him in the mezz’ala role. When Riccardo Montolivo returns, they will form a formidable trio that will ensure high ball retention.
If Kevin-Prince Boateng remains at Milan, it would be fantastic if Max Allegri plays him as mezz’alla. He’s got enough strength and a work-rate that makes him an excellent player, as we saw in his brilliant performance during the second leg of the Coppa Italia tie against Juventus last season. Silvio Berlusconi has stated his wish to see Milan play with a 4-3-1-2 formation, and his wishes are commands to everyone at the club.
To play 4-3-1-2, Milan need an excellent trequartista. They already have Saponara for that position, but handing the youngster such a big responsibility may not be wise, meaning that Honda’s quick arrival is a must; and they cannot wait until January. Allegri needs to learn from his experience last season when he played Boateng in such a role. The lack of creativity shown by the Ghanaian caused Milan trouble in the final third, and therefore costs them in slow starts, an issue that will not be tolerated this season.
(Tulisan ini dimuan di Serie A World, website sepak bola Italia)

Monday, July 29, 2013

Permasalahan Mendasar

"Bagi kebanyakan pemain disini, pemain yang bisa menggiring bola melewati lawan adalah yang paling hebat. Semakin banyak lawan yang bisa ia lewati, semakin hebatlah dia." Begitulah petikan kata-kata pelatih timnas Indonesia Jacksen F. Tiago pada acara Mata Najwa bertajuk Gila Bola beberapa waktu lalu.

Jika anda berpikir coach Jacksen lebay ketika mengatakan hal itu, berarti anda belum menyadari salah satu permasalahan paling mendasar yang menjangkiti sepak bola Indonesia.

Faktanya, pemandangan pemain yang jarang mengoper bola adalah sesuatu yang jamak terjadi di Indonesia. Pemain turun ke lapangan tidak memiliki kesadaran taktik yang memadai dan cenderung hanya bermain untuk diri mereka sendiri. Cobalah anda berbincang dengan pemain sayap kita, tanyakan apakah yang pelatih instruksikan pada mereka, tanyakan juga apakah ia memperhatikan posisi pemain di sisi sayap berlawanan, juga pemain tengah lainnya. Anda tidak perlu heran jika jawaban mereka adalah 'Saya hanya diinstuksikan untuk berlari dengan bola lalu memberikan umpan silang'.

Anda dapat tanyakan pertanyaan teknis serupa pada bek tengah, gelandang bertahan, gelandang serang atau penyerang tengah. Dan jangan kaget juga jika jawabannya lebih simpel daripada musik Green Day.

Sekarang adalah era dimana seorang pemain bola tidak melakukan sentuhan lebih dari tiga kali, positioning pemain sangat rapi dijalankan, jarak antar pemain sangat diperhatikan, pergerakan tanpa bola lebih penting daripada pergerakan dengan bola, dan seorang penyerang tengah kapabel ditugasi menjaga deep-lying playmaker lawan. Ketika pemain-pemain dunia mampu dengan fasih menjalankan peran itu, bagaimana dengan pemain-pemain Indonesia? Pemain kita masih saja mengirim umpan lambung dari belakang yang sudah pasti dimentahkan bek lawan dengan mudah. Pemain kita juga sering mengirim umpan terobosan untuk dikejar pemain sayap, lalu mengumpan ke penyerang yang diharapkan mampu menggocek 2-3 pemain lawan. Begitu saja permainan timnas kita sepanjang 10 tahun belakangan. Tidak bisa bermain rapi dan terorganisir.

Apakah hal ini salah pemain? Tentu saja bukan. Pemain hanyalah mengikuti instruksi pelatih, mengikuti kompetisi dan bergabung dengan klub bagaimanapun mereka diperlakukan, bahkan pemain yang tidak digaji berbulan-bulanpun akan dikenai sanksi jika mogok bermain. Hal ini semata menunjukkan bahwa pemain tidak punya power untuk merubah sistem. Meminjam kata-kata Hedi Novianto, permainan long pass dan tidak terorganisir ini memang masih bisa berjalan di liga domestik, mengingat mereka menghadapi lawan yang memiliki cara identik dan kekuatan lawan yang setara, namun beda ceritanya ketika menjalani laga internasional.

Taktik yang ketinggalan jaman, cara bermain yang serba sporadis dan individualis adalah produk akhir dari kompetisi lokal yang tidak dikelola dengan benar. Zen RS pernah menuliskan bahwa tidak adanya program pendidikan pelatih ke negara sepak bola maju adalah salah satu persoalan. Taktik kita ketinggalan jauh, seolah seperti murid sekolah yang terus tinggal kelas.

