Pages

Saturday, December 29, 2012

Patience is a virtue - Year end review

Give him a chance!


Ketika liga-liga Eropa mulai memasuki pertengahan musim, nasib banyak tim di akhir musim nampak mulai terbaca. Milan yang melalui Galliani semula naïf mencanangkan scudetto sebagai target mereka, ternyata malah sempat terseok-seok di awal musim sebelum akhirnya menemukan bentuk permainan terbaik mereka belakangan ini yang kini membawa mereka ke posisi top half klasemen sementara Seri a.

Target kini sudah direvisi, yaitu menduduki posisi 3 besar klasemen akhir Seri a yang berarti keikutsertaan di kompetisi Liga Champions. Meski demikian, banyak hal yang perlu dibenahi dari skuat Max Allegri ini terutama di lini pertahanan. Hal ini makin terjustifikasi dengan serangkaian gol-gol tipikal yang bersarang di gawang Marco Amelia di pertandingan penghujung tahun lawan Roma.

Sangat penting jika sebuah keputusan tidak diambil berdasarkan knee-jerk reaction sehingga menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang reaktif dan mudah terpancing sehingga tidak bisa melihat hal yang lebih penting daripada sekadar rangkaian hasil buruk.

Sudah berulang kali saya tegaskan bahwa total enam kekalahan yang dialami Milan adalah buntut dari sebuah revolusi. Klise? Ya memang klise. Membela Allegri? Tidak juga, tapi saya juga bukan anti Allegri. Lagipula saya hanyalah fans siaran langsung televisi yang hanya menonton dari jarak ribuan kilometer. Jika suara Milanisti terbelah antara yang pro dan anti Allegri, itu mah biasa. Seorang fans yang merasa memiliki klub pasti mempunyai masing-masing opini dalam kepalanya. Tidak masalah.

Revolusi Milan terkait masalah finansial mereka adalah sesuatu yang tak terhindarkan, seperti halnya keruntuhan Uni Soviet dua dekade lalu. Milan musim ini mengambil langkah drastis dengan melepas pemain-pemain senior dan bintang-bintang yang selama ini menjadi panutan, andalan dan acuan dalam bermain. Ini masih klise? Well, anda sudah dewasa tentunya untuk menilai tapi pelatih sehebat apapun tidak akan mampu membawa Milan pada posisi penantang scudetto dengan skuat ini.

Tapi kan skuat ini tidak buruk-buruk amat. Ya memang tidak buruk-buruk amat, namun ini mungkin secara hiperbol bisa saja disamakan dengan menukar akademi La Masia Barcelona dengan kantong uang Roman Abramovich. Barcelona tanpa alumni dan filosofi La Masia tidak akan seperti sekarang meskipun diberi anggaran transfer pemain 200 juta euro sekalipun.

Penggemar lawas Milan mungkin ingat ketika tim inipun pernah mengalami masa-masa sulit di musim 1996/1997 dimana pemain flop seperti Cristophe Dugarry dan Edgar Davids hadir. Namun lebih dari itu Rossoneri mengalami kesulitan dengan regenerasi pertahanan karena mereka terus mengandalkan Franco Baresi dan Pietro Vierchowod yang sudah menua yang akhirnya membawa setan merah menduduki posisi 11 klasemen akhir. Pada akhirnya, masa jaya kembali dimulai di era Carlo Ancelotti ketika Berlusconi menginjeksi Milan dengan pembelian Alessandro Nesta dan kemudian menciptakan dinasti kejayaan il Meravigliosi.

Milan musim ini kehilangan Thiago Silva dan Nesta, dua center back kelas dunia yang dalam potensi terbaik mereka mampu menahan laju seorang Lionel Messi. Sekarang coba lihat nama-nama yang ada di lini pertahanan, tidak ada yang bahkan memiliki tiga perempatnya kemampuan mereka. Mario Yepes yang kebanyakan menganggur di era Thiago-Nesta bertugas justru kini dianggap sebagai bek tengah tertangguh Rossoneri.

Milanisti memang tidak akan pernah bisa move on mengenai personel lini pertahanan karena mereka seolah selalu punya pembanding pada para legenda seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Nesta, Thiago Silva maupun Jaap Stam. Di era mereka, bek-bek bagus macam Fabricio Coloccini, Roberto Ayala, Martin Laursen hingga Kakha Kaladze tidak akan pernah mendapat apresiasi setinggi Baresi dkk. Apalagi personel yang ada sekarang.

Sungguh tidak adil membandingkan komposisi yang ada sekarang dengan para jagoan itu. Jika problem lini pertahanan dianggap paling utama, maka beli saja bek-bek berkelas dunia yang tersedia, yang tentunya berharga mahal seperti halnya Milan membeli Nesta sepuluh tahun lalu dengan tebusan 30 juta euro. Sayangnya, saat ini Milan memang tidak memiliki dana sebesar itu untuk menggaet bek setangguh Mats Hummels atau Adil Rami misalnya. Inilah yang tidak dimiliki Allegri, jika memang harus membandingkannya dengan Ancelotti.

Kemampuan Milan membeli pemain akan amat sangat tergantung pada hasil penjualan yang mereka lakukan di musim dingin ini. Adriano Galliani terus menekan Corinthians untuk membayar Pato lebih mahal dari 15 juta euro, karena nilai si bebek menurut situs transfermarkt memang nyaris dua kali lipatnya, meski situs itu mungkin saja tidak memperhitungkan situasi terkini Pato yang jarang bermain.  Begitu pula Brasilero lainnya, Robinho. Galliani masih mengupayakan nilai diatas 10 juta euro untuk pemain yang dibesarkan Santos ini.

Hasil penjualan Pato dan Robinho yang mungkin paling banyak hanya mencapai 25 juta euro pun rasanya tidak mungkin dipakai untuk membeli seorang bek berkualitas. Bek dengan harga semahal itu pasti juga tidak akan mau digaji dibawah 4 juta euro yang saat ini sepertinya menjadi batas atas gaji personel Rossoneri.

