Pages

Thursday, May 30, 2013

Sepersepuluhnya Saja Untuk Pembinaan

260 juta euro. Ya, saya yakin bagi seorang Erick Thohir uang sebanyak itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan. Uang yang konon akan dipergunakan untuk membeli saham Inter Milan memang akan menjadikan pengusaha berusia 42 tahun ini orang Indonesia pertama yang mengakuisisi klub asal Italia.

Dilihat dari nama besar, jelas tidak ada yang meragukan kiprah Inter Milan. 18 gelar scudetto dan 3 gelar Liga Champions adalah gelar major yang sudah bersemayam di lemari trofi Appiano Gentile. Langkah Erick dalam akuisisi ini jelas akan membuatnya semakin dikenal.

Dulu, selain orang Rusia, tidak ada yang mengenal Roman Abramovich sebelum ia mengakuisisi Chelsea. Tidak ada pula yang banyak membicarakan nama Ekaterina Rybolovleva, yang mendapatkan hadiah ulang tahun berupa dua buah pulau di wilayah Yunani dari ayahnya sebelum sang ayah membeli AS Monaco. Sepak bola, sebagai olahraga paling populer di dunia jelas menjamin popularitas bagi para pelakunya. Dengan membeli klub sepak bola, otomatis nama dari sang pemilik juga terangkat.

Silvio Berlusconi juga mengeluarkan jargon revolusi di partainya Forza Italia pada awal pencalonannya sebagai Perdana Menteri Italia. Namun siapapun tahu bahwa keberhasilannya membawa AC Milan berprestasi adalah kendaraan yang kencang baginya untuk menduduki posisi ketua pemerintahan di negeri peninsula.

Bagi Erick Thohir, entah apapun motifnya, akuisisi Inter Milan akan membawa keuntungan meski tidak akan mudah dilakukan. Sementara bagi Massimo Moratti, melepas kepemilikan mayoritas Inter Milan akan menjadikannya anak durhaka. Ia pasti takut arwah Angelo Moratti akan bangkit mengejar-ngejarnya jika saham mayoritas Inter jadi dijual.

Bagi Moratti, Inter adalah candu. Ia seperti halnya seorang pencinta masokis pada klubnya itu. 400 juta euro dari kantong pribadi secara total telah ia keluarkan untuk mendatangkan pemain-pemain kelas dunia ke kota Milan sejak tahun 1995. Dan setelah regulasi Financial Fair Play mengudara, sang taipan minyak tak mampu lagi mengelak. Ia tidak boleh lagi mendonor Inter dari kocek pribadi.

Inter telah dibawanya menjadi klub yang seperti tidak ada kenyangnya. Suntikan dana besar terus diberikan demi kelangsungan hidup. Financial Fair Play ala UEFA kemudian menyetop keran itu, dan mewajibkan Inter mencari sumber pemasukan murni dari sepak bola, bukan dari sang pemilik. Diperparah dengan buruknya kebijakan transfer dan regenerasi yang telat, Nerazzuri dan Moratti seakan tidak bisa kemana-mana lagi. Posisi 9 di klasemen menandai era terburuk sepanjang kepemimpinannya. Sebuah perubahan dan suntikan dana jelas kata-kata yang menyegarkan bagi Interisti.

Erik Thohir, yang juga ketua Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara, pemilik Philadelphia 76ers dan Washington DC United melihat hal ini sebagai peluang. Mengetahui morat-maritnya kondisi finansial Il Biscione, Thohir datang dengan keinginan besar pada akuisisi saham mayoritas si biru hitam.

Jika Thohir berhasil membuat Moratti mengeluarkan pulpen Mont Blanc dari saku jas peraknya lalu menandatangani pelepasan saham, menarik menanti efek dominonya. Mungkin saja akan ada lagi pengusaha asal Indonesia lainnya yang kemudian berbondong-bondong menyeponsori tim ini. Logo perusahaan-perusahaan Indonesia boleh jadi akan menjadi pemandangan lazim di San Siro (Oke, Giuseppe Meazza).