Saya jadi teringat teriakan Nil Maizar kepada anak-anak asuhannya dalam sebuah laga kala ia masih melatih timnas. ‘Main yang sabar! One touch!’ Bermain sabar, mengatur tempo dan melakukan sedikit sentuhan terdengar gampang, tapi nyatanya sangat sulit dilakukan. Johan Cruyff sendiri yang bilang kalau memainkan sepak bola yang simple adalah hal tersulit dari menjadi pesepakbola. 

“Dit, gue dipanggil seleksi salah satu tim kasta tertinggi. Doain supaya gue bisa diterima ya.” Sebagai teman, seharusnya saya turut senang dengan peristiwa itu. Tapi kemudian saya malah bingung karena teman saya itu sudah berusia 25 tahun dan ia sama sekali tidak pernah menjadi pemain profesional melainkan hanya berstatus sebagai pesepakbola tarkaman yang menjadikan sepak bola sebagai sampingan.

Bagaimana bisa sebuah tim yang (katanya) profesional mengundang seorang pemain semi-profesional berusia 25 tahun tanpa dasar pendidikan sepak bola yang kuat untuk mengikuti seleksi? Kabar berikutnya yang saya dengar memang teman saya itu tidak lolos, namun mendengar bahwa ia bisa sampai ke tahap seleksi sebuah tim profesional sungguh mengherankan. Jelas sekali menunjukkan bahwa sistem pembinaan pemain kita belum cukup untuk memasok pemain ke klub.

Memang tidak semua klub seperti itu, banyak juga klub yang sudah memiliki akademi dan tim muda. Kompetisi internal maupun kompetisi antar tim muda juga dijalankan, namun kebanyakan digagas oleh pihak swasta, bukan oleh federasi. Lagi-lagi, ini adalah permasalahan yang mendasar.

Friday, July 26, 2013

Tidak Perlu Berpikir Positif Untuk Sesuatu yang Salah

Saya pernah sekali membahas tentang kiprah para komentator amatir, alias para komentator berita di media online. Sedihnya, menurut seorang jurnalis, komentar-komentar di media online tersebut memang adalah cerminan dari bangsa kita.

Lihat saja komentar-komentar yang tersaji di artikel rekan saya Yoga Cholandha yang di publish di sebuah media online. Dalam artikel yang hingga saat ini sudah dikomentari sebanyak lebih dari 1000 orang dan nampaknya masih berlanjut itu, teman saya sebenarnya dengan telak menelanjangi kebobrokan sepak bola kita. Bagaimana sepak bola tidak diurus dengan benar, dan kita terus dininabobokan oleh kedatangan tim-tim Eropa, yang tidak lebih hanya bermotif uang.

Memang betul tidak ada salahnya jika sesekali kita mengagendakan laga eksibisi menghadapi tim-tim yang sebelumnya hanya bisa kita saksikan dari layar datar televisi sambil berantem di twitter dengan suporter layar kaca lainnya. Namun jika keadaan ini terus kita syukuri, dan menganggap ini adalah awal kemajuan sepak bola Indonesia, maka kita akan seterusnya terjebak dalam limbo prestasi sepak bola nasional.

Lalu cobalah lihat komentar-komentar di artikel berikut, soal gagasan Indonesia pindah ke zona Oseania. Para komentator itu kemudian dengan ‘gagah’ menuliskan bahwa ‘kita harus mengalahkan lawan yang kuat jika ingin menjadi yang terkuat’ atau ‘kita tidak boleh menjadi pengecut dengan memilih lawan yang lemah’.

Apakah yang dapat disimpulkan dari situ? Ya, ketahuan deh bangsa kita memiliki beberapa karakter khas. Inferior dan delusional. Disatu sisi, bangsa kita begitu merasa inferior dengan kerelaan dibantai dengan skor telak di lapangan. Meminjam kata-kata Yoga, rela menjalani medan perang palsu demi menyenangkan meneer-meneer atau sinyo-sinyo bule yang biasa kita saksikan di televisi. Di sisi lain, bangsa kita begitu merasa hebatnya, merasa lawan-lawan di zona Oseania tidak ada apa-apanya buat kita. Kita juga begitu cepat puas karena akhirnya klub-klub besar itu mau datang. Seakan hal ini akan membuat kita 9 tahun lagi mengikuti Piala Dunia, dan pemain-pemain kita akan dilirik oleh klub Eropa berbekal pengalaman bertanding melawan para pemain kelas dunia.