Jika melihat skuat sekarang, Milan punya Francesco Acerbi yang sebenarnya adalah bek potensial. Kehadiran Acerbi memang belum berpengaruh, ia akan butuh waktu lagi untuk beradaptasi. Ia butuh jam terbang. Lihatlah Sir Alex Ferguson di Manchester United. Ia terus memasang Jonny Evans untuk menggantikan bek tangguh Nemanja Vidic yang cedera panjang. Hasilnya, Evans kini menjadi bek yang konsisten. Acerbi mungkin saja perlu diberi kesempatan yang sama dengan Evans.

Jangan lupa pula saat pertama kali datang dari Fluminense, Thiago Silva bukanlah pemain seperti sekarang. Mendatangkan bek baru belum tentu menjadi solusi ideal. Terus berpikir gegabah untuk mengganti ini-itu, membeli si ini-si anu bukanlah hal yang diperlukan saat ini.

Apakah masalah Milan hanya di lini pertahanan? Tidak, masalah juga terjadi di lini tengah. Lini tengah Milan harus kehilangan Mark Van Bommel, Rino Gattuso dan Mr Champions League Clarence Seedorf. Jika Ancelotti diberikan Rui Costa untuk menggantikan Zvonimir Boban, Allegri tidaklah diberikan pengganti sepadan untuk para old guard ini. Menunggu Hachim Mastour? Sudahlah, anak itu bahkan kini belum boleh menyetir mobil sendiri, apalagi menyetir lini tengah Milan.

Bagaimana dengan situasi Milan yang kehilangan Ibra dan Cassano di lini penyerangan? Oh saya tidak perlu membahasnya lagi bukan? Kepergian mereka, bahkan ditambah hengkangnya Pato dan Robinho nanti toh saya rasa tidak akan menimbulkan masalah besar bagi Milan sebesar masalah di lini pertahanan. Kemunculan El Shaarawy dan M’baye Niang adalah blessing in disguise dalam situasi ini. Untuk solusi jangka pendek, dikabarkan Milan sedang mendekati Shanghai Shenhua terkait Didier Drogba.

Lalu bagaimana dengan taktik? Allegri sudah mencoba berbagai skema dan membongkar pasang line-up demi memilih kerangka tim, yang baru terbentuk belakangan ini. Ia mencoba memaksimalkan potensi yang ada. Ia mengharapkan Boateng mengeluarkan kemampuan terbaiknya, meski memang konyol berharap Prince mampu bermain sebagai trequartista yang baik.

Boateng bersama Nocerino adalah gelandang-gelandang yang bersinar ketika sosok Zlatan masih memimpin serangan. Kemampuan hold-up ball eksepsional dari si jangkung ini membuat mereka banyak mendapat ruang tembak, sesuatu yang tidak mereka dapatkan sekarang namun masih terus dicari solusinya oleh Allegri.

Allegri boleh jadi bukan pemilih pemain yang baik, juga mungkin saja bukan peramu taktik hebat. Namun lihat saja kepercayaan tinggi yang ia berikan kepada bocah bernama El Shaarawy dan De Sciglio, seorang gelandang kiri medioker yang ia sulap menjadi bek kiri tangguh bernama Kevin Constant, juga seorang penyerang yang musim lalu mandul bernama Giampaolo Pazzini yang hingga kini sudah mencetak 7 gol.

Satu lagi problem di posisi penjaga gawang juga mulai menghantui Allegri. Menuanya Abbiati, plus beberapa kali ia menyebabkan terjadinya gol aneh membuat Allegri mulai berani menurunkan Marco Amelia. Amelia seperti bukan orang yang sama ketika menjadi deputi Gigi Buffon di timnas Italia beberapa waktu lalu. Amelia kini adalah kiper dengan rasio kebobolan yang lebih buruk dari Abbiati. Namun jika Milan sabar mempertahankannya dan terus memberinya kesempatan, kemampuan terbaik eks AS Roma dan Livorno ini akan terlihat musim depan.

Patience is a virtue.

Sunday, December 23, 2012

Sebuah fragmen desperasi waktu subuh di Timur Jauh

Yepes (not) beast
Tidak ada streak kemenangan kelima beruntun, tidak ada cerita come-back dramatis, tidak ada aksi kepahlawanan Stephan El Shaarawy, tidak ada puja puji kekuatan the beast Mario Yepes, tidak ada sanjugan bagi si nomor 10 Kevin Prince Boateng.

Begitulah yang saya saksikan semalam lewat tajuk pertandingan giornata 18 antara Milan yang dijamu oleh tim paling produktif di Seri a, AS Roma.

Milan memang tampil dengan kebiasaan buruk mereka di awal musim, yaitu pertahanan yang longgar, selonggar pakaian anak-anak hip-hop. Lini tengah juga tidak melakukan pressing terhadap para gelandang Roma. Ketika banyak orang menyatakan bahwa Mattia De Sciglio bermain gugup di sisi kanan pertahanan menghadapi Il Principe Francesco Totti, saya justru mempertanyakan mengapa tidak ada pemain yang melapis bek kanan muda itu atas tekanan Totti, yang juga dibantu Federico Balzaretti.

Milan tidaklah memulai pertandingan dengan salah. Mereka memulai dengan positif dengan coba menyerang dan bermain terbuka. Pemandangan yang menghibur. Petaka dimulai ketika Mario Yepes tidak menemukan momentum yang pas saat melompat untuk menghalau bola set piece. Akibatnya, Nicolas Burdisso yang memang memiliki jump lebih baik mampu menjebol gawang Marco Amelia.

Peruntungan Milan sebenarnya bisa berubah andai El Shaarawy tidak banyak bergaya mencoba melewati kiper Mario Goicoechea saat lolos dari jebakan offside yang gagal dioperasikan oleh Ivan Piris dan Marquinhos. Benar saja, setelah itu Roma kembali menjebol gawang Milan lewat gol Pablo Osvaldo. Lagi-lagi Yepes gagal memenangi duel udara akibat salah menentukan momentum lompatan. Crossing legit Francesco Totti berhasil disundul masuk penyerang oriundi Giallorossi itu. Dua gol dari sundulan pemain Roma ini menandai bobolnya gawang Rossoneri ke 12 kali lewat kepala lawan, terbanyak di Seri a.

Momentum positif dari bolongnya lini tengah dan belakang Milan kembali dimanfaatkan pemain-pemain Roma yang tampil trengginas dan menampilkan sepak bola terbaik mereka musim ini. Sebuah umpan sederhana Daniele De Rossi kepada Erik Lamela yang dibiarkan saja oleh Philippe Mexes akhirnya menutup babak pertama penuh nestapa Rossoneri.

