Pages

Sunday, March 31, 2013

Keributan di Pseudo-Derby, Wajah Sepak Bola Indonesia



Hal terbaik yang terjadi di akhir pekan selain berkumpul bersama keluarga adalah sepak bola. Di negeri para penonton seperti Indonesia, penggemar sepak bola baik layar kaca maupun suporter klub lokal begitu dimanjakan dengan banyaknya jadwal pertandingan. Segala pilihan seperti tersaji untuk anda di negeri penonton sepak bola, Indonesia.

Sangat menyenangkan bagi saya yang berkesempatan menyaksikan langsung pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia antara Persikad Depok melawan Persikabo Bogor sore tadi (30/3/2013). Bagi saya, menyaksikan pertandingan sepak bola secara langsung lebih menarik daripada menyaksikan tontonan apapun juga. Dan memang lebih afdol jika penggemar sepak bola nonton langsung di stadion.

Sebelumnya, partai ini termasuk derby minor di wilayah Jawa Barat. Menjadi minor karena kedua tim memang kebanyakan menghiasi kasta kedua kompetisi sepak bola Indonesia, sementara major derby di provinsi Jawa Barat lebih terasa aromanya pada laga Persib Bandung melawan Mastrans Bandung Raya kira-kira dua dekade lalu, atau Persib melawan Persikab.

Namun sejak Depok menjadi kota sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari Kabupaten Bogor tahun 1999 lalu, sebutan derby tentu saja menghilang. Kini pertarungan Persikad dan Persikabo menjadi pertandingan antar kota yang bertetangga. Meski demikian, aroma panas derby ini tetaplah masih ada.

Pertandingan derby menghiasi semangat lokal, di mana penentuan siapa yang terbaik di sebuah kota kadang lebih seru ketimbang siapa yang terbaik di kompetisi sebuah negara. Di manapun selalu demikian. Semangat tersebut begitu terasa di pertandingan tadi sore.

Deklarasi damai antara kedua suporter telah dilakukan guna mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Di jeda laga, seorang teman saya yang menjadi perwakilan suporter Depok Mania melakukan pertukaran syal secara simbolis dengan perwakilan suporter Persikabo Mania. Namun hal tersebut tetap tidak mendinginkan tensi laga.

Persikad unggul lebih dulu lewat penyelesaian apik Irfan “Boax” Safari di menit 33. Keunggulan ini sangat bernilai bagi Persikad karena mereka memang dikurung oleh tim tamu yang mengandalkan 3 pemain asing berpengalaman seperti Julio Lopez, Alejandro Tobar dan Eduard Valutsa. Ketiga pemain ini membentuk peran integral bagi Persikabo. Valutsa dengan tenang mengomando lini belakang, sementara Tobar dan Julio Lopez yang sudah malang melintang di kompetisi sepak bola Indonesia menginisiasi serangan. Kedudukan 1-0 berakhir hingga laga babak pertama usai.

Di babak kedua, Persikabo menyamakan kedudukan lewat sundulan memanfaatkan situasi set piece. Tidak jelas siapa yang mencetak gol karena kejadian begitu cepat. Saat kedudukan berubah menjadi 1-1 inilah tensi pertandingan mulai meninggi. Pertandingan sempat terhenti beberapa menit akibat terdapat penonton yang memasuki lapangan karena terlibat pertikaian dengan suporter lawan. Terlihat bahwa keributan terjadi akibat diturunkannya banner Persikabo di belakang gawang bagian selatan, entah siapa pelakunya.

Ketika pertandingan memasuki masa injury time, tim tamu mampu mencetak gol lewat tendangan jarak jauh. Ketidakpuasan nampak pada wajah para pemain Persikad karena beberapa saat setelah gol tersebut, wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan usai. Sebuah kemenangan yang pantas bagi Persikabo mengingat dominasi mereka sepanjang laga dan berbagai peluang bagus yang mereka ciptakan.

Bagi Persikad sendiri, sebenarnya tidak ada yang perlu diratapi secara berlebihan mengingat mereka memang bermain dengan sebagian besar pemain lokal tanpa pemain asing. Bermainnya tim ini di kompetisi Divisi Utama, meski terdapat dualisme dengan tim satunya yang bermain di kompetisi dibawah LPIS, telah menghangatkan gairah persepakbolaan di kota Depok.

Saat usai pertandingan inilah keributan kembali pecah. Baik penonton maupun pemain yang tidak puas pada kepemimpinan wasit langsung merangsek ke lapangan untuk mengejar sang pengadil. Pemandangan tidak menyenangkanpun tersaji seperti wasit yang dikerubuti oleh pemain maupun ofisial tim dan hakim garis yang berlari terbirit-birit dikejar oleh pemain yang tidak puas.

Sebagai penonton, tentu saya tidak senang pada kejadian tadi. Namun begitulah sepak bola. Banyak orang yang memang hadir di pertandingan bukan untuk bermain atau menonton, namun memang ingin mencari keributan. Ketimbang menyoroti mengapa mereka tidak mampu menguasai laga, mereka lebih menyalahkan wasit yang justru menyurut keributan, termasuk salah seorang suporter di sebelah saya yang tidak henti-hentinya menghujat wasit.

Di perjalanan pulang, suporter Persikabo sampai harus melakukan long march ke stasiun Depok Baru dengan kawalan polisi untuk mencegah makin meluasnya keributan. Kemacetan sempat terjadi di sepanjang jalan Arif Rahman Hakim dan jalan Nusantara Raya.

Sayang sekali bahwa laga yang sebelumnya telah didahului deklarasi perdamaian malah berakhir ricuh, meski tidak sampai menimbulkan korban maupun pengerusakan fasilitas. Sangat disayangkan juga karena laga ini sebenarnya dapat dijadikan momentum positif kebangkitan sepak bola di kota ini. Jika seperti ini yang terjadi, bagaimana nasib suporter Depok saat mereka bertandang ke Bogor? Balas dendam tak berujung yang tidak berguna.

Ayolah, kalian lebih baik daripada ini. Berbenah setelah kalah dan mengakui kehebatan lawan lebih elegan daripada menguber wasit dan tawuran dengan suporter lain.

Thursday, March 28, 2013

Haruskah Merekrut Simone Zaza, Milan?

Another mohawk. Taken from Calcioweb.


Revolusi yang dilakukan Milan ternyata tidak main-main. Sadar akan kekuatan finansialnya yang tidak dapat menyaingi para raksasa Eropa, Milan mengubah strategi transfer sekaligus kebijakan menurunkan pemain di lapangan.

Setelah orang belum habis membicarakan Mattia De Sciglio, kini Bryan Cristante cukup ramai menjadi bahan perbincangan setelah ia ditawari perpanjangan kontrak jangka panjang dan disebut-sebut akan mulai menghiasi tim utama mulai musim depan. Cristante yang berposisi gelandang dipercaya memiliki kemiripan permainan dengan Riccardo Montolivo. Seperti diketahui, Montolivo adalah pemain kunci lini tengah Milan yang karakteristiknya tidak dimiliki oleh pemain lain di Rossoneri. Jika Montolivo absen, akan ada perbedaan warna dari permainan Milan. Karena itulah Cristante dipromosikan.

Sebagai tim yang juga menggemari sepak bola menyerang, revolusi Milan memang agak berat ke lini tengah dan depan. Setelah sering memberi jam terbang kepada M’Baye Niang, Milan juga telah mengamankan tanda tangan gelandang serang berbakat, Riccardo Saponara dari Empoli. Namun pergerakan Milan tidak berhenti sampai disitu.

Lini depan yang sudah dihuni oleh para youngsters bertalenta super ternyata masih belum membuat para petinggi Rossoneri puas. Mereka kini mengincar satu nama penyerang yang tengah banyak dibicarakan di kompetisi Seri b, Simone Zaza.

Zaza, penyerang berusia 21 tahun yang kini bermain di Ascoli adalah pencetak gol terbanyak sementara kompetisi kasta kedua Italia tersebut dengan mencetak 18 gol. Zaza sebenarnya milik klub Seri a, Sampdoria, namun sejak awal musim dipinjamkan ke Ascoli. Sebelum dipinjamkan ke Bianconeri, Zaza sempat berpetualang ke Juve Stabia dan Viareggio masing-masing semusim. Di Viareggio inilah ketajaman penyerang setinggi 1,82 meter ini mulai terlihat dengan torehan 9 gol dari 16 laga.