Tiga tahun lalu saat Indonesia kalah dari Malaysia di final Piala AFF, saya bilang kalau Indonesia bermain jelek dan memang tidak pantas menang di laga final. Tapi salah seorang teman saya malah berkomentar. ‘Ah nggak jelek kok, mainnya sudah bagus. Hanya kalah beruntung saja.’ Ya begitulah mental kita. Masih merasa menang, merasa berbesar hati dan terus menghibur diri padahal jelas-jelas kalah. 

Sebenarnya, saya tidak mau mengurusi para komentator asbun dan minim pengetahuan itu. Tapi sedihnya, hal ini memang persoalan utama bangsa kita. Pernah pula ada artikel yang menyajikan fakta sejarah baru, tapi yang ada malah dibilang laten komunis lah, pemecah belah bangsa lah. Ketahuan sekali mereka terlalu menghayati pelajaran-pelajaran Orde Baru.

Sebegitu hauskah kita akan kejayaan? Mungkin saja. Haus kejayaan bukanlah sesuatu yang salah, namun jelas menjadi kesia-siaan belaka jika kehausan kita pada kejayaan membuat kita tidak bisa mengakui kekurangan diri. Tidak legowo mengakui bahwa kita sedang melangkah pada jalan yang salah, dan tidak terima jika kita dikritik orang lain. Sifat-sifat ini hanya membuat kejayaan yang kita nanti-nantikan terus menjadi impian dan dongeng belaka.

Tidak ada gunanya sok bersikap positif, hal itu hanya berguna jika kita kalah tapi sebenarnya sudah berada pada jalur yang benar. Namun sayangnya, kita menyikapi positif pada sesuatu yang salah. Sungguh tidak akan membawa kita kemana-mana. Kalah ya kalah, salah ya salah. Satu-satunya jalan jelas berbenah. Benahi pembinaan, benahi kompetisi, benahi wasit, benahi pengurus dan federasi, benahi manajemen dan keuangan klub, benahi suporter. Benahi stakeholder sepak bola Indonesia.

Tidak perlu memikirkan taktik mana yang cocok untuk tim, siapa yang akan dipasang sebagai playmaker dan hal-hal teknis lainnya jika menyadari kesalahanpun tidak bisa. Menyadari bahwa sepak bola kita tengah tertinggal berpuluh-puluh tahunpun tidak bisa.

Sunday, July 21, 2013

Apakah Gabriel Paletta Solusi Tepat Pertahanan Milan?

Sejak 3 dekade silam, AC Milan adalah tim yang terkenal dengan keberadaan pemain-pemain belakang tangguh berkelas dunia. Franco Baresi, Alessandro Costacurta, Alessandro Nesta, Paolo Maldini, hingga Jaap Stam. Tidak heran, nama-nama ini seolah menjadi hantu bagi pemain-pemain belakang baru Milan karena permainan dan kontribusi mereka kerap dibanding-bandingkan dengan nama-nama yang melegenda itu.

Roque Junior, Martin Laursen, Roberto Ayala, Jose Chamot maupun Fabricio Coloccini sempat mengisi skuat ini berbarengan dengan para legenda itu. Mereka bukanlah pemain belakang yang buruk, namun akibat perbandingan-perbandingan dengan para legenda tersebut mereka gagal memunculkan permainan terbaik. Kesempatan bermain merekapun terbatas.

Dua musim lalu, seorang bek Brasil bernama Thiago Silva didapuk menjadi calon legenda Milan karena kemajuannya yang sangat pesat sehingga menjadikannya bek tengah berkelas dunia. Namun kondisi keuangan Milan yang buruk memaksanya hengkang ke Paris Saint Germain. Kini, sektor pertahanan Milan diperkuat oleh duet Philippe Mexes dan Cristian Zapata, dengan dilapis oleh pemain-pemain senior seperti Cristian Zaccardo dan Daniele Bonera, juga seorang bek muda bernama Jherson Vergara.

Baik Mexes, Zapata, Zaccardo maupun Bonera juga bukanlah pemain yang buruk. Hanya saja, disebut berkelas duniapun tidak. Hal ini cukup mengganggu Rossoneri karena ketiadaan bek tengah berkelas dunia dipercaya akan semakin menjauhkan mereka dari gelar. Hal ini bukannya tidak disadari oleh manajemen. Pada bursa transfer musim panas ini, mereka kemudian dikaitkan dengan beberapa nama yang dianggap akan mampu memperkuat lini belakang mereka.