Milan dikenal sebagai tim yang cepat bangkit setelah tertinggal, itu benar. Namun tidak kali ini. Permainan Roma terlalu bagus, bahkan seolah mereka mampu menandingi Barcelona jika bermain seperti semalam. Lagi-lagi De Sciglio gagal menghalangi bola crossing dari sayap kiri dan meninggalkan Kevin Constant untuk berduel udara dengan Erik Lamela. Lamela yang bukan penyundul ulung saja akhirnya mampu mencatatkan gol ke 10-nya musim ini dan membawa Roma kian menjauh dengan margin 4 gol.

Milan sempat mendapat angin setelah Zeman menarik Osvaldo dan Lamela yang membuat serangan Il Lupo tidak segarang sebelumnya, dan diperparah dengan kartu merah bek potensial berusia 18 tahun Marquinhos karena sengaja menyentuh bola dengan tangan ketika menjadi orang terakhir di pertahanan. Situasi itu kemudian dimanfaatkan Allegri dengan memasukkan Bojan Krkic, melengkapi Giampaolo Pazzini di depan.

Masuknya pemain dengan simple touch seperti Bojan disaat lini pertahanan lawan rapuh memang jawaban. Dalam waktu 2 menit Milan mencetak 2 gol lewat penalti Pazzini dan sontekan Bojan. Namun sayang situasi ini sudah terlambat karena memang margin gol yang terlalu lebar.

Bisa ditebak, fenomena knee-jerk reaction muncul. Timbullah suara-suara pencela Allegri setelah pertandingan berakhir. Allegri seolah menyerahkan lehernya untuk disembelih oleh para pembencinya, yang dalam empat pertandingan sebelumnya turut merayakan kemenangan Milan. Suara sarkas, sinis dan rangkaian kata-kata mutiara yang semua mengarah pada buruknya kinerja Allegri terangkum dalam live-twit para fans sebagai fragmen desperasi di subuh yang mengawali hari ini di negara timur jauh. Sepak bola memang jadi ramai dengan kehadiran kalian, fanboys.

Memang selalu ada polemik dan reaksi berlebihan ketika kekalahan timbul, terlebih dengan skor mencolok dan pertahanan tidak berdaya seperti ini. Belum apa-apa, para tifosi sudah menatap partai knock out Liga Champions melawan Barcelona yang masih akan berlangsung dua bulan lagi. Secara masygul, mereka bilang bahwa meski Lionel Messi berlari mundur dan menendang dengan kaki kanannya saja, Milan sudah akan jebol 3-4 gol ditangan Barca. 

Kekalahan ini tidaklah perlu diratapi berlebihan. Jika ingin melihat masalah lebih mendalam, skuat Milan sekarang memang bukanlah materi scudetto. Bahkan pelatih kelas juara Jose Mourinho atau pelatih pereparasi Claudio Ranieri sekalipun saya ragukan untuk bisa mengatrol posisi Milan di klasemen. Ada bagusnya, kekalahan ini membuka mata Galliani untuk menambah kedalaman sektor tengah dan belakang, alih-alih terus merisaukan barisan depan saja.

Monday, December 10, 2012

Mentalitas Intimidasi dan Kisah si Wasit Asal Comot


“PATAHIN!! ABISIN!! WASIT G*BL*K!!” Kata-kata kasar semacam itulah yang pernah saya rasakan ketika mengikuti kejuaraan sepak bola pada waktu kecil di kota saya dulu. Intimidasi dari orang tua lawan bertanding saya. Kata-kata dan ajaran yang terdengar seperti pelampiasan kekecewaan mereka terhadap hidup mereka ketimbang menyemangati anaknya bermain.

Bukan bermaksud mengumbar umpatan-umpatan kasar dalam tulisan ini, namun begitulah realitanya. Para orang tua itu mencontohkannya di hadapan anak mereka sendiri, segampang mereka yang dengan enteng mencontohkan untuk merokok di tempat umum atau membuang sampah sembarangan kepada anak-anak mereka itu. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang dalam pikirannya cuma berisi bagaimana mematahkan kaki anak orang lain dan memaki-maki wasit?

Saya yakin dulu banyak diantara anda yang pernah disemprot orang tua anda ketika anda mengungkapkan niat menjadi pesepakbola. “Mau jadi apa kamu? Mau makan apa kamu main bola disini?” Omongan-omongan semacam itu adalah pertanda skeptisme masyarakat kita akan masa depan seorang atlet sepak bola.

Belum lagi kita banyak mendengar kisah pilu mantan-mantan atlet bola kita yang sengsara di hari tuanya, dilupakan di hari kematiannya, padahal dielu-elukan di masa jayanya. Tambah pilu hati kita mendengar pemain asing yang ditelantarkan klub hingga meninggal dunia. Dan bukan hanya atlet bola malah, tapi atlet semua cabang olah raga memang sepertinya dibegitukan.

Kedengarannya jadi masuk akal jika orang tua melarang anaknya untuk menjadi pesepakbola. Pertanyaan mendasar timbul: Apa yang diharapkan dari menjadi pesepakbola di Indonesia?

Pembinaan yang tidak benar saja sudah menjadi masalah tersendiri bagi piramida persepakbolaan kita. Jika ditambah lagi dengan sikap-sikap intimidatif dan tidak suportif semacam itu, pertanyaan klise retoris lainnya akan muncul: Bagaimana sepak bola Indonesia mau maju jika sikap kita begini?

Salah satu pengalaman masa kecil saya itu tadi terulang kembali baru-baru ini ketika saya sudah bekerja di sebuah perusahaan. Mental meraih kemenangan dengan segala cara dan mental mengintimidasi orang lain sepertinya memang sudah menjadi makanan sehari-hari bangsa ini.

Coba anda perhatikan pertandingan sepak bola yang diadakan di perusahaan yang mempertandingkan tim antar divisi, pasti ada saja bumbu-bumbu seperti itu. Bahkan bukan cuma di pertandingan antar perusahaan, pertandingan antar sekolah dan antar komplek juga kerap dibumbui keributan. Katanya gak seru kalo main bola itu gak ribut. Ya, sepak bola memang olah raga penuh benturan fisik yang rentan dengan perkelahian, namun semua orang juga tahu kalau sepak bola sejatinya bukanlah ajang adu jotos.