Namun apakah Milan benar-benar membutuhkan Zaza? Tergantung. Saat ini Milan masih memiliki 6 penyerang untuk mengisi pola tridente yang dikembangkan Allegri, ini masih belum termasuk Kevin Prince Boateng yang sering ditempatkan sebagai central winger kanan. Keberadaan Zaza baru akan berguna jika Milan melepas setidaknya 2 penyerang mereka saat ini.

Robinho nampaknya sudah ngebet ingin mudik ke Brasil. Kepindahannya yang gagal terealisasi Januari lalu akibat permintaan gaji yang terlalu tinggi memang memaksanya bertahan di San Siro setidaknya hingga musim panas ini. Dengan waktu negosiasi yang lebih panjang, Binho bisa memilih destinasi yang ada, tentunya asal ia menerima pemotongan gaji mengingat kemampuannya yang terus menurun.

Bagaimana dengan Bojan? Well, pemain ini bukanlah produk gagal La Masia karena justru ia termasuk alumni yang paling cepat menembus tim inti. Ia bahkan lebih muda daripada Lionel Messi saat melakoni debut bersama Blaugrana di tim senior. Namun disitulah masalahnya. Terlalu cepatnya Bojan naik kelas ini tentu mengundang perhatian media. Akibatnya, sang pemain sendiri menjadi terbebani ekspektasi berlebih yang malah membuat kemampuan terbaiknya tak kunjung datang. Akhirnya ia dilego ke AS Roma.

Sialnya, Roma menganggapnya tidak mampu beradaptasi dengan baik. Faktanya, Bojan memang tidak impresif di Roma. Talenta besarnya tidak sebanding dengan performa di lapangan, dan kini di Milan lah ia mencoba membuktikan diri.

Bojan bukanlah pemain jelek di Milan. Tehnik tinggi dan visi permainannya cukup memberi warna bagi penyerangan Milan, dan ia sering pula tampil sebagai game changer yang menyumbang poin-poin krusial bagi Milan. Pertanyaannya, apakah kontribusinya itu sudah cukup dimata Allegri dan para petinggi? Apakah inkonsistensi permainannya hanya karena faktor adaptasi? Entahlah, dua tahun di Italia seharusnya cukup baginya untuk memahami bagaimana sepak bola dimainkan disana. Kadang dalam sepak bola tidak cukup hanya memiliki talenta besar.

Jika Robinho dan Bojan memang benar dilepas, Milan masih memiliki 4 penyerang plus Boateng. Riccardo Saponara nampaknya sudah mengisi 1 slot central winger, sehingga Milan dapat dikatakan memiliki 6 pemain untuk 3 posisi. El Shaarawy dan Boateng akan dilapis Saponara dan Niang, sementara Balotelli akan dilapis Pazzini.

Meski sejauh ini tidak terdengar friksi terkait dicadangkannya Pazzini, bukan tidak mungkin Pazzo akan menuntut waktu bermain lebih banyak. Tahun depan adalah tahun jelang Piala Dunia, dimana Pazzo pasti masih memiliki ambisi untuk menembus skuat La Nazionale, dan itu hanya bisa didapatnya dengan bermain secara reguler.

Jika benar Zaza akan direkrut, Milan sebaiknya menjadikannya sebagai investasi masa depan dengan cara meminjamkannya lagi ke klub lain. Jika memang serius menginginkannya, Milan jelas perlu bergerak cepat karena penyerang setinggi 1,82 meter ini dikabarkan sudah memiliki banyak peminat. Harganya juga telah melambung tiga kali lipat dalam setahun. Zaza memiliki kemiripan perjalanan karir dengan Pazzini, juga Pippo Inzaghi dan Christian Vieri. Ketiganya sama-sama mengawali karir mudanya di klub Atalanta, yang memang terkenal memiliki akademi yang bagus. 

Wednesday, March 27, 2013

Mencoba Belajar Tata Kelola Keuangan Klub Sepak Bola Indonesia (Bagian 1)



Setelah membaca salah satu ulasan yang ditulis oleh seorang komentator sepak bola ternama, saya cukup tergelitik untuk mencari tahu lebih banyak mengenai seluk beluk pengelolaan keuangan klub sepak bola tanah air.

Dalam ulasannya itu, sang pengamat menyoroti kisah Persija. Ya, dualisme memang melukai tim Macan Kemayoran ini dalam masalah pendanaan. Dualisme mempengaruhi kredibilitas klub, yang menyebabkan enggannya pihak sponsor untuk masuk. Akibatnya, gaji pemain banyak yang belum dilunasi sehingga seorang ikon mereka bernama Bambang Pamungkas mengambil keputusan untuk tidak bermain bagi Persija hingga manajemen melunasi tunggakan gaji pemain.

Kisah Persija ini adalah potret industri sepak bola tanah air yang memang masih dalam tahap belajar. Ketika regulasi mengharuskan klub untuk membiayai diri sendiri tanpa membebani pemerintah, klub seperti kebakaran jenggot. Tidak mudah bagi sebuah klub dengan mindset yang sudah terbiasa menikmati dana APBD untuk bisa langsung berdiri sendiri.

Manajemen yang profesional memang masih belum dijalankan oleh sebagian besar klub sepak bola kita. Studi kelayakan sebuah klub untuk mengukur apakah sebuah klub mampu mengikuti sebuah kompetisi penuh selama setahun juga belum ada. Luasnya negara plus bentuk kepulauan yang dimiliki Indonesia juga membebani banyak klub untuk melakukan laga away.

Dengan faktor-faktor tersebut, seharusnya klub sudah punya sumber dana yang mencukupi terlebih dulu baru mengikuti kompetisi, bukannya mencari sumber dana saat kompetisi sudah berjalan.

Pemasukan klub sepak bola terdiri dari tiket penonton, hak siar, dan kegiatan komersial. Di Indonesia, sebenarnya ketiga unsur itu sudah mampu dimanfaatkan, meski dengan jumlah yang belum dapat dikatakan besar.

Untuk klub dengan basis fans besar dan kapasitas stadion cukup besar seperti Persija, Persib, Persebaya atau Sriwijaya FC, mereka dapat menghimpun sekitar 30 ribu penonton setiap pertandingan kandang. Misalnya (jika tidak ada partai usiran) dengan jumlah partai kandang sebanyak 17 kali dan harga tiket rata-rata 25 ribu rupiah, mereka bisa maraup pemasukan kotor 12,75 miliar rupiah hanya dari tiket pertandingan. Jika dikurangi biaya perizinan, keamanan dan lain-lain, untung bersih sekitar 7-8 miliar harusnya masih bisa didapat.

Namun situasi disini masih terlalu besar ketidakpastiannya. Proyeksi pemasukan yang sudah dihitung bisa meleset jauh karena berbagai alasan. Jadwal yang sering berubah, banyaknya penonton gratisan maupun tingginya pungutan-pungutan liar boleh jadi memangkas untung bersih klub menjadi 4-5 miliar saja.

Bagaimana dengan pendapatan hak siar dan komersial? Untuk hak siar ISL, klub mendapatkan 25 juta rupiah untuk siaran langsung pertandingan di sore hari, dan 35 juta untuk malam hari (prime time). Itu teorinya. Prakteknya, dikabarkan pembayaran hak siar juga masih abu-abu disini karena permasalahan yang terjadi antara penyelenggara liga dengan stasiun televisi. Entah bagaimana cerita sebenarnya, saya tidak berani berkomentar karena saya tidak tahu jelas. Intinya, penyelenggara liga memang perlu diaudit. Dengan ketidakpastian ini, katakanlah sebuah klub bisa mendapat 1 miliar rupiah.

Pendapatan komersial adalah sesuatu yang mulai digali oleh klub-klub Indonesia. Persib adalah salah satu contoh klub dengan pemasukan sponsorship yang besar, dilihat dari banyaknya sponsor yang menempel logonya di jersey Persib. Menurut Farhan, Direktur PT Persib Bandung Bermartabat, nilai sponsorship Persib bisa mencapai 60% dari total pemasukan. Ditambah lagi, untuk mendatangkan Sergio Van Dijk yang kontraknya mencapai 4-5 miliar rupiah setahun plus fasilitas, Persib berhasil mendatangkan sponsor asing.