Nama pertama adalah Davide Astori. Bek yang kini bermain di Cagliari ini adalah jebolan akademi Milan. Astori, yang kini berusia 26 tahun sudah wara-wiri ke tim nasional Italia. Ia juga diincar oleh Manchester United sebagai bukti kehebatannya. Milan juga sebenarnya sempat mengincar Angelo Ogbonna, bek yang juga langganan tim nasional Italia. Namun eks pemain Torino ini sudah berbaju Juventus. Banderol kedua pemain yang mencapai 15 juta euro adalah hambatan bagi Milan.

Nama kedua yang kini ramai dibicarakan adalah bek Parma asal Argentina, Gabriel Paletta. Bek jangkung berusia 27 tahun ini hangat dibicarakan media-media Italia sebagai target transfer Milan. Siapakah Paletta? Beberapa tahun lalu, publik lebih mengenalnya sebagai pemain berbakat Argentina yang gagal bersinar di kompetisi Eropa.

Paletta mengawali karirnya di klub Banfield sejak usia 16 tahun. Hanya butuh waktu tiga tahun baginya untuk menembus tim utama Banfield, hal yang kemudian membuatnya terpilih menjadi pengisi lini belakang tim nasional junior Argentina pada perhelatan Piala Dunia U-20 tahun 2005 silam.

Penampilan memikat Paletta di kejuaraan tersebut memikat klub besar Inggris, Liverpool. Sayangnya, Paletta gagal menembus posisi starter. Total, ia hanya bermain sebanyak 3 kali sepanjang musim 2006/2007 tersebut. Selanjutnya, Paletta mudik ke Argentina untuk memperkuat Boca Juniors.

Di Boca, Paletta menemukan kembali kepercayaan dirinya. Sadar bahwa ia pindah ke Eropa di usia yang terlalu muda membuatnya tampil baik bersama Boca. Bersama klub rival abadi River Plate tersebut, Paletta menyumbangkan gelar juara Torneo Apertura dan Recopa Sudamericana tahun 2008.

Panggilan kembali ke Eropa datang. Kali ini klub papan tengah Italia, Parma yang membelinya. Bermain di Parma yang relatif lebih jauh dari sorotan ketimbang di Liverpool ternyata menjadi berkah baginya. Bersama Parma inilah Paletta kemudian mulai menapaki puncak permainan sebagai seorang pemain belakang berkelas. Kompetisi Seri a telah mengangkat namanya.

Paletta bermain gemilang sepanjang musim lalu. Situs whoscored menilai rataan performanya sebesar 7,2. Hal itu menjadikannya pemain dengan nilai rating terbaik kedua Parma musim lalu dibawah Jonathan Biabiany. Musim lalu, Paletta diasuh dua pelatih yaitu Franco Colomba dan Roberto Donadoni. Ditangan Colomba, Paletta bermain dalam sistem empat bek dimana ia berduet dengan Alessandro Lucarelli. Masuknya Donadoni menggantikan Colomba di pertengahan musim mengubah sistem permainan. Paletta hingga akhir musim bermain dengan sistem tiga pemain belakang, dan tetap tampil mengesankan.

Milan tidak salah mengincar pemain ini. Secara statistik, penampilan Paletta mungkin masih berada dibawah Mexes dan Zapata, namun dalam beberapa aspek seperti tekel maupun kemampuan membaca permainan Paletta sedikit lebih unggul. Pendek kata, kehadiran Paletta akan menciptakan kompetisi yang positif di lini pertahanan Milan sehingga performa tim akan meningkat secara keseluruhan.

Namun lagi-lagi harga menjadi masalah. Setelah sempat dihargai 10 juta euro, Direktur Parma Pietro Leonardi tiba-tiba mengeluarkan pernyataan mengejutkan, yaitu siapapun yang berminat pada Paletta harus mengeluarkan uang 35 juta euro. Pernyataan Leonardi tersebut seolah menegaskan bahwa pemain ini berstatus tidak dijual.

Tidak mengherankan memang karena Parma sendiri kini sedang berusaha bangkit sebagai kekuatan baru Seri a seperti tahun 90an lalu dimana mereka adalah tim papan atas. Ambisi tersebut tertuang di bursa transfer ini. Meski harus kehilangan penyerang muda berbakat Ishak Belfodil, namun sebagai gantinya mereka mendapatkan Antonio Cassano. Dengan poros Cassano di penyerangan dan Paletta di pertahanan inilah Parma mengusung optimisme menuju musim baru.

Kini tinggal bagaimana Adriano Galliani sebagai transfer guru Milan bertindak. Galliani memang penuh teka-teki. Ia terkenal sering mewujudkan transfer-transfer mengejutkan buat Milan, dan tidak jarang transfer tersebut terjadi menjelang penutupan. Galliani tahu benar akan kebutuhan Milan pada bek tangguh, namun lebih dari itu ia berhadapan dengan kondisi finansial Milan yang terbatas.