Itulah yang saya alami beberapa  waktu lalu di tempat saya bekerja.

Ketika itu pertandingan berlangsung di pagi hari antara tim saya melawan tim dari site lain. Panitia rupanya kurang kordinasi yang berakibat tidak tersedianya wasit yang akan memimpin jalannya pertandingan. Kepanikan ini membuat panitia mengambil langkah “ascom” alias asal comot. Maksud panitia sebenarnya baik dengan mencomot salah seorang dari site lain diluar site kami yang akan bertanding untuk menjaga netralitas, namun apa daya orang yang dicomot itu jauh dari kompeten untuk menjadi seorang wasit.

Inkompetensi si wasit ascom itu benar-benar terpampang saat ia tidak bisa memutuskan apakah bola sudah masuk ke gawang tim kami atau belum. Dalam suatu serangan, tim lawan melepas tendangan kearah gawang kami dan bola sudah masuk ke gawang, namun bola terpental keluar lagi dari gawang karena membentur tiang yang berada di bagian belakang gawang.

Kejadian berlangsung cepat dan lawan sudah keburu merayakan “gol hantu” itu. Wasit nampaknya tidak melihat jelas kejadian ini. Kontan saja tim kami melakukan protes keras kepada si wasit ascom yang kebingungan. Dibawah tekanan dari kedua pihak, akhirnya wasit “memilih” untuk mengesahkan gol itu.

Di babak kedua, ada kejadian lebih lucu lagi. Saat skor imbang, tim kami terus menyerang. Dalam suatu momen, kiper lawan tidak sengaja menangkap umpan back-pass dari rekannya sendiri. Tim kami dan juga suporternya secara spontan berteriak “PINALTI!!” “PINALTI, WASIT!!” dengan membahana. Wasit kembali nampak kebingungan, dan ketidaktegasannya itu dimanfaatkan betul oleh tim kami untuk terus mengintimidasinya untuk memberi hadiah penalti untuk tim kami.

Tim lawan yang tidak terima dengan keputusan itu jelas mencak-mencak, salah seorang suporternya bahkan mendatangi suporter kami untuk menantang keabsahan hukuman tendangan penalti karena back-pass. Ia bersikeras untuk mengajak pengurus tim kami untuk browsing di internet dan mengecek peraturan FIFA! Saling dorong yang nyaris berubah menjadi baku hantam hampir terjadi. Pertandingan ini berubah menjadi dagelan konyol, dan berubah menjadi bodoh ketika wasit ascom itu akhirnya memberikan penalti kepada tim kami, yang sukses membawa kami menang.

“Impas dong, kan tadi babak pertama kami juga diperlakukan gak adil.” Begitu kata salah seorang rekan pemain kepada wasit. Dan ketika pertandingan berakhir, celotehan timbul bahwa sebenarnya tadi insiden di babak pertama itu memang benar gol. Tindakan protes tadi memang sengaja dilakukan untuk mengintimidasi lawan dan wasit.

Ya begitulah mentalitas kita dalam bersepak bola. Kemenangan diincar dengan cara apapun, termasuk jika harus mengintimidasi wasit dan mencederai peraturan dasar bermain. Sesudah pertandingan itu, kami lolos ke babak selanjutnya dan akhirnya merebut peringkat ketiga, namun saya menolak untuk bermain. Buat saya, kompetisi sudah rusak dan berubah menjadi panggung lawak sejak insiden-insiden konyol itu.

Dan si wasit asal comot itu duduk termenung, memutar lagu-lagu galau, mungkin setelah itu ia meracau di twitter. Permintaan maaf tulus dari panitia maupun permintaan maaf basa basi dari tim kami tidak ia gubris. Pagi itu mungkin saja salah satu pagi teraneh dan terjelek yang pernah ia jalani.

Sama rata dan sama rasa

Sundul, Gan!


Sama rata dan sama rasa. Sepertinya prinsip "ideal" inilah yang dipegang Milan musim ini. Jika terlihat terlalu mencolok, kombinasi hasutan dan kedangkalan pikiran akan membuat orang mencurigai Rossoneri sebagai tim dengan haluan tertentu. Ini jelas tercermin dari dipilihnya Mario Yepes sebagai kapten kesebelasan di pertandingan giornata 16 Milan melawan Il Toro, Torino.

Yepes mengikuti jejak Daniel Bonera, dan Riccardo Montolivo yang beriringan menjadi kapten karena kapten utama dan kedua Massimo Ambrosini serta Christian Abbiati memang tidak menjadi pilihan utama starting line-up terkait masalah kebugaran maupun konsistensi permainan. Imbasnya, semua jadi memiliki rasa yang sama terhadap tim dengan ikut merasakan jadi kapten. Dua la bandiera Paolo Maldini dan Franco Baresi pasti geleng-geleng.

Milan lagi-lagi menjadi epigon duo Manchester, United dan City soal permainan telat panas dan come-back yang kebetulan bertanding di waktu yang nyaris sama dengan pertandingan Torino melawan Milan. Sebagai anak Seri a sejak liga ini menjadi mainstream, semalam saya jelas memilih untuk menyetel TVRI ketimbang menyaksikan derby liga Inggris yang sekarang mainstream itu.

Tidak perlu menonton, karena sudah tahu bahwa timeline saya akan penuh berisi ekspresi spontan dari fans-fans United yang kebanyakan saya kenal dan saya follow. Ah sayangnya tidak ada teman saya yang fans City (maksudnya fans City yang bukan sejak 2009). Jadinya timeline saya monoton hanya berisi twit slogan “Not arrogant, just better” atau “GGMU” saja. Bosan ah.

Kembali ke Peninsula, saya menyukuri kesalahan back pass Antonio Nocerino yang membuat Mario Santana melesat cepat dan lincah seperti Cristiano Ronaldo. Performa Santana memang patut diganjar sebuah gol melihat pada pergerakan lincahnya di 30 menit pertama dan beberapa menit setelah golnya. Namun Santana bersama kapten Rolando Bianchi saja tidak mampu mengangkat performa Granata karena mereka menghadapi tim yang memang panas setelah tertinggal.