Let’s say klub bisa menghimpun dana sebesar 10 miliar rupiah dari ketiga sumber pendapatan tersebut. Biaya gaji masih menjadi komponen terbesar yang bisa menyedot 70% pendapatan. Jika klub memakai komposisi pemain 3 pemain asing dan 3 pemain lokal bereputasi nasional, berarti mereka menyedot sekitar 5 miliar. Lalu sisanya adalah pemain bereputasi lokal dan pemain dari akademi yang menerima kurang dari 300 juta rupiah setahun. Total biaya gaji bisa mencapai 9-10 miliar rupiah.

Kenyataannya, pendapatan klub hanya mampu meng-cover biaya gaji saja. Padahal, banyak biaya operasional seperti biaya perjalanan, akomodasi, perizinan dan lain-lain yang tidak bisa ditunda pembayarannya. Kondisi ini yang menyebabkan biaya gaji pemain tertunggak.

Kompetisi dengan spirit profesional tentu tidak boleh berjalan seperti ini. Klub harus mampu menjamin pembayaran biaya gaji pemainnya, karena regulasi yang berlaku di FIFPro, pemain yang tiga bulan tidak digaji otomatis bebas memutus kontrak dari klub. Sayangnya, yang terjadi disini adalah kebanyakan pemain tidak mengetahui dengan jelas hak dan kewajibannya sehingga mereka kerap menjadi korban. Pemain yang bertindak benar seperti Irfan Bachdim yang memilih hengkang ke Chonburi FC karena pembayaran gaji bermasalah justru dikabarkan malah dipermasalahkan.

Friday, March 22, 2013

Mattia De Sciglio Effect

The Debut


Siapakah bek kiri timnas Italia di Piala Dunia 2006? Fabio Grosso. Euro 2008? Fabio Grosso bergantian dengan Gianluca Zambrotta. Piala Dunia 2010? Domenico Criscito. Euro 2012? Federico Balzaretti atau Giorgio Chiellini atau Emanuele Giaccherini sekali melakoninya di partai pembuka kontra Spanyol.

Lalu bagaimana dengan Piala Dunia 2014?

Paolo Maldini mapan menghuni posisi bek kiri sejak Euro 1988. Sejak Maldini bergeser ke posisi bek tengah di Piala Dunia 2002, posisi bek kiri Italia terus berganti pada nama-nama yang telah disebutkan di atas. Di Piala Dunia 2014 nanti, Prandelli dihadapkan pada beberapa pilihan.

Giorgio Chiellini adalah bek kiri natural, sebelum potensi terbaiknya ditemukan di sentral pertahanan. Chiello bisa saja dimainkan sebagai bek kiri, dengan menempatkan Andrea Barzagli-Leonardo Bonucci di sentral pertahanan. Federico Balzaretti bermain apik di Euro 2012 lalu, namun tahun depan ia sudah berusia 33 tahun. Oke, usia 33 tidak terlalu masalah, namun melihat performa kurang konsisten Balza di AS Roma musim ini, rasanya Prandelli perlu mencari calon lain.

Domenico Criscito sebenarnya berpotensi besar. Ia mencicipi kompetisi Rusia bersama Zenit St. Petersburg, dan bersama Zenit, ia tampil reguler di Liga Champions, hal yang membuatnya matang. Namun karena tersangkut skandal, karir Criscito di level tinggi agak terancam. Prandelli semula akan menempatkannya sebagai pemain inti di Euro 2012 lalu sebelum kasus ini mencuat.

Kini Criscito dilanda cedera lutut yang mengharuskannya dioperasi. Bek berusia 26 tahun ini harus menepi beberapa bulan. Butuh waktu untuk mengembalikan performa terbaik sekaligus “memutihkan” nama di mata pelatih Cesare Prandelli.

Rangkaian cerita dekadensi bek kiri ini seperti menyeret seorang pemua asli Milan bernama Mattia De Sciglio ke tim nasional. Hidup itu seperti menyusuri jalan penuh persimpangan, kita tidak tahu ada apa di balik belokan kanan atau kiri kita. Begitu pula De Sciglio, perjalanannya begitu berwarna dalam dua tahun ke belakang.

Di Milan, De Sciglio juga mendapat kesempatan unjuk kemampuan setelah menurunnya performa Luca Antonini dan menuanya Gianluca Zambrotta. Di musim ini kala performa Ignazio Abate juga sempat menukik, De Sciglio memberi rasa aman bagi lini belakang Rossoneri, sekaligus memberi warna serangan Milan lewat kemampuan crossing apiknya.

De Sciglio kemudian mendapat berkah seiring peremajaan Milan. Ia diberi kostum bernomor punggung 2, nomor yang dipakai Cafu, bek kanan terbaik Milan dalam sepuluh tahun terakhir yang juga idola De Sciglio. De Sciglio adalah produk akademi Milan terakhir yang langsung “dijebloskan” ke tim inti, dan bermain secara reguler. Perjalanan karirnya sungguh mirip Paolo Maldini yang langsung paten di musim keduanya.

De Sciglio menjadi figur yang “dijual” Milan dalam profil akademi mereka. Milan seperti melupakan peran akademi ini sejak angkatan Maldini. Sebelumnya ada Michelangelo Albertazzi yang disebut-sebut berbakat, namun hingga kini masih belum mendapat kesempatan. Sejak De Sciglio menembus tim inti, Milan memang memebenahi betul sektor akademinya, ditambah fakta bahwa Milan bukanlah klub yang mampu membeli dan menggaji pemain mahal kini.

De Sciglio effect ini membuat publik mulai menyebut-nyebut Cristian Maldini, Hachim Mastour, Bryan Cristante, Simone Andrea Ganz dan juga Mattia Valoti. Mereka menanti kesempatan yang diberikan Max Allegri untuk mengenakan kostum merah-hitam.

Setelah hanya dipandang biasa saja, kini publik melihat De Sciglio secara utuh, meski kadang dengan kritikan. Debut De Sciglio di tim Azzuri akhirnya terjadi lawan Brazil (21/3) lalu setelah namanya hanya dimasukkan dalam skuat pada friendly game kontra Inggris, Agustus lalu. De Sciglio menjadi starter bersama Cristian Maggio, Barzagli dan Bonucci dalam empat bek sejajar Italia. Sebuah debut yang mungkin sulit ia lupakan.

Italia tertinggal 0-2 setelah Fred dan Oscar membobol gawang Gigi Buffon. Ironisnya, kedua gol berada di posisi kiri pertahanan, yang dihuni De Sciglio. Gol pertama memang kesalahan kolektif, namun gol kedua adalah kombinasi skill inidividu Neymar dan terlambatnya De Sciglio menutup ruang gerak Oscar.

De Sciglio akhirnya diganti Luca Antonelli di menit 74. Debut yang cukup mengesankan meski salah satu kekhilafannya berbuah gol bagi lawan. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari kesalahan itu, toh itu hanya pertandingan uji coba. Italia telah menemukan calon bek kiri handal dalam diri pemuda ini. Bek kiri handal yang berposisi natural bek kanan. Kehadirannya di sebuah turnamen seperti membawa dua pemain saja.

De Sciglio memiliki identitas Milan dalam permainannya. Ia banyak tersenyum, banyak belajar, banyak berguru. Ia juga memiliki sentuhan-sentuhan elegan khas defender Milan, seperti Maldini. Ia rendah hati dan terlihat hanya ingin fokus pada sepak bola. Ia berbadan kurus sehingga memudahkannya untuk bergerak menyusur lapangan. Badan kurusnya itu bahkan sempat menimbulkan cerita bahwa ia pernah ditolak masuk akademi Inter Milan. Betapa ruginya mereka.

Ah sudahlah, laga debut De Sciglio tetaplah fenomenal. Tidak mudah menghadang negara yang akan sangat berambisi memenangi Piala Dunia tahun depan, tidak mudah meladeni kecerdikan Neymar dan Oscar. Pelajaran langka didapat De Sciglio yang pastinya akan memekarkan karirnya bersama Italia ataupun Milan. Meski posisi starter belum dalam genggaman, pencapaian De Sciglio sejauh ini jelas sebuah cerita epik yang memang patut dijadikan contoh bagi siapapun.

Sekarang ini, nikmati saja De Sciglio effect!