(tulisan ini ditolak oleh salah satu fanbase, karena dianggap sebagai tulisan rumor belaka.. hihihi)

@aditchenko

Friday, July 19, 2013

The Emerging of Indonesian Football Blogger

Apa yang biasa Anda cari penggemar sepak bola dari sebuah website sepak bola? Hasil pertandingan? Siapa pencetak gol? Urutan berapa tim favorit di klasemen? Transfer pemain? Lupakan saja, karena sekarang terdapat sekumpulan orang yang tengah mencoba memberi asupan yang beda terkait tulisan sepak bola.

Dulu gue juga begitu, hanya peduli pada hal-hal remeh sepak bola seperti hasil laga dan berita-berita ringan. Baca media luar? Ah buat apa.

Tapi ada saat dimana gue merasa kurang puas dengan apa yang gue baca. Merasa media hanya menyajikan yang itu-itu saja padahal sesuatu dalam diri gue bilang kalo sepak bola lebih dari itu.

Awalnya, seorang teman ngasih tau tentang kesukaannya membaca tulisan salah seorang penulis sepak bola. Teman gue ini bahkan gak suka-suka amat sepak bola. Ini membuat gue mikir 'wah hebat amat ini orang bisa bikin tulisan bola yang bisa disukai oleh orang yang sebetulnya gak paham bola'. Dari situlah pencarian dimulai.

Gue mulai blogwalking. Pencarian berhenti pada beberapa nama. Saat itu, 2 tahun lalu, gue mulai rajin membaca tulisan-tulisan mereka. Timbul semacam keinginan untuk bisa seperti mereka, yaitu memandang sepak bola dari berbagai sisi. Sepak bola lebih dari sekadar memperhatikan situs livescore, banter dengan fans lawan, melihat-lihat kompilasi gol-gol terbaik di youtube, atau menghapal nama-nama pemain. Orang-orang ini membuka mata gue lebar-lebar.

Ada yang kuat di angle dan memiliki style yang khas, ada yang tata kalimatnya enak dibaca seperti layaknya kita membaca novel, ada yang menuangkan pengalaman perjalanannya ke berbagai belahan dunia, ada yang membahas industri dan taktik, ada yang mencampurnya dengan sejarah, ada pula yang menyambungkannya dengan filsafat. Sepak bola membawa kita kemana-mana. Ke berbagai disiplin ilmu.

Dari mereka jugalah gue mengenal penulis-penulis lain. Ternyata memang banyak penulis-penulis berbakat yang tinggal diasah sedikit dan diberikan media, maka mereka akan bersinar.

Seiring berjalan waktu, gue melihat lagi kemunculan beberapa grup baru, terdiri dari penulis-penulis yang juga baru. Mereka seakan menunggu untuk meledakkan potensi mereka, lalu membuat berbagai produk untuk menambah kekayaan khazanah penulisan sepak bola di Indonesia.

Kini, tulisan sepak bola dari penulis atau blogger Indonesia sudah menjamur baik dalam bentuk blog sederhana, website keren maupun mengisi rubrik olahraga pada media online ternama. Keadaan ini berbeda jauh dibandingkan 3-4 tahun lalu. Kemunculan para penulis maupun blogger ini tentu menyenangkan. Mereka memberi pengetahuan, sudut pandang, cerita, hingga ajakan untuk membawa kita semua belajar memaknai sepak bola lebih luas, mencoba menelisik sisi-sisi lain dan merambah sektor akademis dengan menjadikan tulisan-tulisan sepak bola sejajar dengan karya tulis ilmiah. Menaikkan level sepak bola, juga membuang jauh-jauh semangat bigotry. Blogger-blogger maupun para penulis ini menunjukkan bahwa mereka mampu membentuk pasar, bukan sekadar mengikuti pasar. Meskipun mengubah pola pikir stakeholder sepak bola secara masif juga masih terlalu jauh, meskipun kekerasan masih terjadi, meskipun kondisi sepak bola nasional masih jauh dari ideal, tapi ini sungguh permulaan yang baik.

Blogger-blogger ini memberi warna baru pada dunia penulisan sepak bola di Indonesia. Seakan menunjukkan bahwa masih banyak pihak-pihak yang memberi kritik yang konstruktif, memberi pengetahuan, menggelitik keinginan belajar dan tidak cepat puas. Mereka juga banyak meneliti langsung berbagai fakta yang banyak orang tidak tahu, bahkan mencari tahu dan membantu para legenda sepak bola Indonesia yang ironisnya dilupakan oleh anak-anak muda bangsa Indonesia sekarang karena tontonan sepak bola Eropa telah melenakan dan membuat mereka cuek terhadap sepak bola negeri sendiri dan pelaku-pelakunya.