Para pengusaha Indonesia akan melihat sepak bola Eropa sebagai mainan baru mereka. Portofolio mereka akan mentereng jika dalam ruang kerja mereka terpampang jersey-jersey original, maket stadion, potongan rumput stadion, hingga sepatu-sepatu match worn pemain. Ya, seorang pengusaha berjiwa muda yang senang olahraga. 

Sebagai orang yang memang suka berandai-andai, saya jadi dipaksa berandai-andai jika saja 10 persen dari uang 260 juta itu, alias 26 juta euro alias 390 miliar rupiah saja dianggarkan untuk kepentingan sepak bola nasional. 

Klub-klub di piramida atas sepak bola Indonesia katakanlah memiliki rataan anggaran 10 miliar rupiah per tahunnya, atau maksimal 15 miliar. Maka 220 miliar dari 390 miliar dapat dijadikan anggaran bagi 18 klub tanpa adanya ancaman penunggakan gaji. Sisanya sebanyak 170 miliar bisa dipakai untuk membiayai klub-klub hingga Divisi Tiga. Pendeknya, uang sebanyak itu bisa dipergunakan untuk menggerakkan kompetisi sepak bola nasional selama setahun penuh.

Bayangkan pula jika uang itu dipakai sedikitnya saja untuk mendatangkan seorang Tom Byer, lalu mendukung program-program pembinaan pemain mudanya. Bayangkan apa yang terjadi pada persepakbolaan Indonesia dalam waktu 10 tahun.

Memang, berinvestasi pada pembinaan sepak bola nasional akan kalah kece dibanding membeli saham mayoritas klub ternama Eropa.

Monday, May 27, 2013

Analisis Akhir Musim Liga Italia


Liga Italia musim kompetisi 2012/2013 telah usai dengan Juventus keluar sebagai pemenang, sekaligus mempertahankan gelar juara yang juga mereka raih musim lalu.

Best Team: Juventus
Juvetus menyelesaikan kompetisi dengan poin 87 atau 9 poin diatas pesaing terdekat, Napoli. Partai pekan ke 35 kontra Palermo menjadi pekan penahbisan La Vecchia Signora sebagai juara. Pencapaian Si Nyonya Tua musim ini mungkin masih kalah spektakuler ketimbang musim lalu, dimana mereka mengakhiri musim tanpa terkalahkan. Dan dilihat dari kualitas peserta, lawan-lawan tradisional Juve musim lalu masih jauh lebih kuat daripada kondisi mereka kini.

Juventus cukup diuntungkan dengan kondisi AC Milan dan Inter Milan yang jauh dari stabilitas finansial yang ideal. Karena masalah finansial tersebut, Milan memulai musim ini dengan penjualan besar-besaran pemain bintang mereka.

Tidak heran Milan mengukir start buruk yang kemudian mengeliminasi mereka dari perebutan gelar juara. Beruntung dengan determinasi dan keteguhanny, pelatih Max Allegri mampu menemukan formula yang tepat. Allegri mampu mengoptimalkan pemain muda seperti Stephan El Shaarawy dan Mattia De Sciglio, serta mengembalikan performa Mario Balotelli pada puncaknya. Serangkaian hasil positif kemudian mengerek posisi Milan hingga tangga ketiga.

Dilain pihak, kondisi Inter Milan lebih mengenaskan lagi. Setelah menjadi tim pertama yang menundukkan Juve musim ini bulan November tahun lalu, peruntungan Nerazzuri berubah drastis. Kombinasi antara buruknya kebijakan transfer dan cedera yang menimpa sebagian besar pemain andalan membuat tim asuhan Andrea Stramaccioni anjlok ke posisi sembilan. Performa pertahanan Inter bahkan sangat menyedihkan karena mereka kebobolan 57 kali, atau berada di urutan kedua terbawah dibawah tim juru kunci Pescara yang kebobolan sebanyak 84 kali.