Game plan Milan baru terlihat jelas memang setelah tertinggal. Mattia De Sciglio dan Ignazio Abate lebih berani naik, Urby Emanuelson lebih cepat mengumpan kedepan, dan Robinho meski sering salah passing tampak mulai menikmati peran free role-nya di tiga perempat lapangan. Bakat besar Robinho yang sejak awal karirnya didengungkan banyak orang memang terbukti tidak salah. Dengan stepping skill yang menawan padahal dalam keadaan ditekan di kotak penalti lawan, Binho dengan cerdik membelokkan sedikit umpan cantik De Sciglio, dan secara instingtif menghajar bola dengan kaki lemahnya, kaki kiri untuk menciptakan salah satu gol terindah sepanjang karirnya, yang mungkin tinggal sebentar lagi bersama Rossoneri. Uniknya, Robinho berlari menghambur ke bangku cadangan memeluk Mathieu Flamini setelah mencetak gol. Entah karena alasan apa.

Insiden buruk mewarnai babak pertama selain dari blunder Nocerino. Cederanya Nigel De Jong akibat salah posisi terjatuh membuatnya dikabarkan harus beristirahat hingga akhir musim. Untungnya (lagi-lagi saya pakai prinsip orang jawa – selalu ada untung) Sulley Muntari sudah mulai pulih dari cedera konyolnya di pramusim. Ah tetap saja kehilangan De Jong ini sangat merugikan.

Di babak kedua, game plan Milan makin jelas. Kali ini mereka menyerang kebanyakan dari sektor kiri dimana kombinasi ancaman datang dari De Sciglio dan sang prodigy, Stephan El Shaarawy. Benar saja, El Shaarawy melepas umpan tarik keras yang tidak mampu diamankan dengan sempurna oleh kiper Jean Francois Gillet. Nocerino yang berada di posisi tepat mampu menyundul bola ke gawang yang kosong untuk kemudian merayakan penebusan kesalahannya itu dengan emosional ke tribun Milanisti. Gol pertama si bewok musim ini setelah musim lalu mampu mencetak 9 gol di Seri a.

Tidak puas dengan margin 1 gol, Giampaolo Pazzini menunjukkan kelasnya sebagai finisher ulung setelah mampu menjebol gawang Gillet dari sudut yang cukup sempit. Gol ini sebenarnya agak controversial karena pemain-pemain il Toro menganggap Pazzo melakukan pelanggaran lebih dulu, namun karena wasit menyatakan play on, Pazzini tanpa ampun melakukan tugasnya: mencetak gol.

Gol kelima Pazzini ini menyamai perolehannya sepanjang musim lalu bersama Inter Milan. Pazzini seperti berubah menjadi striker spesialis awal bulan, karena gol-golnya untuk Milan musim ini memang tercipta di awal September (3), November (1) dan kini Desember (1). Dengan konsistensi yang terlihat menanjak, si striker mirip aktor Bradley Cooper ini memang harus mencoba terus cetak gol di sepanjang bulan.

Seperti halnya pertunjukan Oprah dan Kick Andy dimana semua penonton kebagian hadiah, Il Faraone El Shaarawy juga kebagian gol. Biar prinsip sama rata dan sama rasa ini makin afdol, il Faraone mencatatkan torehan gol ke 13nya musim ini setelah kikuknya Gillet mengatasi umpan silang Nocerino. Kiper yang dulu terkenal bersama Bari era Igor Protti ini kembali harus rela pemain Rossoneri mencetak gol tidak cantik namun membunuh timnya sendiri.

Badai serangan Milan mampu melahirkan peluang yang membentur tiang gawang Torino setelah tendangan ala free kick Emanuelson dan sundulan Pazzini hasil crossing cantik De Sciglio hanya membuat kedua pemain ini memegangi kepala mereka sambil mengumpat “godverdomme” dan “vaffanculo”

Kelemahan lini pertahanan Milan memang terekspos lewat gol sundulan Bianchi yang tidak mampu dihalau Yepes atau Philippe Mexes. Meski demikian, kehadiran Yepes yang jarang berlari namun eksepsional membaca permainan di lini belakang memang sedikit menenangkan Rossoneri. Insiden antara Mexes dan Robinho di akhir pertandingan bagaimanapun cukup menyisakan tanda tanya, mengapa dua pemain bergaji terbesar di skuat ini bersitegang.

Kemenangan ketiga kali secara beruntun, dua diantaranya di kandang lawan, satu melawan Juventus ini jelas mengonfirmasi kebangkitan. Meski masih berselisih lima angka dari peringkat 4 hingga 6 dan sembilan angka dari posisi impian yaitu posisi 3 yang kini ditempati Napoli, peningkatan performa ini adalah bekal yang baik sebelum mengakhiri tahun dan berlibur musim dingin dengan tenang.

Di pertandingan seri a lain, Juventus menyambut kembali Antonio Conte yang terbebas dari hukuman skandal calcioscommese dengan kemenangan tipis 1-0 atas Palermo. Sepertinya tahun ini memang masih tahunnya mereka. Sepertinya lho.

Sementara itu di Etihad Stadium…

Thursday, December 6, 2012

Diego Mendieta sang martir

Selamat jalan, Diego. Photo by Okezone


Berita kematian Diego Mendieta, penyerang Persis Solo berusia 32 tahun akibat penyakit yang dideritanya membuat nama Indonesia kembali mendunia, sayangnya untuk hal sangat memalukan.

Kabar miris Diego Mendieta masih lebih menyedihkan daripada kabar Diego yang lain, yaitu Diego Michiels yang tersandung kasus pengeroyokan. Jika karir Diego Michiels masih bisa berlanjut, lain halnya Diego Mendieta. Sebab bukan sekadar karir yang hilang, namun nyawanya yang melayang.

Memang kematian adalah takdir Yang Maha Kuasa, namun setelah menelisik penyebab non-medis dari kematian pemain asal Paraguay ini, bukan hanya PSSI atau KPSI, namun seluruh insan sepak bola Indonesia harusnya berintrospeksi.