Prestasi tim nasional Indonesia tengah terjun bebas, kompetisi yang (katanya) profesional masih carut marut, federasi yang haus kekuasaan dan mengotori sepak bola dengan berbagai kepentingan mereka, juga pembinaan usia muda tidak berjalan. Namun meski demikian, kebangkitan penulisan tema sepak bola di negeri ini adalah sesuatu yang menyegarkan, mungkin satu-satunya yang bisa dibanggakan. Bukan gerakan positivis semata, bukan sekadar menjadi macan kertas belaka, lebih dari itu tidak sedikit dari penulis dan blogger ini menggagas berbagai aksi nyata demi kemaslahatan sepak bola nasional.

Tidak peduli negara kita adalah negeri para penonton, dan bukan (atau belum jadi) negara sepak bola, setidaknya negara ini punya pejuang yang rela begadang demi riset tulisan, rela keluar uang ekstra untuk asik mengetik di kedai kopi, mengorbankan waktu untuk menggelar diskusi-diskusi yang menambah wawasan, membuat film atau lagu, menyisihkan waktu untuk menemui para legenda, turun langsung membantu perkembangan sepak bola dari level grassroots dan kemudian mengawali perubahan dengan menuliskan pengalaman ini demi memunculkan kesadaran. 

Yes, they are real.

Friday, July 12, 2013

Milan: Antara Mercato dan Taktik

Milanisti mana yang tidak gemas melihat pergerakan tanggung transfer Milan? Bukan hanya sekarang, tapi beberapa tahun kebelakang. Buku kas Milan harus seimbang, tidak boleh ada kas keluar untuk membeli pemain sebelum ada yang pergi. “Kita tidak bisa membeli sebelum menjual.” Begitu kata Adriano Galliani berkali-kali.

Kondisi finansial Milan memang mengenaskan. Dalam dua tahun terakhir selalu mengukir kerugian diatas 50 juta euro –jumlah yang melebihi ambang batas yang ditetapkan UEFA melalui Financial Fair Play (FFP)- yang pada akhirnya memaksa Milan untuk melakukan pengetatan belanja secara ekstrim. Masih untung musim panas ini tidak terjadi lagi overhaul skuat seperti tahun lalu. Biaya gaji Milan juga tidak terkontrol. Swiss Ramble sudah menuliskannya dengan komprehensif dalam tulisannya yang lebih menyerupai laporan audit bahwa biaya gaji Milan adalah salah satu yang tertinggi di Italia, mencapai 200 juta euro per tahunnya, padahal pendapatan hanya 20-30 juta lebih banyak. Dari sisi bisnis, sangat tidak sehat.

Orang bijak bilang, apa yang kita alami sekarang adalah buah dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Milan benar-benar memetik buahnya sekarang. Untungnya ada FFP yang sangat memberi efek disintensif pada kelakuan jor-joran klub sepak bola, termasuk Milan. Tidak hanya mampu menghemat anggaran belanja dan gaji pemain, Milan juga punya basis pendapatan komersial yang paling tinggi diantara klub-klub Italia lain berangkat dari kesadaran akan pentingnya mendapat lisensi dari UEFA sebagai tanda lulus tes FFP.

Tapi tetap saja toh hal ini tidak banyak berpengaruh pada kebijakan transfer Milan. Peningkatan performa dari tim marketing and communication Milan memang berangkat dari kesadaran mereka untuk makin memperkuat brand ke level global. Tahun 2012 lalu, Deloitte mengemukakan Milan memperoleh nyaris 100 juta euro dari kegiatan komersial mereka, atau yang tertinggi diantara klub Italia lainnya. Namun hal ini masih belum cukup –setidaknya saat ini- untuk mendongkrak performa tim lewat penguatan pemain di bursa transfer.

Keisuke Honda dan Adem Ljajic adalah pemain yang kini diidam-idamkan Milanisti. Apalagi seiring keinginan Milan menggunakan taktik 4-3-1-2 yang tentunya membutuhkan trequartista handal seperti mereka. Harga Honda maupun Ljajic sebenarnya tidak mahal-mahal amat. Total, mereka berdua berharga tidak lebih dari 20 juta euro. Milan akhirnya rela menunggu Honda hingga Januari, saat kontrak sang pemain CSKA Moskow tersebut habis dan Milan dapat menggaetnya dengan gratis. Kondisi finansial lah yang menyebabkan pengeluaran 10 juta euro untuk satu orang pemain menjadi barang yang terlalu mewah untuk Milan.