Pesaing terkuat Juventus musim ini adalah Napoli. Il Partenopei memang telah memantapkan posisi sebagai tim yang stabil di papan atas Seri a dalam beberapa tahun kebelakang. Meski harus kehilangan salah satu pilar penyerangan, Ezequiel Lavezzi, namun pelatih Walter Mazzari mampu mengatasi hal tersebut. Namun konsistensi penampilan memang menjadi musuh utama Napoli, hal yang tidak bisa ditolerir dalam sebuah kompetisi yang panjang.

Meski banyak memunculkan tim-tim yang segar dan menarik seperti Fiorentina, yang dibawah asuhan Vincenzo Montella disebut memainkan sepak bola terbaik, namun Juventus tetaplah terlalu kuat bagi seluruh lawan mereka. Ditopang kekuatan finansial yang mereka dapatkan hasil kepemilikan stadion sendiri, mereka mampu mempertahankan keutuhan skuat yang sudah solid musim lalu.

Gianluigi Buffon masih disokong trio Giorgio Chiellini-Andrea Barzagli-Leonardo Bonucci yang membentuk lini pertahanan terkuat di Italia. Kontribusi mereka, yang dilapis dengan baik oleh Martin Caceres membuat gawang Buffon hanya bobol 24 kali, alias yang tersedikit di liga.

Mungkin terlalu umum jika mengatakan bahwa kekuatan utama sebuah tim ada di lini tengah. Namun bagi Juventus, lini tengah memang nyawa mereka. Setelah musim lalu memunculkan trio Andrea Pirlo-Arturo Vidal-Claudio Marchisio, pelatih Antonio Conte kemudian mendatangkan pemain muda bernama Paul Pogba yang penampilannya mengejutkan. Meski tidak selalu tampil sebagai starter, kehadiran Pogba tetap mampu menjaga stabilitas lini tengah Juventus.

Selain keberadaan Pirlo yang tetap impresif, Juventus patut berterimakasih pada seorang Arturo Vidal, yang kian bertransformasi menjadi pemain kelas dunia. Koleksi 10 golnya musim ini menjadikannya pencetak gol terbanyak Si Nyonya Tua, bahkan setara dengan torehan leading scorer dari posisi penyerang mereka, Mirko Vucinic.

Vidal adalah pemain komplit yang memiliki kombinasi kemampuan bertahan dan menyerang yang eksepsional, didukung dengan konsistensi permainan yang mengagumkan. Tugas Juve selanjutnya adalah mempertahankan pemain ini dari kejaran klub-klub top Eropa yang pasti memburunya.

Dari sisi taktik, pelatih Antonio Conte sempat terjebak dengan skema permainan yang sama. Terdapat periode sulit mereka di awal tahun saat tim ini beberapa kali meraih hasil kurang baik, diantaranya menyerah 1-2 di kandang sendiri atas Sampdoria. Cedera yang menimpa Chiellini nyatanya cukup berpengaruh karena Federico Peluso yang didatangkan di pertengahan musim dari Atalanta tidak langsung nyetel dengan skema permainan. Namun setelah pulihnya Chiellini, Juventus kembali ke jalur permainannya semula.

Best Allenatore: Max Allegri & Vincenzo Montella
Sulit memilih siapa yang terbaik diantara dua orang ini. Keduanya melatih tim dengan kesulitan masing-masing. Jika Montella melatih tim yang musim lalu terpuruk nyaris degradasi, Allegri melatih tim besar dengan ekspektasi tinggi namun dengan kondisi skuat yang dirombak total dan presiden yang tidak lagi mempercayainya.

Montella mampu memberikan pemandangan segar di Seri a dengan komposisi pemain pilihannya. Pemain belakang dan tengah mereka dianugerahi kemampuan untuk memainkan bola dengan baik. Lini tengah yang dikomando David Pizzaro dan Borja Valero mengalirkan bola dengan sangat baik, Manuel Pasqual bermain cemerlang dan Juan Cuadrado memainkan musim terbaiknya. Tidak ketinggalan, Montella mampu memaksimalkan talenta duo Balkan, Adem Ljajic dan Stevan Jovetic hingga dua pemain ini menjadi pemain instrumental bagi tim ini.