Monday, March 18, 2013

Kekhawatiran Dibalik Kesuksesan KLB



Kongres Luar Biaasa (KLB) PSSI hari ini (17/3) akhirnya jadi juga dilangsungkan. Agenda penyatuan liga (dan timnas), revisi statuta dan pengembalian Exco yang semula dipecat berhasil dilaksanakan. Hasil keputusan penting juga hadir berupa pembubaran KPSI dan pengangkatan La Nyalla Mattalitti sebagai Wakil Ketua Umum PSSI. Anggota Exco juga ditambah dari 11 menjadi 15 orang.

Rekonsiliasi Sepak Bola Indonesia
Lalu apakah masalah benang kusut yang membuat sepak bola Indonesia mundur beberapa langkah dalam dua tahun terakhir ini lantas terurai? Belum tentu.

Publik sudah terbiasa dikibasi angin surga, mulai dari MoU di Kuala Lumpur dan lain-lainnya. Ketika headline media cetak maupun online memberitakan kabar baik, mereka lalu seperti harus merevisi berita sebelumnya karena rekonsiliasi selalu urung terjadi.

Pihak-pihak yang bertikai masih saja bermuka dua dimana mereka terlihat tidak ada masalah namun sebenarnya masih ingin saling menyingkirkan. Megalomania kekuasaan memang lebih banyak dipertontonkan ketimbang keinginan memperbaiki sepak bola. Praktis selama dua tahun di kepemimpinan Djohar Arifin ini, PSSI benar-benar jalan ditempat, atau bahkan mundur. Mereka sibuk mengurusi konflik level atas ketimbang membenahi sepak bola dengan benar.

Apa kabar program Akademi Nusantara? Apa kabar kompetisi yang baik? Apa kabar pengelolaan klub secara profesional jika keterlambatan pembayaran gaji pemain masih sering kita dengar.

Kekhawatiran kembali timbul karena yang memang kembali mengisi struktur organisasi PSSI hasil KLB hari ini adalah “orang-orang lama”. Indikasi ini makin terlihat ketika tiba-tiba terbersit kabar Jecksen F. Tiago bersama Rahmad Darmawan akan menukangi timnas, padahal selama ini timnas mengikuti training camp dibawah asuhan Luis Manuel Blanco.

Jika memang hal ini benar terjadi, sungguh situasi yang sangat runyam. Bagaimana bisa federasi sepak bola melakukan pergantian pelatih semudah kita mengganti menu pesanan makanan di restoran? Kesan politis kembali jelas tertangkap. Kursi pelatih adalah “mainan” dari para petinggi, sesuatu yang dengan gampangnya diangkat dan dilengserkan seperti layaknya yang Maurizio Zamparini lakukan kepada Palermo. Bedanya tindakan Zamparini tidak ada unsur politis.

Ini seperti dejavu ketika Alfred Riedl didepak setelah terbentuknya kepengurusan baru PSSI. Siapapun pengurus yang berkuasa seolah ingin “membersihkan” rezim sebelumnya tanpa melihat kompetensi yang dimiliki atau prestasi yang telah ditorehkan. Semangat berkelompok lebih kuat daripada semangat memperbaiki yang ada.

Politik dan sepak bola
Melihat fenomena ini, saya jadi teringat apa yang biasa terjadi mengenai cerita penggulingan sebuah tirani di benua Afrika. Mereka yang reformis dan revolusioner itu awalnya berjuang demi kepentingan rakyat, berjuang menggulingkan pemerintahan yang korup. Namun apa yang terjadi setelah mereka berhasil menggulingkan penguasa? Mereka mendirikan lagi tirani baru, dan mereka juga melakukan hal yang tidak berbeda dari penguasa lama.

Sudah bukan rahasia lagi jika sepak bola adalah kendaraan yang cepat untuk melicinkan jalan menuju kekuasaan. Okelah memang sulit menilai siapa benar dan siapa salah jika sudah berbicara politik. Tapi setidaknya pemimpin harus punya visi dalam memajukan apa yang dipimpinnya. Lihatlah Berlusconi atau keluarga Agnelli. Betapapun bejatnya kelakuan mereka, tapi mereka berhasil memajukan Milan dan Juventus, membuat kedua tim berprestasi dan terkenal hingga seluruh penjuru dunia. Mereka punya visi. Jangan lupakan pula peran junta militer Argentina terhadap kemenangan mereka di Piala Dunia 1978. Mereka memang mengambil banyak, tapi mereka juga memberi sebanyak yang mereka ambil.

Publik hanya peduli hasil di lapangan, seharusnya mereka tahu itu. Betapapun bejatnya kelakuan mereka, jika hasilnya sepak bola bisa maju, tidak ada yang peduli, mereka bahkan bisa dicap sebagai pahlawan, bukannya seorang despot rendahan yang hanya mengambil manfaat tanpa memberikan timbal balik berupa prestasi. Urusan moral, itu terlalu jauh untuk dipikirkan, yang penting adalah bagaimana mereka membuat sistem pembinaan yang baik alih-alih berebut menjadi penyelenggara kompetisi yang memang menghasilkan uang banyak.

Menilai Ketulusan Pengurus Lewat Pembinaan dan Kompetisi
Memang tidak ada istilah ketulusan dalam organisasi, atau (lagi-lagi) politik. Saya sendiri sudah bingung apa istilah yang tepat untuk ini. Namun jika ingin menilai apakah para pengurus yang sudah disahkan lewat KLB ini bekerja dengan benar untuk memajukan sepak bola, gampang saja, lihat saja bagaimana mereka melakukan pembinaan.

Penyatuan kompetisi memang menjadi agenda KLB, memperlihatkan betapa besarnya kepentingan banyak pihak akan kompetisi sepak bola yang memang semarak dan menjanjikan dari sisi bisnis ini. Mereka serius sekali merancang kompetisi karena arogansi sekaligus blunder pengurus Djohar Arifin dua tahun lalu yang membuat situasi kusut adalah penyelenggaraan kompetisi yang berantakan, juga proses penyatuan klub LPI dan LSI saat itu yang malah mengakibatkan klub ter-kloning.

Untuk kedepannya, meski format 18+4 (18 anggota ISL + 4 anggota IPL) sudah disepakati untuk kompetisi baru yang akan berlangsung tahun 2014 mendatang, namun standarisasi perlu dikedepankan. Persyaratan klub yang boleh mengikuti kompetisi yang telah ditetapkan oleh AFC mutlak diberlakukan. Jangan ada lagi klub yang berkompetisi dengan persiapan dan pendanaan seadanya, yang berujung terlambatnya pembayaran gaji pemain.

Dalam proses standarisasi ini, bisa jadi timbul polemik baru. Entah bagaimana nanti pengaturannya, namun boleh jadi nantinya komposisi 18+4 itu tidak benar-benar terpakai, sehingga timbul konflik laten yang kembali membuat benang kembali kusut. Semoga saya salah.

Seperti yang sudah banyak ditulis oleh para pemerhati sepak bola nasional, pembinaan pemain muda memang harga mati. Lihatlah bagaimana saingan terdekat seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Brunei yang meninggalkan kita dalam hal krusial ini. Perbaikan sistem pembinaan akan menjamin ketersediaan pemain yang siap pakai di kompetisi, dan tim nasional sebagai pengguna akhir pemain-pemain itu akan mendapatkan stok pemain berkualitas yang melimpah.

Semoga saja.

Sunday, March 17, 2013

Sepak bola Lebih Dari Klub!



Debat apakah yang paling tidak berujung di dunia? Jika anda menjawabnya debat dalam tayangan ILC, maka anda juga perlu melihat timeline twitter setiap akhir pekan: Debat mengenai klub favorit.

Klub favorit, percayalah, bisa membuat anda gila tanpa anda sadari. Anda rela menabung, membelanjakan uang, mengorbankan waktu, berkelahi dengan orang lain hanya untuk membela mereka. Dan debat mengenai klub siapa yang paling hebat seakan lebih seru ketimbang acara malam mingguan atau tahun baruan anda bersama teman-teman.

Seperti menjadi kepuasan tersendiri jika klub favorit anda memenangi laga. Anda secara sukarela memberikan sepersekian hati anda kepada mereka sehingga anda larut dalam kegembiraan ketika mereka menang padahal anda tidak ada di lapangan, anda merasa bagian dari klub padahal mereka berada ribuan kilometer dari tempat anda berpijak, anda merasa klub adalah bagian dari hidup padahal bagi klub anda hanyalah bagian dari data numerik yang disimpan rapi oleh bagian marketing tim itu.