Penghalang terwujudnya transfer ini adalah masih bertahannya Kevin-Prince Boateng dan Robinho. Dua pemain ini menjadi pesakitan di Milan karena performa mereka yang jauh dari kata impresif musim lalu. Ditambah lagi, skema 4-3-1-2 tidaklah cocok untuk mereka, terutama Boateng. Mereka meminta gaji yang mahal dari calon pembeli masing-masing, dan Milan juga menuntut nilai transfer mahal pula. Tidak terdapat titik temu antara harga dan kualitas pemain, yang membuat mereka sulit dijual.

Efek dari kegagalan transfer ini bisa bermacam-macam. Baik Robinho atau Boateng akan menjadi kambing hitam yang tidak disukai tifosi karena dianggap menghambat kedatangan Honda dan Ljajic. Milan bisa jadi kembali menggunakan pola 4-3-3, pola yang sebetulnya cukup sukses membawa mereka ke posisi 3. Memasang Riccardo Saponara dan membebaninya untuk langsung memberi efek besar bagi Milan bukanlah tindakan bijak lantaran sang pemain masih sangat muda. Tanpa kehadiran Honda dan Ljajic, pola 4-3-3 memang patut dipertahankan karena dengan pemain yang ada, Milan lebih cocok bermain dengan pola ini, dengan Saponara diposisikan sebagai wide playmaker di sisi kanan. Tidak menempatkan Saponara di posisi terlalu sentral pada fase ini sepertinya pilihan yang bijak.

Mempertahankan pemain yang tidak cocok dengan skema dan tidak mampu bermain maksimal memang bukan pilihan bijak. Jika benar harus menunggu Honda hingga Januari, nampaknya Milan harus bersiap dengan segala kemungkinan yaitu mengubah taktik di pertengahan musim. Musim lalu, aneka taktik telah dicoba Max Allegri hingga ia ajeg dengan 4-3-3. Namun jika ternyata pola 4-3-3 masih memberi hasil positif, beranikah Milan berganti ke pola 4-3-1-2 di tengah musim?

Inisiasi pola baru idealnya sudah dilakukan sejak awal musim, bahkan sejak latihan pre-season. Pola 4-3-1-2 yang lebih narrow akan memaksa sejumlah pemain seperti Stephan El Shaarawy, yang biasa bermain sebagai wide forward untuk beradaptasi lagi. Belum lagi menyebut Mario Balotelli, yang nampak lebih nyaman bermain sebagai penyerang tengah tunggal yang dibiarkan bergerak bebas. Jika berduet dengan El Shaarawy, ada kekhawatiran bahwa ruang gerak Balo akan terlimitasi karena harus berbagi dengan Il Faraone.


Bagaimanapun implementasinya nanti di lapangan, adalah tugas Allegri untuk segera memutar otak dalam menemukan formula yang paten. Skema paten ini akan sangat menentukan akan berada dimana Milan pada akhir musim. Start buruk dan lambat memiliki konsekuensi yang sangat berat. Membicarakan scudetto memang terlalu prematur, namun buat Milan, mampu menduduki 3 besar di Seri a sekaligus melangkah sejauh mungkin di Liga Champions sudah menunjukkan bahwa tim ini berada di trek yang benar. 

Monday, July 8, 2013

Ayo Main Bola!

Rasanya masih teringat jelas di memori saat gue dicela teman-teman (bukan teman yang baik sih) yang mengatai betapa culunnya gue karena gak bisa main bola dan gak tau gimana caranya nendang bola. Sebuah celaan yang kemudian seperti membangunkan monster yang telah lama bersembunyi dalam badan.

Monster itu menstimulus gue buat belajar main bola, lalu membungkam mulut para pencela itu. Gue gak tumbuh sebagai pesepakbola profesional juga sih, tapi gue bukanlah pesepakbola buruk. Gue hanya punya dua tujuan setiap bermain bola, yaitu bermain baik dan mencetak gol. Gak pernah sedikitpun terbersit untuk mencederai lawan. Gue bermain, karena gue mencintai permainan ini, bukan karena motivasi lain seperti taruhan atau gagah-gagahan. I see football as a beautiful game.