Saya bisa membayangkan nasib Mendieta, yang kesepian dan sakit keras di negeri orang yang letaknya beribu kilometer dari tanah kelahirannya. Ia tergolek sakit tanpa kehadiran orang-orang tercintanya disisi dan tanpa perhatian orang-orang yang mempekerjakannya. Ah boro-boro bantuan bersifat sukarela berupa sumbangan dari klub tempatnya bermain, haknya berupa gaji saja tidak kunjung dilunasi. Dalam pesan singkat di Blackberry Messenger miliknya, Diego hanya ingin tiket pesawat pulang ke negaranya, menemui ibunya dan meninggal disana. Keinginan sederhana dari seseorang yang sudah meregang nyawa itupun tidak mampu dipenuhi. Beginilah potret kejam dari carut marut persepakbolaan Indonesia.

Namun sebelum menyalahkan dan menghujat kesana-sini tanpa arah, kita tentu perlu tahu mengapa penunggakan gaji ini bisa terjadi. Dalam wawancaranya, Taji Prasetyo, rekan setim dari almarhum Diego mengatakan bahwa kondisi Persis Solo memang memprihatinkan, namun banyak klub lain yang bahkan lebih parah lagi. Kematian Diego-lah yang membuat Persis kini lebih disorot. Kasus ini ibarat puncak gunung es dari parahnya manajemen klub sepak bola Indonesia.

Konflik dualisme menggelikan yang telah tersaji di kalangan elit federasi sepak bola telah memecah federasi yang sama-sama mengklaim sebagai induk sepak bola Indonesia. Konflik tingkat pusat tersebut kemudian menular hingga ke level klub. Banyak klub yang juga terimbas dualisme yang tak kunjung usai karena pihak yang membawahi mereka yaitu PSSI dan KPSI masih saja berseteru.

Dalam esai obituari untuk Diego yang dibuat oleh Zen RS di Detiksport, telah dijelaskan secara detail mengenai konflik PSSI dan KPSI yang kemudian menular ke level klub, dan Persis Solo adalah salah satunya. Zen mengungkapkan bahwa konflik dua kubu besar di tubuh federasi sepak bola itu memiliki andil dalam kasus dualisme Persis Solo, tempat Diego bermain. Persis Solo akhirnya memiliki dua tim yang berkompetisi dibawah PSSI dan KPSI. Diego dalam hal ini bermain di Persis Solo yang bermain di kompetisi yang berada dibawah naungan KPSI.

Rekan saya Yoga Cholandha dalam tulisannya di blog Football Fandom mengajak kita semua untuk tidak saling menyalahkan, melainkan berintrospeksi. Menambahkan esai dari Zen, Yoga mengemukakan bahwa Persis Solo adalah klub yang terpecah dualisme namun masih berada dalam satu manajemen. Dengan logika anak Sekolah Dasar pun, klub pasti akan kesulitan mendanai biaya gaji pemain, yang memang menjadi komponen biaya terbesar dari klub sepak bola. Tertunggaknya gaji Diego selama empat bulan senilai lebih dari 100 juta rupiah semakin jelas menunjukkan ketidakberesan ini.

Kasus kematian Diego Mendieta ini juga menjadi pembuka mata kita bahwa bangunan sepak bola Indonesia memang sudah keropos dan perlu di renovasi di setiap jengkalnya. Dalam tulisannya di kolom Yahoo!, Hedi Novianto mengungkapkan bahwa kurangnya riset dan perencanaan membuat klub sering melangkah dengan prinsip “pokoknya jalan”. Tidak ada panduan dari induk organisasi mengenai persyaratan klub yang akan mengikuti kompetisi. Pedoman standar keuangan klub yang disyaratkan AFC juga tidak dipakai, juga tidak ada petunjuk untuk mencari sumber dana dan sebagainya mengakibatkan klub banyak yang beroperasi seadanya saja.

Jika sepak bola adalah representasi sebuah bangsa, lalu seperti apakah wajah bangsa kita setelah kasus ini? Mungkin jika Indonesia adalah orang, maka orang itu tidak akan berani bercermin melihat wajahnya sendiri. Jika sepak bola adalah gambaran nyata dari kehidupan, kasus ini adalah episode tergelap kehidupan yang bisa dialami seseorang.

Kecaman jelas sudah muncul dari seluruh penjuru bumi, bukan hanya dari orang-orang Indonesia. Media Inggris BBC juga memberitakan hal ini, dengan menitikberatkan krisis organisasi merembet kepada klub yang mengakibatkan banyak klub tidak memiliki sokongan finansial memadai. Asosiasi pemain FIFPro telah memberikan kecamannya dan akan meneruskan kasus ini untuk menjadi perhatian FIFA. Kasus ini menurut saya adalah tragedi besar yang timbul karena konflik yang berkepanjangan dan mismanagement yang sepertinya sudah menjadi penyakit kronis bagi sepak bola Indonesia.

Kematian Diego seakan mengikuti jejak hitam kematian suporter yang hingga kini juga tidak diusut tuntas dan sepertinya juga tidak dilakukan langkah perbaikan kedepannya. Namun rasanya akan sangat keterlaluan jika kematian pemain akibat ketidakbecusan pengelolaan klub dan konflik perebutan kekuasaan para elit sepak bola nasional ini dibiarkan begitu saja. Saatnya rekonsiliasi penuh antara elit federasi dan setting ulang piramida sepak bola Indonesia.

Selamat jalan, Diego Antonio Mendieta Romero. Semoga engkau mendapat tempat yang lebih baik dan beristirahat dengan tenang.

Wednesday, December 5, 2012

My First Football Travel


Akhir pekan lalu saya baru saja merealisasikan sebuah tur sepak bola pertama saya, sebuah aktivitas yang memang sudah sejak lama saya impikan. Dan kota tujuan saya kemarin adalah Yogyakarta.

Kebetulan, di kota itu adalah tempat bermarkasnya Football Fandom, sekelompok anak pandai yang menyukai sepak bola hingga ke akar-akarnya. Ya, orang-orang seperti mereka ini memang sudah lama saya cari-cari. Keberadaan mereka membuat tur ini menjadi jauh lebih mudah.

“Mau diantar jalan-jalan kemana, mas?” tanya Hasbi, Yoga dan Lukman, ketiga teman saya yang sebelumnya hanya saya kenal melalui social media dan chat.

Tanpa kesulitan, saya langsung menjawab “Stadion”

Saya tidak menjawab Kraton, Candi Borobudur atau pantai Parangtritis yang pada umumnya dituju oleh orang-orang yang berkunjung ke kota pelajar ini. Sepak bola memang lebih memikat saya ketimbang apapun yang ada di dunia ini.