Tapi anda tidak peduli, anda menikmatinya dan anda suka seperti itu. Itu keren dan asik. Begitulah anda berpendapat.

Terserah saja bagaimana anda menjalani hidup sendiri, atau bagaimana anda menyuruh otak untuk menyukai apapun, atau bahkan tidak menyukai apapun. Namun sepertinya banyak yang melupakan bahwa klub anda adalah bagian kecil dari sebuah dunia dan keluarga besar bernama sepak bola.

Dalam bukunya, Alex Bellos bilang kalau bagi orang Brazil, sepak bola adalah jalan hidup. Bagi sebagian penduduk bumi, semua orang Brazil bisa bermain sepak bola. Dan jika tim lokal anda ingin meningkatkan level permainan, maka kontraklah dua atau tiga orang pemain Brazil. Dengan kebiasaannya menari, berpesta dan bersantai di pantai, orang-orang Brazil memiliki kaki-kaki alamiah untuk bisa menggocek, menendang juga meliuk-liuk layaknya penari samba.

Bagi orang Brazil, sepak bola adalah kendaraan untuk meningkatkan taraf hidup sekaligus meraih kebahagiaan. Meski harus meninggalkan tanah air, meninggalkan Cahaya matahari sepanjang tahun, menjauhi pantai dan karnaval untuk bermain sepak bola di tim yang berada di belahan dunia lain, mereka rela melakukannya. Tercatat, Brazil adalah negara pengekspor pemain bola terbanyak dunia.

Lalu bagaimana jika anda mengartikan sepak bola adalah sebuah bendera klub? Klub favorit anda adalah segalanya, apapun yang melawan mereka adalah musuh anda, siapapun yang mendukung mereka adalah teman anda, anda boleh saja kalah dalam hidup namun klub anda tidak boleh kalah, anda boleh saja kalah berdebat dalam hal-hal remeh namun jika menyangkut debat klub favorit anda maka anda selalu benar.

Banalitas dan bigotry adalah hal yang kadang memang mengasyikkan, karena anda merasa bebas dan tidak peduli pada apapun selain yang anda bela. Kepuasan tersendiri juga timbul saat klub rival mengalami kekalahan, apalagi terjerembap dalam kesulitan. Seolah siapapun yang berafiliasi dan menempel pada klub rival anda itu adalah musuh anda juga, yang perkataannya harus anda debat, yang kemenangannya harus anda gugat.

Menjalani hidup seperti itu, bagaimanapun adalah pilihan (termasuk menjalani hidup cara apapun). Namun jauh dibalik segala glorifikasi atas kemenangan tim favorit yang posternya sudah menyesaki dinding kamar anda itu, ada hal yang lebih besar dan lebih berharga untuk diperjuangkan: yaitu perjuangan dan perdamaian.

Daripada memandang sepak bola melalui kacamata kuda dan menghasilkan satu bendera klub saja, alangkah lebih bermanfaat jika sepak bola dijadikan sebagai alat perdamaian seperti yang dilakukan Didier Drogba dan kawan-kawan untuk menghentikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Akan lebih bermakna pula jika sepak bola dipandang secara luar biasa menjadi penyelamat hidup seorang Antonio Cassano, yang tumbuh di lingkungan kriminal di kota Bari. Jika tidak bermain sepak bola, mungki Cassano akan menjadi perusuh di setiap pertandingan yang ditontonnya.

Atau bagaimana jika kita menanyakan seperti apa sepak bola bagi seorang Bambang Pamungkas? Ia tidak peduli pada hal lain, namun hanya peduli pada kebenaran. Ia bermain di timnas meski klub melarangnya, ia menginisiasi perjuangan.

“In the field, what’s in here (name on back) is not important than what’s in here (crest on chest)” begitu kata pelatih fiksi Eric Dornhelm ketika menegur Santiago Munez saat sang pemain terus menerus membawa bola sendiri dan tidak pernah mengoper kepada kawannya. Dengan bahasa lain, Dornhelm mencoba mengajak Munez untuk berpikir lebih luas, tidak sesempit sebelumnya.

Jika anda bisa berbicara bahwa klub lebih besar daripada pemain, maka seharusnya tidak sulit berbicara bahwa sepak bola lebih dari klub.

Magis dalam sepak bola: Tendangan 1st time

2 Pemain yang tidak dapat anda tolak dalam tim

Apakah yang ada dalam benak anda ketika saya menyebut nama David Ginola dan Faustino Asprilla? Dua jagoan tahun 90an? Dua pemain kontroverisial? Atau anda dengan dangkal menyebut saya tua padahal sebetulnya anda lah yang tidak beruntung karena tidak pernah menyaksikan kedua pemain tadi bermain.

Jika anda belum pernah melihat gol-gol yang mereka ciptakan, coba saja buka situs youtube untuk melihat kompilasi gol-gol cantik yang pernah mereka ciptakan.

Menyebut dua nama itu mewakili perasaan terdalam saya terhadap jenis-jenis gol yang kerap mereka ciptakan, yaitu gol tendangan 1st time yang keras menghujam dan tak terhentikan oleh kiper lawan. Kemampuan melakukan tendangan 1st time yang baik adalah kombinasi dari timing, kepercayaan diri dan naluri yang kuat. Anda tidak perlu mengukur di mana posisi gawang lawan, di mana penjaga gawang berdiri, di mana bek lawan berada. Anda tinggal menghantamkannya saja sesuka hati.

Mencetak gol lewat tendangan 1st time adalah salah satu perasaan terhebat di muka bumi. Seperti seluruh alam semesta berkonspirasi untuk mengizinkan gol tercipta, seperti ada kekuatan lain yang merasuki tubuh anda dan ini bukanlah kebetulan kosmik semata. Sesuatu yang mungkin tidak dapat anda lakukan di situasi normal.

Mencetak gol lewat sepakan tanpa mengontrol lebih dulu selalu istimewa. Ada kegembiraan membuncah ketika tendangan itu menembus gawang lawan, mendengar bunyi jala gawang berkoyak, melihat teman-teman menghampiri dan memberi selamat, dan mendengarkan riuh penonton yang berdecak kagum.

Tendangan ini seperti tidak direncanakan. Ia seperti tidak memiliki rumus, tidak memiliki skema, dan tidak ada dalam rancangan pelatih sedetil Jose Mourinho sekalipun. Ini murni kehebatan pemain. Dalam final Liga Champions tahun 2002, Zinedine Zidane tidak pernah diinstruksikan oleh Vicente Del Bosque untuk melakukan tendangan voli surgawi itu. Tendangan dengan cara mengangkat kaki kiri hingga di atas kepala ketika menerima crossing lambung Roberto Carlos saat menghadapi Bayer Leverkusen, tim kuda hitam Liga Champions saat Michael Ballack mulai angkat nama itu adalah sebuah kesuksesan tiada tara dari sang maestro.

Anda mungkin harus mencobanya sendiri di lapangan untuk mengetahui sensasinya. Tendangan 1st time itu hanya bisa anda lakukan ketika jiwa dan raga anda sudah menyatu dengan permainan, alam bawah sadar anda sudah berpikir sepak bola setiap saat, dan salah satu tujuan anda hidup di dunia ini adalah untuk setidaknya menjadi penggemar sepak bola, jika memang gagal menjadi pesepakbola. Menciptakan gol semacam itu memberi ekstasi berlebih karena anda berhasil menggabungkan unsur-unsur yang terukur dan tidak terukur sekaligus: perjudian, spekulasi, presisi, keyakinan, dan kelenturan fisik.

Tidak peduli apakah anda sedang lelah-lelahnya di lapangan, langit sedang mendung dan petir menyambar-nyambar, atau pemain lawan mengintimidasi tiada henti. Jika momen itu datang, sebuah kekuatan yang lebih dahsyat daripada Pil NZT akan merasuki tubuh anda. Anda akan menghitung langkah lebih tepat, mengambil ancang-ancang lebih pasti, menyelaraskan gerak pinggul dan pundak, lalu mengangkat kaki dengan presisi 100% mengayunkannya tanpa ragu lalu jebol sudah gawang lawan. Tenaga dari tendangan seolah sudah ter-setting secara otomatis dan posisi gawang lawan sudah terekam di otak anda, dan bola tidak akan nyasar. Voila. Sebuah magis baru saja anda ciptakan di atas hamparan rumput hijau.