Pencapaian mereka yang hanya berselisih 1 poin dari Milan di zona Liga Champions bukanlah pencapaian sembarangan. Mereka juga meraihnya dengan permainan memikat dan gol yang banyak. Mereka hanya kalah sebiji gol dari Napoli yang muncul sebagai tim paling produktif musim ini. Il Gigliati memetik buah dari rangkaian pergerakan cerdik mereka di bursa pemain. Tercatat pemain-pemain yang baru mereka datangkan musim ini sebagian besar menjadi andalan sepanjang musim.

Sementara Allegri telah menunjukkan kinerja terbaiknya meski keadaan sama sekali tidak bersahabat dengannya. Pelepasan pemain bintang dan pemain senior jelas bukan kemauannya. Ia memang kerap keras kepala dengan berusaha menempatkan Kevin Prince Boateng di posisi trequartista, padahal sang pemain lebih cocok di posisi central midfielder.

Namun diluar itu ia tetap memiliki andil dalam dominannya lini tengah Milan di setiap laga. Milan hanya kalah dari Juventus dalam hal rataan penguasaan bola, dengan Riccardo Montolivo yang kian menanjak penampilannya. Allegri juga mampu memecahkan problem di sektor full back dengan memasang Kevin Constant bergantian dengan De Sciglio di posisi bek kiri. Ia juga terus mempercayai Abate meski sang pemain kerap bermain buruk, dan kepercayaan tersebut membuat permainan terbaik Abate berangsur kembali.

Allegri juga pada akhirnya menemukan kombinasi duo bek tengah terbaik dalam diri Philippe Mexes dan Cristian Zapata. Dua pemain ini berkualitas jauh dibawah Sandro Nesta dan Thiago Silva yang telah pergi, namun meski demikian Allegri mampu memaksimalkan mereka setelah rangkaian percobaan nyata di pertandingan demi pertandingan. Bukan analisa diatas kertas semata.

Tak ayal, pembelaan mulai berdatangan. Tidak hanya dibela Galliani, para suporter kini menyuarakan pembelaan pada eks pelatih Cagliari ini. Pembelaan juga datang dari mantan pelatih seperti Fabio Capello hingga jurnalis ternama seperti Gabriel Marcotti. Allegri mungkin (belum) menjadi pelatih juara, gelar scudetto Milan di musim perdananya dianggap andil dari pemain-pemain bagus milik Milan. Namun memecatnya jelas sebuah langkah mundur.

Dengan faktor-faktor diatas, Allegri dan Montella patut mendapat apresiasi.

Best Player: Edinson Cavani
29 gol di liga yang terkenal dengan pertahanan ketat jelas menunjukkan kualitas kelas dunia Cavani. Penyerang Uruguay ini mencetak 40% dari total gol Napoli, dan dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan kelas permainan.

Andai Stephan El Shaarawy mampu memainkan permainan terbaiknya sepanjang musim, Il Faraone dapat menjadi kandidat yang menggusur Cavani, namun kedatangan Mario Balotelli mereduksi ruang kreasinya di Milan. Ia hanya butuh waktu untuk meledakkan potensinya di masa depan.

Balotelli jelas menjadi kandidat kuat setelah mampu mencetak 12 gol dari 13 laga bersama Milan di putaran kedua. Namun kurang fair menominasikannya ke jajaran best players karena ia baru datang di pertengahan musim. Musim depan boleh jadi akan menjadi musim sempurna bagi Super Mario.

Seperti yang telah disinggung diatas, Arturo Vidal menjelma menjadi pemain kelas dunia milik Juventus. Ia terus meningkatkan kemampuannya dalam mencetak gol, tanpa melupakan tugasnya sebagai gelandang tengah. Kontribusi 10 golnya tidak diragukan lagi sangat berperan besar pada raihan gelar Juventus musim ini.