Sering ada pertanyaan mengenai tipe liburan yang apa yang disukai. “Are you a beach type or a mountain type?” Memang kedua tempat itu adalah tempat umum bagi siapapun untuk melepas penat dan melupakan sejenak tekanan yang dihadapi sehari-hari sebagai manusia, baik manusia pendukung pemilik modal,manusia anti perbedaan kelas, maupun manusia perebut lahan parkir.

Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka kini saya punya jawaban. “Football type”

Ya sebenarnya gak football-football amat sih, karena saya juga suka sejarah. I would like to have a history theme travel lain kali.

Saya menikmati detik demi detik perjalanan itu, terlebih saya melakukannya bersama orang-orang yang “sealiran” jadi tidak ada yang bosan atau tidak nyaman disana, tidak ada yang tiba-tiba ingin belanja dan pusing karena kebanyakan dititipi macam-macam oleh keluarganya. Sepak bola adalah yang utama, sesi belanja oleh-oleh hanya saya sisakan satu jam saja.

“Passion adalah sesuatu yang membuat kita berbinar-binar ketika membicarakannya, juga tidak pernah bosan mendengarnya.” Begitulah kutipan yang pernah saya baca dari buku yang pada akhirnya meracuni hidup saya ini. Pertemuan saya dengan passion ini membawa saya pada era sekolahan dan kuliahan ketika saya rela melakukan apa saja demi memikat seorang perempuan.

Estadio de Maguwoharjo. Foto ini saya yang ambil lho.
Anyway, saya pergi ke Stadion Maguwoharjo, stadion terbagus di kota ini. Pada awalnya kami tidak diijinkan masuk oleh petugas yang berjaga, namun dengan kegigihan kami, pada akhirnya kami bisa menemukan pintu masuk kecil yang memungkinkan kami masuk kedalam dan berfoto disana.

Stadion ini berkapasitas 25000 penonton (40 ribu menurut Wikipedia) entah mana yang benar, dibangun pada tahun 2005, yang dihentikan pembangunannya tahun 2007 akibat bencana letusan gunung Merapi. Dengan prakarsa politisi setempat, stadion ini dilanjutkan pembangunannya. Stadion ini sering disebut San Siro Indonesia karena memang konsep 4 menara di sudut stadion dan tangga berputarnya mirip-mirip dengan stadion kandang AC Milan dan Internazionale tersebut.

Campur tangan politik ini pula yang membuat bagian luar stadion di cat berwarna biru. Ya, anda tebak sendirilah apa maksudnya itu. Pergolakan politik ini pula yang membuat stadion ini belum 100% rampung hingga sekarang. Stadion ini belum memenuhi standar FIFA karena belum dilengkapi penerangan yang memadai untuk menggelar pertandingan di malam hari. Ya, namanya juga Indonesia, politisi selalu membonceng pada sepak bola, yang ujung-ujungnya sepak bola menjadi kelebihan beban dan malah tidak maju kemana-mana.

Foto dari belakang, biar nambah kesan cool. Padahal lagi kepanasan.
“Mau liat lapangan bola aja sampe keluar kota segala.” Begitulah ujar orang-orang terdekat, yang ironisnya tidak memahami arti sepak bola bagi saya. Padahal saya banyak mendengar cerita banyak orang yang rela keluar kota bahkan keluar negeri hanya untuk melengkapi koleksi tas atau bajunya, bahkan untuk menemui istri simpanannya. Saya hanya berkunjung ke stadion dan ngobrol-ngobrolin sepak bola kok, tidak ada unsur kriminal atau tindakan menyalahi norma hukum dan agama yang saya lakukan selama disana.

Setelah puas melihat-lihat stadion, saya diundang ke acara diskusi sepak bola disana, dengan topik cukup berat, Financial Fair Play. Diskusi dibawah nama Football Fandom yang digawangi Hasbi, Yoga dan Lukman, teman-teman saya yang sangat baik hati dan pintar lagipula tidak sombong berlangsung seru dan menyenangkan, juga dibawah suasana santai sebuah restoran yang bukan bertipe fine-dining.

“Ada banyak hal yang membuat saya tidak percaya diri di dunia ini, tetapi sepak bola bukan salah satunya.” Demikian kalimat tersebut dituliskan oleh teman saya Pangeran Siahaan dalam sebuah postingannya. 

Ya, jujur saja saya mengingat-ingat kalimat itu saat saya hendak menjadi pembicara dalam acara diskusi ini. Inilah kali pertama saya menjadi pembicara dan narasumber dari sebuah acara diskusi. Saya bukanlah orang yang penuh percaya diri, berwibawa dan tenang seperti teman saya Toby Idol ketika berbicara didepan umum, namun mengingat topik yang dibawakan adalah sepak bola, segala keraguan itu hilang.

Peserta HYPERBOLA, diskusi sepak bola andalan Football Fandom
Puncak dari liburan singkat itu terjadi pada pukul 8 malam waktu setempat (biar kesannya jauh) ketika acara nonton bareng Piala AFF antara Indonesia melawan Malaysia digelar. Well, saya tidak mau membahas khusus jalannya pertandingan itu, karena segala pembahasan mengenai sepak bola negeri ini akan menjadi pembahasan klise, demikian kata salah seorang penulis jenius yang saya kenal.

Saya nantikan football travel berikutnya, sendiri atau rame-rame.

Kontroversi dan Inkonsistensi dibalik kelegaan

1st Seri a winning streak this season


Pernahkah anda menulis review pertandingan yang bahkan anda sendiri tidak menontonnya? Dengan modal informasi yang berseliweran di dunia maya dan social media, rasanya hal itu tidak mustahil meskipun bukan tidak mungkin report anda menjadi bias. Ah saya tidak peduli, saya hanya ingin mencobanya. Menulis dengan data dan informasi minim memiliki tantangan tersendiri.