Terkadang, pemain dengan skill seperti ini bukanlah pemain terbaik, bukanlah pemain terhebat. Baik Ginola maupun Asprilla memang pemain hebat di masa mereka, namun mereka bukan yang terbaik. Ginola dan Asprilla lebih dikenal sebagai pemain flamboyan, seniman lapangan yang berbuat semaunya, contoh pemain yang hampir pasti tidak akan mendapat tempat di kompetisi level tinggi jaman sekarang.

Namun kedua pemain ini adalah cermin sejati seseorang yang sangat passionate terhadap permainan sederhana yang tujuannya hanya mencetak gol ke gawang lawan dan memenangkan pertandingan. Keduanya selalu menyatu dengan permainan ini di manapun mereka bermain, dan keduanya adalah contoh sempurna pelampiasan sukacita yang sempurna di lapangan hijau.

Mereka tidak meminum Pil NZT untuk melakukannya, mereka hanya bermodalkan kecintaan pada permainan dan hanya menggunakan keterampilan alami yang merupakan hadiah dari Sang Pencipta.

Jika anda ingin menjadi penghibur sejati di lapangan sekaligus mimpi buruk bagi lawan, silahkan rajin berlatih dengan meminta teman anda mengirim umpan dengan variasi ketinggian dan kecepatan agar alam bawah sadar anda selalu menyadarkan otak dan saraf untuk selalu responsif akan datangnya sebuah magis.

Friday, March 15, 2013

Bukan Kelas Kontinental

Kembalinya si nomor 9 terbaik


Beberapa jam sebelum kick-off Barcelona-Milan di leg kedua Liga Champions di Camp Nou, saya ngetwit yang isinya kurang lebih tentang kebanggaan saya pada Milan terkait hasil musim ini apapun hasil melawan Barcelona.

Seseorang boleh-boleh saja menilai sebuah penampilan tim dalam satu pertandingan saja, boleh juga menilai si A lebih hebat daripada si B, atau pelatih C lebih hebat dari pelatih D hanya dalam satu pertandingan saja. Tapi lihatlah kompetisi sepak bola. Kompetisi berlangsung selama setahun, dan melibatkan banyak pertandingan. Tentu menilai kehebatan maupun siapa yang lebih baik satu sama lain memerlukan berbagai indikator.

Namun seperti saya ungkapkan, saya sudah bangga dengan pencapaian Milan. Dengan tidak bosan-bosannya saya berkata bahwa Milan baru ini adalah tim muda yang mencoba membangun kekuatan dari sekarang. Dan dalam proses membangun, ada yang dinamakan proses penguatan fondasi. Tidak mungkin atap rumah mampu berdiri tanpa ditopang tembok dan fondasi yang kokoh. Pencapaian Milan yang kini menduduki peringkat ketiga Seri a dan mengalahkan Barcelona pada leg pertama adalah sebuah kesuksesan, jika terlalu dangkal dikatakan sebagai fenomena.

Tidak usahlah menyalahkan siapapun. Menghadapi tim terbaik dunia di lapangan lebar Camp Nou yang memungkinkan falsafah tiki-taka termanifesto sempurna memang tidak bakal mudah. Di hari buruknya saja, Barcelona tetap bisa memberi pelajaran sepak bola kepada lawan-lawannya, apalagi di hari baiknya. Di lain pihak, Milan menghadapi hari yang buruk karena memang kehijauan performa mereka sendiri.

Kelas kontinental tentu adalah kelas yang harus ditapaki satu persatu, tidak bisa dipanjat sekaligus. Allegri masih perlu pembuktian bahwa ia tidak kagok bermain di kompetisi Eropa. Tawaran Shakhtar untuk menggantikan Mircea Lucescu harus dipikirkannya masak-masak mengingat Shakhtar rajin wara-wiri di babak knock out Liga Champions belakangan ini.

Milan boleh jemawa bahwa mereka menyimpan badge of honour bersama Ajax, Real Madrid, Bayern Muenchen dan Liverpool sebagai tanda klub telah menjuarai Liga Champions paling sedikti lima kali, atau menjuarai turnamen ini tiga kali beruntun. Namun dengan pemain-pemain yang tampil semalam, jelas kualitas mereka belumlah mencapai kualitas kontinental.

Milan mencoba bermain seperti pada leg pertama, yaitu dengan menjauhkan Lionel Messi dari kotak penalti. Namun Jordi Roura sudah belajar dari 3 kekalahan di bulan Februari dengan memodifikasi lini depan sekaligus memperbaiki sistem pertahanan. Asisten Tito Vilanova ini juga tidak lupa memberikan kata-kata motivasi ampuh yang membuat wajah-wajah pemain Barcelona terlihat seperti petarung Mortal Kombat ketimbang seperti pemain bola.

Sementara Milan kewalahan karena tidak memberi proteksi cukup pada Constant yang dikeroyok Messi dan Dani Alves, meski dua gol La Pulga semalam memang gol-gol cantik yang memang sulit diantisipasi oleh pertahanan manapun.

Allegri sepertinya bingung apakah menempatkan Sulley Muntari atau Mathieu Flamini. Kehadiran Flamini akan membatasi serangan sayap kiri Barca yang dihuni Jordi Alba dan Pedro, namun sebagai gantinya Jordi Roura menempatkan Messi di sisi kanan untuk berkolaborasi dengan Dani Alves. Celakanya, Constant tidak diproteksi dengan baik karena Montolivo dan Ambrosini lebih berkonsentrasi di tengah menghadapi ancaman si penyihir brilian Iniesta.

Apapun itu, permainan segitiga Barca yang tersohor dan terhormat itu dikembalikan oleh Jordi Roura. Jordi Alba juga bermain secerdik Eric Abidal dengan tahu persis kapan harus bertahan dan menyerang plus siap sedia membentuk trio bek dadakan bersama Mascherano dan Pique. Intinya, Barca semalam memiliki menu lengkap bagaikan empat sehat lima sempurna untuk membombardir gawang Abbiati.

Mascherano sendiri meski sempat membuat blunder (satu-satunya blunder) namun tampil baik karena ia memang seorang ball player. Kemampuannya mengontrol bola di lini pertahanan bersama Pique memungkinkan aliran bola Barca lancar seperti jalan tol Jakarta di tengah malam.

Lalu apakah saya punya saran untuk setidaknya mencegah Barca mencetak 4 gol? Tentu saja mengubah pola permainan. Pola 4 gelandang sejajar sejatinya akan membatasi Jordi Alba dan Dani Alves untuk menyerang. Milan dapat menurunkan Muntari di sisi kiri dan Boateng di sisi kanan. Sementara dua gelandang ditempati Montolivo dan Ambrosini. Untuk lini depan, saya bisa usulkan El Shaarawy dan Niang karena dengan pergerakan mereka ke sayap, bek-bek tengah Barca dapat terpancing. Itu kalau saya jadi Allegri.

Tapi lagi-lagi, apologia, pembenaran ataupun retorika apapun tidak berlaku bagi tim yang kalah empat gol tanpa balas. Milan yang ini memang tidak bisa dikatakan telah kompetitif untuk bertarung hingga babak-babak akhir Liga Champions. Mengingat beberapa bulan lalu sempat menghuni peringkat 15, melihat posisi klasemen kini dan fakta bahwa Barca pernah dikalahkan adalah cermin dari hari esok yang lebih baik.

Untuk saat ini, marilah angkat topi saja untuk David Villa, yang kembali dipasang di posisi sejatinya, si nomor 9. Ia benar-benar si nomor 9 sejati yang menghilang di sebagian besar laga, namun dengan liar seperti abang ojeg membelah kemacetan, ia mencetak gol ketika mendapat peluang.

Monday, March 4, 2013

Serginho Van Dijk, Membingkai Minggu Sore yang Sempurna

Photo by bola.net


Saya termasuk jarang menyaksikan pertandingan Liga Indonesia, baik itu ISL maupun IPL. Nonton di televisi tidak sering, apalagi nonton langsung di stadion di mana pertandingan banyak berlangsung di hari kerja. Mungkin karena alasan inilah saya tidak banyak berkomentar tentang sepak bola lokal, terutama menyangkut klub-klubnya karena saya merasa banyak yang lebih tahu dan lebih pantas untuk beropini soal ini.