Best XI: Buffon; Barzagli, Bonucci, Chiellini; Cuadrado, Pirlo, Vidal, Montolivo, Marquinhos; Cavani, Balotelli. 

Wednesday, May 15, 2013

Laga Untuk Dikenang


Enam bulan lalu, Max Allegri menjalani pekan-pekan ultimatum. Ia dihakimi atas hasil buruk Milan yang membuat mereka terperosok hingga sempat menduduki peringkat 15. Pertandingan ultimatum itu adalah melawan Napoli, Anderlecht, dan Juventus. Sebelum ultimatum itu, Allegri dibuat malu oleh skuat Vincenzo Montella, Fiorentina. Hasil 1-3 di kandang sendiri sungguh tak termaafkan. Namun Allegri membawa Milan bangkit dengan meraih 2 kemenangan dan sebuah hasil seri dari 3 laga tersebut. 3 laga itu adalah awal dari kebangkitan Milan dalam meraih rentetan hasil positif hingga kini menduduki tangga ketiga klasemen Seri a.

Kini, Allegri masih menangani Milan dalam sebuah laga paling penting Milan musim ini, melawan Siena. Hasil laga ini menentukan akan bermain di kompetisi Eropa yang mana Milan musim depan. Tidak bosan-bosannya saya bilang, pencapaian ke zona ini adalah sebuah fairytale bagi Milan, yang sebelumnya dipersiapkan untuk mengalami musim overhaul.

Allegri berupaya menyingkirkan warisan Carlo Ancelotti. Ia ingin Milan bermain sesuai caranya. Ia mengumpulkan para petarung di lini tengah dan para penyerang modern yang mampu melakoni berbagai peran di lini depan.

Tidak perlu saya jelaskan bagaimana Riccardo Montolivo menjadi sepenting Andrea Pirlo di era Ancelotti, sudah terlalu banyak yang menjelaskannya. Namun jika saya telisik, Allegri berupaya mengikuti jejak tim yang lebih sangar dari Milan Ancelotti, yaitu timnasi Brazil di tahun 1970.

Oh tentu saya berkelakar. Mana ada tim yang bisa menyaingi hegemoni tim terbaik dunia sepanjang masa itu. Tapi yang pasti, Allegri mengambil pendekatan yang sama dengan Mario Zagallo ketika membawa Brazil merebut trofi Jules Rimet itu.

Allegri, seperti mencontoh yang Zagallo lakukan saat itu, mengumpulkan pemain-pemain berkarakteristik sama. Brazil terkenal dengan “five number 10” dengan menempatkan Pele, Tostao, Jairzinho, Rivelino dan Gerson. Sementara Allegri mengumpulkan 5 orang pekerja keras dalam timnya.

Bukan, saya bukannya membicarakan pekerja keras seperti Gennaro Gattuso. Lihatlah komposisi Balotelli, El Shaarawy, Boateng, Muntari dan Montolivo. Kesamaan dari mereka semua adalah pekerja keras, dan kecuali Montolivo dan Balotelli, mereka lebih “berteknik” daripada Gattuso. Dengan kata lain, Allegri menempatkan 5 pemain dengan kedisiplinan taktik yang bagus, sekaligus memiliki imajinasi memadai untuk mendominasi laga dan menciptakan peluang.

Seperti layaknya tim Italia, Allegri membuat Milan bertahan dengan mengandalkan sistem dan kuantitas pemain. Sadar tidak memiliki bek sekaliber Nesta dan Thiago Silva, Allegri memaksimalkan Mexes-Zapata namun dengan lapisan pelindung yang lebih baik. Bukan cuma Mexes-Zapata yang menjadi kekhawatiran Allegri, namun ia juga memiliki dua full back tidak murni (Abate-Constant), seorang full back medioker (Antonini) dan seorang full back pemula (De Sciglio).

Dengan cadangan bek tengah seperti Yepes, Zaccardo dan Bonera, Allegri jelas tidak bisa berharap mereka dapat menyamai level para legenda. Untuk itu, Allegri membuat sistem pertahanan yang dimulai dari lini depan.