Karena harus menghadiri suatu acara diluar kota, saya tidak bisa menyaksikan pertandingan siaran langsung seri a AC Milan melawan tuan rumah Catania di stadion Angelo Massimino. Saya sampai di kota tujuan ketika pertandingan sudah memasuki menit-menit akhir, dan saya tidak dapat menemukan televisi yang menyiarkan pertandingan ini secara langsung. Streaming? Well, sepintar apapun ponsel smartphone, rasanya tidak ada yang bisa mengakomodasi siaran langsung sepak bola melalui streaming. Akhirnya, saya menyaksikan pertandingan ini melalui live tweet akun-akun penggemar Milan saja lalu melihat highlight-nya beberapa jam kemudian.

Banyak twit sumringah yang mampir di timeline saya, meskipun tidak sedikit juga twit sinis berbalut iri hati dan keisengan galau dini hari yang mencemooh gol offside El Shaarawy yang menyamakan kedudukan dari gol Catania yang dicetak oleh eks Rossoneri, si alim Nicola Legottaglie. Gol offside ini memang sulit diputuskan karena kejadiannya begitu cepat dan sulit dilihat dengan jelas tanpa replay. Dalam tayangan lambat, El Shaarawy memang berada pada posisi offside ketika meneruskan tendangan Robinho yang melenceng hasil crossing dari sayap kanan. Namun sekali lagi, kejadian berlangsung sangat cepat sehingga pengadil pertandingan bisa saja keliru dalam keputusannya. Sudahlah, kemarin tim elu yang diuntungkan wasit kok, masa sih ngeledek aja pas Milan diuntungin. Haha.

Bagaimanapun, kesinisan dan keraguan yang mendahului seakan terbebas dari penampilan trengginas El Shaarawy dan kawan-kawan yang mampu melepas banyak tembakan dan menciptakan banyak peluang emas, yang tentu saya salah satunya diciptakan oleh salah satu pemain paling berbakat dunia sekaligus ber-finishing terburuk dunia, Robinho.

Di partai ini pula Kevin Prince Boateng seperti mematahkan kutukan nomor 10 yang dipilihnya di awal musim yang berakibat nihilnya kontribusi gol maupun assist hingga sebelum pertandingan. Gol cantik berhasil ia ciptakan. Sebuah kombinasi power dan akurasi membawanya ke langit ketujuh setelah membalikkan kedudukan menjadi 2-1 bagi Rossoneri. Namun beberapa menit sesudahnya, ia kembali menambah koleksi …. kartunya. Ok, cukup sudah saya mengomentari pemain ini. Biarkan saya memberinya porsi imbang, sebuah pujian dan sebuah cibiran. Impas kan, Boa?

Lini belakan tetap meninggalkan catatan negatif akibat (lagi-lagi) kebobolan melalui skema set-piece. Milan kini seperti meniru perjalanan setan merah Inggris, Manchester United. United musim ini sangat lemah dalam bertahan dan menghadapi set piece, tetapi memiliki mental kuat dalam mengejar ketertinggalan dari lawan. Hal ini terjustifikasi nyata dari pertandingan babak pertama penuh kejutan di Madjeski Stadium dimana Red Devils tertinggal 0-1 dan 2-3 terlebih dahulu sebelum menyudahi perlawanan anak-anak Berkshire Reading FC dengan skor 4-3. Ini Ferguson atau Zeman sih?

Anyway kembali ke dunia Milan, Stephan El Shaarawy entah untuk keberapa kali menyumbang poin bagi Rossoneri. Jumlah golnya yang berada diangka 12 menjadi yang tertinggi sejauh ini di kompetisi seri a, sekaligus ekuivalen dengan setengah gol yang diciptakan Milan. Ketergantungan klub yang akan berulang tahun ke 113 dua minggu lagi ini kepada seorang bocah 20 tahun yang gajinya masih dipegang orang tua ini sungguh mengkhawatirkan, meskipun sejauh ini melegakan Milanisti.

The Paloschi Rises

Di pekan ke 15 seri a ini tersaji beberapa cerita menarik, namun saya hanya ingin membahas satu cerita yaitu comeback gemilang striker Chievo yang dipinjam dari Rossoneri, Alberto Paloschi. Striker berusia 22 tahun yang sebelumnya dianggap paling berbakat di Italia ini baru kembali ke lapangan setelah menghilang selama tiga bulan karena cedera.

Tentu anda ingat saat empat tahun lalu dirinya baru tujuh belas detik menginjak rumput San Siro dalam debut seri a, sentuhan pertamanya langsung menjebol gawang Siena dan menentukan kemenangan Milan. Kemarin, Paloschi membuat berita setelah mencetak hattrick ke gawang Genoa ketika Chievo Verona melumat Il Grifone dengan skor 4-2.

Konsistensi sahabat Mario Balotelli ini perlu dinantikan, mengingat penyerang muda ini masih menyimpan asa untuk membela Rossoneri dan tim nasional Italia. Jika Paloschi mampu bermain konsisten dan terus mencetak gol setidaknya hingga akhir tahun ini, boleh jadi Rossoneri akan memanggilnya kembali sebagai solusi ketajaman mereka agar tidak terlalu tergantung pada El Shaarawy. Pemain ini memiliki ketajaman dan kecepatan yang boleh jadi akan membantu Rossoneri untuk mengejar target 3 besar di akhir musim.

Jual Pato-Robinho untuk Paloschi-Balotelli? Sound really good, kan?

Kini Rossoneri berada di posisi 7 klasemen sementara, tertinggal 10 poin dari Internazionale yang menghuni posisi 3. Masih ada 69 angka lagi yang bisa diperebutkan. 

Sementara semalam dari partai penutup penyisihan grup Liga Champions yang tidak menentukan lagi, Milan menyerah 0-1 dari lawannya si kaya Zenit St. Petersburg. Kekalahan ini menandai rekor belum pernah menangnya Milan di kandang dalam pertandingan kompetisi Eropa musim ini. Meski tidak menentukan lagi dan Milan memang menyimpan El Shaarawy, namun tetap saja kekalahan ini mengganggu momentum bagus Rossoneri, sekaligus sinyal kurang baik dalam menyongsong babak 16 besar.

Dengan menduduki posisi kedua, kans Rossoneri untuk bertemu tim tangguh seperti Barcelona, Real Madrid atau Paris St. Germain tentu lebih terbuka lebar. 

Setelah kontroversi, kini inkonsistensi mengintip kelegaan anak-anak Milanello. Namun apapun itu, pencapaian ini setelah melalui berbagai performa buruk adalah sesuatu yang patut disyukuri.