Di lokasi tempat tinggal, sebenarnya ada klub bernama Persikad Depok. Dengan kebiasaan saya menulis, saya sebenarnya akan dengan senang hati menulis tentang mereka secara reguler, juga menonton pertandingan mereka. Namun karena satu dan lain hal yang membuat tim ini terkena virus dualisme (atau mungkin tigalisme), saya jadi kehilangan selera untuk menuliskannya karena tidak ingin berpihak ke salah satu kubu. Mudah-mudahan saja masalah kepemilikan dan kloning tim ini segera tuntas.

Namun saya tidak bisa melewatkan tayangan El Classico-nya Indonesia antara Persib melawan Persija. Tidak peduli soal rivalitas yang besar antar keduanya, saya menyukai kedua tim ini karena dalam garis keturunan ke atas, ada kakek-nenek yang berasal dari kedua kota tempat kedua tim bermarkas.

Pertandingan berlangsung imbang, karena Persija yang di atas kertas materi permainannya jauh di bawah kualitas yang dipunyai tuan rumah Persib ternyata mampu mengimbangi. Gol pembuka Kenji Adachihara hasil umpan sundulan Sergio Van Dijk yang tidak mampu dihalau Ismed Sofyan mampu dibalas oleh penalti yang diambil Pedro Javier Velasquez.

Namun setelah kapten Persija Fabiano Beltrame dikartu merah, perlawanan Persija praktis usai. Ruang yang ditinggalkan bek tangguh ini terlalu menganga sehingga pemain-pemain Persib merajalela. Persib kemudian menambah dua gol lewat Van Dijk. Gol pertama didapat dari eksekusi penalti mulus setelah Firman Utina dilanggar. Sebuah tendangan penalti yang keras dan terarah dari pemain naturalisasi ini.

Van Dijk kemudian menjustifikasi kehebatannya dengan mencetak gol tendangan jarak jauh yang elok dan tidak mampu dihalau kiper muda Persija, Adixi, yang sebenarnya bermain cukup baik ini.

Laga yang seru, relatif bersih dan jauh dari keributan. Wasit yang memimpin pertandingan juga tegas dan banyak mengeluarkan kartu untuk pelanggaran-pelanggaran yang memang pantas diberi kartu (tidak seperti biasa). Sikap pemain juga sportif kepada wasit. Saat diberi hukuman, protes hanya dilakukan sewajarnya. Bahkan ketika Fabiano dikartu merah, ia menyalami wasit dan tidak banyak protes.

Sepanjang laga, saya cukup dibuat terpesona oleh permainan Van Dijk. Pergerakannya begitu efisien dan ia seperti tahu kemana arah bola akan datang, ke mana arah permainan tim. Sentuhan-sentuhannya ringan, berkelas dan effortless namun efektif. Hanya 3 sentuhan maksimal yang ia lakukan, tidak repot dan tidak show off.

Umpan-umpannya juga bagus untuk ukuran seorang penyerang. Ia mampu mengarahkan bola bukan sekadar kepada teman, namun juga ke ruang kosong yang ditinggalkan pemain lawan. Kelihatan sekali memang level permainannya jauh di atas pemain-pemain lainnya yang ada di lapangan. Bukan hanya itu, ia juga kerap membantu pertahanan, menghalau bola dengan kepalanya, mencuri bola dengan kemampuannya membaca permainan. Ia seperti ada di mana-mana, visinya sangat eksepsional.

Singkatnya, Van Dijk mungkin adalah sosok pemain depan ideal yang memang ditunggu-tunggu publik sepak bola kita untuk membela timnas Indonesia. Dengan bekal didikan sepak bola yang bagus dari Groningen, Van Dijk bisa menularkan kemampuannya kepada pemain lain.

Perjuangann Van Dijk yang sudah sejak 4 tahun lalu mengemukakan keinginannya untuk membela timnasi Indonesia memang patut diapresiasi. Soal kemampuan, tidak perlu diragukan lagi karena ia pernah menjadi topskor A-League musim 2010/2011 saat bermain untuk Adelaide United dengan mencetak 16 gol. Total, 25 gol ia telah sumbangkan bagi klub asal Australia Selatan itu.

Semoga saja keinginan Serginho Van Dijk (Diambil dari nama Serginho, pemain Brazil di Piala Dunia 1982 – tahun kelahirannya) untuk membela timnas segera terwujud. Meski konflik dualisme masih belum selesai, namun kembalinya 4 anggota Exco kepada PSSI semoga saja menjadi langkah awal rekonsiliasi federasi, yang akan diawali oleh langkah pertama yaitu penyatuan timnas.

Melihat sumbangsih 4 gol selama ini yang telah dibuatnya untuk Persib, tidak salah jika harapan besar bobotoh dan tentunya publik pendukung timnas tersemat kepadanya. Entah bermain di Indonesia akan berdampak seperti apa pada karirnya, melihat bahwa Irfan Bachdim akhirnya hijrah ke Thailand akibat permasalahan gaji dengan manajemen Persema. Semoga saja itu tidak terjadi pada Van Dijk, juga pemain-pemain lainnya secara umum.

Terima kasih untuk tontonan yang seru dan sehat, Van Dijk.

Sunday, March 3, 2013

Balotelli atau Pazzini?



Ketimbang menyoroti kemenangan tiga gol tanpa balas Milan atas Lazio semalam atau polemik kartu merah Antonio Candreva yang melebar kepada sikutan Edinson Cavani kepada Giorgio Chiellini, saya lebih tertarik membahas perihal siapa yang lebih baik dipasang antara Mario Balotelli dan Giampaolo Pazzini.

Seorang ahli sepak bola Italia sekaligus Milanista pernah menulis dalam artikelnya bahwa memainkan Balotelli di barisan depan memberi dimensi berbeda yang menaikkan level permainan Milan. Skill set yang lebih lengkap ketimbang Pazzini memungkinakan Balo melakukan permutasi posisi bersama dua penyerang lainnya, El Shaarawy dan Boateng. Balo juga memiliki dribbling, passing, mampu bermain lebih ke dalam dan mampu mengambil bola mati. Ia punya yang Pazzini tidak punya, tidak heran jika The Maverick lebih didahulukan ketimbang Pazzini.

Pazzini’s best season
Pazzini sendiri sedang mengalami salah satu musim terbaik sepanjang karirnya. Ketika semua orang –termasuk saya- meragukannya saat manajemen memutuskan untuk menukarnya dengan Cassano, Pazzini menjawab dengan elegan, dengan gol-golnya yang kini tidak terasa sudah berjumlah 12. Jumlah yang lebih banyak daripada yang dikoleksi dari striker-striker Juventus yang belum ada satupun yang mengoleksi dua digit gol, atau bahkan Cassano, yang malah diberitakan bertengkar dengan pelatihnya sendiri.

Milan play like an English team.” Begitu komentar salah satu teman saya ketika pertandingan melawan Lazio berlangsung semalam. Ya, keberadaan Pazzini di satu sisi menjadikan permainan Milan berbeda ketimbang saat Balotelli merumput. Permainan Milan menjadi mono-dimensional alias hanya mengandalkan satu cara dalam menyerang, yaitu menghujani pertahanan lawan dengan umpan-umpan silang. Persis seperti klub-klub tradisional Inggris.

Pendekatan ala Britania ini memang memungkinkan karena Milan memiliki Pazzini yang memang menyukai umpan-umpan silang. Keberadaan Pazzini mampu memancing pemain-pemain lain untuk lebih berani menusuk dan sering melepas tembakan jarak jauh. Ketika Balotelli yang berada di lapangan, permainan Milan berubah menjadi permainan menyerang dengan tehnik tinggi plus penguasaan bola yang superior.

Meskipun ini kesimpulan yang mungkin terlalu dini, mungkin saja Milan lebih berbahaya dengan Pazzini sebagai penyerang  ketika menghadapi lawan yang lebih lemah daripada mereka. Statistik menunjukkan ketika Balotelli bermain melawan tim-tim yang di atas kertas lebih lemah daripada Milan, hasil akhir laga menunjukkan bahwa Milan harus berjuang keras mengalahkan lawan-lawannya itu.