Kita tidak pernah melihat Balotelli hanya menunggu di mulut gawang lawan. Selain karakter Balo yang memang sering bermain ke dalam, Allegri menginstruksikannya untuk menjadi perebut bola pertama saat lawan menguasai bola. Sebagai bukti sahih, jumlah tekel per game yang ia miliki meningkat dari 0.6 per game saat ia masih di Manchester City menjadi 1.1 tekel per game.

Sementara dua winger yang ditempati El Shaarawy dan Boateng atau Niang selalu ditugasi dobel oleh Allegri. Selain membantu penyerangan, mereka juga diwajibkan melakukan track back guna membantu dua full back. Kita sering sekali melihat El Shaarawy melakukan intersep ataupun tekel penting setelah lawan mampu mengadali De Sciglio atau Constant.

Dua gelandang dinamis, Montolivo dan Muntari atau Flamini juga memiliki defensive awareness yang baik. Selain melapis lini tengah, mereka juga tidak jarang ikut membantu full back, terlebih jika menghadapi lawan yang memiliki winger berbahaya. Dan terlebih lagi, kedua pemain ini juga dituntut mendistribusi bola baik ke sayap maupun langsung ke tengah.

Antonio Labbate, jurnalis sepak bola Italia mengatakan bahwa kehadiran Balotelli mengubah dimensi permainan Milan, meski ada pula pengaruhnya pada ketajaman El Shaarawy. Labbate mengemukakan bahwa meski El Shaarawy hanya mencetak 1 gol sejak kehadiran Balotelli, namun mereka masih berada pada tahap adaptasi. Jika proses adaptasi berjalan lancar, mereka berdua akan membentuk barisan depan yang menakutkan musim depan.

Jika lebih diamati lagi, kehadiran Balotelli bukannya mengurangi ketajaman El Shaarawy, namun memberi sumber gol alternatif  bagi Milan, yang sebelum datangnya Balo dipegang tunggal oleh Il Faraone. Dan yang spesial, kehadiran Balo juga memberi motivasi ekstra bagi Pazzini. Sang bomber secara mengejutkan mampu mencetak 15 gol sejauh ini, dimana beberapa diantaranya ia cetak melalui doppietta dan tripletta.

Pazzini memang berbeda dengan Balo. Kehadiran Pazzo membuat permainan Milan seperti tim-tim Inggris yang mengandalkan crossing. Namun energi yang Pazzini timbulkan menjadikan permainan Milan yang diperkuatnya sangat menghibur dan memikat. Bola seperti lebih sering berada di pertahanan lawan.

Laga lawan Siena nanti akan bersamaan dengan laga Fiorentina lawan Pescara. Baik Siena maupun Pescara sudah tidak mencari apapun di Seri a karena mereka sudah terdegradasi. Agak sedikit melenceng dari konteks, rivalitas Toscana antara Siena dengan Fiorentina bisa jadi mempengaruhi laga ini. Siena juga sering diasosiasikan dengan Juventus -yang notabene bitter rival dari Fiorentina-  terbukti dengan arus perpindahan pemain yang deras diantara kedua kubu.

Bagi para penggila teori konspirasi, laga ini jelas rawan match-fixing. Kompetisi Seri a memang kental reputasinya dengan permainan kotor semacam ini. Milan harus berhati-hati dan fokus. Milan harus menang dengan meyakinkan agar tudingan-tudingan yang ditakutkan akan muncul menjadi sirna. Allegri butuh lebih dari sekadar teriakan “DAI!! DAI!! DAI!!” demi meloloskan Milan ke Liga Champions, yang juga sekaligus pertaruhan bagi karirnya di Rossoneri. Sosok Mister yang memang bukan rahasia lagi tidak disukai oleh Berlusconi, yang katanya sih sudah menyiapkan nama-nama seperti Luciano Spaletti, bahkan Clarence Seedorf sebagai calon pengganti Allegri.

Pergi atau tinggal, yang penting menangkan dulu laga untuk dikenang ini, Allegri!