Passion gue teramat tinggi keterlaluan pada permainan ini. Jeleknya, passion ini seperti hantu yang sempat menghambat langkah gue karena terlalu sulit move on dan sulit menerima kenyataan kenapa gue gak bisa jadi pemain bola. Banyak tahap pencarian gue lalui sebelum mencapai tahap ikhlas seperti sekarang. Mencoba berdamai dengan hidup dan berusaha terlihat seperti bapak-bapak normal yang suka upload foto anak di social media dan menjadi karyawan yang rajin kerja lembur serta berdedikasi tinggi adalah bukti bahwa gue sudah pasrah dan rela menjalani dunia paralel di mana pemikiran gue gak sejalan dengan apa yang gue lakukan.

Meski demikian, gak ada penyaluran yang lebih besar pada sepak bola selain memainkannya. Ya, bermain sepak bola di lapangan adalah hal yang lebih menyenangkan daripada liburan mahal dengan kapal pesiar romantis sekalipun, atau teriak-teriak di karena adrenalin yang dibuat-buat saat memainkan water sport di pantai eksotis. Bahkan setelah gue menemukan kesenangan alternatif berupa menjadi penulis sepak bola sekalipun, tidak bermain sepak bola secara reguler adalah sebuah kegagalan tak termaafkan.

Perubahan status dari bujangan ke pajangan, plus dari mahasiswa girang ke karyawan senang udah cukup mereduksi waktu bermain bola. Apalagi sebuah catatan statistik kampret berupa hasil medical check up resmi mengalienasi gue dari lapangan bola. Kolesterol gue tinggi, akibat terlalu larut dalam rangkaian tipuan hedonisme berupa makanan-makanan lezat.

Lebih sakit membaca ini daripada tidak menemukan nama gue di pengumuman UMPTN. Tidak bermain bola adalah situasi terburuk yang bisa gue bayangkan, daripada tidak punya payung saat hujan deras atau tidak punya pacar selama sekolah. Dan kini, udah 3 bulan lebih lamanya gue istirahat dari lapangan. 3 bulan tidak menyenangkan yang tidak ingin gue alami lagi.

Well, gue gak mau curhat sebenernya. Gue akan tambahin sedikit bobot dalam tulisan ini. David Conn, si jurnalis sport business pernah bilang dalam salah satu chapter di bukunya tentang lost generation of football yang terjadi di Inggris, yang notabene negara yang mendaulat diri sebagai penemu sepak bola.

Conn bilang bahwa ciri paling kentara dari modernisasi sepak bola adalah di dunia penyiaran. Rupert Murdoch melalui Sky Sports yang menjadikan sepak bola sebagai tontonan berbayar telah mengubah paradigma orang-orang Inggris. Paradigma itu adalah menjadi penonton yang baik karena stasiun TV menayangkan tontonan bagus, yang sayang untuk dilewatkan. Tidak hanya siaran langsung, tapi juga highlight pertandingan dan analisa canggih dari para pundit berjas dan berdasi, tidak mau kalah necis dengan pengamat pasar modal ataupun pengacara. Tayangan sepak bola sudah dikemas sedemikian ruma sehingga para pemirsa termanjakan, dan uang berlangganan yang mereka keluarkan terasa tidak percuma. Ya terang saja, kalau sudah mengeluarkan uang untuk berlangganan, masak sih kita harus beranjak dari sofa sambil makan pizza dan minum berkaleng-kaleng soda atau bir? Ngapain juga capai-capai main bola di lapangan, mendingan nonton orang main aja di TV. Kebiasaan ini juga membawa dampak obesitas, yang akhirnya makin mengurangi produksi generasi sehat yang mampu menjadi pesepakbola.

Terdengar berlebihan? Fenomena ini kemudian berkembang lebih liar. Dari revolusi penyiaran, kemajuan sektor industri pada akhirnya membutuhkan terlalu banyak ruang untuk pembangunan kantor dan gedung mereka. Ruang publik tereduksi, lapangan bola dihabisi. Semakin sulit bermain bola jika lapangan rumput plastik yang tersedia memaksa kita merogoh kocek 300 ribu rupiah perjamnya, atau kira-kira seorang anak sekolah harus patungan 30 ribu rupiah untuk bermain bersama teman-temannya. Tidak heran, lebih banyak anak muda yang lebih memilih nongkrong di minimarket dengan modal 30 ribu perak itu, karena bisa mendapatkan seporsi junk food dan segelas sirop beku, plus bisa ngegodain cewek.

Balik lagi ke absennya gue dari lapangan. Well, sudah saatnya mengakhiri penderitaan ini. Gue harus segera kembali ke lapangan dan dapetin lagi hal-hal yang bisa bikin gue seneng. Jadi seorang pria beranak satu di usia boring 30an bukan berarti menghilang dari lapangan. Bagaimanapun juga, sepak bola lebih enak dimainkan daripada sekadar dibicarakan atau ditonton saja. Ayo main bola!