Ketika melawan Udinese dan Parma misalnya, kedua lawan Milan tersebut memilih untuk menumpuk pemain di belakang lalu melukai Milan dengan serangan balik. Serangan balik itulah yang kemudian melukai Milan. Balotelli sendiri mampu mengkreasi banyak peluang, namun efektivitas Milan masih belum terlihat. Pada laga lawan Inter misalnya, Milan seharusnya mampu mencetak 3 gol di babak pertama, namun ketidakmampuan menundukkan lawan dengan cepat harus dibayar mahal ketika lawan mulai bisa mengembangkan permainan di babak kedua.

Dilain pihak, Saya tahu anda menyukai statistik. Pazzini cukup baik ketika bermain melawan tim yang (di atas kertas) lebih lemah. 5 dari 12 golnya saat ini tercipta ke gawang Bologna. Selain itu, Pazzini mencetak masing-masing sebuah ke gawang Torino, Chievo.
Hanya Lazio, Roma dan Fiorentina yang dapat dihitung sebagai tim kuat yang gawangnya mampu dijebol Pazzini. Total, hanya 6 tim yang gawangnya mampu dijebol oleh Pazzini dari 21 penampilannya. Dari 12 gol Pazzini tersebut, 8 diantaranya adalah gol penentu yang menghasilkan poin bagi Milan. Kontribusi ini tentu menegaskan bahwa Pazzini telah menjadi pemain penting di Milan.

Opsi bermain bersama
Melihat fakta ini, Milan memiliki dua prontagonista berbahaya di samping El Shaarawy yang telah mengemas 16 gol di Seri a musim ini. Timbul pertanyaan, apakah Balotelli dan Pazzini sebenarnya dapat bermain bersama?

Jika kita tanyakan itu kepada Allegri, mungkin saja jawabannya tidak. Ditambah fakta bahwa jalan pikiran Allegri memang sulit ditebak. Namun melihat dari kebiasaan, preferensinya pada El Shaarawy dan Boateng sudah seperti Benny Dolo pada Firman Utina. Inilah mungkin satu-satunya kelemahan mencolok dari gaya melatih Allegri.

Memasang Balotelli di sayap kanan dan Pazzini di tengah tidak memungkinkan mengingat Balotelli menyukai partner yang lebih dinamis dalam bergerak sehingga memungkinkanya untuk bertukar posisi.

Memang perbedaan Pazzini dan Balotelli tidaklah setajam Gianni Rivera dan Sandro Mazzola, yang sudah menjadi rivalitas klasik. Ketika itu, Feruccio Valcareggi harus menggilir keduanya saat bermain di Piala Dunia 1970. Namun jika ingin terus membuat The New Milan berkembang, Allegri tetaplah tidak bisa berpatok pada the winning team.

Sejarah mencatat bahwa pelatih hebat adalah yang memiliki seribu cara untuk menang, tidak fanatik pada satu skema dan tidak memiliki preferensi berlebih pada pemainnya. Sir Alex Ferguson sudah lebih dari dua dekade melatih Manchester United, dan ia telah mengganti berbagai skema dan ditinggalkan bermacam pemain bintangnya.

Ini baru soal Balo atau Pazzini, Alle. There will be more to come. 

Friday, March 1, 2013

Milan Machine Room

The key player


Milan midfielders are one of the best in Italy in terms of ball possession, just slightly behind Juventus. The 58% rate of ball possession per game is high enough to show that Milan's nature to control the game, whatever the result.

Milan’s machine room has 3 players, which formed the 4-3-3 formation by Allegri, which have found its balance. They are now sitting in the 4th place after a terrible start of the season, which only lost once in their last 14 league games.

Talking about Milan’s midfielder, Riccardo Montolivo is the key player. In the beginning of the season, he stationed in central midfielder position along with Antonio Nocerino and Nigel De Jong as a breaker, also with Kevin-Prince Boateng as trequartista. It didn’t work as Boateng and Nocerino’s shine last season was much helped by the presence of Zlatan Ibrahimovic. Now as the big Swede leaves to PSG, they have to adapt in a different style of play. It takes time, but unfortunately football rarely give you that time. If you don't change, you're done.

Milan’s awful run in the first 10 weeks forced Allegri to try various systems. From 3-4-3, 3-5-2, 4-2-3-1 and now 4-3-3. Whatever the systems, Milan’s midfield keeps their good ball retention, and they also develop Montolivo into a higher level. Montolivo once speak that trequartista is not his favorite position, while he’s prefer more deep position. Milan now has given this role, as De Jong injured until the end of season.

Allegri likes the physical player to be played in front of defence. That’s why he chose De Jong to replace Mark Van Bommel. By putting Montolivo in this position, there are some risks and some advantages. The risk is of course regarding the defense. Montolivo is known for his vision, his pass and his ability to distribute the ball as well as dictates the tempo, not his defensive contribution. A Pirlo like. To put a player like this in front of defense, your team needs more enforcers and strong center backs.

Milan doesn’t have that strong center backs as Thiago Silva-Alessandro Nesta are no longer there. Phillip Mexes-Cristian Zapata are not a bad player, but they may not reach the level of Thiago Silva-Nesta. So, Allegri need more defense alternative. A compact system, not based on individual skill that Milan doesn't have right now.

He needs 2 dynamic midfielders to protect Montolivo, and make sure that Montolivo enjoy his role as a deep-lying playmaker. That 2 dynamic midfielders should be good in both defense and attack. The available options are Ambrosini, Nocerino, Boateng, Flamini, Muntari and Traore. Flamini is a revelation. He has became the same player he used to be in Arsenal. He protects the defense with his determination and tireless action, also support the attack with his good passing ability and sometimes he surprise opponent's goalkeeper with his cannon ball. However, his injury prone is one thing that will be a problem.

Muntari and Ambrosini has shown a fine display against Barcelona. Their tactical discipline, their ability to close all area made Iniesta, Messi and Xavi mediocre players. Allegri put Ambrosini in front of defense in that match in order to limit Barcelona’s attacking prowess. In fact, Ambrosini has 9 interceptions in that match, more than anyone else.

This midfield balance also helped by their 2 wide forward, who are assigned to track back as well as exploit the room that left by opponent’s full back while they attack. You know that I’m talking about El Shaarawy and Boateng against Dani Alves and Jordi Alba.

The defensive awareness shown by Milan’s wide forward has been excellent. El Shaarawy, Boateng, and Niang who are regularly played in that position has the power and speed to complete 2 assignment at one time: attack and tracking back. That’s make Milan as a collective team, both in defense and attack.

But one thing, Montolivo’s presence seems unchangeable. Every time he play, Milan would ensure the total control of midfield because he bosses that area, which would create more chances of goals. He’s got unique ability that Milan’s other midfield doesn’t have. If he absent due to injury or suspension, Milan would play differently, but not in a positive way. See the match against ex Allegri' side Cagliari.

The ability to cope Montolivo’s absent is one more thing that Allegri should solve. They have to learn how to play without him, keep Milan in their style of ball possession and threat in many ways.

Now, as the season has entered the crucial phase, Milan need everything in their resources to collect as many points as they could in Serie a. They still have to fight for Champions League position, and they still have away game against Barcelona. Both Serie a and Champions League run are important. Reaching the third position is a must as they need money from Champions League participation, while keep going as far as they can go in current Champions League will provide them extra money and also building the winning mentality.

Milan already have Riccardo Saponara next season in midfield. I have never seen him playing, but from what I’ve heard and I’ve read, he’s more attacking type of midfield as he also can play as second striker, a skillfull player. I imagine Erik Lamela, Hernanes or Antonio Cassano. I don’t know. With the fact that Ambrosini has not sign his new contract, Milan need more players in midfield. A dynamic midfielders with powers and passing ability, like Juventus got in Vidal and Marchisio.

Talking about Juve’s midield, they actually have too big dependence to Pirlo, and everybody knows that the way to beat Juve is just simply eliminate Pirlo. Every team could assign one of their player to mark Pirlo and limit his path. We've heard Hamsik Role and so on. But that’s not an easy job because Juve has Vidal and Marchisio, 2 dynamics midfielder who can pass, tackle, and score. The other team has to face them both before they could interrupt Pirlo. If Milan wants to create team around Montolivo, they need that 2 types of midfielders.